tag:blogger.com,1999:blog-45744349415530486802024-02-20T05:08:04.441-08:00JASSI-AnakKu :: Sampel ArtikelJurnal Asesmen dan Intervensi Anak Berkebutuhan Khusus (JASSI_AnakKu) - ISSN 1412-9337<br>
Diterbitkan dua kali setahun oleh Departemen Pendidikan Khusus, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Pendidikan
Indonesia (UPI), Bandung. <br>
Jl. Dr. Setiabudhi 229, Bandung 40154, Indonesia <br>
Telp: (022) 2013164 Pes. 4313 <br>
E-mail: jurusanplb@gmail.comJASSI_AnakKuhttp://www.blogger.com/profile/12273050106097217296noreply@blogger.comBlogger17125tag:blogger.com,1999:blog-4574434941553048680.post-61591608246298440672018-04-28T02:25:00.001-07:002018-04-28T02:25:29.028-07:00JASSI ANAKKU Edisi Terbaru Untuk membaca Jurnal Asesmen dan Intervensi Anak Berkebutuhan Khusus edisi terbaru, silakan kunjungi
<a href="http://ejournal.upi.edu/index.php/jassi">http://ejournal.upi.edu/index.php/jassi - JASSI ANAKKU</a>
JASSI_AnakKuhttp://www.blogger.com/profile/12273050106097217296noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4574434941553048680.post-28998981226530909142012-01-27T05:17:00.000-08:002012-01-27T05:18:24.514-08:00Penanganan Perilaku Agresif pada AnakAtang Setiawan<br />Universitas Pendidikan Indonesia<br /><br /> <br />ABSTRAK<br /><br /> <br />Perilaku agresif secara tipikal adalah setiap perilaku yang bertujuan untuk menyakiti atau merugikan orang lain baik secara fisik maupun psikis. Dampak perbuatan tersebut tidak saja merugikan sikorban, melainkan juga si pelaku sendiri. Untuk melakukan identifikasi anak yang dikatagorikan berperilaku agresif ada beberapa kriteria yang perlu diperhatikan, yaitu: kualitas dan kuantitas perilaku, disengaja, tidak ada rasa tanggung jawab, karakteristik pengamat, dan karakteristik sipelaku. Faktor penyebab berperilaku agresif pada anak disebabkan terhambatanya perkembangan emosi, sosial, dan biologis. Perilaku agresif bukan suatu kondisi melainkan suatu “penyakit”, maka sangat memungkinkan untuk di “sembuhkan”, diatasi. Dalam upaya membantu mengatasi perilaku tersebut, ada beberapa metoda dan teknik yang dapat dilakukan oleh guru atau orang tua, yaitu: Pemahaman dan penerimaan terhadap pribadi anak, menciptakan PAKEM, mengembangkan katarsis, menghapuskan pemberian imbalan, strategi memperagakan, menciptakan lingkungan nonagresif, mengembangkan sikap empati, dan memberikan hukuman. <br />Kata kunci: Penanganan, agresif, penyebab.<br /><br />PENDAHULUAN<br /><br /> <br />Rasanya tidak ada seorangpun anak adam di muka bumi ini yang tidak pernah berperilaku agresif, seperti memukul, menendang, merusak benda dan barang di sekitarnya, tetapi belum tentu dapat dikatagorikan anak agresif, apabila tidak memenuhi kriteria tertentu. Perilaku agresif merupakan bentuk perilaku yang bersifat anti-sosial, bertentangan dengan norma-norma sosial dan norma hukum yang berlaku di lingkungannya, perilaku yang tidak dikehendaki oleh orang lain baik individu maupun masyarakat secara luas. Perilaku tersebut sangat merugikan perkembangan dirinya maupun keamanan dan kenyamanan orang lain.<br />Penyebab perilaku agresif sangat kompleks, tidak tunggal, tetapi secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua penyebab, yaitu internal dan eksternal. Kedua faktor tersebut menyebabkan terhambatnya perkembangan aspek emosi atau dan sosial yang bersangkutan. Terhambatnya perkembangan emosi dan perilaku sosial di antaranya diwujudkan dalam bentuk perilaku agresif. <br />Perilaku agresif dilakukan anak/remaja, baik di rumah, sekolah, bahkan di lingkungan masyarakat luas. Perilaku agresif pada batas-batas yang wajar pada anak/remaja masih dapat ditolerir atau diabaikan, namun apabila sudah menjurus dapat merugikan dirinya dan orang lain, maka perlu ditangani secara sunguh-sungguh, karena dapat berakibat lebih patal.<br />Dampak perilaku agresif tidak hanya mempengaruhi fungsi anak dalam perkembangan emosi dan perilaku, tetapi hal tersebut juga mempengaruhi prestasi akademis, interaksi sosial mereka dengan teman sebaya dan guru. Kaufmann (1985), menjelaskan hasil risetnya, bahwa anak yang agresif umumnya memiliki prestasi akademik yang rendah untuk usia mereka, mayoritas anak agresif memiliki kesulitan akademis. Memiliki kekurangan dalam keterampilan sosial yang mempengaruhi kemampuan untuk kerjasama dengan guru, fungsi di dalam kelas, dan bergaul dengan siswa lain. <br />Pada tulisan singkat ini, penulis mengajak pada para pembaca, khususnya bapak/ibu guru atau calon guru untuk memahami konsep perilaku agresif dan cara mengatasinya. Karena di sekolah atau keluarga tidak sedikit anak atau remaja yang berperilaku agresif yang dapat merugikan baik terhadap dirinya maupun lingkungannya.<br /><br /> <br />PEMBAHASAN<br /><br /> <br />Perilaku Agresif<br />Apakah agresif itu identik dengan kekerasan? Banyak orang yang mengartikan bahwa agresif dan kekerasan sama. Memang benar ada kesamaan diantara keduanya, yaitu bersifat komfrontatif, tetapi berbeda dalam bentuk dan motivasinya. Breakwell (1998), menjelaskan agresi secara tipikal didefinisikan setiap bentuk pilaku untuk menyakiti atau merugikan seseorang yang bertentangan dengan kemauan orang itu. Agresif melibatkan setiap bentuk penyiksaan, termasuk penyiksaan psikologis atau emosional. Misalnya mempermalukan, menakut-nakuti atau mengancam. Sedangkan kekerasan didefinisikan sebagai tindakan di mana ada usaha sengaja untuk mencederai secara fisik, terbatas pada penyiksaan secara fisik, dan apabila tidak disengaja tidak dikatagorikan kekerasan. <br /> Selanjutnya secara gamblang para ahli psikologi, seperti Sigmund Freud (Shaffer, 1994) menjelaskan, agresif merupakan suatu perilaku naluriah atau instingtif, sebagai thanatos (naluri kematian), yaitu merupakan faktor yang bertanggungjawab terbentuknya energi yang agresif di dalam kehidupan manusia. Ia memiliki pandangan tentang agresif sebagai suatu sikap bermusuhan, suatu energi agresif yang akan membangun dan bersikap kritis serta dapat berkembang menjadi suatu perilaku yang kejam, bersifat merusak.<br />Ahli Ethologist Konrad Lorenz (Shaffer, 1994), menguraikan agresif sebagai suatu naluri perkelahian yang dicetuskan oleh isyarat tertentu di dalam lingkungan. Meski ada perbedaan pandangan yang penting antara psychoanalytic dan ethological tentang agresi, keduanya menganggap perilaku agresif sebagai sikap tidak suka bersosialisasi (anti-sosial) yang diakibatkan oleh satu kecenderungan bawaan bertindak untuk melakukan kekerasan.<br />Sedangkan pada umumnya ahli teori belajar sikap menolak pandangan yang menjelasan naluri yang bersifat merusak dan berbuat sesuatu dengan menggunakan kekerasan, pandangan mereka berpikir bahwa agresi manusia dan perilaku tidak suka bersosialisasi (anti-sosial) sebagai suatu kategori tertentu dari perilaku. Seperti pandangan Bandura (Shaffer, 1994) dan para ahli teori lainnya meyakinkan bahwa agresi sebenarnya hanya merupakan suatu anggapan sosial tentang berbagai tingkah laku, tidak terlepas dari pemahaman dalam mengartikan suatu bentuk perilaku yang dilakukan kepada kita. Kiranya, penafsiran kita tentang sikap tidak agresif atau agresif bergantung pada pribadi, dan situasi sosial, seperti kepercayaan kita sendiri tentang agresi itu sendiri, konteks di mana tanggapan itu terjadi, intensitas tanggapan, identitas dan reaksi orang terlibat terbatas. <br />Applefield (Shaffer, 1994), mendefi¬nisikan agresif sebagai tindakan yang disengaja yang mengakibatkan atau mempunyai kemungkinan mengakibatkan penderitaan fisik atau psikis pada orang lain atau kerusakan barang dan benda. Selanjutnya Bandura, menjelaskan lebih lanjut bahwa agresi adalah perilaku yang berakibat pada penderitaan orang lain dan kerusakan barang atau benda. Penderitaan tersebut dapat bersifat psikis maupun fisik.<br />Dari pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa perilaku agresif adalah tindakan yang dilakukan secara sengaja yang mengakibat penderitaan fisik atau psikis pada orang lain atau kerusakan barang dan benda.<br />Untuk lebih jelasnya, apakah perilaku anak itu dapat dikatagorikan agresif atau tidak, Bandura (Kim Fong Poon-McBrayer and Ming-gon John Lian, 2002) mengemukakan kriteria-kriteria yang perlu menjadi pertimbangan dalam menentukan agresif-tidaknya suatu perilaku anak, yaitu:<br />a. Kualitas perilaku agresif, derajat atau ukuran, tingkatan perilaku agresif terhadap korban baik berupa serangan fisik atau psikis, membuat malu, merusak barang orang lain.<br />b. Intensitas perilaku, sering-tidaknya melakukan tindakan-tindakan yang merugikan atau membahayakan korban.<br />c. Ada kesengajaan, dalam melakukan tindakan agresif, ada niat yang tersurat, sengaja melakukan perilaku agresif. Karakteristik pengamat, yaitu orang yang memperhatikan perilaku agresif yang dilakukan oleh seseorang. Hal ini akan beragam karena akan ditentukan oleh jenis kelamin, kondisi sosial-ekonomi, etnis, pengalaman perilaku agresif dsb.<br />d. Pelaku menghindar ketika orang lain menderita sebagai akibat perbuatan¬nya, tidak ada prasaan bersalah atau berdosa.<br />e. Karakteristik sipelaku itu sendiri, misalnya faktor usia, jenis kelamin, pengalaman dalam berperilaku agresif, dsb.<br />Singkatnya, seorang anak dikatago¬rikan agresif atau tidak akan ditentukan oleh sipengamat itu sendiri yang cenderung subyektif, bobot dan kualitas perilaku agresif, kuantitas atau frekuensi perilaku agresif, ada kesengajaan (niat) untuk memenuhi kebutuhan, harus terlihat ada rasa tanggung jawab (menghindar) apabila diminta pertanggung jawaban, dan karakteristik sipelaku itu sendiri seperti faktor usia dan jenis kelamin. <br />1. Faktor Penyebab<br />Setiap perilaku baik itu bersifat agresif maupun non-agresif pasti ada faktor pendorong atau penyebabnya. Penyebab tersebut bersifat kompleks, tidak tunggal, melainkan kumulatif dari berbagai faktor. Seperti diuangkapkan Sigmun Freud (Davin R. Shaffer,1994) mempercayai bahwa kita semua lahir ke dunia disertai dengan naluri kematian (thanatos). Dimana di dalamnya termasuk segala perilaku kekerasan dan pengrusakan. Menurut pandangannya energi tersebut diperoleh dari makanan secara terus menerus dan berubah menjadi energi yang agresif dan sikap agresif ini yang harus dikeluarkan teratur pada jangka waktu tertentu untuk mencegah sikap mereka meningkat pada tingkatan yang berbahaya. Satu hal yang menarik Freud adalahbahwa dengan bersikap agresi dimana adakalanya berasal di dalam batin, menghasilkan beberapa bentuk dari diri penghukuman diri sendiri, perusakan, atau bahkan bunuh diri.