Buku Tamu

Anda adalah pengunjung ke
View My Stats
  • Isi Buku Tamu
  • Lihat Buku Tamu


  • |

  • Kembali ke Halaman Depan
  • Sampel Artikel
  • PANDUAN PENULISAN NASKAH


  • Jumat, 20 Maret 2009

    KONSELING UNTUK POPULASI KHUSUS

    (Studi Kasus Terhadap Layanan Konseling bagi Siswa Tunanetra di SMTA Reguler)


    Didi Tarsidi
    MIF Baihaqi

    Jurusan Pendidikan Luar Biasa
    Universitas Pendidikan Indonesia


    ABSTRAK
    Penelitian ini dilakukan terhadap empat orang siswa tunanetra di empat SMTA reguler yang berbeda. Penelitian ditujukan untuk mengetahui: (1) Apakah siswa tunanetra memperoleh akses yang sama ke layanan konseling sebagaimana siswa-siswa lainnya yang awas? (2) Siapakah yang proaktif dalam layanan kon¬seling itu – konselor atau klien tunanetra? (3) Masalah-masalah apakah yang pada umumnya menjadi fokus layanan konseling bagi siswa tunanetra? dan (4) Bagaimanakah bentuk solusi yang ditawarkan oleh konselor untuk mengatasi masalah yang dihadapi siswa tunanetra?

    Kata kunci: Konseling, populasi khusus, tunanetra, SMTA reguler


    PENDAHULUAN
    Orang yang tunanetra sering sekali digambarkan sebagai tak berdaya, tidak mandiri dan menyedihkan, sehingga terbentuk persepsi purbasangka (prejudice) di kalangan masyarakat awas bahwa orang tunanetra itu patut dikasihani, selalu butuh perlindungan dan bantuan. Dodds (1993) menge¬muka¬kan bahwa persepsi negatif tentang ketunanetraan tersebut sering sengaja dipertahankan dan diperkuat oleh badan-badan amal demi meng¬gugah hati banyak orang untuk berderma. Hal yang serupa sangat sering kita jumpai di dalam masyarakat kita, dimana pencari derma berkeliling dari rumah ke rumah dengan mengatasnamakan tunanetra. Citra tuna¬netra yang digambarkan oleh para pencari derma tersebut bahkan diperkuat oleh pemandangan yang sering dijumpai di banyak pusat keramaian dimana orang tuna¬netra yang tidak berkesempatan memperoleh pendidikan, rehabilitasi, atau latihan yang sesuai dengan kebutuhannya terpaksa harus meng¬gan¬tungkan dirinya pada belas kasihan orang lain. Sangat jarang orang awas bertemu dengan model peran tunanetra yang positif dalam wujud orang tunanetra yang kompeten dan mandiri.
    Di samping itu, media, seni rupa, literatur, dan drama lebih sering menampi¬l¬kan citra ketunanetraan yang negatif, yang cenderung menonjolkan stigma daripada me¬nawarkan aspirasi positif kepada mereka yang pada suatu saat berkemungkinan untuk kehilangan penglihatannya (Lee & Loverage, 1987), menimbulkan rasa sedih pada pemirsanya atau pembacanya, serta membuat orang awas merasa superior dan beruntung bahwa mereka tidak seperti yang digambarkan itu (Dodds, 1993). Dodds juga mengamati bahwa banyak media menggambarkan kebutaan sebagai hukuman yang patut diterima oleh penyandangnya atas kejahatan yang dilakukannya. Gam¬bar¬an seperti ini mengundang pemirsanya untuk memposisikan diri pada pan¬dang¬an moral tertentu terhadap sang korban; satu pandangan dimana rasa kasihan merupa¬kan satu-satunya respon yang tepat bagi mereka yang mempunyai rasa belas kasihan, juga perasaan kebenaran dan keadilan bagi mereka yang tidak mampu menunjukkan rasa belas kasihan.
    Sama merusaknya dengan gambaran negatif mengenai ketunanetraan adalah gambaran positif yang tidak realistis dimana orang tunanetra dilukis¬kan sebagai ‘super hero’, yang dipandang sebagai orang yang memiliki daya yang menga¬gumkan, baik fisik maupun mental (ingat misalnya "Si Buta dari Gua Hantu").
    Akhir-akhir ini sering juga muncul pemberitaan tentang orang tuna¬netra dengan prestasi tinggi, misalnya mereka yang dapat mengoperasi¬kan komputer dengan baik, atau berhasil meraih gelar akademik yang prestisius, atau berhasil dalam karir profesionalnya. Masyarakat sering memandang pencapaian seperti ini sebagai ‘langka tetapi nyata’, sesuatu yang me¬nga¬gum¬kan. Pemberitaan seperti ini tidak berhasil mengubah stereotipe negatif tentang ketunanetraan, karena dibalik kekaguman itu tersirat pikiran bahwa orang tunanetra pada umumnya tidak dapat atau tidak seharusnya demikian, sehingga bila masyarakat melihat contoh orang tunanetra melanggar ekspektasi negatif tersebut, itu hanya dipandang sebagai kasus kekecualian. Dengan kata lain, ekspektasi masyarakat terhadap orang tunanetra masih tetap rendah.
    Gambaran di atas menunjukkan bahwa masyarakat masih cenderung mem¬posisikan orang-orang tunanetra sebagai kelompok yang oleh Pedersen (1981) di¬sebut sebagai populasi khusus (special population), yaitu kelompok minoritas yang sering dihambat aksesnya ke berbagai layanan umum termasuk layanan konseling. Studi kasus ini bertujuan menemukan apakah diskriminasi semacam ini dialami juga oleh siswa-siswa tunanetra dalam layanan konseling di sekolah menengah tingkat atas reguler dimana mereka merupakan kelompok minoritas di sekolah yang mayoritas siswanya adalah orang awas.
    Secara spesifik, studi kasus ini berusaha menemukan jawaban atas empat pertanyaan penelitian sebagai berikut:
    1. Apakah siswa tunanetra memperoleh akses yang sama ke layanan konseling sebagaimana siswa-siswa lainnya yang awas?
    2. Siapakah yang proaktif dalam layanan konseling itu – konselor atau klien tunanetra?
    3. Masalah-masalah apakah yang pada umumnya menjadi fokus layanan konseling bagi siswa tunanetra?
    4. Bagaimanakah bentuk solusi yang ditawarkan oleh konselor untuk meng¬atasi masalah yang dihadapi siswa tunanetra?


    KERANGKA TEORETIK

    Konseling Lintas Budaya dengan Perspektif Rehabilitasi
    Rao & Walton (2006) mengartikan budaya sebagai fenomena yang terkait dengan relasionalitas – hubungan antara individu-individu di dalam suatu kelompok, antara kelompok-kelompok, antara ide-ide dan berbagai perspektif. Budaya ter¬sangkut dengan identitas, aspirasi, pertukaran simbol-simbol, koordinasi, struktur dan praktek yang mendukung tujuan hubungan, seperti etnisitas, ritual, warisan, norma, makna, dan keyakinan. Budaya bukan himpunan fenomena primordial yang secara permanen terbingkai dalam kelompok kebangsaan atau keagamaan ataupun kelompok-kelompok lainnya, melainkan merupakan himpunan atribut yang senan¬tiasa berubah, yang membentuk dan dibentuk oleh aspek-aspek sosial dan ekonomi dari interaksi manusia.
    Konseling yang diarahkan pada konseli dengan latar belakang budaya yang berbeda-beda disebut konseling lintas budaya. Pedersen (Locke, 1993) men¬defi¬nisi¬kan konseling lintas budaya (multicultural counseling) sebagai konseling yang di¬arahkan pada berbagai jenis multikelompok tanpa menilai¬nya, membandingkannya atau memperingkatnya sebagai lebih baik atau lebih jelek dari satu dengan lainnya dan tanpa menolak perspektif yang di¬bawa oleh masing-masing kelompok itu betapa pun berbedanya ataupun kontradiktifnya perspektif itu. Definisi Pedersen tersebut cenderung men¬cakup berbagai macam variabel, misalnya usia, jenis kelamin, tempat tinggal, pendidikan, faktor-faktor sosioekonomi, afiliasi, kebangsaan, etnis¬itas, bahasa, agama, kecacatan, sehingga multikulturalisme menjadi generik bagi semua hubungan konseling. Dalam studi kasus ini, penulis meng¬gunakan definisi konseling lintas budaya dalam pengertian yang luas sesuai dengan definisi Pedersen tersebut.
    Konseling yang dirancang khusus untuk membantu penyandang cacat disebut konseling rehabilitasi. The International Rehabilitation Counseling Consortium, sebuah kelompok yang beranggotakan beberapa organisasi profesi yang terkait dengan konseling rehabilitasi, mendefinisikan konselor rehabilitasi sebagai berikut:
    “A rehabilitation counselor is a counselor who possesses the special¬ized knowledge, skills and attitudes needed to collaborate in a profess¬sional relationship with people who have disabilities to achieve their personal, social, psychological and vocational goals.” (Virginia Com¬mon¬wealth University Department of Rehabilitation Counseling, 2005).
    Berdasarkan definisi tersebut, konseling rehabilitasi dapat diartikan sebagai suatu bidang ilmu yang mengkaji cara-cara membantu penyandang cacat mencapai tujuan personal, sosial, psikologis dan vokasionalnya. Untuk itu, seorang konselor rehabilitasi perlu memiliki pengetahuan dan keteram¬pil¬an khusus serta sikap yang dibutuhkan untuk berkolaborasi dalam hu¬bung¬an profesional dengan penyandang cacat.

    Banyak persamaan dalam stigma dan ketidakadilan yang dialami oleh orang-orang dari kelompok etnik minoritas dan orang-orang penyandang cacat. Misalnya, Orange (1997) mengemukakan bahwa secara historis kedua kelompok ini telah dikucilkan dari kehidupan masyarakat Amerika pada umumnya dan sama-sama berstatus “underprivileged”. Meskipun masya¬rakat tertentu memandang individu penyandang cacat dengan perasaan ‘kagum’ dan ‘penuh hormat’, tetapi di sebagian besar masyarakat kecacatan secara tradisi cenderung dikaitkan dengan negativisme.
    Stigma yang terkait dengan status minoritas mencerminkan pengala¬man ini. Herbert dan Cheatham (Orange, 1997) mengemukakan bahwa menyandang ke¬cacatan atau¬pun berstatus minoritas itu dapat menimbulkan stigma yang meng¬hambat partisipasi penuh dalam pendidikan, pekerjaan, dan pergaulan sosial. Wright (Orange, 1997) mengemukakan bahwa seorang individu dinilai berdasarkan karakteristik yang di¬pandang baik oleh kelom¬pok tempatnya berada. Oleh karenanya, individu penyan¬dang cacat sering dicap sebagai orang yang mengalami kemalangan besar, dan akibatnya kehidupannya terganggu dan ternoda.
    Stereotipe seperti ini juga dialami oleh orang-orang dari kelompok minoritas di kalangan masyarakat luas. Misalnya, orang Amerika asal Afrika dipersepsi sebagai low achievers, immoral, dan tak dapat dipercaya. Wright (Orange, 1997) mengemukakan bahwa dampak stigma yang terkait dengan kecacatan ataupun status minoritas ini dapat demikian kuat dan mendalam sehingga dapat menutupi karak¬teristik personal lainnya yang positif yang sesungguhnya dapat mengimbangi stigma tersebut.
    Asumsi kultural tentang kecacatan juga mempengaruhi pembentukan pikiran dan sikap para profesional. Asumsi ini juga mempengaruhi peng¬guna¬an bahasa, keyakinan masyarakat, dan interaksi dalam keseluruhan budaya. Orange (1997) mengidentifikasi asumsi kultural umum dan impli¬kasi¬nya sebagai berikut:
    1. Kecacatan dipandang sebagai hanya bersifat biologis dan hasil interaksi sosial didasarkan pada kecacatan sebagai variabel bebas.
    2. Masalah-masalah yang dihadapi para penyandang cacat merupakan akibat dari kelainan fisiknya, bukan akibat konteks budaya, peraturan per¬undang-undang¬an, ekonomi, sosial, atau lingkungan.
    3. Penyandang cacat adalah korban ketidakadilan biologis, bukan korban ketid¬akadilan sosial; dan karenanya, intervensi diarahkan untuk meng¬ubah kemam¬puan individu, bukan untuk mengubah konteks sosial.
    4. Kecacatan adalah sentral untuk konsep diri individu, definisi dirinya, per¬bandingan sosialnya, dan kelompok acuannya.

    Konseling lintas budaya dengan pendekatan ekologi dapat mengubah asumsi-asumsi tersebut ke arah yang berpihak kepada penyandang cacat, dan konseling lintas budaya dengan perspektif rehabilitasi bagi penyandang cacat dapat membantu mereka lebih mendekatkan diri ke ekspektasi masyarakat luas melalui perubahan yang dilakukan oleh kedua belah pihak.

    METODOLOGI PENELITIAN
    Studi kasus dilakukan terhadap empat orang sampel yang terdiri dari dua orang laki-laki dan dua orang perempuan tunanetra. Status mereka saat ini adalah: dua orang guru dan dua orang mahasiswa. Keempatnya pernah bersekolah di sekolah menengah tingkat atas reguler (2 SMA negeri, 1 SMA swasta, dan 1 madrasah aliyah negeri). Resume identitas kasus dapat dilihat pada tabel 2.1 di bawah ini.

    Tabel 2.1
    Identitas Kasus

    Nama Jenis Kelamin Status Sekarang Sekolah Asal
    Kasus 1 Laki-laki Guru SMA Negeri
    Kasus 2 Perempuan Guru MAN
    Kasus 3 Perempuan Mahasiswa SMA suasta
    Kasus 4 Laki-laki Mahasiswa SMA Negeri

    Data diperoleh melalui wawancara tak terstruktur. Wawancara difokuskan pada pengalaman mereka dengan layanan bimbingan dan konseling di SMTA tersebut. Topik-topik wawancara mencakup:
    1. Akses ke layanan bimbingan dan konseling
    2. Proaktivitas konselor/klien
    3. Topik bimbingan dan konseling
    4. Solusi masalah

    Data hasil wawancara tersebut dianalisis dalam dua bentuk, yaitu intra-case analysis (analisis terhadap item-item dalam satu kasus yang sama) dan cross-case analysis (analisis terhadap item-item yang sama untuk kasus yang berbeda). Proses analisis dalam penelitian ini menggunakan kerangka yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman (Frechtling & Sharp, 1997; Bloland, 1992), yang terdiri dari tiga fase, yaitu reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), dan penarikan konklusi dan verifikasi.
    Menurut Miles dan Huberman, reduksi data adalah proses menyeleksi, mem¬fokuskan, menyederhanakan, mengabstraksikan, dan mentrasformasi¬kan data yang tercantum dalam catatan lapangan atau transkrip wawancara. Reduksi data ini tidak hanya dimaksudkan agar menjadi padat sehingga mudah dikelola, tetapi juga agar lebih mudah dipahami dari perspektif masalah yang dibahas. Reduksi data sering memaksa peneliti untuk memilih aspek-aspek mana dari data yang telah terkumpul itu harus diberi penekanan, diminimalkan atau dikesampingkan sama sekali untuk tujuan penelitian yang sedang dilaksanakan. Dalam analisis kualitatif, peneliti memutuskan data yang mana yang harus ditonjolkan dalam deskripsi data itu berdasarkan prinsip selektivitas, terutama selektivitas berdasarkan Relevansi data itu untuk menjawab pertanyaan penelitian tertentu.
    Fase kedua dari analisis data ini adalah menentukan bagaimana data itu akan disajikan. Sajian data ini menampilkan rakitan informasi yang padat dan ter¬organisasi untuk memudahkan penarikan konklusi. Sajian data itu dapat berupa diagram, tabel, atau grafik, yang berisi data tekstual. Sajian data tersebut di¬maksudkan untuk mempermudah peneliti membuat ekstra¬polasi dari data karena dengan sajian ini peneliti dapat dengan lebih cepat melihat adanya pola-pola dan hubungan-hubungan yang sistematik. Di dalam studi ini, peneliti menggunakan bentuk sajian data berupa tabel.
    Fase ketiga dari proses analisis data adalah penarikan konklusi dan verifikasi. Penarikan konklusi dilakukan dengan melihat kembali data untuk menimbang-nimbang makna dari data yang sudah dianalisis itu dan untuk menimbang impli¬kasinya bagi pertanyaan penelitian terkait. Verifikasi, yang terkait secara integral dengan penarikan konklusi, dilakukan dengan mem¬baca ulang data berkali-kali untuk melakukan cross-check atau menguji kebenaran konklusi yang telah dibuat. Di samping itu, verifikasi juga di¬maksudkan untuk menguji apakah ‘makna’ yang di¬simpulkan dari data yang dianalisis itu rasional, ajeg dan kokoh. Dengan kata lain, verifikasi di¬mak¬sud¬kan untuk menguji validitas dan reliabi¬litasnya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Bloland (1992) bahwa verifikasi di dalam penelitian kualitatif sama fungsinya dengan reliabilitas dan validitas di dalam penelitian kuantitatif. Dia mengemukakan, “Verification performs for qualitative research what reliability and validity perform for quantitative research” (hal.4). Validitas di sini berbeda maknanya dengan yang diper¬guna¬kan di dalam penelitian kuantitatif dimana validitas merupakan satu istilah teknis yang secara spesifik mengacu pada pertanyaan apakah suatu konstruk tertentu benar-benar mengukur apa yang hendak diukurnya. Di dalam penelitian kualitatif, menurut Frechtling dan Sharp (1997), yang dimaksud dengan validitas adalah kepastian bahwa konklusi yang ditarik dari data itu dapat dipercaya, dapat dipertahankan, dijamin kebenar¬annya, dan mampu bertahan terhadap penjelasan alternatif.
    Di dalam studi kasus ini, untuk mencapai validitas tersebut, sebagai¬mana disarankan oleh Frechtling dan Sharp (1997), peneliti membaca ulang data dan secara sistematik memeriksa data berulang kali dengan meng¬gunakan berbagai taktik termasuk menelaah apakah terdapat pola-pola dan tema-tema tertentu, mengelompokkan kasus, mengontraskan dan memban¬ding¬kannya, memilah-milah variabel-variabel, dan membedakan antara faktor-faktor khusus dengan faktor umum, yang didasarkan atas asumsi teo¬re¬tik tertentu. Dalam hal ini pembandingnya adalah teori-teori tentang konseling lintas budaya untuk populasi khusus, dan populasi khusus dalam studi kasus ini adalah orang tunanetra, sehingga teori konseling lintas budaya yang diaplikasikan dalam studi ini memiliki perspektif rehabilitasi.

    TEMUAN DAN ANALISIS

    A. Temuan
    Sebagaimana dikemukakan di atas, studi kasus ini dilakukan terhadap 4 orang tunanetra (2 laki-laki dan 2 perempuan) yang pernah bersekolah di SMTA reguler bersama-sama siswa-siswa yang melihat. Wawancara dengan keempat orang kasus itu dilaksanakan di Bandung ketika dua di antara mereka sudah berstatus guru dan dua lainnya berstatus mahasiswa. Wawan¬cara difokuskan pada empat pertanyaan penelitian. Wawancara tersebut menghasilkan temuan-temuan sebagai berikut.

    Kasus 1
    Kasus 1 adalah seorang laki-laki yang bersekolah di sebuah SMA negeri di Bandung. Sehubungan dengan pertanyaan tentang aksesnya ke layanan konseling di sekolah tersebut, dia menceritakan bahwa dia merasa memperoleh akses yang sama ke layanan konseling di sekolahnya sebagai¬mana siswa-siswa lainnya yang awas. Dia tidak merasa didiskriminasikan –selalu diikutsertakan dalam konseling kelom¬pok dan mendapat layanan sebagaimana mestinya dalam konseling individual. Kasus 1 menceritakan dua kesempatan di mana dia diundang oleh guru bimbingan dan konseling untuk mendiskusikan dua hal yang berbeda.
    Pada kesempatan pertama, guru BK dikonsultasi oleh guru seni rupa tentang kesulitan yang di¬hadapinya dalam mengajarkan melukis pada siswa tunanetra. Pembicaraan mereka menghasilkan solusi agar materi seni lukis itu diganti dengan materi yang bertujuan sama (seni membentuk), yaitu dengan menganyam.
    Pada kesempatan kedua, guru BK mengundang Kasus 1 sehubungan dengan konsultasi guru olahraga dalam hal pelaksanaan ujian praktek olah¬raga bagi siswa tunanetra. Solusi yang disepakati adalah bahwa sebagai ganti praktek, Kasus 1 di¬tugasi membuat makalah dengan topik yang terkait dengan materi praktek olahraga tersebut.



    Kasus 2
    Kasus 2 adalah seorang perempuan yang bersekolah di sebuah madrasah aliyah di Banyuwangi, Jawa Timur. Sebagaimana halnya dengan Kasus 1, Kasus 2 pun merasa mendapat perlakuan yang semestinya dalam layanan konseling. Dia menceritakan tentang satu kesempatan di mana guru BK secara proaktif memberikan penyuluhan kepada teman-teman sekelasnya tentang membangun hubungan sosial dan kerjasama akademik dengan orang tunanetra. Pada kesempatan lain, Kasus 2 berkonsultasi dengan guru BK sehubungan dengan keterlibatannya dalam pelajaran olahraga. Selama ini, dalam pelajaran olahraga, dia selalu menjadi ’penungu pinggir lapangan’. Dia mengusulkan agar guru melibatkannya dalam kegiatan olahraga yang sesuai dengan kemampuannya. Hasilnya adalah dalam jam-jam olahraga selanjutnya guru selalu berusaha melibatkan Kasus 2.

    Kasus 3
    Kasus 3 adalah seorang perempuan yang bersekolah di sebuah SMA swasta di Bandung. Dia merasa bahwa guru BK selalu responsif dan positif terhadap pemecahan masalah yang dihadapinya di sekolah. Masalah pertama yang dikonsul¬tasikannya adalah yang terkait dengan hubungan sosialnya dengan teman-teman sekolahnya yang awas. Dia merasa bahwa teman-temannya itu belum memiliki pemahaman yang tepat tentang ketunanetraan sehingga tidak memperlakukannya secara wajar. Akibatnya dia merasa terkucil. Keadaan ini berubah ke arah yang lebih positif setelah guru BK memberi penyuluhan kepada mereka. Fokus penyuluhan tersebut lebih ditekankan pada membentuk sikap empati dan hanya sedikit saja pada teknik komunikasi sosial nonvisual. Namun demikian, siswa tunanetra tersebut me¬rasakan adanya perubahan yang lebih menyenangkan. Melalui penga¬laman, teman-temannya itu dapat memahami cara-cara berkomunikasi dengan¬nya dan dalam hal apa dia memerlukan bantuan.
    Masalah lain yang dikonsultasikannya kepada guru BK adalah kesulit¬annya dalam mengikuti pelajaran kimia. Untuk mengatasi masalah tersebut, guru BK ber¬bicara dengan guru yang bersangkutan. Hasilnya adalah guru kimia memberikan pelajaran tambahan kepada Kasus 3, tetapi kesulitan tersebut tidak teratasi karena yang diperlukannya bukan tambahan waktu belajar melainkan teknik mengajar yang sesuai dengan modalitas belajar nonvisual untuk memahami konsep-konsep kimia.

    Kasus 4
    Kasus 4 adalah seorang laki-laki yang bersekolah di sebuah SMA negeri di Cimahi, Jawa Barat. Dia menjelaskan bahwa guru BK di sekolah tersebut mem¬berikan perhatian yang baik kepadanya dalam menghadapi kesulitan yang di¬hadapinya saat bersekolah di sekolah reguler. Guru tersebut pernah sengaja mengundangnya untuk menanyakan kalau-kalau ada ke¬sulitan yang dihadapinya. Kasus 4 mengeluhkan kesulitannya dalam pel¬ajaran biologi, khususnya dalam mem¬peroleh gambaran tentang mikro¬organisme. Sesudah pertemuannya dengan guru BK tersebut, guru biologi lebih proaktif dalam usahanya memberi peragaan kepadanya.

    B. Analisis
    Untuk memudahkan analisis, maka temuan-temuan di atas dirangkum dalam tabel berikut.

    Tabel 4.1
    Rangkuman Temuan Penelitian
    Kasus Pertanyaan 1 Pertanyaan 2 Pertanyaan 3 Pertanyaan 4
    1 Akses sama. Konselor berdasarkan konsultasi guru bidang studi. Kesulitan dalam PBM seni rupa dan olahraga. Guru men-substitusi materi dengan tujuan sama.
    2 Akses sama. Konselor dan klien. 1) Kesulitan dalam PBM olahraga.
    2) Masalah hubungan sosial dengan teman awas. 1) Guru menyesuaikan materi kegiatan dengan kemampuan.
    2) Konselor memberikan penyuluhan kelas tentang ketunanetraan.
    3 Akses sama. Klien. 1) Kesulitan dalam PBM kimia.
    2) Masalah hubungan sosial dengan teman awas. 1) Guru memberikan jam pelajaran ekstra.
    2) Konselor memberikan penyuluhan kelas.
    4 Akses sama. Konselor. Kesulitan dalam PBM biologi. Guru memberikan peragaan.
    Pertanyaan penelitian 1: Apakah siswa tunanetra memperoleh akses yang sama ke layanan konseling sebagaimana siswa-siswa lainnya yang awas?

    Temuan menunjukkan bahwa keempat kasus memberikan jawaban positif terhadap pertanyaan ini, yaitu bahwa mereka merasa memperoleh akses yang sama ke layanan konseling di sekolahnya sebagaimana siswa-siswa lainnya yang awas. Mereka tidak merasa didiskriminasikan –selalu diikutsertakan dalam konseling kelompok dan mendapat layanan sebagai¬mana mestinya dalam konseling individual. Bila Pedersen (1981) menge¬muka¬kan bahwa populasi khusus (kelompok minoritas) sering dihambat aksesnya ke berbagai layanan umum, dan Orange (1997) menge¬mukakan bahwa banyak persamaan dalam stigma dan ketidakadilan yang dialami oleh orang-orang dari kelompok etnik minoritas dan orang-orang penyandang cacat, maka temuan dalam studi kasus ini tidak mendukung teori tersebut. Perbedaan ini mungkin dikarenakan studi kasus ini dan data yang diper¬gunakan sebagai dasar pengembangan teori itu mempunyai latar belakang budaya yang berbeda.

    Pertanyaan penelitian 2: Siapakah yang proaktif dalam layanan konseling itu – konselor atau klien tunanetra?

    Temuan studi ini menunjukkan bahwa proaktivitas itu bervariasi. Pada Kasus 4, konselor proaktif menemukan kesulitan yang dihadapi siswa tunanetra; pada Kasus 1, konselor aktif setelah dikonsultasi oleh guru bidang studi; sedangkan pada Kasus 2 dan Kasus 3, klien yang lebih proaktif berkonsultasi dengan konselor. Data menunjukkan bahwa klien perempuan lebih berinisiatif daripada klien laki-laki untuk berkonsultasi dengan konselor, dan klien laki-laki tidak melaporkan adanya masalah hubungan sosial dengan teman-temannya yang awas. Ini mungkin karena siswa laki-laki lebih percaya diri bahwa mereka dapat mengatasi masalahnya sendiri atau mungkin mereka memiliki kecenderungan untuk memendam masalah yang dihadapinya.

    Pertanyaan penelitian 3: Masalah-masalah apakah yang pada umumnya menjadi fokus layanan konseling bagi siswa tunanetra?

    Temuan penelitian menunjukkan bahwa terdapat dua jenis masalah yang pada umum¬nya dihadapi oleh siswa tunanetra di sekolah reguler itu dan memerlukan layanan konseling, yaitu kesulitan dalam mengikuti proses bel¬ajar/mengajar dalam mata pelajaran yang tidak dapat dilakukan secara non¬visual tanpa adaptasi, modifikasi atau substitusi; dan masalah hubungan sosial dengan teman-teman sekelasnya yang awas. Meskipun masalah hubung¬an sosial tersebut hanya dikonsultasikan oleh siswa tunanetra yang perempuan, tetapi ini tidak berati bahwa siswa tunanetra laki-laki tidak menghadapi masalah yang serupa. Tampaknya mereka dapat toleran lebih lama terhadap masalah penyesuaian diri ini dan lambat-laun masalah ter¬sebut dapat teratasi melalui proses interaksi alami.