<br />Teori naluri yang kedua tentang agresi berasal dari Ethologist Konrad Lorenz (Shaffer,1994 ) yang membantah bahwa manusia dan binatang mempunyai naluri dasar berkelahi (agresif) yang digunakan untuk melawan terhadap sesamanya. Lorenz berpandangan juga bahwa agresi sebagai suatu sistim hidrolik dimana dapat menghasilkan energi sendiri. Tetapi ia percaya bahwa tindakan agresif secara berkelanjutan akan berkembang sampai pada pelepasan stimulus yang sesuai. Semua jenis naluri termasuk agresi, mempunyai dasar tujuan: untuk memastikan dapat bertahan hidup secara perseorangan dan atau kelompok. <br />Menurut Bandura (Shaffer,1994) teori pembelajaran sosial berasumsi bahwa agresi sebagai suatu jenis yang spesifik dari tingkah laku sosial yang diperoleh dari pengalaman apa yang dilihat, didengar langsung (merupakan hasil belajar). Agresi digambarkan sebagai setiap perilaku diarahkan terhadap tindakan untuk melukai/ merusak/ merugikan orang lain.<br />Kauffman (1985) memaparkan penyebab perilaku agresif dari berbagai sudut pandang teori secara holistik, yaitu faktor bilogis, psikodinamika, frustrasi-agresif, dan teori belajar sosial. <br />a. Teori Biologis diasumsikan bahwa perilaku agresif merupakan perilaku instink, respon kelainan hormon dan susunan kimiawi dalam tubuh, akibat getaran-getaran elektrik yang terjadi pada susunan syaraf pusat. Faktor biologis bukan satu-satunya yang mempengaruhi perilaku agresif.<br />b. Teori Psikodinamika, agresif merupakan dorongan negatif dari agresi (id), karena lemahnya fungsi kesadaran individu yaitu ego dan superego. Teori frustrasi-Agresif, menjelaskan bahwa frustrasi selalu mengakibatkan perilaku agresif, dan perilaku agresif selalu bersumber dari kondisi frustrasi.<br />c. Teori Belajar Sosial, bahwa perilaku agresif bersumber dari hasil belajar atau hasil peniruan (imitasi) dan hasil penguatan.<br />Dari berbagai pandangan tersebut, bahwa penyebab seorang anak berperilaku agresif disebabkan oleh karena hasil imitasi dan penguatan dari lingkungan, ada kelainan hormon dan kelainan susunan kimiawi dalam tubuh, lemahnya ego dan superego dalam mengendalikan id, dan karena frustrasi yangtak terpecahkan sehingga mengalami gangguan emosi. <br />2. Mengendalikan Perilaku Agresif pada Anak<br />Perilaku agresif pada anak dapat diatasi, dikurangi bahkan untuk dihilangkan. Untuk membantu mereka agar terlepas dari perilaku agresif diperlukan teknik dan pendekatan yang komprehensif dan koordinatif. Adapun yang dapat kita lakukan, baik di sekolah maupun di rumah, di antaranya melalui berbagai metoda dan teknik sebagai berikut: <br />Memahami dan menerima pribadi anak<br />Pemahaman terhadap anak merupa¬kan hal mutlak, terlebih pemahaman terhadap anak agresif yang memerlukan bantuan. Setelah dipahami pribadi anak, kita berupaya untuk menerima apa adanya dan sebagaimana mestinya. Pemahaman dan penerimaan akan menumbuhkan sikap simpati dan mungkin empati pada kita/guru. Simpati dan empati akan menubuhkan kepercayaan, hal ini merupakan modal untuk mengarahkan perilaku-perilaku anak ke arah nonagresif. <br /> Ciptakan PAKEM.<br />PAKEM (pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan), akan tercipta apabila program pembelajaran yang pleksibel, disesuaikan dengan kemampuan setiap anak, pengelolaan kelas yang memberikan rasa aman, kenyamanan dan menyenangkan. Dengan terciptanya PAKEM akan mengurangi kondisi-kondisi yang mendorong kegagalan sebagai benih frustrasi. Dengan terhidar dari sifat frustrasi berarti mengurangi perilaku agresif. <br />Melakukan catharsis<br />Melakukan catharsis yaitu menyalurkan perilaku agresif ke aktivitas yang positif dan terhormat, seperti anak yang suka menendang atau memukul teman-teman, merusak benda atau barang di sekitarnya, kita arahkan dan kembangkan motivasi untuk kegiatan bermain drama, sepak bola, bola volly, main hokey dsb. Anak yang suka memaki-maki, marah yang tidak terkendali, menghina, mencemooh orang lain, kita arahkan ke aktivitas yang positif, seperti membaca puisi, bermain peran atau drama, bernyanyi, berceritera dsb. Dengan kegiatan tersebut anak akan merasa puas dan energi agresif akan tersalurkan, terbebas dari membahayakan dirinya maupun orang lain, diterima oleh masyarakat dan mungkin menjadi kebanggaan bagi dirinya. Menurut Freud, energi agresif dapat dikeluarkan dan diterima pada kehidupan sosial seperti melalui pekerjaan atau permainan yang bertenaga, lebih sedikit aktivitas yang tidak diinginkan seperti menghina orang lain, perkelahian, atau pengrusakan.<br />a. Menghapuskan pemberian imbalan.<br />Menghapuskan pemberian imbalan atau istilah lain penguatan negatif, yaitu menghilangkan rangsangan yang tidak menyenangkan (hukuman) setelah ditampilkan perilaku yang diharapkan akan memperkuat munculnya frekuensi perilaku yang diharapkan tersebut. Penghilangan yaitu menahan ganjaran yang diharapkan seperti yang diberikan sebelumnya akan menurunkan frekuensi munculnya perilaku yang semula mendapat penguatan. Penundaan berarti meniadakan ganjaran karena belum ditampilkan perilaku tertentu yang diharapkan, maka akan menurunkan frekuensi munculnya perilaku yang tidak diinginkan. <br />b. Strategi memperagakan/pelatihan<br />Upaya yang dilakukan melalui peraga¬an atau penampilan dalam pemecahan suatu masalah yang tidak menggunakan perilaku agrasif. Tanggapan yang tidak cocok/bertentangan dengan agresi boleh juga ditanamkan dengan memperagakan atau strategi pelatihan. Ketika anak melihat suatu contoh dan memilih solusi yang tidak agresif terhadap suatu konflik atau dengan tegas dilatih dalam pemakaian metoda-metoda yang tidak agresif tentang pemecahan masalah, mereka menjadi lebih mungkin untuk menetapkan solusi yang serupa kepada permasalahan mereka sendiri. Pelatihan metoda yang efektif dalam mengatasi konflik secara berkesinambungan merupakan hal yang utama dan bermanfaat bagi anak yang agresif.<br />Menciptakan lingkungan nonagresif<br />Jika kita bermaksud untuk mengurangi timbulnya perilaku agresif pada anak, maka kita harus membebaskan lingkungan sekitar dari perilaku-perilaku agresif, menghilangkan rangsangan-rangsangan yang dapat menumbuhkan perilaku agresif. Misalnya dengan menghilangkan tontonan, bacaan, yang memperlihatkan kekerasan, keberutalan, kesadisan dsb, terutama film-film adegan-adengan yang ada pada TV, komik, dan bacaan lainnya. <br />Mengembangkan sikap empati<br />Anak-anak prasekolah dan individu sangat agresif lain bisa tidak berempati dengan korban-korban mereka. Mereka mungkin tidak merasa menderita walaupun merugikan orang lain (berperilaku agresif). Kita dapat membantu mengembangkan sikap empati mereka melalui contoh kegiatan, seperti: a) menunjukan konsekuensi-konsekuensi yang berbahaya dari tindakan-tindakan anak yang agresif, b) menempatkan anak di tempat kejadian korban dan membayangkan bagaimana rasanya menjadi korban.<br />Hukuman<br /> Apabila pendekatan-pendekatan di atas tidak efektif, maka dapat dilakukan dengan memberi hukuman yang bersifat mendidik dan manusiawi. Adapun pedoman yang harus dijadikan acuan apabila memberi hukuman yaitu: <br />a) Gunakan hukuman hanya setelah metode koreksi positif telah gagal dan ketika membiarkan perilaku tersebut berlanjut akan menyebabkan konsekuensi-konsekuensi negatif yang lebih serius daripada tingkat hukuman yang dilakukan.<br />b) Hukuman harus digunakan hanya oleh orang-orang yang memiliki kedekatan dan penuh kasih sayang terhadap anak ketika tingkah lakunya dapat diterima dan yang menawarkan banyak dukungan positif untuk perilaku non-agresif.<br />c) Menghukum seperti apa adanya, tanpa kejengkelan, ancaman, atau melanggar moral.<br />d) Hukuman harus bersifat adil, konsisten dan segera.<br />e) Hukuman harus intens secara akal dan proporsional. <br />f) Bila memungkinkan, hukuman harus melibatkan biaya respons (kehilangan hak-hak istimewa atau hadiah atau menarik diri dari perhatian) daripada perlakuan permusuhan.<br />g) Bila memungkinkan, hukumannya harus terkait langsung dengan perilaku agresif, memungkinkan anak untuk membuat restitusi, dan/atau mempraktekkan perilaku alternatif yang lebih adaptif.<br />h) Jangan langsung memberikan penguatan positif segera setelah hukuman, anak mungkin belajar berperilaku agresif kemudian menanggung hukuman untuk mendapatkan dukungan.<br />i) Menghentikan hukuman jika tidak segera efektif.<br /><br /> <br />KESIMPULAN<br /><br /> <br />Perilaku agresif merupakan salah satu bentuk perilaku anak yang mengalami hambatan emosi dan sosial. Perilaku agresif berbeda dengan perilaku kekerasan. Perilaku agresif bertentangan dengan norma-norma hukum yang berlaku dan harapan masyarakat sehingga dikatagorikan perilaku anti-sosial.<br />Dampak perilaku agresif sangat merugikan anak itu sendiri maupun lingkungan, sehingga perlu dibantu untuk mengatasinya. Upaya tersebut dapat dilakukan secara koordinatif antara orang tua dan guru di sekolah. <br />Untuk menetapkan apakah anak dikatagorikan berperilaku agresif atau tidak, kita dapat melihat dan mengacu pada kriteria: bobot dan kualitas dari perilaku agresif, kuantitas atau frekuensi perilaku agresif, ada-tidaknya kesengajaan dari subyek, adanya penghindaran atau tidak ada rasa tanggung jawab, penilaian dari pengamat yang cenderung subyektif (relatif), dan karakteristik pelaku itu sendiri, seperti faktor usia dan jenis kelamin.<br />Penyebab seorang anak berperilaku agresif bersifat kompleks, di antaranya perwujudan dari: hasil imitasi dan penguatan dari lingkungan, ada kelainan hormon dan kelainan susunan kimiawi dalam tubuh, lemahnya ego dan superego dalam mengendalikan id, dan frustrasi yang tidak terpecahkan sehingga mengalami gangguan emosi. <br />Upaya membantu mengatasi perilaku agresif pada anak dapat digunakan berbagai teknik atau cara, seperti: Pemahaman dan penerimaan terhadap pribadi anak, menciptakan PAKEM, mengembangkan katarsis, menghapuskan pemberian imbalan, strategi memperagakan/pelatihan, menciptakan lingkungan nonagresif, mengembangkan sikap empati, dan penghukuman. Teknik penghukuman sebaiknya dihindarkan, namun apabila terpaksa, hendaknya bersifat mendidik dan manusiawi, disadari, tidak emosional, dan penuh rasa tanggung jawab. <br /> <br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br /> <br />Breakwell. Glynis.M. 1998. Coping Aggressive Behaviour. Mengatasi Perilaku Agresif. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.<br />Kauffman, J.M. (1985). Characteristics of Childrens Behavior Disorder, Colombus: Charles C. Merillil.<br />Kim Fong Poon-McBrayer and Ming-gon John Lian. (2002). Special Needs Education. Children With Exceptionalities. The Chinese University Press. Hongkong.<br />Shaffer, R . Davin. 1994. Social and Personality Development. University Of Georgia Edisi 3 . New York: Brooks/Cole Publising Company.Pacific Grove, California.JASSI_AnakKuhttp://www.blogger.com/profile/12273050106097217296noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4574434941553048680.post-17311655348321819482012-01-27T05:16:00.000-08:002012-01-27T05:17:14.002-08:00Asesmen Keterampilan Menulis dalam Pendidikan Anak Berkebutuhan KhususTjutju Soendari<br />Universitas Pendidikan Indonesia<br /><br />ABSTRAK<br />Dalam konteks pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), asesmen berfungsi untuk melihat kemampuan dan kesulitan yang dihadapi seorang siswa, sebagai bahan untuk menentukan apa yang sesungguhnya dibutuhkan dalam pembelajarannya. Dengan perkataan lain, asesmen digunakan untuk menentukan dan menetapkan dimana letak masalah yang dihadapi serta apa yang menjadi kebutuhan belajar seorang siswa saat ini. Kajian ini mendeskripsikan tentang asesmen keterampilan menulis bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Pembahasan difokuskan pada penetapan ruang lingkup keterampilan menulis, bagaimana mengases dan menganalisis hasil asesmen keterampilan menulis. <br />Kata Kunci: Asesmen, keterampilan menulis<br /><br />PENDAHULUAN<br /> <br />Ketika seorang siswa mengalami kesulitan dalam keterampilan menuliskan sesuatu, maka guru seyogianya mampu mengases kemampuan siswa tersebut untuk mengembangkan keterampilan yang diperlukan. Monroe (1973) mengemukakan mungkin metoda terbaik dan paling mudah untuk guru dalam mengases kesulitan menulis adalah melalui suatu pendekatan inspeksi visual (a visual inspection approach), yaitu guru hanya mengamati siswa ketika ia membuat bentuk-bentuk huruf dan menentukan tindakan tertentu yang dalam proses pembentukan tersebut menyebabkan siswa tersebut mengalami kesulitan (Payne & Payne,1981:216). Di Negara-negara yang sudah maju banyak alat ukur keterampilan menulis yang dapat digunakan, seperti: Writing Our Language, Wide Range Achievement Test, dan the Slingerland. Tes-tes tersebut digunakan untuk menggali kesalahan-kesalahan dalam menulis secara spesifik dan digunakan sebagai alat informasi diagnostik tentang diri siswa. Namun walaupun demikian, guru tetap harus meneliti secara visual tulisan tangan siswa yang bersangkutan yang kemudian merencanakan bagaimana strategi dalam melaksanakan remediasinya. <br />Secara umum, tampaknya tidak ada test formal untuk mengases keterampilan menulis seorang siswa, terutama keterampilan menulis untuk anak berkebutuhan khusus. Suatu tes visual yang secara tertutup (a close visual examination) kelihatannya dapat memberikan informasi yang memadai kepada para guru untuk membantu para ABK dalam mengembangkan atau meremediasi keterampilan menulis yang lebih spesifik. Pengembangan tentang keterampilan-keterampilan pramenulis sangat memerlukan ketajaman indera pendengaran dan penglihatan yang memadai, juga koordinasi antara berbagai modalities dengan gerak-gerak motorik. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk memasuki sekolah formal, seorang ABK tidak diasumsikan memiliki ketajaman visual, auditory dan aktivitas motorik yang sama dengan anak-anak pada umumnya dimana mereka mungkin telah menguasainya pada saat masuk sekolah. Payne (1981:217) mengemukakan aktivitas yang sangat bermakna dalam program kesiapan (readiness program), di mana seorang siswa harus mampu memanipulasi berbagai obyek, seperti balok, manik-manik, kacang-kacangan dan baut-baut, dan sebagainya yang memungkinkan siswa mampu mengembangkan gerakan-gerakan yang akan memudahkan dalam mengembangkan keterampilan menulisnya. Guru dapat mendorong siswa melalui manipulasi berbagai obyek untuk membantu mengembangkan atau memperkuat kemampuannya seperti: menyentuh, menjangkau, menggenggam, dan melepaskan obyek. Kajian asesmen keterampilan menulis dalam pendidikan ABK ini membahas tentang bagaimana menetapkan ruang lingkup materi keterampilan menulis, bagaimana menyu¬sun kisi-kisi asesmen informal keterampilan menulis , dan bagaimana mengembangkan alat ukur asesmen informal keterampilan menulis berdasarkan kisi-kisi yang telah dibuat serta bagaimana melaksanakan dan menganalisis hasil asesmen informal keterampilan menulis dalam pendidikan ABK <br /><br /> <br /><br />PEMBAHASAN<br /><br /> <br />Penetapan Ruang Lingkup Materi Keterampilan Menulis <br />Yang dimaksud dengan asesmen keterampilan menulis adalah suatu proses dalam memperoleh informasi tentang penguasaan atau keterampilan menulis yang telah dimiliki siswa saat ini serta untuk menemukan kesulitan hambatan dalam mempelajari keterampilan menulis yang dialaminya. Adapun tujuan asesmen keterampilan menulis untuk mengetahui gambaran secara menyeluruh keterampilan menulis apa yang telah dikuasai siswa dan keterampilan menulis apa yang belum dikuasai siswa. Dengan demikian hasil asesmen akan menjadi landasan bagi penyusunan program pembelajaran menulis siswa yang bersangkutan. Untuk dapat melakukan asesmen keterampilan menulis dengan baik, maka perlu pemahaman tentang pengertian keterampilan menulis.<br />Terdapat beberapa pendapat tentang pengertian menulis. Lerner (1985) mengemukakan bahwa menulis adalah menuangkan ide ke dalam suatu bentuk visual. Tarigan (1986) menjelaskan bahwa menulis adalah melukiskan lambang-lambang grafis dari bahasa yang dipahami oleh penulisnya maupun orang-orang lain yang menggunakan bahasa yang sama dengan penulis tersebut. Sedangkan Hargrove & Poteet (1984) mengemukakan bahwa menulis merupakan penggambaran visual tentang pikiran, perasaan dan ide dengan menggunakan simbol-simbol sistem bahasa penulisnya untuk keperluan komunikasi atau mencatat. Dari sekian banyak pendapat di atas Mulyono Abdurahman (1996:192) menyimpulkan bahwa menulis merupakan: (a) salah satu komponen system komunikasi, (b) penggambaran pikiran, perasaan, dan ide ke dalam bentuk lambang-lambang bahasa grafis, dan (c) dilakukan untuk keperluan mencatat dan komunikasi. <br />Untuk dapat melaksanakan asesmen keterampilan menulis dan menyusun program yang baik, guru perlu mengetahui secara umum organisasi materi keterampilan menulis dan jenis-jenis keterampilan yang terkait. Pada dasarnya materi keterampilan menulis mencakup empat keterampilan, yaitu: (a) keterampilan pramenulis, (b) keterampilan menulis permulaan, (c) keterampilan mengeja, dan (d) keterampilan menulis lanjutan (mengarang)(Sunardi,1997). <br />Selanjutnya Sunardi (1997:4) mengemukakan bahwa keterampilan pramenulis mencakup: (a) meraih, meraba, memegang, dan melepas benda, (b) mencari perbedaan dan persamaan berbagai benda, bentuk, warna, bangun, dan posisi, (c) menentukan arah kiri, kanan, atas, bawah, depan, dan belakang. Sedangkan keterampilan menulis dengan tangan (permulaan) meliputi: (a) memegang alat tulis, (b) menggerakkan alat tulis (atas-bawah,kiri-kanan,melingkar), (c) menyalin huruf, kata, kalimat dengan huruf balok, (d) menulis namanya dengan huruf balok, (e) menyalin huruf balok dari jarak jauh, (f) menyalin huruf, kata, kalimat dengan tulisan bersambung, dan (g) menyalin tulisan bersambung dari jarak jauh. Adapun keterampilan mengeja mencakup: (a) mengenal huruf abjad, kata, (b) mengucapkan kata yang diketahuinya, (c) mengenal perbedaan/persamaan konfigurasi kata, (d) mengasosiasikan bunyi dengan huruf, (e) mengeja kata, (f) Menemukan aturan ejaan kata, dan (g) menuliskan kata dengan ejaan yang benar. <br />Adapun keterampilan menulis lanjut atau ekspresif (mengarang) seperti yang dikemukakan Moh.Amin (1995) meliputi: (a) reproduksi, (b) deskripsi (uraian), (c) ciptaan dan (d) karangan Penjelasan. Selanjutnya dijelaskan bahwa dalam membuat karangan reproduksi, siswa menceriterakan kembali karangan yang telah dibuat oleh orang lain. Siswa tidak perlu menyebutkan kembali semua kata yang terdapat pada teks bacaan aslinya. Siswa boleh menggantinya dengan kata-kata yang dipilihnya dan boleh membuang bagian-bagian yang dianggap kurang penting atau menambahkan bagian-bagian yang dianggapnya lebih memperjelas maksud karangan. Karangan reproduksi ini penting, karena: (a) mengimbangi gagasan yang belum dapat siswa susun sendiri sehingga memberikan kesempatan berlatih menyatakan pikiran, perasaan, dan kehendak sekalipun mereka belum dapat menyusunnya sendiri, dan (b) waktu mereproduksikan karangan orang lain, siswa melihat bagaimana cara orang lain menyusun perasaan, pikiran dan kehendak.<br />Pada karangan uraian (deskripsi) siswa berlatih mengemukakan sesuatu sebagaimana adanya. Disini siswa sudah tidak hanya menyatakan kembali pikiran, perasaan, dan kehendak orang lain lagi, melainkan merumuskan kenyataan-kenyataan menjadi kata-kata dan kalimat. Misalnya tentang apa yang dilakukannya sebelum pergi sekolah, apa yang dilihatnya di jalan, dan sebagainya. Jenis karangan ini lebih sulit dari pada karangan reproduksi. Disamping harus merumuskan kenyataan menjadi kata-kata dan kalimat, dalam karangan ini siswa harus juga menentukan dari mana akan memulai dan di mana akan berakhir.