    Pertanyaan penelitian 4: Bagaimanakah bentuk solusi yang ditawarkan oleh konselor untuk mengatasi masalah yang dihadapi siswa tunanetra?

    Untuk mengatasi masalah hubungan sosial antara siswa tunanetra dengan teman-temannya yang awas, konselor memberi penyuluhan kelas tentang ketuna¬netraan. Temuan menunjukkan bahwa konselor telah memiliki empati yang suportif terhadap siswa-siswa tunanetra, tetapi untuk dapat memberikan penyuluhan yang lebih komprehensif, konselor perlu memiliki lebih banyak pengetahuan tentang ketunanetraan, khususnya tentang komu¬ni¬kasi nonvisual yang dapat menggantikan komunikasi nonverbal agar komu¬nikasi sosial antara siswa awas dan siswa tunanetra menjadi lebih lancar.
    Sehubungan dengan kesulitan dalam proses belajar/mengajar, solusi yang diajukan oleh konselor lebih banyak didasarkan atas hasil diskusinya dengan siswa tunanetra dan mengandalkan pemahaman, pengetahuan, dan keterampilan guru bidang studi untuk mengimplementasikannya, dan sering¬kali implementasi tersebut tidak sesuai dengan harapan siswa tunanetra.


    KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
    Studi kasus ini memunculkan temuan bahwa kekhawatiran tentang dis¬kriminasi yang sering dialami oleh populasi khusus pada umumnya tidak ditemukan pada siswa tunanetra di SMTA reguler dalam hal akses ke layanan konseling. Masalah yang ditemukan lebih bersifat teknis yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan khusus siswa tunanetra dalam lingkungan sekolah reguler. Masalah teknis itu dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori, yaitu masalah hubungan sosial antara siswa tunanetra dengan teman-teman sekolahnya yang awas, dan masalah teknik pembelajaran bagi tunanetra.
    Kedua masalah di atas mengindikasikan dan berimplikasi bahwa materi pendidikan konselor perlu dilengkapi dengan konseling rehabilitasi agar konselor sekolah memiliki kapabilitas yang lebih baik untuk menangani siswa tunanetra, dan sekolah reguler perlu bekerjasama lebih erat dengan SLB atau resource center untuk pendidikan kebutuhan khusus guna men¬dapatkan dukungan teknis yang lebih tepat untuk membantu memperlancar kegiatan belajar/mengajar bagi siswa tunanetra di sekolah reguler.


    DAFTAR PUSTAKA
    Bloland, P.A. (1992). Qualitative Research in Student Affairs. ERIC Digest. Tersedia: http://www.ed.gov/databases/ERIC_Digests/ed347487.html
    Dodds, A. (1993). Rehabilitating Blind and Visually Impaired People: A psychological approach. London: Chapman& Hall.
    Frechtling, j. & Sharp, l. (Eds.). (1997). User-Friendly Handbook for Mixed Method Evaluations. (Online). Tersedia: http://www.ehr.nsf.gov/EHR/ REC/pubs/ NSF97-153/
    Lee, G. dan Loverage, R. (1987). The Manufacture of Disadvantage: Stigma and Social Closure. Milton Keynes: Open University Press.
    Locke, Don C. (1993). Multicultural Counseling. ERIC Digest. ERIC Clearinghouse on Counseling and Personnel Services Ann Arbor MI.
    Orange, Leo M. (1997). Skills Development for Multicultural Rehabilitation Counseling: A Quality Of Life Perspective. Disability and Diversity: New Leadership for a New Era. (Online). Tersedia: http://www.dinf. ne.jp/doc/english/Us_Eu/ada_e/pres_com/pres-dd/ orange.htm
    Pedersen, P. B., Draguns, J. G., Lonner W. J., & Trimble, J. E. (1981). Counseling across Cultures. USA: The University Press of Hawaii
    Rao, Vijayendra and Walton, Michael. (2006). Culture and Public Action: An Introduction. The World Bank. (Online). Tersedia: http://www. cultureand publicaction.org/pdf/Overview%20Final%20Final.pdf




    MELAKUKAN ORIENTASI ULANG TENTANG PENDIDIKAN BAGI PESERTA DIDIK TUNAGRAHITA

    (Dari Pendekatan Formal ke Pendekatan Fungsional)


    Zaenal Alimin

    Jurusan PLB FIP
    Universitas Pendidikan Indonesia


    ABSTRAK

    Pendididikan bagi peserta didik tunagrahita saat ini dipandang masih belum berhasil. Ketidakberhasilan proses pembembelajaran bukan semata-mata karena keterbatasan yang dimiliki oleh anak tunagrahita, tetapi karena ketidakefektifan proses pembelajaran yang terjadi di seko¬lah. Proses pembelajaran terlalu formal dan lebih menekankan pada pem¬belajaran yang bersifat akdemik. Oleh karena itu diperlukan orien¬tasi ulang tantang pembelajaran dari yang bersifat formal ke yang bersifat fungsional. Pembelajaran yang bersifat fungsional menekankan pada hambatan belajar dan kebutuhan setiap peserta didik agar dapat mencapai perkembangan secara optimal, baik perkembangan vertikal maupun perkembangan horizontal, bukan didasarkan semata-mata pada kurikulum. Pembelajaran lebih berpusat pada anak, bukan pada kuri¬kulum.

    Kata kunci: Pendekatan formal, pendekatan fungsional, peserta didik tunagrahita, perkembangan vertikal, perkembangan horizontal.


    PENDAHULUAN

    Pendidikan bagi peserta didik tunagrahita seharusnya ditujukan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki anak secara optimal, agar mereka dapat hidup mandiri dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan di mana mereka berada.
    Hasil observasi lapangan (Alimin, 2006) menunjukkan bahwa indi¬vidu tunagrahita yang telah menyelesaikan pendidikan dari Sekolah Luar Biasa, pada umumnya belum menunjukkan perkembangan yang diharapkan. Sebagai contoh, seorang individu tunagrahita yang telah selesai mengikuti program pendidikan selama 12 tahun, ternyata masih belum bisa mandiri, masih belum memiliki keterampilan untuk mengurus diri dan masih meng¬alami ketergantungan kepada orang tuanya atau saudaranya cukup tinggi. Maka dari itu, ada kesan bahwa pendidikan yang telah diikuti sekian lama –sejak jenjang pendidikan dasar (SDLB-SLTPLB) hingga jenjang pendidikan menengah (SMLB) itu– sepertinya tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kehidupan individu tunagrahita.
    Keadaan seperti itu bukan semata-mata karena keterbatasan yang di¬alami peserta didik tunagrahita, akan tetapi juga karena terdapat kesen¬jang¬an antara program pendidikan di sekolah (SLB) dengan harapan orang tua dan harapan lingkungan. Masyarakat dan orang tua mengharapkan agar anak-anaknya yang mengalami tunagrahita memiliki keterampilan dalam kehidupan sehari-hari, sesuai dengan potensi yang dimiliki masing-masing individu siswa, sementara layanan pendidik di sekolah belum mengarah ke sana.
    Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa program pendidikan bagi peserta didik tunagrahita saat ini masih sangat menekankan kepada aspek pengajaran yang bersifat akademik (semata-mata menyampaikan bahan ajar), itupun dalam pelaksanaannya masih besifat klasikal dan belum mem¬perhitungkan perbedaan hambatan belajar dan kebutuhan yang dialami anak secara individual (Alimin, 2006). Padahal esensi pendidikan pada peserta didik tunagrahita bersifat individual (Suhaeri & Purwanta, 1996). Persoalan lain yang juga penting untuk diperhatikan yaitu program pembelajaran pada peserta didik tunagrahita di sekolah belum terkait dengan kehidupan nyata sehari-hari. Seolah-olah apa yang terjadi di sekolah tidak ada hubungannya dengan kehidupan anak. Padahal sekolah seharusnya mengembangkan pro¬gram-program yang terkait langsung dengan kehidupan anak di ling¬kung¬annya (Miriam, 2003).
    Kelemahan yang terjadi dalam pendidikan pada peserta didik tuna¬grahita selama ini diduga sangat erat kaitannya dengan belum tepatnya layanan pendidikan yang dilakukan, yaitu hanya menekankan pada penyam¬paian bahan ajar (semata-mata mengejar target kurikulum), belum memper¬hatikan dengan seksama perbedaan-perbedaan hambatan perkembangan dan hambatan belajar secara individual, serta belum mengaitkan program pen¬didikan di sekolah dengan kehidupan nyata yang dialami oleh individu tuna¬grahita.
    Oleh karena itu diperlukan usaha-usaha untuk melakukan orientasi ulang terhadap pendidikan bagi peserta didik tunagrahita. Untuk itu, tulisan ini mengupas secara singkat tentang masalah-masalah yang dialami oleh peserta didik tunagrahita, analisis tentang pendidikan bagi mereka yang saat ini berlangsung, dan membahas beberapa usulan yang perlu dilakukan se¬bagai upaya perbaikan (dipandang sebagai orientasi ulang tentang pen¬didikan bagi peserta didik tunagrahita).

    PEMBAHASAN
    A. Hambatan yang Dialami Peserta Didik Tunagrahita
    Secara umum individu tunagrahita mengalami dua hambatan utama yaitu hambatan dalam perkembangan kognitif dan hambatan dalam perilaku adaptif. Kedua hal itu menimbulkan hambatan dalam belajar, hambatan dalam menyesuiakan diri dengan lingkungan dan hambatan dalam menolong diri.
    1. Konsep
    Individu yang mengalami tunagrahita sering keliru dipahami oleh masyarakat, bahkan kadang-kadang para profesional dalam bidang pen¬didikan sekalipun salah dalam memahami tunagrahita. Perilaku individu yang mengalami tunagrahita kadang-kadang aneh, tidak lazim dan sering tidak cocok dengan situasi lingkungan, sering menjadi bahan tertawaan dan olok-olok bagi orang-orang yang berada di dekatnya. Keanehan tingkah laku itu dianggap oleh orang awam sebagai orang sakit jiwa.
    Tunagrahita sesungguhnya bukan sakit jiwa. Perilaku aneh dan kadang-kadang tidak lazim itu karena anak mengalami kesulitan dalam menilai situasi akibat hambatan dalam perkembangan kognitif. Dengan kata lain terdapat kesenjangan yang lebar antara kemampuan berpikir (mental age) dengan perkembangan usia (chronological age). Sebagai contoh anak yang berusia 15 tahun menunjukkan tingkah laku seperti anak berusia 8 tahun, sehingga tingkah laku yang ditampilkan tidak sejalan dengan perkem¬bangan usianya. Tunagrahita berkaitan langsung dengan perkembangan kog¬nitif yang rendah dan merupakan kondisi, sementara sakit jiwa berkaitan dengan disintegrasi kepribadian dan setiap orang memiliki peluang untuk mengalaminya. Ketunagrahitaan merupakan kondisi yang kompleks, menun¬jukkan kemampuan intelektual yang rendah dan memiliki hambatan dalam perilaku adaptif. Seseorang tidak dapat dikategorikan sebagai tunagrahita apabila tidak memenuhi dua kriteria tersebut.
    Istilah perilaku adaptif diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam memikul tanggung jawab sosial menurut ukuran norma sosial tertentu, sejalan dengan perkembangan usia (chronological age). Hambatan dalam perilaku adaptif pada individu tunagrahita dapat dilihat dari dua area, yaitu 1) keterampilan menolong diri (personal living skills) dan 2) keterampilan dalam hubungan interpersonal dan keterampilan dalam menggunakan fasi¬litas yang diperlukan setiap hari (social living skills). Individu tunagrahita mengalami hambatan dalam kedua hal tersebut (Ingalls, 1987).
    Berdasarkan perkembangan kognitif atau kemampuan kecerdasan, se¬seorang dikategorikan tunagrahita apabila kemampuan kecerdasannya me¬nyimpang 2 sampai 3 simpangan baku (standard deviation) dari ukuran rata-rata. Jika menggunakan ukuran kecerdasan dari Stanford Binet (rata-rata IQ 100 dengan simpangan baku 16), maka individu yang memiliki IQ 68-54 ke bawah dikategorikan sebagai tunagrahita (Smith, 2003). Patokan simpangan baku di atas selanjutnya digunakan untuk membuat pengelompokan berat ringannya ketunagrahitaan yang dialami oleh seseorang. Individu yang ting¬kat kecerdasannya menyimpang 2 hingga 3 simpangan baku dari rata-rata di¬kelom¬pok¬kan sebagai tunagrahita ringan. Individu yang tingkat kecerdas¬annya menyimpang 3-4 simpangan baku dari rata-rata dikelompokkan se¬bagai tunagrahita sedang. Individu yang tingkat kecerdasannya me¬nyimpang 4-5 simpangan baku dikelompokkan sebagai tunagrahita berat, dan sim¬pang¬an baku 6 keatas dikategorikan sebagai individu yang meng¬alami ketuna¬grahitaan sangat berat.

    2. Hambatan-hambatan yang Dialami Individu Tunagrahita
    Perkembangan fungsi kognitif/kecerdasan yang terhambat disertai oleh kemampuan perilaku adaptif yang rendah, berakibat langsung kepada kehidupan mereka sehari-hari, antara lain meliputi:
    a. Hambatan dalam Belajar
    Aktivitas belajar berkaitan langsung dengan perkembangan kognitif dan kecerdasan. Di dalam kegiatan belajar sekurang-kurangnya dibutuhkan kemampuan dalam mengingat, memahami, dan kemampuan untuk mencari hubungan sebab akibat. Oleh sebab itu anak-anak pada umumnya dapat menemukan kaidah dalam belajar. Setiap anak akan mengembangkan sendiri kaidah dalam mengingat, memahami dalam mencari hubungan sebab akibat tentang apa yang sedang mereka pelajari. Sekali kaidah itu dapat ditemukan, anak dapat belajar secara efektif. Setiap anak biasanya mempunyai kaidah belajar yang berbeda satu sama lainnya.
    Peserta didik tunagrahita pada umumnya tidak memiliki kaidah dalam belajar. Mereka mengalami kesulitan dalam memproses informasi secara abstrak, sedangkan belajar bagi mereka harus terkait dengan objek yang bersifat kongkret. Kondisi seperti itu berhubungan dengan kesulitan dalam mengingat, terutama ingatan jangka pendek.
    Peserta didik tunagrahita dalam belajar hampir selalu dilakukan dengan coba-coba. Mereka tidak dapat menemukan kaidah dalam belajar, sukar melihat objek yang sedang dipelajari secara keseluruhan. Mereka cenderung melihat objek secara terpisah-pisah. Oleh karena itu peserta didik tunagrahita mengalami kesulitan dalam mencari hubungan sebab akibat. Hasil penelitian Alimin (1993) menunjukkan bahwa individu tunagrahita mengalami apa yang disebut dengan cognitive deficite yang tercermin pada salah satu atau lebih proses kognitif, seperti persepsi, daya ingat, mengem¬bangkan ide, evaluasi, dan penalaran.
    Hasil penelitian tersebut berseberangan dengan pendirian para pang¬anut psikologi perkembangan seperti Zigler (1968) yang menjelaskan bahwa jika anak tunagrahita dibandingkan dengan anak yang bukan tunagrahita pada CA yang sama, sudah pasti anak tunagrahita secara kognitif akan ketinggalan, akan tetapi apabila anak tunagrahita dibandingkan dengan anak yang bukan tunagrahita pada MA yang sama secara teoritis mempunyai perkembangan yang sama. Pendirian para penganut teori perkembangan ternyata tidak selalu cocok untuk menjelaskan fenomena ketunagrahitaan. Sebab meskipun anak tunagrahita dibandingkan dengan anak yang bukan tunagrahita pada MA yang sama, ternyata secara kognitif perkembangannya tertinggal oleh anak yang bukan tunagrahita, meskipun pada MA yang sama.

    b. Hambatan dalam Penyesuaian Diri
    Individu tunagrahita mengalami hambatan dalam memahami dan meng¬artikan norma lingkungan. Oleh karena itu mereka sering melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan norma lingkungan dimana mereka berada. Tingkah laku individu tunagrahita kadang-kadang dianggap aneh oleh orang lain karena mungkin tindakannya tidak lazim atau apa yang mereka lakukan tidak sesuai dengan usianya.
    Keganjilan tingkah laku yang tidak sesuai dengan ukuran normatif berkaitan dengan kesulitan dalam memahami dan mengartikan norma, sedangkan keganjilan tingkah laku berkaitan dengan ketidaksesuaian atau kesenjangan antara perilaku yang ditampilkan dengan perkembangan umur. Sebagai contoh anak tunagrahita yang berusia 10 tahun berperilaku seperti anak usia 6 tahun. Hal ini disebabkan adanya selisih yang signifikan antara CA dengan MA. Semakin anak tunagrahita menjadi dewasa, selisih ini akan semakin lebar. Hal inilah yang mungkin menimbulkan persepsi yang salah dari masyarakat mengenai tunagrahita.

    c. Hambatan dalam Perkembangan Bahasa
    Kemampuan bahasa pada anak-anak diperoleh melalui proses yang menakjubkan dengan beberapa cara. Pertama, anak belajar bahasa dari apa yang mereka dengar setiap hari. Hampir semua anak dapat menguasai dasar aturan bahasa (gramatikal) kurang lebih pada usia 4 tahun. Kedua, anak-anak belajar bahasa tidak sekedar meniru ucapan yang mereka dengar. Anak-anak belajar juga konsep gramatikal yang abstrak dalam menghubungkan kata-kata menjadi kalimat. Anak-anak di manapun dan belajar bahasa apapun ternyata melalui tahapan dan proses yang sama. Dapat dipastikan bahwa perolehan bahasa dan bicara merupakan sifat biologis manusia (Ingalls, 1987).
    Terdapat dua hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan gangguan proses bahasa. Pertama, gangguan atau kesulitan bicara, dimana individu mengalami kesulitan dalam mengartikulasikan bunyi bahasa dengan benar. Kenyataan menunjukkan bahwa anak tunagrahita banyak yang mengalami kesulitan bicara dibandingkan anak pada umumnya. Kelihatan dengan jelas bahwa terdapat hubungan positif antara hambatan perkembangan kognitif dengan gangguan bicara. Kedua, hal yang lebih serius adalah gangguan bahasa dimana seorang anak mengalami kesulitan dalam memahami konsep kosa-kata, kesulitan memahami aturan sintaksis dan gramatikal dari bahasa yang digunakan.
    Peserta didik tunagrahita yang mengalami gangguan bahasa lebih banyak dibandingkan dengan yang mengalami gangguan bicara. Hasil penelitian Ingalls (1987) tentang kemampuan berbahasa anak tunagrahita menunjukkan bahwa: 1) anak tunagrahita pada dasarnya memperoleh ke¬terampilan bahasa sama seperti anak pada umumnya, 2) kecepatan anak tunagrahita dalam memperoleh keterampilan berbahasa jauh lebih rendah dibandingkan dengan anak pada umumnya, 3) kebanyakan anak tunagrahita tidak dapat mencapai keterampilan berbahasa yang sempurna, 4) per¬kem¬bangan bahasa anak tunagrahita sangat ketinggalan dibandingkan dengan anak pada umumnya, sekalipun pada MA yang sama, 5) anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam memahami gramatikal, 6) anak tunagrahita meng¬alami kesulitan dalam menggunakan dan memahami kalimat majemuk.

    d. Masalah Kepribadian
    Anak-anak tunagrahita memiliki ciri kepribadian yang khas, berbeda dari anak-anak pada umumnya. Perbedaan ciri kepribadian seseorang di¬bentuk oleh faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Terdapat sejumlah alasan yang menjelaskan mengapa individu tunagrahita mempunyai hambat¬an dalam perkembangan kepribadian. Alasan-alasan tersebut meliputi: 1) isolasi dan penolakan, 2) labeling dan stigma, 3) stres keluarga, 4) frustrasi dan kegagalan, serta 5) kesadaran rendah.

    1) Isolasi dan penolakan
    Perilaku seorang individu tunagrahita yang dipandang ganjil dan aneh oleh orang lain, cenderung akan dikucilkan dari pergaulan kelompok teman sebaya. Anak tunagrahita cenderung tidak mempunyai teman, mereka men¬jadi tersingkir dari pergaulan sosial. Penolakan dari teman sebaya bukan semata-mata disebabkan oleh label tunagrahita, tetapi lebih disebabkan oleh perilaku aneh dan ganjil yang mereka tampilkan.
    Penolakan teman sebaya terhadap anak tunagrahita karena anak tuna¬grahita mengalami kesulitan dalam belajar keterampilan sosial yang di¬perlukan dalam pergaulan sosial. Semakin kehadiran anak tunagrahita di¬tolak oleh teman sebaya, anak tunagrahita semakin mengembangkan cara yang salah dalam berhubungan dengan teman. Penolakan dan isolasi seperti ini menyebabkan munculnya penyimpangan kepribadian dan penyimpangan dalam penyesuaian diri.

    2) Labeling dan stigma
    Pemberian label tunagrahita yang bersifat permanen dapat dipandang sebagai bentuk diskriminasi dan merupakan vonis yang harus disandang seumur hidup. Label seperti ini telah membentuk persepsi masyarakat bahwa tunagrahita adalah kelompok manusia yang dikategorikan sebagai manusia yang tidak normal (stigma).
    Stigma seperti itu menimbulkan pemisahan yang tajam anatara manusia yang di-stigma-kan sebagai tunagahita dengan manusia lainnya. Sebagai akibat dari labeling dan stigma seperti itu, sebagian orang tua melarang anak-anaknya untuk bergaul dan bermain dengan anak tunagrahita.

    3) Stres keluarga
    Para ilmuwan psikologi, sosiologi, dan pakar pendidikan sepakat bahwa keluarga merupakan faktor yang sangat penting dan menentukan dalam perkembangan anak. Seorang anak yang dibesarkan dalam keluarga yang penuh kasih sayang dan kelahirannya diterima oleh kedua orang tua¬nya, cenderung akan menjadi orang dewasa yang dapat menyesuaikan diri dengan baik. Sementara, sorang anak yang dibesarkan yang kehadirannya ditolak atau terlalu dilindungi oleh kedua orang tuanya, cenderung akan menjadi orang dewasa yang sulit menyesuaikan diri.
    Kehadiran seorang anak tunagrahita dalam keluarga cenderung me¬nim¬bulkan stres dan ketegangan pada keluarga yang bersangkutan. Ketika orang tua mengetahui bahwa anaknya tunagrahita, orang tua pada umumnya mengalami perasaan bersalah atau menunjukkan mekanisme pertahanan diri, atau mungkin merasa kecewa yang mendalam. Akibat stres dan ketegangan seperti itu mungkin orang tua menolak kehadiran anak atau mungkin memberikan perlindungan yang sangat berlebihan. Sikap-sikap seperti tu dapat mengakibatkan masalah perilaku dan emosi pada anak yang ber¬sangkutan.

    4) Frustasi dan kegagalan
    Sebagai akibat dari adanya hambatan dalam perilaku adaptif, anak tunagrahita tidak dapat memenuhi tugas-tugas yang dituntut oleh masyarakat atau oleh teman sebayanya. Akibat dari keadaan seperti itu, anak tunagrahita cenderung mengalami banyak kegagalan dan frustrasi. Kegagalan dan frus¬trasi yang sangat sering dialami oleh anak tunagrahita berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian.

    5) Kesadaran rendah
    Proses kognitif dan proses kepribadian merupakan dua hal yang berdiri sendiri tetapi saling mempengaruhi. Proses kognitif terlibat erat dalam perubahan pola kepribadian dan bahkan dalam reaksi emosi. Sangat masuk akal apabila berpegang pada asumsi bahwa orang yang kemampuan kognitifnya tidak memadai seperti halnya tunagrahita, kepribadiannya tidak matang dan tidak rasional.
    Sebagai contoh, aspek penting dalam perkembangan kepribadian ada¬lah kontrol terhadap impuls dan pengendalian dari tindakan impulsif. Kontrol impuls berkaitan erat dengan pekembangan kognitif. Anak pada umumnya akan dapat mengontrol impuls dan menunda kepuasan sejalan dengan bertambahnya umur. Akan tetapi anak tunagrahita mengalami ke¬kurangan dalam perkembangan kognitif, maka anak tunagrahita pada umum¬nya mengalami kesulitan dalam mengontrol impuls dan sukar mengontrol keinginan dalam memenuhi kepuasan sesaat. Ciri kepribadian anak tunagrahita ditandai oleh dua hal, yaitu (a) pengendalian lokus eksternal (external locus of control), dan (b) kelemahan fungsi ego.

    (a) Pengendalian lokus eksternal (external locus of control)
    Istilah locus of control dapat dijelaskan sebagai persepsi individu ter¬hadap kejadian yang terjadi pada dirinya sendiri. Individu yang memiliki internal locus of control dapat merasakan bahwa apa yang terjadi pada diri¬nya sebagian besar ditentukan oleh tindakannya sendiri. Sementara individu yang memiliki external locus of control merasakan bahwa apa yang terjadi pada dirinya ditentukan oleh tindakan orang lain. Anak tunagrahita pada umumnya memiliki external locus of control.
    External locus of control dari anak tunagrahita cenderung mengarah kepada perasaan tidak berdaya. Sebagai contoh, anak tunagrahita yang ke¬hilangan barang, tidak ada usaha untuk mencarinya. Anak tunagrahita pada umumnya tidak memiliki daya untuk melakukan usaha atas kemauan sendiri, ia akan melakukannya apabila ada dorongan yang datang dari orang lain.

    (b) Kelemahan fungsi ego
    Para peneliti seperti Robinson (1965), Stenlich (1972), dan Deutsch (1972; dalam Ingalls 1987) telah melakukan analisis terhadap kepribadian tunagrahita dengan menggunakan teori psikoanalisis Sigmund Freud. Menurut Freud, struktur kepribadian dibagi kedalam tiga bagian yaitu: Id sebagai tempat beradanya impuls-impuls, insting, dan drive yang dibawa sejak lahir, merupakan aspek biologis. Ego, yang berfungsi sebagai eksekutif yang bertugas untuk menguji realitas membawa impuls-impuls dari Id dan membuat keseimbangan antara impuls-impuls yang datang dari Id dengan tuntutan realitas. Ego merupakan aspek psikologis dari kepribadian. Semen¬tara Super Ego mempunyai kepedulian terhadap aspek moralitas dan merupakan aspek sosiologis dari kepribadian atau sinomim dengan istilah kesadaran.
    Anak tunagrahita mengalami kelemahan dalam fungsi ego. Ego ber¬fungsi untuk mengenali dan mempelajari realitas, memahami akibat dari sebuah tindakan, memenuhi dorongan insting dan drive sehingga ketegangan dapat dilepaskan dengan cara-cara yang dapat diterima secara sosial. Anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam proses seperti itu. Artinya anak tunagrahita kebanyakan tidak mampu untuk mengontrol impuls-impuls dan oleh karena itu emosinya mudah meledak.
    Kelemahan fungsi ego menyebabkan anak tunagrahita sulit untuk menyalurkan ketegangan insting dalam bentuk perilaku yang dapat diterima. Penyaluran ketegangan dalam mengontrol kecemasan lebih banyak bersifat primitif. Semakin primitif mekanisme pertahanan diri semakin tidak efektif dalam mereduksi kecemasan. Semakin canggih mekanisme pertahanan diri (yang secara sosial dapat diterima) semakin efektif dalam mereduksi ke¬tegangan. Oleh sebab itu perilaku anak tungrahita biasanya ditandai oleh reaksi irrasional dan kecemasan yang berlebihan.

    B. Refleksi tentang Pendidikan bagi Peserta Didik Tunagrahita yang Berlangsung Saat ini

    Setelah diuraikan secara singkat tentang hambatan-hambatan yang di¬alami oleh individu tunagrahita seperti digambarkan diatas, timbul per¬tanya¬an apakah layanan pendidikan bagi peserta didik tunagrahita yang dilakukan saat ini fungsional sehingga dapat mengembangkan potensi mereka secara optimal? Untuk menjawab pertanyaan itu diperlukan semacam analisis dan refleksi terhadap layanan pendidikan bagi peserta didik tunagrahita yang sedang berlangsung saat ini.
    Hasil penelitian Alimin (2006) memberikan gambaran tentang layanan pendidikan peserta didik tunagrahita di Sekolah Luar Biasa yang terjadi saat ini. Kesimpulan penelitian itu menunjukkan bahwa layanan pendidikan lebih bersifat formal, ini dapat dilihat dalam tiga hal, yaitu: 1) kurikulum yang digunakan, 2) pendekatan pembelajaran, dan 3) penilaian hasil belajar; dapat diuraikan sebagai berikut.