<br />Dalam karangan ciptaan, siswa harus merumuskan pikiran, perasaan, dan kehendak yang tidak dirumuskan dahulu oleh orang lain. Kenyataan-kenyataan mungkin masih dipergunakannya sebagai bahan, akan tetapi harus diberinya warna baru. Dalam membuat karangan ciptaan, siswa harus merumuskan apa yang sebenarnya sedang tidak terjadi. Misalnya membuat surat permisi karena sakit padahal dalam keadaan sehat, menyatakan apa yang akan dikerjakannya kalau sudah besar padahal masih kanak-kanak, dan sebagainya.<br />Dalam karangan penjelasan, siswa menjelaskan mengapa sesuatu dikerjakan atau harus dikerjakan, bagaimana cara mengerjakan pekerjaan itu, dan sebagainya. Judul karangan ada yang menarik minat siswa ada juga yang tidak. Judul menarikpun ada yang sukar dikarang apalagi yang tidak menarik. Menurut hasil penelitian hal-hal yang menarik perhatian anak usia 7-10 tahun ialah pengalaman pribadi, peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan perubahan musim, dongeng, permainan, hal-hal yang berkenaan dengan anak dan orang tuanya, hal-hal mengenai binatang, dan ceritera tentang orang-orang istimewa atau terkenal. Selanjutnya hal-hal yang menarik perhatian anak usia 11 tahun atau lebih ialah pengalaman sendiri, pengalaman pergi dan petualangan, olah raga dan kelakuan di luar ruang kesusasteraan, ceritera binatang, kehidupan di rumah, hobi, peristiwa-peristiwa hangat, cerita orang-orang ternama, dan khayal; sedangkan hal-hal yang jarang menarik perhatian anak adalah pembicaraan mengenai kesehatan, kemasyarakatan, kenegaraan, penjelasan-penjelasan tentang peribahasa dan kata-kata mutiara, penjelasan-penjelasan yang sering menge¬nai benda-benda seperti payung, kaos kaki, dan sebagainya. <br />Asesmen Informal Keterampilan Menulis <br />Keterampilan menulis bersifat multidiensi, sehingga tidak dapat diukur secara tepat hanya dengan menghitung skor atau kualitas komposisi tulisan siswa. Seperti halnya keterampilan membaca, sebenarnya dapat dikembangkan tes-tes yang berstandar untuk mengukur keterampilan menulis. Namun demikian, di Indonesia masih sulit dicari tes-tes semacam itu. Oleh karena itu, guru harus mengadakan asesmen secara informal. Artinya, guru itu sendiri yang menyusun, memberikan, dan menafsirkan hasil asesmen sendiri. Dengan pengetahuan guru tentang ruang lingkup materi keterampilan menulis, guru dapat dengan mudah menyusun asesmen informal baik dalam bentuk daftar atau tabel. Berikut dikemukakan contoh kisi-kisi asesmen informal keterampilan menulis berdasarkan ruang lingkup materi di atas.<br /> <br /><br /><br />Tabel 1<br />Contoh Kisi-kisi Asesmen Informal Keterampilan Menulis<br /><br />Ruang lingkup Penjabaran Materi<br />Pramenulis a. Meraih, meraba, memegang, dan melepas benda<br />b. Mencari perbedaan/persamaan berbagai obyek,bentuk, warna, ukuran<br /><br /> <br />Menulis Permulaan a. Memegang alat tulis<br />b. Menggerakkan alat tulis (atas-bawah,kiri-kanan,melingkar)<br />c. Menyalin huruf, kata, kalimat dengan huruf balok<br />d. Menulis namanya dengan huruf balok<br />e. Menyalin huruf balok dari jarak jauh <br />f. Menyalin huruf, kata, kalimat dengan tulisan bersambung<br />g. Menyalin tulisan bersambung dari jarak jauh<br /><br />Keterampilan Mengeja a. Mengenal huruf abjad, kata (misalnya,dari namanya sendiri)<br />b. Menuliskan kata yang diketahuinya<br />c. Mengenal perbedaan/persamaan konfigurasi/bentuk kata<br />d. Mengasosiasikan bunyi dengan huruf<br />e. Mengeja kata<br />f. Menemukan aturan ejaan kata<br />g. Menuliskan kata dengan ejaan yang benar<br /><br />Keterampilan (Menulis Lanjut) Mengarang a. Reproduksi<br />b. Deskripsi (uraian)<br />c. Ciptaan<br />d. Penjelasan<br /><br /><br /> <br />Selain yang dikemukakan di atas, guru dapat pula membuat kisi-kisi asesmen informal keterampilan menulis berdasarkan kurikulum yang berlaku saat ini. Berikut dikemukakan contoh kisi-kisi instrumen asesmen keterampilan menulis berdasarkan KTSP PP No.22 dan 23 Tahun 2006. <br /> <br /><br />Tabel 2<br />Contoh Kisi-kisi Asesmen Informal Keterampilan Menulis<br />(Kls 1/Smt 1 SD/MI Berdasarkan KTSP PP No.22 dan 23 Tahun 2006)<br /><br />Standar Kompetensi Kompetensi Dasar Indikator<br />Menulis permulaan dengan menjiplak, menebalkan, mencontoh, melengkapi, dan menyalin 1.1 Mempersiapkan diri untuk belajar dasar-dasar menulis (Melemaskan otot tangan) 1. Meniru gerakan<br />2. Menulis di udara<br />3. Menebalkan bentuk benda<br />4. Menirukan gerakan (naik, turun, berkelok)<br />5. Membentuk gambar benda<br />6. Menebalkan gambar<br /> 1.2. Menebalkan berbagai bentuk gambar, bentuk huruf, dan kata 1. Menebalkan huruf<br />2. Menebalkan kata<br />3. Melengkapi suku kata menjadi kata<br /> 1.3.Mencontoh huruf, kata, atau kalimat sederhana dari buku atau papan tulis 1. Menebalkan huruf<br />2. Mencontoh tulisan huruf dengan menyalin<br />3. Mencontoh tulisan kata dengan menyalin<br />4. Mencontoh tulisan kalimat sederhana dengan menyalin<br />5. Melengkapi kata dengan huruf yang tepat<br />6. Melengkapi kalimat sesuai dengan gambar<br /> <br /> <br /> <br /> 1.4. Menebalkan gambar, mencontoh huruf, kata, atau kalimat sederhana 1. Menulis huruf dengan rapi<br />2. Menulis dan menyalin kata dengan rapi<br />3. Melengkapi kalimat<br /> 1.5. Mencontoh huruf, kata, atau kalimat sederhana dari buku atau papan tulis 1. Menebalkan dan mencontoh kalimat<br />2. Mencontoh kalimat<br />3. Melengkapi kata <br />4. Melengkapi kalimat<br />5. Menyusun kalimat acak<br /> 1.6 menyalin kalimat sederhana dengan huruf lepas 1. Menulis kata sesuai gambar<br />2. Menyalin kalimat<br />3. Melengkapi kalimat<br /><br /> <br />Pengembangan Alat Ukur Asesmen Informal Keterampilan Menulis <br />Pengembangan alat ukur asesmen informal keterampilan menulis dibuat berdasarkan kisi-kisi yang telah disusun. Dengan demikian kisi-kisi yang telah tersusun akan menjadi landasan dalam pembuatan alat ukur tersebut. Alat ukur dikembangkan berdasarkan indikator-indikator yang telah dijabarkan dari subkomponen keterampilan menulis yang telah dipahami baik pengertiannya maupun ruang lingkupnya. Terdapat beberapa bentuk asesmen informal keterampilan menulis (Resmini,N, 2010:813), yaitu: portofolio, rubrik, cuplikan kerja, diskusi, catatan anekdotal, jurnal, contoh tulisan, observasi dan checklist (penandaan). Sunardi (1997:7) mengemukakan bahwa untuk keterampilan menulis terkecuali asesmen keterampilan pramenulis, asesmen yang paling praktis adalah menganalisis sampel hasil tulisan siswa. Disarankan paling tidak tiga sampel tulisan siswa, yaitu tulisan dalam kondisi normal, tulisan terbaik, dan tulisan tercepat Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh berikut ini.<br /> <br /><br />Tabel 3<br />Contoh Pengembangan Alat Ukur Asesmen Informal <br />Keterampilan Pramenulis<br /><br />IDENTITAS SISWA<br />Nama : Kelas :<br />Usia / jenis kelamin : Sekolah :<br /><br />Pokok <br />Bahasan Sub Pokok Bahasan Alat Ukur Kemampuan Keterangan<br /> Dpt Tdk <br />1. Pra¬menulis<br /><br /><br />a. Meraih, meraba, memegang, dan melepaskan benda 1)Siswa diminta untuk mengambil obyek-obyek kecil yang disediakan asesor/guru<br />2) Siswa diminta untuk meraba obyek-obyek kecil yang disediakan asesor/guru<br />3) Siswa diminta untuk memegang obyek-obyek kecil yang disediakan asesor/guru<br />4) Siswa diminta untuk melepas/menja¬tuhkan/membuang obyek-obyek kecil yang disediakan asesor/guru <br /><br />Tabel 4<br />Contoh Pengembangan Alat Ukur Asesmen Informal <br />Keterampilan Mengeja<br /><br />IDENTITAS SISWA<br />Nama : Kelas :<br />Usia / jenis kelamin : Sekolah :<br /><br />SAMPEL<br />TULISAN Tugas 1. Mengenal huruf abjad, kata<br />a. Tulislah namamu sendiri!<br /> Kondisi normal <br /> Tulisan terbaik <br /><br /> Tulisan tercepat <br /><br /><br />Tabel 5<br />Contoh Pengembangan Alat Ukur Asesmen Informal <br />Keterampilan Menulis Lanjut (Mengarang)<br /><br />IDENTITAS SISWA<br />Nama : Kelas :<br />Usia / jenis kelamin : Sekolah :<br /><br />Tugas (karangan reproduksi): Tulislah apa yang kamu pahami dari teks bacaan yang tersedia di bawah ini! (Guru/asesor menyediakan teks bacaan sesuai dengan tingkat/kelas siswa yang bersangkutan)<br /><br /><br /><br /><br /><br /> <br />Pelaksanaan dan Analisis Hasil Asesmen Keterampilan Menulis <br />Seperti yang dikemukakan sebelumnya bahwa untuk keterampilan menulis, terkecuali asesmen keterampilan pramenulis, asesmen yang paling praktis adalah menganalisis sampel hasil tulisan siswa. Oleh karena itu prosedur pelaksanaan asesmen keterampilan menulis yang pertama adalah meminta sampel hasil tulisan siswa. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan sebelum siswa melakukan tugas yang diminta, yaitu: a) berikan pengarahan yang jelas, b) berikan Lembar Kerja Siswa (LKS), dan c) bubuhkan identitas siswa. Kedua, Guru/asesor mengamati proses menulis siswa. Ada beberapa komponen yang dapat diamati dalam pelaksanaan asesmen keterampilan menulis (Sunardi, 1997), di antaranya: a) memegang pensil dengan benar, b) arah menulis (dari kiri ke kanan), c)posisi kertas/buku, d) posisi duduk siswa, e) jarak mata dengan kertas/buku, f) kondisi siswa saat menulis (tegang, frustrasi, emosional), dan g) sikap yang ditunjukkan siswa (negatif, bosan, mengganggu ). Untuk lebih jelasnya perhatikan tabel pengamatan proses menulis siswa berikut ini. <br /> <br /><br />Tabel 6<br />Komponen yang Dapat Diamati dalam Pelaksanaan Asesmen Keterampilan Menulis (Sunardi, 1997)<br /><br /> <br />Komponen yang diamati Hasil Keterangan<br /> Tepat Kurang tepat Tidak tepat <br />1. Memegang pensil dengan benar<br />2. Arah menulis (dari kiri ke kanan)<br />3. Posisi kertas/buku<br />4. Posisi duduk siswa<br />5. Jarak mata dengan kertas/buku<br />6. Kondisi siswa saat menulis (tegang, frustrasi, emosional)<br />7. Sikap yang ditunjukkan siswa (negatif, bosan, mengganggu). <br /><br /> <br />Langkah selanjutnya adalah menganalisis sampel hasil tulisan siswa. Adapun aspek-aspek yang dianalisis antara lain adalah bentuk huruf/kata, ukuran, letak dan proporsi huruf, konsistensi jarak antar huruf, konsistensi tebal-tipis huruf, konsistensi tegak-miring huruf, dan kecepatan dalam menulis. Adapun aspek-aspek untuk menganalisis hasil asesmen keterampilan mengarang, diantaranya adalah aspek kelancaran, kosakata, struktur dan tanda baca, dan isi karangan yang meliputi: ketepatan, kekayaan ide, dan organisasi.