    1. Kurikulum yang Digunakan
    Temuan penelitian Alimin (2006) menunjukkan bahwa kurikulum yang digunakan cenderung bermuatan akademik yang besifat formal. Isi kurikulum belum banyak menyentuh kebutuhan dan hambatan belajar peserta didik tunagrahita, sehingga kecil kemungkinannya kurikulum seperti ini dapat mengembangkan potensi peserta didik secara optimal. Tampaknya terdapat semacam kebijakan yang dilakukan untuk membuat garis linier antara apa yang ada dan terjadi di sekolah biasa, harus ada dan terjadi pula di sekolah luar biasa untuk peserta didik tunagrahita. Oleh karena itu dalam struktur dan isi kurikulumnya mengandung unsur-unsur yang tidak fungsi¬onal untuk memenuhi kebutuhan belajar peserta didik tunagrahita.
    Sejauh ini para guru cenderung menggunakan kurikulum sebagai patokan utama dalam melakukan proses pembelajaran. Dengan kata lain pembelajaran berorientasi pada kurikulum (curriculum oriented), belum mempertimbangkan hambatan belajar, hambatan perkembangan, dan ke¬butuhan peserta didik secara individual. Para guru memiliki kecenderungan melakukan pembelajaran semata-mata menyampaikan bahan pelajaran yang tercantum dalam kurikum dan berusahan hanya untuk menyelesaikan target berdasarkan kurikulum tersebut. Guru kurang mempedulikan hal-hal yang terjadi pada diri siswa, seperti misalnya apakah telah terjadi proses belajar pada diri siswa, apakah siswa telah mengalami perubahan ke arah perkem¬bangan yang positif. Data seperti itu hanya akan dapat diperoleh melalui proses yang disebut asesmen. Pada saat ini asesmen kurang mendapat per¬hatian para guru, padahal sangat penting dalam pendidikan peserta didik tunagrahita.
    Pembelajaran yang perpusat pada kurikulum biasanya memberi peluang kepada guru untuk melakukan proses pembelajaran secara klsikal dan membuat norma/ukuran yang klasikal pula. Padahal sesungguhnya esensi pendidikan bagi peserta didik tunagrahita bersfat individual.

    2. Pendekatan Pembelajaran
    Temuan penelitian Alimin (2006) menunjukkan bahwa pendekatan pembelajaran yang dilakukan oleh kebanyakan guru lebih bersifat formal, berpusat pada kurikulum, dan berpusat pada guru; belum memperhatikan perbedaan perkembangan dan hambatan belajar peserta didik tunagrahita secara individual. Pada umumnya guru menyampaikan bahan pelajaran langsung pada tahap abstrak. Sementara peserta didik tunagrahita memiliki kesulitan dalam memahami konsep yang bersifat abstrak, mereka me¬merlukan aktivitas belajar yang dimulai dari tahap kongkret. Untuk meng¬kongkretkan konsep yang bersifat abstrak diperlukan media atau alat peraga, akan tetapi kebanyakan para guru di Sekolah Luar Biasa untuk peserta didik tunagrahita belum memanfaatkan media dan alat peraga dalam pem¬belajaran.
    Pendekatan pembelajaran yang berpusat pada kurikulum menyebab¬kan adanya kesenjangan bahan pelajaran dengan hambatan belajar dan kebutuhan belajar peserta didik tunagrahita. Terdapat banyak prasyarat yang seharusnya menjadi dasar dalam pembelajaran, tidak dapat dipenuhi.
    Secara fisik, susunan kelas (classroom arrangement) lebih bersifat statis. Kelas hampir tidak pernah berubah susunannya, sehingga anak men¬jadi sangat terikat pada posisi tempat duduknya. Keterikatan seperti itu sesungguhnya tidak menguntungkan bagi perkembangan peserta didik tuna¬grahita.
    Dalam proses pembelajaran, kebanyakan para guru cenderung lebih banyak memberikan perintah dan larangan, sangat jarang para guru mem¬berikan semacam penghargaan ketika peserta didik dapat melakukan sesuatu yang positif sekecil apapun. Ada kesan yang kuat bahwa para guru belum memunculkan empati ketika sedang berinteraksi dengan peserta didik.
    Dampak dari pendekatan pembelajaran seperti itu menyebabkan ter¬jadinya kesenjangan antara perkembangan aktual yang dicapai anak dengan perkembangan optimum yang seharusnya dapat dicapai. Kesenjangan ini bukan semata-mata karena faktor kecerdasan tunagahita yang kurang, tetapi juga karena faktor lingkungan dan pendekatan pembelajaran yang belum efektif.
    Ketepatan penggunaan pendekatan pembelajaran dan kesesuian ling¬kungan belajar dengan perkembangan peseta didik sangat penting dalam mengoptimalkan perkembangan. Hal ini sejalan dengan asumsi bahwa per¬kembangan yang dicapai oleh peserta didik dipandang sebagai hasil belajar yang diperoleh melalui interaksi dengan lingkungan. Lingkungan dengan segala perangkatnya dipandang sebagai wahana untuk mengembangkan potensi peserta didik (Vygotsky, 1988, Capuzzi, 1995, Kartadinata, 1996). Perkembangan yang dapat dicapai oleh peserta didik sebagai perolehan hasil belajar akan sangat tergantung kepada kualitas interaksi anak dengan ling¬kungannya.
    Pembelajaran yang dilakukan oleh para guru saat ini belum me¬manfaatkan lingkungan belajar secara optimal. Hal ini dapat dilihat ketika pembelajaran berlangsung, belum terjadi interaksi yang intensif antara guru dengan anak, ataupun anak dengan anak. Atmosfir kelas cenderung kering, belum ada upaya untuk menghubungkan pengalaman anak dengan bahan pelajaran yang akan diajarkan.

    3. Penilaian Hasil Belajar
    Berdasarkan hasil wawancara dengan para guru dalam memaknai pengertian hasil belajar, para guru cenderung mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hasil belajar adalah penguasaan bahan pelajaran oleh peserta didik melalui sebuah ujian atau tes yang dinyatakan dalam bentuk angka (kuantitatif).
    Oleh karena itu apa yang dilakukan oleh para guru dalam menilai hasil belajar peserta didik tunagrahita baru menyangkut aspek penguasaan bahan pelajaran secara kognitif. Penilaian seperti ini belum dapat meng¬ungkapkan seluruh perkembangan yang terjadi pada diri peserta didik sebagai hasil belajar. Penilaian seperti ini tidak memberikan informasi yang memadai tentang apa yang telah terjadi pada diri peserta didik secara utuh.
    Dalam konteks pendidikan tunagrahita, hasil belajar harus dilihat secara utuh, yaitu perubahan yang terjadi pada semua aspek perkembangan, dan perkembangan dipandang sebagai perolehan/hasil belajar (Vygotsky, 1988). Oleh karena itu penilaian seharusnya dilakukan untuk mengetahui perubahan pada semua aspek perkembangan peserta didik tunagrahita. Perubahan yang terjadi pada peserta didik sekecil apapun harus dapat di¬identifikasi dan dicatat sebagai data yang dapat dilaporkan sebagai laporan kemajuan siswa dalam belajar.
    Sehubungan dengan itu diperlukan perubahan dalam memaknai kon¬sep hasil belajar oleh para guru di Sekolah Luara Biasa, dan diperlukan diversifikasi cara melakukan penilaian hasil belajar, sehingga dapat meng¬gambarkan kondisi objektif setiap peserta didik secara lengkap.

    C. Pendekatan Fungsional dalam Pendidikan Tunagrahita Sebagai Orientasi yang Dituju

    1. Makna Pendekatan Fungsional
    Perkembangan yang terjadi pada diri seorang anak merupakan hasil belajar. Dengan kata lain perkembangan merupakan akibat dari proses belajar (Vygotsky, 1978). Oleh karena itu hasil belajar harus dipandang sebagai satu kesatuan holistik, menyangkut semua aspek perkembangan individu. Sangat keliru apabila ada anggapan yang mengatakan bahwa hasil belajar hanya berkenaan dengan bidang akademik semata-mata. Berpijak pada asumsi bahwa perkembangan adalah hasil belajar, maka proses belajar harus membantu anak agar dapat berkembang secara optimal.
    Selanjutnya Vygotsky (1988) menjelaskan secara lebih khusus tentang pendidikan anak tunagrahita. Ia menjelaskan bahwa pendidikan anak tuna¬grahita harus mempertimbangakan situasi sosial dimana anak itu berada dan pembelajaran dilakukan untuk mendekatkan jarak antara kompetensi orang dewasa dengan perkembangan anak yang dicapai pada saat itu (zone of proximal development), sehingga anak dapat mencapai perkembangan yang lebih tinggi. Untuk mengembangkan kemampuan anak tunagrahita di¬per¬lukan waktu-upaya yang lebih banyak dan waktu lebih lama diban¬dingkan dengan anak pada umumnya. Oleh karena itu upaya pendidikan dan pem¬belajaran masih belum cukup untuk memberdayakan tunagrahita, masih diperlukan upaya lain yang lebih mengarah kepada upaya pemberian bantuan dalam pengembangan diri yang memberikan kesempatan dan kemudahan kepada siswa untuk belajar agar dapat berkembang sebagai manusia.
    Untuk mencapai perkembangan itu, sekurang-kurangnya guru harus memiliki empat kemampuan, yaitu: (1) Asesmen perkembangan anak, (2) Adaptasi kurikulum (bahan ajar) dengan perkembangan anak, (3) Memilih lingkungan belajar, dan (4) Tahapan pembelajaran. Urutan nomor dari setiap aspek, menunjukkan pula urutan prosedur kerja dari pendekatan ini.

    2 . Kemampuan yang Seharusnya Dimiliki Oleh Guru
    2.1 Asesmen Perkembangan Anak
    Asesmen diperlukan untuk mengetahui perkembangan anak tuna¬grahita yang dicapai saat ini. Perkembangan anak dalam pendekatan ini didefinisikan sebagai proses perubahan yang bersifat progresif dan holistik. Perkembangan anak tunagrahita tidak hanya dilihat sebagai proses yang mengikuti tahapan anak tangga, yang menjelaskan bahwa setiap anak tangga harus dilewati satu demi satu, tetapi juga perkembangan harus dilihat sebagai proses sirkuler yang melingkar ke samping. Oleh karena itu proses per¬kem¬bangan harus dilihat sebagai proses perubahan yang mengikuti arah spiral, yaitu interaksi antara perkembangan yang mengikuti arah anak tangga (perkembangan vertikal) dengan perkembangan yang mengikuti arah lingkaran (perkembangan horizontal).
    Sebagai konsekuensi dari pendirian bahwa perkembagan itu bersifat spiral, maka asesmen perkembangan anak tunagrahita dilakukan dalam dua bentuk yaitu asesmen perkembangan vertikal dan asesmen perkembangan horizontal.

    a) Asesmen Perkembangan Vertikal
    Asesmen perkembangan vertikal digunakan untuk melihat tahapan perkembangan yang dicapai oleh setiap anak tunagrahita. Dalam model ini, perkembangan vertikal difokuskan kepada perkembangan kognitif yang berpijak pada pandangan Piagetian Constuctivism, yang meliputi empat tahap perkembangan yaitu: Sensorimotor, kongkret-operasional, formal operasional, dan dialektik (Capuzzi,1995). Perkembangan vertikal adalah perpindahan dari level yang lebih rendah ke level yang lebih tinggi. Individu yang berada pada level sensorimotor memerlukan bantuan untuk mencapai perkembangan yang lebih tinggi yaitu perkembangan pra-operasional.
    Setiap tahapan perkembangan kognitif memiliki karakteristik yang khas dan memerlukan lingkungan belajar yang khas pula. Perkembangan sensorimotor memerlukan lingkungan yang terstruktur, dan direktif. Individu yang berada pada tahap perkembangan ini memerlukan pengalaman belajar yang kongkret. Perkembangan pra-oprasional memerlukan lingkungan bel¬ajar yang bersifat semi terstruktur. Perkembangan formal operasional memerlukan lingkungan belajar yang konsultatif, dan perkembangan dialek¬tik memerlukan lingkungan belajar yang bersifat kolaboratif.
    Teknik asesmen yang digunakan untuk mengetahui perkembangan vertikal anak adalah wawancara terbuka dan bebas (komunikasi verbal). Ungkapan atau ekspresi verbal dari setiap anak yang diajak bicara, atau diwawancara menunjukkan tahap perkembangan kognitif yang dicapai saat ini. Apabila guru sudah dapat mengetahui secara vertikal tahapan per¬kembangan anak, maka guru sudah dapat menentukan lingkungan belajar yang harus disediakan.

    b) Asesmen Perkembangan Horizontal
    Perkembangan horizontal adalah sebuah eksplorasi, penguasaan dan elaborasi tentang sikap, emosi, dan perilaku yang berkenaan dengan suatu tahap perkembangan vertikal tertentu. Ini adalah proses yang digunakan untuk menjamin konstruksi dengan landasan yang kokoh. Untuk mengetahui perkembangan horizontal yang telah dicapai oleh anak tunagrahita, dilakukan dengan menggunakan teknik observasi dan wawancara kepada setiap anak.
    Secara horizontal, perkembangan anak tunagrahita yang di-asesmen mencakup tiga aspek yaitu aspek perkembangan keterampilan bahasa (mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis), aspek perkembangan keteranpilan berhitung, dan perkembangan perilaku adaptif. Data hasil asesmen perkembangan horizontal dijadikan dasar dalam menentukan bahan ajar untuk disesuaikan dengan kebutuhan anak tunagrahita. Di sinilah awal terjadi proses penyesuaian antara materi kurikulum dengan perkembangan anak, sehingga pembelajaran menjadi berpusat kepada anak dan kurikulum menjadi fleksibel.

    2.2 Adaptasi Kurikulum dengan Perkembangan Anak
    Data hasil asesmen perkembangan kognitif vertikal menjadi dasar dalam menentukan lingkungan belajar dan interaksi pembelajar yang se¬harus¬nya dilakukan oleh guru. Sementara itu, data hasil asesmen per¬kembangan kognitif horizontal memberikan informasi tentang kapasitas dan hambatan belajar yang dialami oleh anak tunagrahita dalam belajar bahasa, berhitung, dan perilaku adaptif. Data hasil asesmen horizontal digunakan sebagai dasar untuk menyusun program pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan anak tunagrahita. Oleh karena itu dilakukan penyesuaian antara isi kurikulum dengan kebutuhan belajar anak tunagrahita.
    Penyesuaian antara isi kurikulum dengan kebutuhan anak tuna¬grahita, ditempuh melalui dua langkah. Pertama, -melalui asesmen- harus diketahui lebih dahulu kemampuan yang sudah dimiliki dan hambatan belajar yang dialami oleh anak tunagrahita dalam pelajaran tertentu, misal¬nya dalam pelajaran berhitung. Kedua, menemukan pada tahap mana dan materi apa dalam kurikulum –misalnya dalam pelajaran berhitung– yang sesuai dengan kemampuan dan hambatan anak tunagrahita. Jika secara eksplisit di dalam kurikulum tidak ditemukan topik atau pokok bahasan yang diperlukan, maka harus dilakukan analisis ururan prerekuisit dari setiap pokok bahasan. Sangat mungkin terjadi ada prerekuisit yang tidak secara eksplisit tercantum dalam kurikulum, menjadi tujuan pembelajaran.
    Hasil analisis isi kurikulum (content analysis), memberikan infor¬masi yang jelas tentang urutan prerekuisit dari setiap topik atau pokok bahasan, sehingga menjadi sangat mudah untuk melakukan penyesuaian antara kurikulum dengan kemampuan setiap anak tunagrahita.

    2.3 Memilih Lingkungan Belajar
    Dalam perspektif pendekatan fungsional, lingkungan belajar yang diciptakan harus sejalan dengan perkembangan kognitif vertikal individu yang akan belajar. Perkembangan kognitif terdiri atas empat tahap yaitu: tahap sensorimotor, kongkret operasional, formal operasional, dan dialektik. Setiap tahap perkembangan memerlukan lingkungan belajar yang sesuai dengan karakteristik dari tahapan perkembangan tersebut. Tahapan per¬kembangan seorang anak tunagrahita diketahui melalui proses asesmen (Capuzzi, 1995).
    Tahap perkembangan sensorimotor bersesuaian dengan lingkungan belajar yang terstruktur, tahap perkembangan pra-operasional bersesuaian dengan lingkungan belajar yang bersifat semi terstrukur, tahap per¬kem¬bangan formal operasional bersesuaian dengan lingkungan belajar konsul¬tatif, dan perkembangan kognitif dialektik bersesuaian dengan lingkungan belajar yang bersifat kolaboratif.

    2.4 Tahapan Pembelajaran
    Pendekatan fungsional dalam pembelajaran anak tunagrahita, me¬miliki tiga tahapan. Pertama tahap orientasi, kedua tahap mediasi, dan ketiga tahap ko-konstruksi. Ketiga tahap pembelajaran itu merupakan kesatuan yang utuh dan terintegrasi, sehingga perindahan dari satu tahap ke tahap lainnya tidak terdapat jeda dalam pelaksanaannya. Pelaksanaan pem¬bel¬ajaran dalam model ini memerlukan dua orang guru, yaitu guru utama (main teacher) yang bertugas mengelola kelas secara keseluruhan, dan guru pendamping (co-teacher) yang bertugas memberikan perhatian dan pe¬layanan kepada setiap anak.

    (a) Tahap orientasi: Pembelajaran pada tahap ini merupakan proses menghubungkan antara pengalaman anak dengan bahan ajar dan lingkungan belajar. Pada tahap ini guru menciptakan situasi yang dapat membangkitkan perhatian dan motivasi semua anak agar terlibat aktif dalam aktivitas yang diciptakan oleh guru, tanpa merasa bahwa mereka sedang belajar. Tahap orientasi dimaksudkan untuk mengawali kegiatan belajar dengan aktivitas yang gembira dan menyenangkan.
    Pada tahap ini terdapat dua kegiatan utama yang harus dilakukan oleh guru, yaitu pertama penataan posisi duduk anak. Susunan tempat duduk tidak dibuat dalam bentuk barisan, akan tetapi disusun dalam bentuk yang lebih fleksibel (memungkinkan diubah-ubah), bisa dalam bentuk setengah lingkaran, kelompok, atau saling berhadap-hadapan. Kegiatan ini dilakukan bersama-sama antara guru dengan semua anak. Posisi guru utama (main teacher) berada di tempat yang dapat dilihat oleh semua anak, sementara itu guru pendamping (co-teacher) berkeliling menghampiri setiap anak untuk memberikan bantuan yang diperlukan oleh setiap anak. Kedua, guru mengajak anak-anak untuk berceritera tentang sesuatu yang pernah dialami oleh anak-anak, kemudian menghubungkannya dengan bahan ajar yang akan disampaikan. Hal ini dilakukan, untuk menghubungkan antra bahan ajar dengan pengalaman anak.
    Dengan kata lain pembelajaran selalu dimulai dari apa yang telah diketahui dan dialami oleh anak, sehingga pembelajaran menjadi lebih menarik, lebih menyenangkan dan lebih bermakna bagi anak, karena tidak ada diskontinyuitas antara pengalaman masa lalu dengan pengetahuan baru.

    (b) Tahap Mediasi: Pada tahap ini diciptakan situasi agar terjadi interaksi antara anak dengan perangsang yang disediakan. Guru tidak memulai pembelajaran dengan penjelasan konsep, tetapi dimulai dari aktivitas. Terdapat tiga urutan proses yang harus dilalui pada tahap ini yaitu: belajar pada tahap kongkret, semi kongkret, dan belajar pada tahap abstrak.

     Pembelajaran level kongret: Proses pembelajaran yang meng¬hubungkan anak dengan banyak perangsang (media) yang bersifat kongret. Anak diberi kesempatan seluas-luasnya untuk memanipulasi objek kongkret yang ber¬hubungan dengan konsep yang diajarkan. Dengan kata lain konsep yang bersifat abstrak diakses melalui proses yang dapat diamati secara visual, auditif, kinestetik, dan taktual. Sehingga konsep yang diajarkan bisa dipahami oleh anak secara lengkap dan mantap.
    ¬
     Pembelajaran level semi kongkret: Proses pembelajaran yang terjadi di sini sama seperti pada tahap kongret. Perbedaannya terletak pada perangsang (media) yang digunakan. Pada tahap ini media atau perangsang yang digunakan adalah media dua dimensi (gambar). Hal ini dimaksudkan untuk menjembatani antara pemahaman yang bersifat kongkret dengan pemahaman yang bersifat abstrak.

     Pembelajaran level abstrak: Pada tahap ini pembelajaran tidak lagi menggunakan perangsang (media), tetapi lebih banyak menggunakan bahasa secara verbal. Pada tahap ini diharapkan anak mengalami proses meng¬konstruksi dan merekonstruksi pengetahuan baru dihubungkan dengan pengetahuan yang sudah dimiliki anak sebelumnya.

    (3) Tahap Ko-konstruksi: Pembelajaran pada tahap ini merupakan kegiatan pemantapan, agar anak mengalami proses adaptasi kognitif, yaitu terjadi perkembangan pada diri anak sebagai hasil belajar. Terdapat dua proses yang terjadi pada tahap ini, yaitu proses yang mengarah kepada aktivitas evaluasi dan proses yang mengarah kepada aktivitas asesmen. Keduanya terjadi dan menyatu dalam proses pembelajaran.
    Evaluasi tidak dimaknai secara sempit sebagai ujian, tapi harus dilihat sebagai upaya untuk melihat perkembangan yang terjadi pada diri anak sebagai hasil belajar. Sementara itu, asesmen dimaknai sebagai upaya untuk melihat hambatan belajar yang dialami oleh anak pada saat mengikuti proses pembelajaran.

    DAFTAR PUSTAKA

    Alimin, Z. (1993). Study on Cognitive Process of Incomplete Figure Recognitiion in Children with Mentally Retarded. Master Thesis University of Tsukuba: Tsukuba.
    Alimin, Z. (2006). Model Pembelajaran Anak Tunagrahita Melalui Pendekatan Konseling: Penelitian Tindakan Kolaboratif dalam Upaya Mengembangkan Anak Tunagrahita Mencapai Perkembangan Opti¬mum. Disertasi Sekolah Pascasarjana UPI. Bandung: tidak diterbitkan.
    Bairne-Smith, M. (2002). Mental Retardation. Columbus: Merrill Prentice Hall.
    Capuzzi, D. (1995). Counseling and Psychotherapy: Theories and Intervenstion. Columbus: Prentice Hall.
    Ingals, P.R. (1987). Mental Retardation The Changing Outlook. New York: John Wiley & Son.
    Kartadinata, S. (1996). Kerangka Kerja Bimbingan dan Konseling dalam Pendidikan: Pendekatan Ekologis Sebagai Alternatif. Pidato Pengu¬kuhan Guru Besar pada Jurusan BP FIP IKIP Bandung. Bandung: tidak diterbitkan.
    Skjorten, D.M. (2003). Education-Special Needs Education: An Introduction. Oslo: Unifub
    Suhaeri, HN. & Purwanta, E. (1996). Bimbingan Konseling Anak Luar Biasa. Jakarta: Ditjen Dikti Depdiknas.
    Vygotsky, L. (1988). Mind in Society. The Development of Higher Psychological Process. Cambridge: Harvad University Press.




    PROFESI PELUKIS ATAU DESAINER TAMPAKNYA SANGAT MENJANJIKAN BAGI ANDI

    (Studi Kasus terhadap Seorang Anak Tunarungu)


    Permanarian Somad
    Didi Tarsidi

    Jurusan Pendidikan Luar Biasa
    Universitas Pendidikan Indonesia


    ABSTRAK
    Studi kasus ini berangkat dari informasi awal yang diperoleh dari guru kelas 2 tingkat dasar pada Sekolah Luar Biasa bagi Anak Tunarungu di Bandung tentang kesulitan yang dialami oleh seorang siswanya dalam belajar bahasa. Penelusuran lebih lanjut dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang latar belakang kasus, yang mencakup kajian tentang penyebab dan saat terjadinya ketunarunguan siswa tersebut, jenis dan tingkat ketunarungu¬annya, serta bentuk intervensi yang pernah diterimanya. Ditemukan bahwa Kasus memiliki kemampuan matematik yang baik dan bakat menggambar yang menonjol. Saran-saran yang diajukan untuk membantu per¬kem¬bangan kasus ini, serta cara-cara penanganan kasus ketunarunguan pada umumnya, dirumuskan atas dasar kajian literatur.

    Kata kunci: profesi pelukis, desainer

    DESKRIPSI KASUS
    Pada saat studi kasus ini dilaksanakan, Andi (nama samaran) berusia 10 tahun. Dia adalah seorang anak laki-laki, anak pertama dari tiga bersaudara. Andi menyandang ketunarunguan berat sekali (profound hearing impairment) dengan tingkat pendengaran 110 desibel, yang terdeteksi pada saat Andi berusia empat bulan. Jenis ketunarunguannya adalah sensorineural loss akibat rubella yang diderita ibunya pada saat mengandung. Andi dimasukkan ke SLB/B di Bandung pada usia enam tahun, dan studi kasus dilaksanakan pada saat dia duduk di kelas 2 SD. Andi dilahirkan oleh pasangan keluarga Pak Toto dan Bu Titi yang sama-sama berijazah SMA. Mereka menikah pada usia 30 dan 27 tahun. Pak Toto adalah seorang wiraswastawan dalam bidang perkaosan, sedangkan Bu Titi adalah seorang ibu rumah tangga.
    METODE STUDI
    Studi kasus ini dilaksanakan dengan wawancara kepada guru kelas, observasi terhadap kasus dalam kegiatan belajarnya di kelas, dan wawancara kepada ibu kasus. Wawancara dengan guru kelas dilakukan di sekolah, observasi dilakukan di kelas ketika Kasus sedang belajar matematika, keterampilan, dan bina persepsi bunyi Indonesia (BPBI), sedangkan wawancara dengan ibu Kasus dilakukan melalui beberapa percakapan telepon.