<br /> <br /><br />KESIMPULAN<br /> <br />Secara garis besar organisasi materi keterampilan menulis mencakup empat keterampilan besar, yaitu: keterampilan pramenulis, keterampilan menulis permulaan, keterampilan mengeja, dan keterampilan menulis lanjutan (mengarang). Terdapat empat jenis karangan, yaitu karangan reproduksi, karangan uraian, karangan ciptaan, dan karangan penjelasan. <br />Ada beberapa hal yang dapat diamati pada saat pelaksanaan asesmen keterampilan menulis, di antaranya adalah: Memegang pensil dengan benar, arah menulis (dari kiri ke kanan), posisi kertas/buku, posisi duduk siswa, jarak mata dengan kertas/buku, kondisi siswa saat menulis (tegang, frustrasi, emosional), sikap yang ditunjukkan siswa (negatif, bosan, mengganggu). <br /><br /> <br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA <br />Abdurahman, Mulyono, (2001).Pendidikan bagi Anak berkesulitan Belajar, Jurusan PLB UNJ Jakarta.<br />Abdurahman, Mulyono dan Estiningsih, E.(1997).Menangani Kesulitan Belajar Berhitung, Jakarta: Depdikbud.<br />Amin, Moh. (1995).Ortopedagogik anak tunagrahita, Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.<br />Depdiknas (2006).Standar Isi, Standar kompetensi Lulusan, dan Panduan Penyusunan KTSP Sekolah Dasar, Jakarta: Badan Standar Nasional Pendidikan-Dikti.<br />Hargove, Linda J & Poteet, James A. (1984).Assesment in Special Education, The Education Evaluation, New Jersey, Prentice Hall, Inc.<br />Hargove, Linda J and Poteet, James A (1984), Assesment children, introduction to special education, Boston : Alyn Bacon.<br />Lerner, Janet,W. (1989).Learning Disabilities, Teories, Diagnosis, and teaching Strategies, USA: Houghton Mifflin Company.<br />McLoughlin,James,A. & Lewis, Rena,B (1981).Assessing Special StudentsStrategies and Procedures, USA: Merril Publishing Company.<br />Mercer Cecil D & Mercer, Ann,R (1989), Teaching student with Learning Problems, , USA: Merill Publishing Company.<br />Myers, Patricia (1986). Methods for Learning disorder, New York: John Wiley and Sons<br />Payne & Payne (1981).Strategies for Teaching Mentally Retarded 2nd, USA: Charles E.Merrill Publishing Company.<br />Resmini, N.(2010).Asesmen dalam Pengajaran Menulis di Sekolah Dasar, dalam Proceeding 2nd International Seminar 2010 Practice Pedagogic in Global Education Perspective, Bandung: UPI<br />Rochyadi & Alimin, Z (2005).Pengembangan Program Individual Bagi Anak Tunagrahita, Jakarta: Depdiknas.<br />Rochyadi & Soendari (2001).Tingkat Penerapan dan pemahaman Program Individualisasi Pendidikan (IEP) Oleh Guru-guru SLB di Kodya Bandung, Jakarta: Proyek Pengkajian dan Penelitian Ilmu Pengetahuan, Dikti.<br />Soendari, T (1996).Penerapan Program Individualisasi dalam Pengajaran Berhitung bagi Anak Luar Biasa, (Makalah disajikan dalam P2M pada Guru-guru SLB di Kodya Bandung). <br />Suaheri, HN. (1987).Ortodidaktik Anak Tunagrahita III, Jurusan PLB- FIP- IKIP Bandung.<br />Sunardi & Muchlisoh (1997).Menangani Kesulitan Belajar Membaca, Jakarta: Depdikbud.<br />Yusuf, Munawir, dkk (1997).Mengenal Siswa Berkesulitan Belajar, Jakarta: Depdikbud.JASSI_AnakKuhttp://www.blogger.com/profile/12273050106097217296noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4574434941553048680.post-80368316506933351982012-01-27T04:56:00.000-08:002012-01-27T04:57:27.339-08:00Pembelajaran Menulis dengan Pendekatan Menulis Proses bagi Siswa TunarunguEndang Purbaningrum dan Yuliyati<br />Universitas Negeri Surabaya<br /><br />ABSTRAK<br /><br />Menulis merupakan keterampilan akademik dan alat komunikasi yang signifikan bagi siswa tunarungu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pembelajaran menulis dengan pendekatan proses, terutama dalam keterampilan menyusun kalimat, paragraf, dan dalam mendeskripsikan hal-hal yang konkrit secara spontan. Penelitian dilakukan melalui studi eksperimen dengan desain kelompok kontrol pretest – posttest. Sampel penelitian adalah 20 siswa kelas tinggi di SLB Karya Mulia Surabaya. Hasil evaluasi normalitas menunjukkan bahwa kondisi kelompok perlakuan dan kelompok kontrol homogen dengan p = 0.200. Hasil uji t sampel bebas, menunjukkan bahwa antara kelompok perlakuan dan dengan kelompok kontrol terdapat perbedaan yang bermakna, baik dalam kemampuan menyusun kalimat, menyusun paragaraf maupun dalam kemampuan menulis spontan deskripsi benda konkret. Hal ini menunjukkan bahwa intervensi pembelajaran menulis dengan pendekatan proses lebih besar pengaruhnya pada peningkatan performansi siswa tunarungu dibandingkan pembelajaran menulis transisional yang diterapkan guru.<br />Kata kunci: Pembelajaran menulis, menulis proses, tunarungu. <br /><br /> <br />PENDAHULUAN<br /><br /> <br />Keterampilan menulis bagi siswa tunarungu (STR) merupakan hal mendasar dan penting sebab dalam proses belajar mengajar, menulis merupakan alat utama unjuk kerja tugas-tugas akademik, sarana berharga memperdalam pengetahuan, memperluas wawasan, metode efektif menggali ide, mengasah daya pikir siswa, juga merupakan prasyarat STR untuk dapat berintegrasi ke sekolah umum melalui pendidikan terpadu atau inklusi (Depdinas,2001). Namun, bagi STR keterampilan menulis merupakan pemerolehan bahasa yang sulit dan memberikan frustrasi besar (Quigley & Paul, 1984).<br /> Penyebab kesulitan tersebut karena STR telah kehilangan kemampuan mendengar. Ketidakmampuan mendengar secara otomatis menghambat keseluruhan perkembangan berbahasa berbicara, membaca, dan menulis. Meskipun demiki¬an, menurut Kretschmer & Kretschmer (1978) umumnya STR mempunyai potensi untuk belajar berbahasa secara normal, mencakup kefasihan dalam berkomunikasi antar pribadi, kemampuan membaca deretan bahan cetak dan kemampuan menulis kalimat runtut. Kemampuan menulis STR dapat berkembang bila seluruh potensinya dibina dan dikembangkan. Melalui penggunaan bahasa isyarat dan optimalisasi penyerapan visual dengan visualisasi pola-pola pembelajaran (gambar, foto, benda konkret, diagram, dsb), pemanfaatan sisa pendengaran, bina persepsi bunyi dan irama (BPBI), berbicara, membaca, dan menulis (Berk & Winsler, 1995:88). <br /> Potensi keterampilan menulis STR dalam kenyataannya belum dikembangkan secara maksimal oleh guru-guru tunarungu. Hal itu terbukti dengan temuan beberapa penelitian dan kajian awal yang telah dilaksanakan. Di antaranya penelitian Balitbang Depdikbud yang dilaksanakan sejak tahun 1960-1981 menunjukkan bahwa rata-rata pertahun jumlah STR yang mampu berintegrasi ke sekolah umum sekitar 0.12 % dari jumlah STR yang bersekolah (Tangyong & Belen, 1986). Padahal penelitian Parving (1992) tentang intervensi dini pengembangan bahasa ATR, menunjukkan banyaknya siswa tunarungu yang mampu berintegrasi ke sekolah umum di Amerika, dengan rincian: 80 % bagi anak dengan tingkat ketunarunguan kurang dari 75dB, dan 11 % bagi anak dengan ketunarunguan di atas 75 dB. Bila dibandingkan, nampaklah bahwa anak tunarungu Indonesia sangat sedikit prosentasenya yang mampu berintegrasi ke sekolah umum. Sedikitnya jumlah tersebut karena rendahnya kemampuan berbahasa, terutama kemampuan menulisnya.<br />Dari pengamatan pelaksanaan pembelajaran di SLB-B/SDLB-B dan diskusi dengan mahasiswa penyetaraan (guru-guru STR se Jawa Timur) di PLB Universitas Negeri Surabaya menunjukkan kurangnya perhatian terhadap pembelajaran menulis dan rendahnya keterampilan menulis STR. Secara ringkas dikemukakan sebagai berikut: (1) umumnya guru-guru tunarungu mengeluh kesulitan mengajarkan menulis (mengarang); (2) pengajaran mengarang kurang mendapat perhatian guru dibandingkan dengan pengajaran berbicara, (3) struktur tulisan siswa terbolak-balik, (4) siswa kurang lancar dalam mengembangkan karangan, dan banyak membuat kesalahan bentuk konvensional.<br /> Salah satu alternatif pemecahan masalah tersebut adalah penerapan pembelajaran menulis dengan pendekatan proses sebab pendekatan tersebut menekankan menulis dengan pelibatan penuh perhatian siswa dalam perencanaan pada tahap pramenulis, pengajaran langsung keterampilan saat menulis, dan bantuan melalui pelatihan (Stahlman & Luckner, 1991: 316). <br />Pendekatan menulis prosesdilandasi filsafat ‘whole language’ yang memandang hakikat pembelajaran secara holistik. Berdasarkan filsafat tersebut, Goodman (1986:38) mengemukakan prinsip pembelajaran menulis sebagai berikut: (1) penulis harus memiliki cukup informasi rinci tentang hal-hal yang mereka tulis agar dipahami pembaca mereka; (2) tiga sistem bahasa berinteraksi dalam bahasa tulis: grapoponik (bunyi dan pola huruf), sintaksis (pola-pola kalimat), dan semantik (makna). Ketiganya dapat dikaji dalam membaca dan menulis, tetapi ketiganya tidak dapat dipisah tanpa abstraksi non-bahasa. Tiga sistem tersebut beroperasi dalam konteks pragmatik, situasi praktis kegiatan membaca dan menulis. Konteks tersebut juga memberikan kontribusi terhadap keberhasilan dan kegagalan dalam membaca atau menulis; (3) pengekspresian makna selalu ingin dicapai oleh penulis, (4) penulis sangat dibatasi oleh hal-hal yang telah diketahuinya.<br />Pada dasarnya pembelajaran menulis proses difokuskan pada tiga aspek menulis, yaitu: tujuan, proses, dan produk. Guru tunarungu dalam membelajarkan menulis dituntut melibatkan tiga aspek tersebut melalui: (1) membangun kesempatan siswa menulis bagi audien nyata dan tujuan-tujuan yang berbeda; (2) menyediakan lingkungan menulis dengan perhatian tinggi, siswa aktif terlibat dalam proses menulis; dan (3) memberikan pengajaran langsung pada semua aspek menulis.