    TEMUAN
    Andi adalah anak pertama dari pasangan Bapak Toto dan Ibu Titi. Pada saat Ibu Titi mengandung tujuh bulan, dia terserang rubella selama dua minggu, dan petugas kesehatan memperingatkan kepadanya tentang kemungkinan terjadi kelainan pada bayinya.
    Pada saat Andi lahir, Ibu Titi merasa lega karena tidak melihat tanda-tanda kelainan pada bayinya itu. Akan tetapi, ketika Andi berusia empat bulan, Ibu Titi mulai mencurigai sesuatu. Bila Ibu Titi membunyi-bunyikan mainan di hadap¬annya, Andi segera merespon dengan berusaha menggapainya, tetapi bila hal itu dilakukan dari arah belakangnya, Andi tidak bereaksi apa-apa, dan berbeda dari respon yang diberikan oleh bayi pada umumnya, yang akan segera menoleh ke arah bunyi mainan itu. Didorong oleh keinginan untuk meyakinkan apa yang dikhawatirkannya, Ibu Titi mencoba dengan cara lain: dia membunyikan sesuatu keras-keras pada saat Andi sedang tidur, tetapi bayi itu tidak pernah tampak terganggu betapa pun kerasnya bunyi yang dibuat oleh ibunya itu.
    Ibu Titi berasal dari keluarga besar dengan banyak adik, sehingga dia sudah terbiasa mengasuh adik-adiknya dan banyak belajar tentang perilaku bayi. Perilaku Andi meyakinkan Ibu Titi bahwa sesuatu yang tidak diharapkan telah terjadi pada anaknya itu. Maka Pak Toto dan Bu Titi segera berkonsultasi dengan dokter spesialis anak, tetapi dokter itu selalu meyakinkannya bahwa tidak ada sesuatu yang berkelainan pada fisik Andi.
    Konsultasi ke dokter THT. Didorong oleh kecurigaannya terhadap kondisi pendengaran Andi, Pak Toto dan Bu Titi membawanya ke dokter spesialis THT ketika anaknya berumur satu tahun. Dokter THT itu mengkonfirmasi kecurigaan mereka: terdapat kelainan dalam sistem pendengaran Andi. Tes yang lebih seksama baru dilakukan ketika Andi berumur dua tahun, dan ditemukan bahwa kedua belah telinganya hanya dapat menerima stimulus bunyi pada intensitas 110 desibel, dan gangguan terjadi pada syaraf pendengarannya. Ini berarti bahwa ketunarunguan yang dialami Andi termasuk klasifikasi berat sekali (profound hearing impairment).
    Setelah Bapak dan Ibu Toto mengetahui kondisi anaknya yang sesungguh¬nya, kini mereka dihadapkan pada masalah psikologis untuk menerima realita itu. Mereka memperoleh informasi bahwa klinik Yayasan Surya Kanti di Bandung bergerak dibidang pengembangan potensi anak dengan mendeteksi, meng¬inter¬vensi, serta memberikan terapi sedini mungkin bagi anak balita yang mengalami gangguan perkembangan, dan bahwa Andi dapat lebih baik perkembangannya dengan layanan semacam ini. Akan tetapi, kedua orang tua ini masih menyimpan harapan bahwa anaknya itu akan dapat disembuhkan. Maka, setelah upaya medis menemui jalan buntu, mereka mencoba ber¬bagai cara penyembuhan alternatif bagi buah hatinya itu. Baru setelah sekitar tiga tahun berlalu tanpa hasil kecuali terkurasnya sumber dana keluarga, mereka menyadari bahwa kondisi anaknya itu merupakan takdir Tuhan yang harus mereka terima dengan keikhlasan.
    Ketika Andi berusia enam tahun, mereka memasukkannya ke sekolah khusus bagi anak-anak tunarungu (SLB/B) di Bandung. Mereka mendapati bahwa seharusnya Andi dimasukkan ke sekolah itu lebih awal agar memperoleh penanganan lebih dini. SLB/B ini melayani anak sejak usia empat tahun, dimana anak dimasukkan ke kelas persiapan yang terdiri dari tiga tingkat (P1, P2 dan P3).
    Pada saat studi kasus ini dilakukan, Andi sudah berusia sepuluh tahun dan duduk di kelas 2 tingkat dasar. Guru kelasnya, Ibu Bet, mengidentifikasi kemampuan mate¬matika yang sangat baik dan bakat menggambar yang menonjol pada diri Andi. "Gambarnya selalu hidup," demikian Bu Bet menuturkan. Akan tetapi, perkembangan bahasa Andi lebih lambat daripada rata-rata siswa di kelasnya.
    Pengajaran bahasa bagi siswa-siswa di sekolah ini lebih ditekankan pada penggunaan metode membaca ujaran yang dibantu dengan bahasa isyarat. Pemanfaatan sisa pendengaran tidak memperoleh penekanan yang optimal, yang tercermin dari tidak maksimalnya penekanan terhadap pentingnya penggunaan alat bantu dengar. Faktor ekonomi merupakan penyebab bagi anak-anak tertentu untuk tidak menggunakan alat bantu dengar, tetapi pada anak-anak lain faktor psikososial merupakan penyebabnya –mereka merasa malu menggunakan alat bantu dengar. Di samping itu, lingkungan auditer di sekolah ini kurang mendukung pengajaran bahasa secara aural: antara satu ruangan kelas dengan ruangan kelas lainnya dihubungkan oleh pintu, sehingga pembicaraan di kelas lain dapat terdengar dan bahkan mengganggu konsentrasi pendengaran anak terhadap pembicaraan gurunya. Kelas P1, P2 dan P3 bahkan diajar dalam satu ruangan dengan tiga orang guru.

    DISKUSI
    Rubella sebagai penyebab ketunarunguan pada diri Andi, cara Bu Titi mendeteksi ketunarunguan pada bayinya, serta implikasi ketunarunguan yang diklasifikasikan sebagai berat sekali menarik untuk didiskusikan lebih lanjut. Di samping itu, partisipasi orang tua dalam membantu mengembangkan bahasa anaknya, metode dan pendekatan yang di¬pergunakan dalam pengajaran bahasa kepada Andi serta anak-anak lain di SLB/B tempat Andi bersekolah juga akan didiskusikan.

    1. Rubella Sebagai Penyebab Ketunarunguan
    Rubella (yang oleh masyarakat umum dikenal dengan nama campak) sering dipandang sebagai penyakit ringan. Orang dewasa maupun anak-anak biasanya tidak akan dibahayakan secara permanen oleh penyakit ini, tetapi bayi yang masih dalam kandungan dapat sangat terpengaruh. Jika seorang ibu yang sedang mengandung mengidap penyakit ini pada masa tiga bulan pertama kehamilannya, dia sendiri mungkin tidak akan merasa sakit sama sekali, tetapi penyakit tersebut dapat berdampak kepada bayi di dalam kandungannya melalui placenta, dengan akibat yang serius. Banyak di antara bayi-bayi itu lahir tunagrahita, dan mereka juga dapat mengalami kecacatan fisik. Penyakit jantung, kesulitan pernafasan, gangguan penglihatan atau gangguan pen¬dengaran sering dialami oleh bayi-bayi ini (Finkelstein, 1994).
    Oleh karena itu, berbagai upaya pencegahan seyogyanya dilakukan untuk mengurangi ancaman terha¬dap janin. Anak¬-anak –terutama pe¬rempuan– sebaiknya divaksi¬nasi agar mereka mengembangkan daya tahan terhadap rubella di kemudian hari. Wanita yang sedang hamil muda harus mengh¬indari kontak dengan orang yang sedang terkena penyakit ini.

    2. Deteksi Dini Ketunarunguan
    Pengalaman empirik telah mengajari Ibu Titi cara tertentu untuk mendeteksi ketunarunguan secara dini. Di awal pendeteksian oleh ibunya, Andi tampak tidak mempunyai perhatian terhadap bunyi-bunyi.
    Easterbrooks (1997) mengemukakan tanda-tanda ketunarunguan sebagai ber¬ikut. Pada bayi atau anak kecil, tanda-tanda ketunarunguan itu mencakup tidak adanya perhatian atau adanya perhatian yang tidak konsisten; tidak adanya atau kurangnya interaksi vocal; dan tidak adanya atau sangat lambatnya perkembangan bahasa, terutama yang terkait dengan kata-kata yang diakhiri konsonan tak letup seperti t, ng, atau s. Pada anak-anak usia sekolah, tanda-tanda ketunarunguan itu mencakup tingginya ting¬kat frustrasi terhadap sekolah dan orang lain, rendahnya atau sangat menurunnya nilai-nilai pelajaran, atau berubahnya pola perhatiannya. Pada orang dewasa, tanda-tanda tersebut dapat berupa keluhan bahwa orang lain bergumam padahal berbicara normal, atau menyalakan peralatan seperti radio atau TV terlalu keras.

    3. Klasifikasi dan Jenis Ketunarunguan
    Di bagian deskripsi temuan, dikemukakan bahwa dokter THT meng¬identifikasi Andi sebagai mengalami gangguan pada syaraf pendengarannya dan hanya memiliki persepsi bunyi dengan intensitas 110 desibel, yang dikategorikan sebagai ketunarunguan berat sekali.
    Easterbrooks (1997) mengemukakan bahwa terdapat tiga jenis utama ketuna¬runguan menurut lokasi ganguannya:
    1) Conductive loss, yaitu ketunarunguan yang terjadi bila terdapat gangguan pada bagian luar atau tengah telinga yang menghambat dihantarkannya gelombang bunyi ke bagian dalam telinga.
    2) Sensorineural loss, yaitu ketunarunguan yang terjadi bila terdapat kerusakan pada bagian dalam telinga atau syaraf auditer yang mengakibatkan ter¬hambatnya pengi¬riman pesan bunyi ke otak. (Ketunarunguan Andi tampaknya termasuk ke dalam kategori ini).
    3) Central auditory processing disorder, yaitu gangguan pada sistem syaraf pusat proses auditer yang mengakibatkan individu mengalami kesulitan memahami apa yang didengarnya meskipun tidak ada gangguan yang spesifik pada telinganya itu sendiri. Anak yang mengalami gangguan pusat pem¬rosesan auditer ini memiliki pendengaran yang normal bila diukur dengan audiometer, tetapi mereka sering mengalami kesulitan memahami apa yang didengarnya.

    Berdasarkan tingkat keberfungsian telinga dalam mendengar bunyi, Ashman dan Elkins (1994) mengklasifikasikan ketunarunguan ke dalam empat kategori, yaitu:
    1) Ketunarunguan ringan (mild hearing impairment), yaitu kondisi dimana orang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 20-40 dB (desibel). Mereka sering tidak menyadari bahwa sedang diajak bicara, mengalami sedikit kesulitan dalam per¬cakapan.
    2) Ketunarunguan sedang (moderate hearing impairment), yaitu kondisi dimana orang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 40-65 dB. Mereka mengalami ke¬sulitan dalam percakapan tanpa memperhatikan wajah pembicara, sulit mendengar dari kejauhan atau dalam suasana gaduh, tetapi dapat terbantu dengan alat bantu dengar (hearing aid).
    3) Ketunarunguan berat (severe hearing impairment), yaitu kondisi dimana orang hanya dapat mendengar bunyi dengan intensitas 65-95 dB. Mereka sedikit memahami percakapan pembicara bila memperhatikan wajah pembicara dengan suara keras, tetapi percakapan normal praktis tidak mungkin dilakukannya, tetapi dapat terbantu dengan alat bantu dengar.
    4) Ketunarunguan berat sekali (profound hearing impairment), yaitu kondisi dimana orang hanya dapat mendengar bunyi dengan intensitas 95 dB atau lebih keras. Mendengar percakapan normal tidak mungkin baginya, sehingga dia sangat ter¬gantung pada komunikasi visual. Sejauh tertentu, ada yang dapat terbantu dengan alat bantu dengar tertentu dengan kekuatan yang sangat tinggi (superpower).
    Survey tahun 1981 di Australia menemukan bahwa 59% dari populasi tunarungu menyandang ketunarunguan ringan, 11% sedang, 20% berat, dan 10% tidak dapat dipastikan (Cameron, 1982, dalam Ashman dan Elkins, 1994).
    Perlu dijelaskan bahwa decibel (disingkat dB) adalah satuan ukuran intensitas bunyi. Istilah ini diambil dari nama pencipta telepon, Graham Bel, yang istrinya tuna¬rungu, dan dia tertarik pada bidang ketunarunguan dan pendidikan bagi tunarungu. Satu decibel adalah 0,1 Bel.
    Bagi para fisikawan, decibel merupakan ukuran tekanan bunyi, yaitu tekanan yang didesakkan oleh suatu gelombang bunyi yang melintasi udara. Dalam fisika, 0 db sama dengan tingkat tekanan yang mengakibatkan gerakan molekul udara dalam keadaan udara diam, yang hanya dapat terdeteksi dengan menggunakan instrumen fisika, dan tidak akan terdengar oleh telinga manusia. Oleh karena itu, di dalam audiologi ditetapkan tingkat 0 yang berbeda, yang disebut 0 dB klinis atau 0 audiometrik. Nol inilah yang tertera dalam audiogram, yang merupakan grafik tingkat ketunarunguan. Nol audiometrik adalah tingkat intensitas bunyi terendah yang dapat terdeteksi oleh telinga orang rata-rata dengan telinga yang sehat pada frekuensi 1000 Hz (Ashman & Elkins, 1994).

    4. Metode dan Pendekatan Pengajaran Bahasa bagi Anak Tunarungu
    Perdebatan tentang cara terbaik untuk mengajar anak tunarungu ber¬komunikasi telah marak sejak awal abad ke-16 (Winefield, 1987). Perdebatan ini masih berlang¬sung, tetapi kini semakin banyak ahli yang berpendapat bahwa tidak ada satu sistem komu¬nikasi yang baik untuk semua anak (Easterbrooks, 1997). Pilihan sistem komunikasi harus ditetapkan atas dasar individual, dengan mempertimbangkan karakteristik anak, sumber-sumber yang tersedia, dan komitmen keluarga anak terhadap metode komunikasi tertentu.

    4.1 Metode Pengajaran Bahasa bagi Anak Tunarungu
    Terdapat tiga metode utama cara individu tunarungu belajar bahasa, yaitu dengan membaca ujaran, melalui pendengaran, dan dengan komunikasi manual, atau dengan kombinasi ketiga cara tersebut.

    1) Belajar Bahasa Melalui Membaca Ujaran (Speechreading)
    Orang dapat memahami pembicaraan orang lain dengan ’membaca’ ujarannya melalui gerakan bibirnya. Akan tetapi, hanya sekitar 50% bunyi ujaran yang dapat ter¬lihat pada bibir (Berger, 1972). Di antara 50% lainnya, sebagian dibuat di belakang bibir yang tertutup atau jauh di bagian belakang mulut sehingga tidak kelihatan, atau ada juga bunyi ujaran yang pada bibir tampak sama sehingga pembaca bibir tidak dapat memastikan bunyi apa yang dilihatnya. Hal ini sangat menyulitkan bagi mereka yang ketunarunguannya terjadi pada masa prabahasa. Seseorang dapat menjadi pembaca ujaran yang baik bila ditopang oleh pengetahuan yang baik tentang struktur bahasa sehingga dapat membuat dugaan yang tepat mengenai bunyi-bunyi yang ‘tersembunyi’ itu. Jadi, orang tunarungu yang bahasanya normal biasanya merupakan pembaca ujaran yang lebih baik daripada tunarungu prabahasa, dan bahkan terdapat bukti bahwa orang non-tunarungu tanpa latihan dapat membaca bibir lebih baik daripada orang tunarungu yang terpaksa harus bergantung pada cara ini (Ashman & Elkins, 1994).
    Kelemahan sistem baca ujaran ini dapat diatasi bila digabung dengan sistem cued speech (isyarat ujaran). Cued Speech adalah isyarat gerakan tangan untuk melengkapi membaca ujaran (speechreading). Delapan bentuk tangan yang menggambarkan kelompok-kelompok konsonan diletakkan pada empat posisi di sekitar wajah yang menunjukkan kelompok-kelompok bunyi vokal. Digabungkan dengan gerakan alami bibir pada saat berbicara, isyarat-isyarat ini membuat bahasa lisan menjadi lebih tampak (Caldwell, 1997). Cued Speech dikembangkan oleh R. Orin Cornett, Ph.D. di Gallaudet University pada tahun 1965 66. Isyarat ini dikembangkan sebagai respon terhadap laporan penelitian pemerintah federal AS yang tidak puas dengan tingkat melek huruf di kalangan tunarungu lulusan sekolah menengah. Tujuan dari pengembangan komunikasi isyarat ini adalah untuk meningkatkan perkembangan bahasa anak tunarungu dan mem¬beri mereka pondasi untuk keterampilan membaca dan menulis dengan bahasa yang baik dan benar. Cued Speech telah diadaptasikan ke sekitar 60 bahasa dan dialek. Keuntungan dari sistem isyarat ini adalah mudah dipelajari (hanya dalam waktu 18 jam), dapat dipergunakan untuk mengisyaratkan segala macam kata (termasuk kata-kata prokem) maupun bunyi-bunyi non-bahasa. Anak tunarungu yang tumbuh dengan menggunakan cued speech ini mampu membaca dan menulis setara dengan teman-teman sekelasnya yang non-tunarungu (Wandel, 1989 dalam Caldwell, 1997).

    2) Belajar Bahasa Melalui Pendengaran
    Ashman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa individu tunarungu dari semua tingkat ketunarunguan dapat memperoleh manfaat dari alat bantu dengar tertentu. Alat bantu dengar yang telah terbukti efektif bagi jenis ketunarunguan sensorineural dengan tingkat yang berat sekali adalah cochlear implant. Cochlear implant adalah prostesis alat pendengaran yang terdiri dari dua komponen, yaitu komponen eksternal (mikropon dan speech processor) yang dipakai oleh pengguna, dan komponen internal (rangkaian elektroda yang melalui pembedahan dimasukkan ke dalam cochlea (ujung organ pendengaran) di telinga bagian dalam. Komponen eksternal dan internal tersebut di¬hubungkan secara elektrik. Prostesis cochlear implant dirancang untuk menciptakan rangsangan pendengaran dengan langsung memberikan stimulasi elektrik pada syaraf pendengaran (Laughton, 1997).
    Akan tetapi, meskipun dalam lingkungan auditer terbaik, jumlah bunyi ujaran yang dapat dikenali secara cukup baik oleh orang dengan klasifikasi ketunarunguan berat untuk memungkinkannya memperoleh gambaran yang lengkap tentang struktur sintaksis dan fonologi bahasa itu terbatas. Tetapi ini tidak berarti bahwa penyandang ketunarunguan yang berat sekali tidak dapat mem¬peroleh manfaat dari bunyi yang diamplifikasi dengan alat bantu dengar. Yang menjadi masalah besar dalam hal ini adalah bahwa individu tunarungu jarang dapat mendengarkan bunyi ujaran dalam kondisi optimal. Faktor-faktor tersebut mengakibatkan individu tunarungu tidak dapat mem¬peroleh manfaat yang maksimal dari alat bantu dengar yang dipergunakannya. Di samping itu, banyak penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar alat bantu dengar yang di¬per¬gunakan individu tunarungu itu tidak berfungsi dengan baik akibat kehabisan baterai dan earmould yang tidak cocok.

    3) Belajar Bahasa secara Manual
    Secara alami, individu tunarungu cenderung mengembangkan cara komunikasi manual atau bahasa isyarat. Untuk tujuan universalitas, berbagai negara telah me¬ngembangkan bahasa isyarat yang dibakukan secara nasional. Ashman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa komunikasi manual dengan bahasa isyarat yang baku memberikan gambaran lengkap tentang bahasa kepada tunarungu, sehingga mereka perlu mem¬pelajarinya dengan baik. Kerugian penggunaan bahasa isyarat ini adalah bahwa para penggunanya cenderung membentuk masyarakat yang eksklusif.

    4.2 Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa bagi Anak Tunarungu
    Pengajaran bahasa secara terprogram bagi anak tunarungu harus dimulai sedini mungkin bila kita mengharapkan tingkat keberhasilan yang optimal. Terdapat dua pendekatan dalam pengajaran bahasa kepada anak tunarungu secara dini, yaitu pendekatan auditori-verbal dan auditori-oral.

    1) Pendekatan Auditori verbal
    Pendekatan auditori-verbal bertujuan agar anak tunarungu tumbuh dalam ling¬kungan hidup dan belajar yang memungkinkannya menjadi warga yang mandiri, partisipatif dan kontributif dalam masyarakat inklusif. Falsafah auditori-verbal men¬dukung hak asasi manusia yang mendasar bahwa anak penyandang semua tingkat ketunarunguan berhak atas kesempatan mengembangkan kemampuan untuk men¬dengar¬kan dan menggunakan komunikasi verbal di dalam lingkungan keluarga dan masya¬rakatnya. Pendekatan auditori verbal didasarkan atas prinsip mendasar bahwa peng¬gunaan amplifikasi memungkinkan anak belajar mendengarkan, memproses bahasa verbal, dan berbicara. Opsi auditori verbal merupakan strategi intervensi dini, bukan prinsip-prinsip yang harus dijalankan dalam pengajaran di kelas. Tujuannya adalah untuk mengajarkan prinsip-prinsip auditori verbal kepada orang tua yang mempunyai bayi tunarungu (Goldberg, 1997).
    Prinsip-prinsip praktek auditori verbal itu adalah sebagai berikut: (a) Berusaha sedini mungkin mengidentifikasi ketunarunguan pada anak, idealnya di klinik perawatan bayi; (b) Memberikan perlakuan medis terbaik dan teknologi amplifikasi bunyi kepada anak tunarungu sedini mungkin; (c) Membantu anak memahami makna setiap bunyi yang didengarnya, dan mengajari orang tuanya cara membuat agar setiap bunyi bermakna bagi anaknya sepanjang hari; (d) Membantu anak belajar merespon dan menggunakan bunyi sebagaimana yang dilakukan oleh anak yang berpendengaran normal; (e) Menggunakan orang tua anak sebagai model utama untuk belajar ujaran dan komunikasi lisan; (f) Berusaha membantu anak mengembangkan sistem auditori dalam (inner auditory system) sehingga dia menyadari suaranya sendiri dan akan berusaha mencocokkan apa yang diucapkannya dengan apa yang didengarnya; (g) Memahami bagaimana anak yang berpendengaran normal mengembangkan kesadaran bunyi, pendengaran, bahasa, dan pemahaman, dan menggunakan pengetahuan ini untuk membantu anak tunarungu mempelajari keterampilan baru; (h) Mengamati dan mengevaluasi perkembangan anak dalam semua bidang; (i) Mengubah program latihan bagi anak bila muncul kebutuhan baru; (j) Membantu anak tunarungu berpartisipasi dalam kegiatan pendidikan maupun sosial bersama-sama dengan anak-anak yang berpendengaran normal dengan mem¬berikan dukungan kepadanya di kelas reguler.
    Hasil penelitian terhadap sejumlah tamatan program auditori verbal di Amerika Serikat dan Kanada (Goldberg & Flexer, 1993, dalam Goldberg, 1997) menunjukkan bahwa mayoritas responden terintegrasi ke dalam lingkungan belajar dan lingkungan hidup ’reguler’. Kebanyakan dari mereka bersekolah di sekolah biasa di dalam ling¬kungannya, masuk ke lembaga pendidikan pasca sekolah menengah yang tidak dirancang khusus bagi tunarungu, dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan masyarakat. Di samping itu, keterampilan membacanya setara atau lebih baik daripada anak-anak berpendengaran normal (Robertson & Flexer, 1993, dalam Goldberg, 1997).

    2) Pendekatan Auditori Oral
    Pendekatan auditori oral didasarkan atas premis mendasar bahwa memperoleh kompetensi dalam bahasa lisan, baik secara reseptif maupun ekspresif, merupakan tujuan yang realistis bagi anak tunarungu. Kemampuan ini akan berkembang dengan sebaik-baiknya dalam lingkungan di mana bahasa lisan dipergunakan secara eksklusif. Lingkungan tersebut mencakup lingkungan rumah dan sekolah (Stone, 1997).
    Elemen-elemen pendekatan auditori oral yang sangat penting untuk menjamin keberhasilannya mencakup: (a) Keterlibatan orang tua. Untuk memperoleh bahasa dan ujaran yang efektif menuntut peran aktif orang tua dalam pendidikan bagi anaknya; (b) Upaya intervensi dini yang berfokus pada pendidikan bagi orang tua untuk menjadi partner komunikasi yang efektif; (c) Upaya-upaya di dalam kelas untuk mendukung keterlibatan anak tunarungu dalam kegiatan kelas; (d) Amplifikasi yang tepat. Alat bantu dengar merupakan pilihan utama, tetapi bila tidak efektif, penggunaan cochlear implant merupakan opsi yang memungkinkan.
    Mengajari anak menggunakan sisa pendengaran yang masih dimilikinya untuk mengembangkan perolehan bahasa lisan merupakan hal yang mendasar bagi pendekatan auditori oral. Meskipun dimulai sebelum anak masuk sekolah, inter¬vensi oral berlanjut di kelas. Anak diajari keterampilan mendengarkan yang terdiri dari empat tingkatan, yaitu deteksi, diskriminasi, identifikasi, dan pemahaman bunyi. Karena tujuan pengem¬bangan keterampilan mendengarkan itu adalah untuk mengembangkan kompetensi bahasa lisan, maka bunyi ujaran (speech sounds) merupakan stimulus utama yang dipergunakan dalam kegiatan latihan men¬dengar¬kan itu. Pengajaran dilakukan dalam dua tahapan yang saling melengkapi, yaitu tahapan fonetik (mengembangkan kete¬rampilan menangkap suku-suku kata secara terpisah-pisah) dan tahapan fonologik (mengembangkan keterampilan memahami kata-kata, frase, dan kalimat). Pengajaran bahasa dilaksanakan secara natu¬ralistik dalam kegiatan-kegiatan yang berpusat pada diri anak, tidak dalam setting didaktik. Pada masa prasekolah, pengajaran bagi anak dan pengasuhnya dilakukan secara individual, tetapi pada masa sekolah pengajaran di¬laksanakan dalam setting kelas inklusif atau dalam kelas khusus bagi tunarungu di sekolah reguler. Setting pengajaran ini ter¬gantung pada keterampilan sosial, komunikasi dan belajar anak.
    Keuntungan utama pendekatan auditori-oral ini adalah bahwa anak mampu berkomunikasi secara langsung dengan berbagai macam individu, yang pada gilirannya dapat memberi anak berbagai kemungkinan pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan sosial. Geers dan Moog (1989; dalam Stone, 1997) melaporkan bahwa 88% dari 100 siswa tunarungu usia 16 dan 17 tahun yang ditelitinya memiliki kecakapan berbahasa lisan dan memiliki tingkat keterpahaman ujaran yang tinggi. Kemampuan rata-rata membacanya adalah pada tingkatan usia 13 hingga 14 tahun, yang hampir dua kali lipat rata-rata kemampuan baca seluruh populasi anak tunarungu di Amerika Serikat.
    KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
    Kasus Andi menyandang jenis ketunarunguan sensorineural dengan tingkat ketunarunguan berat sekali, yang terjadi pada masa prabahasa, disebabkan oleh penyakit rubella yang menyerang ibunya pada saat hamil tujuh bulan. Tidak diperolehnya inter¬vensi dini untuk membantu perkembangan bahasanya, kurang tepatnya pendekatan dan metode pengajaran bahasa yang dipergunakan, serta tidak dipergunakannya alat bantu dengar baginya, telah mengakibatkan Andi mengalami keterlambatan dalam perkem¬bangan bahasa. Bakat menggambarnya yang menonjol dan kemampuan matema¬tik¬nya yang baik menunjukkan bahwa dia memiliki kapasitas kognitif yang baik, yang sangat menjanjikan keberhasilan dalam belajarnya.
    Keterampilan bahasa verbal masih realistis untuk diharapkan dari Andi apabila dia dapat memperoleh alat bantu dengar yang sesuai dengan tingkat ketunarunguannya. Tampaknya cochlear implant merupakan pilihan alat bantu dengar terbaik baginya (jika faktor harganya yang masih sangat mahal tidak menjadi bahan pertimbangan).
    Bila alat bantu dengar yang sesuai tidak dapat diperolehnya, maka penggunaan metode membaca ujaran yang dikombinasikan dengan sistem isyarat ujaran (cued speech) tampaknya merupakan pilihan metode terbaik baginya untuk dapat belajar bahasa secara efektif. Dengan metode ini, kita tidak dapat berharap banyak bahwa Andi akan dapat mengucapkan bunyi-bunyi bahasa yang bermakna, tetapi dia dapat di¬harapkan memiliki kemampuan memahami pembicaraan orang lain dan memiliki kecakapan berkomunikasi secara tertulis.
    Bakat menggambarnya yang sudah tampak menonjol perlu terus dipupuk, misalnya dengan memberi pelajaran tambahan dalam bidang seni lukis atau desain. Profesi pelukis atau desainer tampaknya merupakan harapan yang realistis baginya untuk kehidupan di masa dewasanya.
    Berikut ini adalah hal-hal yang dapat dilakukan untuk mencegah munculnya kasus-kasus serupa di masa mendatang:
    1) Penyampaian informasi yang tepat kepada masyarakat luas mengenai bahaya penyakit rubella.
    2) Pembentukan suatu lembaga layanan yang memberikan intervensi dini kepada bayi dan kanak-kanak tunarungu (serta bayi dan kanak-kanak penyandang kecacatan pada umumnya) beserta keluarganya, baik intervensi medis, pen¬didikan, maupun sosial yang diberikan secara profesional.
    3) Kampanye kesadaran tentang pentingnya penggunaan alat bantu dengar bagi penyandang ketunarunguan agar dapat memanfaatkan sisa pendengarannya untuk belajar bahasa verbal.


    DAFTAR PUSTAKA
    Ashman, A. and Elkins, J. (eds.). (1994). Educating Children with Special Needs. Sidney: Prentice Hall of Australia Pty Ltd
    Caldwell, B. (1997). Educating Children Who Are Deaf or Hard of Hearing: Cued Speech. The ERIC Clearinghouse on Disabilities and Gifted Education (ERICEC). Tersedia: http://ericec.org/digests/e555.html
    Easterbrooks, S. (1997). Educating Children Who Are Deaf or Hard of Hearing: Overview. The ERIC Clearinghouse on Disabilities and Gifted Education (ERIC EC). Tersedia: http://ericec.org/digests/e549.html
    Finkelstein, D., dalam Jernigan, K. (1994). If Blindness Comes. Baltimore: National Federation of the Blind
    Laughton, J. (1997). Educating Children Who Are Deaf or Hard of Hearing: Cochlear
    Implants. The ERIC Clearinghouse on Disabilities and Gifted Education (ERIC EC). Tersedia: http://ericec.org/digests/e554.html