<br /> Pembelajaran menulis proses dalam satu siklus meliputi beberapa tahap. Beberapa penulis (Hayes & Flower,1980; Noid, 1981; Isaacson & Luckner, 1988; dalam Sthalman & Luckner, 1991; Norton & Norton) setuju dengan tiga tahap menulis, yaitu: pramenulis/ perencanaan; saat menulis, pascamenulis/revisi. Tompkins mengemukakan lima tahapan, meliputi: prewriting, drafting, revising, editing, dan publishing. Perbedaan tersebut mengandung esensi yang sama. <br /> Pada tahap “pramenulis” aktivitas difokuskan pada pengembangan isi dan ide, pengembangan dan pengurutan (Norton & Norton, 1994). Lebih rinci Tompkins (1993: 10) mengemukakan bahwa kegiatan siswa pada tahap pramenulis, meliputi: memilih topik, mengumpulkan dan mengorganisasikan ide, mengidentifikasi audien dan tujuan aktivitas menulis, memilih bentuk tulisan yang tepat sesuai audien dan tujuan. Mengembangkan ide dan isi ditekankan pada strategi-trategi seperti mengamati, meneliti, mengalami, curah pendapat atau ‘brainstorming’, membuat daftar, membuat rincian, membaca, dramatisasi, pemetaan (‘mapping’), membuat kerangka, dan menonton audio visual. Aktivitas pengembangan dan pengurutan mencakup: membuat rincian, alasan, contoh-contoh, kronologi, urutan ruang, hal-hal penting, kelogisan, pengklasifikasian, penerapan kebenaran umum, generalisasi, dan urutan sebab akibat.<br />Pada tahap “saat menulis” siswa diarahkan untuk mengembangkan keteram¬pil¬an menulisnya dengan memperhatikan aturan retorik dan pilihan bahasa. Berdasarkan aturan retorik siswa menyesuaikan pilihan kata sesuai respek audiens, tujuan dan bentuk tulisan. Berdasarkan pilihan kata, siswa menentukan pilihan kata, penggunaan bahasa figuratif, struktur kalimat dan sintaksis (Norton & Norton, 1994). Tahap “saat menulis” oleh Tompkins disebut “drafting”. Kegiatan siswa pada tahap ini adalah siswa membuat draft kasar, siswa menulis diarahkan pada minat pembaca yang ditujunya, dan siswa menekankan isi dari pada mekanik. Pada tahap “pascamenulis” aktivitas siswa meliputi revisi dan highlighting. Dalam aktivitas revisi penulis memperoleh tanggapan dari teman sekelas, bertanya, mengembangkan dan atau menjelaskan, mencocokkan dengan kriteria tertentu, memeriksa dan menyempurnakan tulisan. Aktivitas highlighting meliputi penerbitan, membaca, dan cara lain membahas hasil karangan (Norton & Norton, 1994). <br />Strategi Pembelajaran Menulis dengan Pendekatan Proses<br />Strategi pembelajaran menulis berkaitan dengan upaya-upaya pengefektif¬an KBM sesuai tahapan menulis proses agar efektivitas belajar menulis maksimal, mencakup strategi pengajaran dan strategi penunjang. Strategi pengajaran merupakan teknik guru dalam menyampaikan materi pelajaran atau pola umum aktivitas guru-siswa dalam perwujudan peristiwa belajar sesuai tahapan menulis. Strategi penunjang merupakan pendukung keterlaksanaan pembelajaran <br />Strategi Pengajaran Tahap Pramenulis<br />Strategi yang dimanfaatkan pada tahap pramenulis meliputi: curah pendapat, mengamati, dan pemetaan. Curahpendapat merupakan salah satu cara yang baik dalam membangkitkan skemata siswa, meliputi: pemilihan topik, mendaftar dengan cepat kata dan frase yang muncul dalam merespon topik, menemukan hubungan ide-ide dalam daftar dan tidak memberikan penilaian salah atau benar pada butir-butir ide tersebut (Tompkins, 1994: 29). Pengamatan merupakan cara mengumpul¬kan informasi melalui pemanfaatan indera, baik indera penglihatan pendengaran, penciuman, peraba, perasa atau pencecap. Pengkluster¬an atau ‘webbing’ merupakan salah satu strategi dalam membantu siswa memulai menulis (Rico, 1983 dalam Tompkins, 1994:30). Prosesnya sama dengan curah pendapat, perbedaannya ide-ide dalam pemetaan disusun melingkar dengan garis penghubung. Pelaksanaannya meliputi: pemilihan topik, menuliskan topik atau inti di tengah kertas, melingkari topik dan menambahkan ide pokok di sekitar topik dalam bentuk lingkaran, menambah¬kan rincian pada tiap ide utama. Manfaat pemetaanan pada dasarnya untuk mengungkap¬kan sebanyak mungkin hubung¬an antar ide dalam topik. Strategi ini membantu siswa menemukan hal-hal yang mereka ketahui tentang topik. Ide-ide dipicu dengan menghubungkan antar ide yang satu dengan yang lain. Fungsi pemetaan sama dengan kerangka karangan, bedanya aktivitas dalam pemetaan lebih menyenang¬kan, bermakna, dan bermanfaat bagi siswa. Tompkins (1994) menawarkan empat bentuk pemetaan, yaitu: peta cerita, 6 pertanyaan, laporan, dan pancaindera.<br />Strategi Pengajaran pada Tahap Saat Menulis<br />Strategi yang diterapkan di antaranya adalah pemodelan, dan konferen. Pemodelan adalah pemberian model tulisan yang baik untuk memberi kesempatan pada siswa memeriksa bahasa tulis (Ewoldt, 1985 dalam Stahlman dan Luckner, 1991). Model juga memberikan contoh positif tentang gaya dan contoh teks yang tepat. Lebih penting dari model teks adalah model proses. Proses pemodelan dimulai dari tahap pramenulis. Guru dapat sharing dengan siswa tentang topik dari minat pribadi. Selanjutnya mendaftarnya dan memilih yang sesuai atau mendekati pilihan siswa. Mencatat kata-kata atau frase dan menambahkan informasi penting. Guru juga harus mendemonstrasikan pemodelan secara operasional, menunjukkan ide-ide, kerangka karangan, pola-pola catatan dalam kalimat yang tepat, menyuarakan pikiran atau ‘think aloud’. Akhirnya guru harus meninjau kembali model dan merevisi strategi pembelajarannya. Konferenmerupakan prosedur yang baik dalam membantu penulis pemula menjadi penulis terampil (Graham & Harris, 1988; Graves, 1983). Parry & Hornsby (1985:19) menyatakan bahwa konferen memberi kesempatan kepada siswa mengembangkan sikap positif, kritis, dan saling percaya antara siswa yang satu dengan yang lain, di samping memberi kesempatan siswa praktik keterampilan berbahasa terpadu. Selama konferen guru sebagai kolaborator, memberikan petunjuk dan mengarahkan apa yang harus dikatakan dan dilakukan. Hal ini penting agar tercipta komunikasi. Selama konferensi guru dapat bertanya tentang hal-hal yang ditulis siswa, bertanya tentang proses menulisnya, memberikan waktu untuk menanggapi dan merefleksikan kembali hal-hal yang telah didiskusikan dalam konferen, menunjukkan kekuatan siswa sebelum menunjukkan kelemahan¬nya, menemukan hal-hal positif untuk dikomentari, membahas kesulitannya dan memberikan jalan keluar. Selama konferen guru dapat memfokuskan pada salah satu hal yang dianggap tepat untuk setiap siswa Graves (1983) berpendapat bahwa konferen harus mengikuti karakteristik spesifik, meliputi: dapat diramalkan atau ‘predictability’, terfokus, mendemonstra¬sikan jalan keluar, peranan terbalik, dan struktur permainan. pelaksanaan konferen variatif, yaitu: konferen individu, konferen kelompok, konferen kelompok kecil, dan konferen publikasi. <br />Strategi Pengajaran pada TahapPascamenulis<br />Fokus pembelajaran pada tahap ini adalah perbaikan dan publikasi. Ditinjau dari subjek pelibatnya perbaikan menulis proses meliputi perbaikan dari guru dan perbaikan antar siswa. Perbaikan dari guru dilaksanakan dengan memberikan balikan atau feed back lisan dan tulis.Perbaikan antar siswa meliputi: perbaikan dengan pemberian kemudahan, dan permainan. Publikasi memberi kesempatan calon pembaca mentransformasi tulisan dan penghargaan kepada penulis untuk mengenalkan hasil kerjanya. Publikasi juga menunjukkan pencapaian dan kemajuan unjuk kerja menulis untuk disampaikan kepada orang tua. Dahl (1985) menyatakan bahwa publikasi tidak hanya untuk penulis terkenal semua penulis perlu mengalaminya.Stahlman dan Luckner(1994) menyarankan cara publikasi yaitu: pemajangan di papan kelas atau buletin, sharing atau membaca, mengirimnya ke kelas yang lebih rendah untuk diskusi, membuat buklet untuk ditunjukkan ke semua kelas, mengirimnya ke orang tua, memproduksinya di majalah sekolah, dan mengirimkannya ke media yang sesuai. <br />Strategi Penunjang<br />Strategi penunjang meliputi perencanaan pembelajaran, pengalokasian waktu, penciptaan suasana menulis, pemotivasian siswa, pemberian struktur, interaksi teman sekelas, dan kerjasama dengan orang tua. Dalam Perencanaan Pembelajaran, siswa perlu diberi kesempatan menulis sesering mungkin dengan pelatihan menulis seriap hari, mereka belajar berpikir mandiri tentang menulis, dan mampu memilih mengem¬bang¬kan topiknya sendiri (Dahl, 1985). Untuk itu diperlukan pengalokasian waktumenulis bagi siswa sesuai dunia pribadi, selaras dengan minat, pengalaman, dan petualangan mereka sebagai sumber materi menulis. Graves (1983) merekomendasikan waktu menulis 4 kali per minggu selama 30 menit. Pengalokasian waktu menulis juga harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk menulis dengan tujuan berbeda sesuai tuntutan kurikulum. Bagi STR harus mempertim¬bang¬kan kemampuannya. Menurut Stahlman dan Luckner (1991) STR hendaknya menerima pengajaran khusus dan kesempatan menulis pribadi, surat, sketsa biografi, petunjuk, laporan buku, script kartoon, menulis kreatif, editorial, dan script permainan kelas.<br />Penciptaan suasana <br />Menulis akan tercipta jika sikap guru terbuka dan bersahabat kepada siswa dalam aktivitas menulis. Motivasi siswa dapat berkembang jika guru penuh perhatian terhadap ekspresi tulisan siswa, membantu dengan memberi pengertian khusus, dan menyenangkan. Keakuratan asesmen level terakhir siswa dan identifikasi minat siswa merupakan hal penting dan fungsional untuk mengarahkan program menulis. Untuk memperbaiki level menulis, siswa perlu mengambil resiko ‘take risks’ ketika menulis. Pemotivasian Siswa. Agar siswa termotivasi dalam menulis guru perlu memberi pengalaman yang kaya sebagai sumber materi menulis, misalnya rekreasi, kegiatan-kegiatan, bercerita, diskusi, rangsangan visual dan sebagainya, agar siswa mengenal dan mempunyai skemata tentang hal-hal yang akan ditulisnya. <br />Pemberian struktur<br />Penciptaan suasana menulis dengan struktur yang konsisten penting untuk menunjang keberhasilan siswa dalam mengembangkan keterampilan menulis(Stahlman dan Luckner, 1991). Guru dapat menyediakan folder manila karton/map portofolio untuk menyimpan seluruh aktivitas kegiatan menulis siswa. Di sisi folder siswa dapat menulis sifat-sifat tugas menulis, tanggal, lembaran komentar dari teman sekelas dan guru tentang kelemahan untuk diarahkan dan tentang kekuatan untuk dipertahankan. Hasil kegiatan menulis siswa dapat disimpan dalam satu kotak yang mudah dijangkau siswa untuk mendapatkannya kembali bila membutuhkan.<br />Interaksi teman sekelas <br />Interaksi teman sekelas dapat digunakan sebagai salah satu cara bagi siswa untuk sharing tulisan mereka dan untuk memberikan dan menerima bantuan kritik (Johnson, 1988 dalam Stahlman dan Luckner, 1991). Siswa dapat sharing topik dalam kelompok kecil atau berpasangan, mendiskusikan masalah yang mereka tulis, saling membacakan bagian tulisan mereka. Cara lain adalah saling menukar tulisan dengan partner dan melengkapi evaluasi. Dalam interaksi peer guru harus memberikan struktur yang jelas bagi siswa dan pemahaman tentang cara mengevaluasi tulisan. Pertanyaan dapat diajukan oleh guru untuk memancing komentar siswa yang bersifat evaluatif. Pedoman membuat komentar dan saran dapat didisplaykan untuk mengembangkan keterampilan bertanya. <br />Kerjasama dengan orang tua<br />Orang tua perlu memahami menulis proses agar mereka mendukung program pembelajaran menulis, serta dapat memberikan bantuan yang diperlukan bagi anaknya. Guru perlu memberikan petunjuk kepada orang tua tentang menulis proses, cara membantu mengumpulkan tulisan anaknya ke dalam file dan memberikan fasilitasnya, memberikan dukungan dan memotivasi anaknya, dan mengunjungi sekolah untuk mengamati variasi program menulis.<br />Evaluasi<br />Evaluasi pembelajaran menulis dengan pendekatan menulis proses meliputi proses dan produk. Evaluasi proses ketika pembelajaran berlangsung. Peran guru sebagai pembimbing dan pemotivasi. Penilaian tidak menunggu sampai seluruh karangan lengkap. Evaluasi demikian sejalan dengan asesmen sebagai inovasi terhadap istilah evaluasi yang mengacu pada tes. Tompkins (1993:373) menunjukkan tiga aktivitas dalam asesmen menulis: informal, proses, dan produk. Asesmen informal digunakan guru untuk mengamati kemajuan belajar siswa setiap hari. Evaluasi proses dan produk yang lebih formal tepat digunakan untuk mengevaluasi siswa ketika menggunakan pendekatan proses dalam menulis. Dalam asesmen proses guru memonitor kegiatan siswa sewaktu menulis. Dalam asesmen produk guru menilai kualitas hasil akhir karangan siswa. Tujuan asesmen pada dasarnya adalah membantu siswa agar dapat belajar menulis dengan lebih baik. Terdapat beberapa jenis evaluasi informal, proses, dan produk, meliputi observasi informa, ceklist proses menulis, catatan anekdot.<br /><br />Kemampuan Menulis Siswa Tunarungu Kelas Tinggi<br /> Kemampuan menulis siswa tunarungu kelas tinggi (V-VI) sangat rendah. Perkembangan kemampuan mengarangnya masih pada tahap mengarang permulaan dan yang lazimnya materi yang diberikan pada siswa tunarungu kelas V di antaranya adalah: (1) menulis/menyusun kalimat berdasarkan gambar, (2) menulis/menyusun paragraf berdasarkan materi yang tersedia, struktur format bacaan, dan gambar seri; dan (3) menulis spontan deskripsi benda konkret dengan bimbingan guru. Berkaitan dengan kemampuan menulis siswa yang dievaluasi dalam penelitian ini, maka berikut ini dijelaskan secara sederhana hal-hal yang terkait dengan kalimat, paragraf dan menulis deskripsi.<br />Dalam menyusunkalimat,bagi siswa tunarungu minimal mereka memahami pola kalimat sederhana (Subjek-Predikat-Objek- Keterangan) dan letak fungsi kalimat tersebut, penanda kalimat diawali huruf kapital dan diakhiri titik. Letak subjek selalu di depan predikat. Jadi teletak di kiri pusatnya.MenyusunParagrafmengacu pada kemampuan memahami ciri-ciri paragraf. Bahwa paragraf terdiri atas kalimat topik dan kalimat penjelas, mengandung satu ide, kesatuan dan koherensi. Menulis spontanDeskripsiBendaKonkretmengacu pada kemampuan mendeskripkan benda konkret yang dapat diamati siswa melalui panca indera, dilihat, dirasakan, diraba, dan dicium oleh siswa. <br />Berdasarkan hal di atas, tujuan penelitian ini untuk mengkaji pengaruh pembelajaran menulis dengan pendekatan menulis proses terhadap performansi menulis STR kelas tinggi dalam menyusun kalimat, menyusun paragraf, dan menulis spontan deskripsi objektif benda konkret. <br /> <br /><br />METODE<br /> <br />Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian eksperimen semu ‘Quasi-eksperimental’. ‘Jenis pretest-postestcontrolgroupdesign’. Tujuannya untuk mengetahui akibat suatu variabel yang dimanipulasi dengan mengendalikan secara langsung variabel-variabel yang tidak relevan. Dalam hal ini terdapat empat unsur yang dipenuhi dalam penelitian ini, yaitu: perlakuan, randomisasi, kelompok kontrol, dilaksanakan pretes dan postes untuk mengetahui akibat suatu perlakuan (Zainuddin, 1988). <br />Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa SLB Tunarungu Karya Mulia Surabaya di kelas-kelas tinggi, dengan ciri-ciri: (1) inteligensi normal 86-109, (2) taraf ketunarunguan 70 dB ke atas, dan (3) tidak mengalami gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas. Berdasarkan kriteria tersebut di peroleh populasi sebanyak 125 siswa. Sampel diperoleh dengan teknik random sampling. Jumlah sampel 20 siswa, 10 siswa untuk kelompok perlakuan dan 10 siswa kelompok kontrol.<br />Instrumen Penelitianmeliputi daftar isian data siswa untuk mengumpulkan data umum. Test inteligensi dengan mengguna¬kan colour progresisive Matrices oleh psikolog. Tes pengukuran gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas ‘Abreviated Conner’s Teacher Rating Scale‘, alat tes tingkat ketunarunguan adalah audiometer dilaksanakan oleh audiolog, instrumen perlakuan berupa rancangan pembelajaran dan pedoman guru. Alat pengukuran/penilaian menyusun kalimat dan menyusun paragraf dibuat berdasarkan kriteria yang disusun sesuai dengan materi yang diberikan kepada siswa. Penilaian menulis spontan wacana deskripsi yang digunakan adalah prosedur asesmen informal yang dikemukakan oleh Sthalman & Luckner (1991) dimodifikasi sesuai kebutuhan. Sampel yang dinilai diambil dari kumpulan hasil perlakuan dipilih salah satu yang terbaik menurut siswa, dan dari hasil tes menulis spontan. <br />Pengumpulan Data.Data utama dikumpulkan dari pretes dan postes. Data selanjutnya dianalisis dengan teknik uji-t (t –tes) untuk 2 sampel bebas, dan dua sampel berpasangan dengan menggunakan program SPSS for Window Versi-11. Untuk uji normalitas digunakan tes Kolmogorov-Smirnov Goodness of Fit.<br /> <br /><br />HASIL DAN PEMBAHASAN<br /><br /> <br />Hasil Pengukuran Kemampuan Menyusun Kalimat sebelum Intervensi<br />Nilai rata-rata kemampuan menyusun kalimat adalah 1,45 dengan nilai tertinggi 4 dan nilai terendah 0. Nilai rata-rata kemampuan menyusun paragraf 3.05 dengan nilai tertinggi 5, dan nilai terendah 0. Nilai rata-rata kemampuan menulis spontan deskripsi adalah 2.50, dengan nilai tertinggi 4 dan nilai terendah 1. Selanjutnya siswa dirandomisasi untuk menentukan kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Kelompok kontrol mengikuti pembelajaran menulis dengan strategi yang biasa diterapkan guru. Kelompok perlakuan yang mengikuti pembelajaran menulis dengan pendekatan proses. Masing-masing kelompok terdiri dari 10 siswa.<br />Pada kelompok perlakuan, nilai rata-rata kemampuan membuat kalimat 1.70. nilai tertinggi 4 dan terendah 0. Pada kelompok kontrol nilai rata-ratanya 1.20. nilai tertinggi 3, dengan nilai terendah 1 Kemampuan menyusun paragraf kelompok perlakuan 2.80, nilai tertinggi 5 dan nilai terendah 0. Kelompok kontrol 3.30. dengan nilai tertinggi 5 dan nilai terendah 2. Kemampuan menulis deskripsi siswa kelompok perlakuan 2.50 dan kelompok kontrol 2.50. nilai tertinggi kelompok perlakuan 4, terendah 1. Kelompok kontrol nilai tertinggi 4, terendah 1 (Tabel 1).<br />Hasil Pengukuran Performansi Menulis STR setelah Intervensi<br /> Setelah intervensi nilai rata-rata kemampuan menyusun kalimat 20.3, dengan nilai tertinggi dan terendah 14. Kelompok perlakuan nilai rata-ratanya 23.80 dengan nilai tertinggi 31 dan terendah 16. Nilai kelompok kontrol rata-ratanya 16.80 dengan nilai tertinggi 20 dan terendah 14.<br /> Rerata nilai kemampuan menyusun paragraf setelah intervensi 3.05. Nilai tertinggi 5 dan terendah 0. Untuk kelompok perlakuan, nilai rata-ratanya 32.80 dengan nilai tertinggi 39 dan nilai terendah 25, sedang nilai kelompok kontrol reratanya 22.4 dengan nilai tertinggi 27 dan terendah 18.<br /> <br /><br /><br /><br /><br /><br />Tabel 1<br />Pengukuran Performansi Menulis ATR sebelum Intervensi<br /><br /> Kelompok<br />Perlakuan Kelompok<br />Kontrol Responden keseluruhan<br /> MK MP MD MK MP MD MK MP MD<br />Rerata 1.70 2.80 2.50 1.20 3.30 2.50 1.45 3.05 2.50<br />Nilai tertinggi 4 5 4 3 5 4 4 5 4<br />Nilai terendah 0 0 1 1 2 1 0 0 1<br />Keterangan : MK= menyusun kalimat; MP= menyusun paragraf; MD= menulis deskrips <br /><br /> <br />Nilai kemampuan menulis spontan deskripsi 24.25 dengan nilai tertinggi 31 dan nilai terendah 17. Rerata nilai kelompok perlakuan setelah diintervensi 28.60 dengan nilai tertinggi 31 dan terendah 21. Untuk kelompok kontrol 19.90 dengan nilai tertinggi 23 dan terendah 17 (Tabel 2). <br /> <br /><br />Tabel 2<br />Hasil Pengukuran Performansi Menulis STR setelah Intervensi<br /><br /> Kelompok<br />Perlakuan Kelompok<br />kontrol Responden<br />keseluruhan<br /> MK MP MD MK MP MD MK MP MD<br />Rerata 23.80 32.80 28.60 16.80 22.4 19.90 20.3 27.6 24.25<br />Nilai tertinggi 31 39 31 20 27 23 31 39 31<br />Nilai terendah 16 25 21 14 18 17 14 18 17<br />Keterangan : MK= menyusun kalimat; MP= menyusun paragraf; MD= menulis deskripsi <br /><br /> <br />Analisis Data<br />Perbedaan Kemampuan STR dalam Menyusun Kalimat, Menyusun Paragraf, dan Menulis Deskripsi Sebelum dan setelah Intervensi <br /> Dari uji normalitas Kolmogorov-Smirnov Goones of Fit Tes dketahui bahwa kemampuan menyusun kalimat, menyusun paragraf, dan menulis deskripsi sebelum intervensi berdistribusi normal pada kelompok kontrol dengan nilai p=0.200 dan kelompok perlakuan p=0.200. demikian juga hasil setelah diintervensi sama kelompok kontrol p=0.200 dan kelompok perlakuan p=0.200 (Tabel 3).<br />Berdasarkan data Tabel 3 diketahui bahwa terdapat perbedaan kemampuan menyusun kalimat, menyusun paragraf dan menulis deskripsi yang signifikan pada kelompok perlakuan sebesar p = 0,000 antara sebelum dan setelah intervensi. Demikian juga pada kelompok kontrol ada perbedaan yang signifikan antara sebelum dan sesudah intervensi sebesar p= 0,000.<br />Perbedaan Kemampuan Menyusun Kalimat, Menyusun Paragraf, dan Menulis Deskripsi antara Kelompok Perlakuan dengan Kelompok Kontrol.<br /> <br /> <br /><br />Tabel 3<br />Uji t Sampel Berpasangan Kemampuan Menyusun Kalimat, Menyusun Paragraf, <br />dan Menulis Deskripsi STR Sebelum dan Sesudah Intervensi<br /><br />Kemampuan Kelompok n Pre test Post test T P KET<br /> Rerata SD Rerata SD <br />Menyusun Kalimat Perlakuan 10 1.70 1,42 23,80 4,71 18,912 0,000 S<br /> Kontrol 10 1.20 1,03 16,80 1,81 39,00 0,022 S<br />Menyusun Paragraf Perlakuan 10 2,80 0,55 32,80 4,49 27,642 0,000 S<br /> Kontrol 10 3,30 1,16 22,40 2,99 28,330 0,022 S<br />Menulis Deskripsi Perlakuan 10 2,50 1,08 28,60 4,81 20,024 0,000 S<br /> Kontrol 10 2,50 1,08 19,90 2,02 28,144 0,000 S<br /><br /> <br />Sebelum intervensi kondisi kemampuan menyusun kalimat, menyusun paragraf, dan menulis deskripsi antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol tidak ada perbedaan secara bermakna sebesar p= 0,200. Ini berarti antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol homogen. <br />Secara rinci uji t sampel bebas dapat dilihat pada Tabel 4. Sesudah intervensi diketahui dari uji t sampel bebas bahwa ada perbedaan yang bermakna dalam kemampuan menyusun kalimat antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol sebesar p= 0,000.<br /> <br />Tabel 4<br />Hasil Uji t sampel Bebas Kemampuan Menyusun Kalimat, Menyusun<br />Paragraf, Menulis Deskripsi STR sebelum dan sesudah Intervensi<br /><br />Kemampuan Kelompok n Pre test Post test<br /> Rerata SD Rerata SD<br />Menyusun Kalimat Perlakuan 10 1,70 1,42 23,80 4,71<br /> Kontrol 10 1,20 1,03 1,03 1,81<br /> T 0,901 4,386<br /> P 0,379 0,000<br /> Keterangan Tidak signifikan Signifikan<br />Menyusun Paragraf Perlakuan 10 2,80 1,55 32,80 4,49<br /> Kontrol 10 3,30 1,18 22,40 2,99<br /> T 0,817 6,095<br /> P 0,425 0,000<br /> Keterangan Tidak signifikan Signifikan<br />Menyusun Deskripsi Perlakuan 10 2,50 1,08 28,60 4,81<br /> Kontrol 10 2,50 1,08 19.90 2,02<br /> T 0,000 5,70<br /> P 0,000 0,000<br /> Keterangan Tidak signifikan Signifikan<br /><br /> <br />Peningkatan Kemampuan Menyusun Kalimat, Menyusun Paragraf, menulis deskripsi antara Kelompok Perlakuan dengan Kelompok Kontrol.<br />Dari hasil uji t sampel bebas untuk mengetahui peningkatan kemampuan menyusun kalimat, menyusun paragraf, dan menulis deskripsi antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol diperoleh hasil bahwa ada peningkatan kemampuan menyusun kalimat, menyusun paragraf, menulis deskripsi yang signifikan pada kelompok perlakuan dengan nilai p= 0,000. Secara rinci kemampuan menyusun kalimat dapat dilihat pada Tabel 5.<br />Selanjutnya, berdasarkan hasil pengukuran performansi menulis diketahui bahwa terdapat perbedaan signifikan pada performansi menulis siswa tunarungu antara sebelum dan setelah diintervensi yang nampak dari hasil uji normalitas dan uji t sampel berpasangan serta hasil uji t sampel bebas pada tiga sub kemampuan menulis, yaitu kemampuan menyusun kalimat, paragraf, dan kemampuan menulis spontan deskripsi benda konkret. Ketiganya menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan. Hal ini berarti terdapat peningkatan kemampuan menulis siswa tunarungu yang signifikan (lihat data yang telah dikemukakan).<br /> <br /><br />Tabel 5<br />Hasil Uji t Sampel Bebas Peningkatan Kemampuan Menyusun Kalimat,<br />Paragraf, dan Menulis Deskripsi antara Kelompok Perlakuan dengan<br />Kelompok Kontrol<br /><br />Kemampuan Kelompok n Rerata SD t P Ket.<br />Menyusun Kalimat Perlakuan 10 22,10 3,70 5,263 0,000 Signifikan<br /> Kontrol 10 15,60 1,26 <br />Menyusun paragraf Perlakuan 10 30,00 3,43 8,536 0,000 Signifikan<br /> Kontrol 10 19,10 2,13 <br />Menyusun Deskripsi Perlakuan 10 26,10 4,12 6,031 0,000 Signifikan<br /> Kontrol 10 17,40 1,96 <br /><br /> <br />Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan dapat dinyatakan bahwa terdapat pengaruh yang bermakna pada kelompok perlakuan. Hal ini terbukti bahwa sebelum intervensi kondisi kelompok perlakuan dan kelompok kontrol dalam keterampilan menulis dalam segi:menyusun kalimat, menyusun paragaraf dan menulis deskriptif dalam kondisi homogen dengan nilai p = 0,200 pada ketiga kemampuan subketerampilan menulis tersebut.<br /> Setelah diintervensi dan hasilnya diolah dengan uji t sampel bebas, maka diperoleh hasil sebagai berikut. Kemampuan menyusun kalimat antara kelompok perlakuan dan dengan kelompok kontrol terdapat perbedaan yang bermakna dengan nilai p = 0,00. Kemampuan menyusun paragaraf antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol terdapat perbedaan yang bermakna dengan nilai p=0,00.<br />Kemampuan menulis spontan deskripsi benda konkret antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol terdapat perbedaan yang bermakna dengan nilai p=0,00.<br /> Dengan demikian dapat dikatakan bahwa intervensi pembelajaran menulis dengan pendekatan proses lebih besar pengaruhnya pada peningkatan performansi siswa tunarungu dibandingkan pembelajaran menulis tradisional yang diterapkan guru.<br /> Hasil ini menunjang penelitian Graham dan Harris (1996), Rhodes & Marling (1988) tentang pendekatan menulis proses bagi siswa berkebutuhan khusus bahwa pendekatan proses yang dilaksanakan secara bertahap sesuai dimensi-dimensi kognitif siswa akan membantu siswa menguasai strategi menulis. dan pada gilirannya siswa akan mampu menulis mandiri. <br />Berkaitan dengan peningkatan performansi menulis siswa tunarungu antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol, berdasarkan uji sampel t sampel bebas antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol membuktikan ada tidaknya peningkatan performansi menulis STR yaitu: (1) terdapat peningkatan yang signifikan dalam menyusun kalimat pada kelompok perlakuan dengan nilai p= 0,00 dibandingkan dengan kelompok kontrol; (2) terdapat peningkatan yang signifikan dalam menyusun paragraf pada kelompok perlakuan dengan nilai p = 0,00 dibandingkan dengan kelompok kontrol; (3) terdapat peningkatan yang signifikan dalam menulis spontan dekripsi pada kelompok perlakuan dengan nilai p=0,00 dibandingkan dengan kelompok kontrol.<br /> Hasil tersebut menunjukkan bahwa intervensi pembelajaran menulis dengan pendekatan proses dapat meningkatkan performansi menulis STR dibandingkan dengan pembelajaran tradisional yang diterapkan guru. Pembelajaran yang dilaksanakan guru selama ini kurang direncanakan, siswa banyak menulis mekanik. <br /> <br /><br />KESIMPULAN<br /> <br /> <br />Berdasarkan hasil penelitian, analisis dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa pembelajaran menulis dengan pendekatan proses secara bermakna dapat meningkatkan performansi menulis siswa tunarungu dalam segi menyusun kalimat, menyusun paragraf, dan menulis spontan wacana deskripsi objektif benda konkrit. Artinya pembelajaran menulis dengan pendekatan proses berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan kemampuan menulis siswa tunarungu. Dampak lain dari pembelajaran menulis dengan pendekatan proses adalah meningkatnya aktivitas proses dalam menulis. Artinya, multi strategi yang diterapkan dapat memberikan dampak positif bagi peningkatan aktivitas proses yang secara bertahap memberikan pemahaman kepada siswa tunarungu tentang strategi menulisnya sendiri, ide-ide menulis dan pengembangan draf menulis. <br /> <br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br /> <br />Van Uden. (1977). A world of Language for Deaf Children: Part I Basic principles A Maternal Reflektif Method. Swets & zeitlinger, Amsterdam and Lisse: The Pitman Press Ltd.<br />Bender, William N. (1992). Learning Disabilities: Characteristic, Identifi¬cation and Teaching Strategies. Singapore: Allyn and Bacon.<br />Hallahan, Daniel P.; Kauffman, James M. (1994).Exceptional Children: Introduction to Special Education. London: Allyn and Bacon.<br />Kretschmer, Richard R.; Kretschmer, Laura W. (1978). Language Development and Intervention with the Hearing Impaired. Baltimore: University Park Press.<br />Lerner, Janet. (1985). Learning Disabilities: Theori, diagnosis and teaching strategies. Geneva: Houghton mifflin Company<br />Mercer, Cecil D; Mercer Ann R. (1989). Teaching Student with Learning Problem. Toronto: Merril Publishing Company.<br />Moores, Donald F. (1987). Educating The Deaf: Psychology, Principles and Practices. New Jersey: Houghton Mifflin Company.<br />Sthalman, Barbara Luetke; Luckner, John. (1991). Effectively Educating Students with Hearing Impairments. New York: Longman.JASSI_AnakKuhttp://www.blogger.com/profile/12273050106097217296noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4574434941553048680.post-31685171930141461212012-01-27T04:54:00.000-08:002012-01-27T04:55:25.106-08:00Pengembangan Model Pendidikan Kecakapan Hidup bagi Anak Tunagrahita di Sekolah Luar Biasa Daerah Istimewa YogyakartaEndang Supartini, Tin Suharmini, Purwandari<br />Universitas Negeri Yogyakarta<br />ABSTRAK<br />Tujuan utama penelitian ini untuk mengembangkan model substansi/materi pendidikan kecakapan hidup bagi anak tunagrahita ringan di SLB tingkat sekolah dasar, dihasilkannya modul pegangan guru, serta tersosialisasikannya modul tersebut di SLB. Penelitian dilaksanakan di SLBN I Yogyakarta dan SLB Marsudi Putra II Bantul melalui pendekatan researchandDevelopment (R&D). Pengambilan sampel secara purposif. Metode pengumpulan data yaitu pengamatan, wawancara mendalam dan semi structtureddiscussion dengan guru, orangtua siswa, dan pengawas SLB. Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan mengatur, mengurutkan, mengkategorikan data sehingga dapat diseskripsikan aspek yang diteliti. Hasil penelitian menemukan bahwa untuk pengembangan model substansi pendidikan kecakapan hidup bagi anak tunagrahita dilakukan melalui: (a) mengkaji teori tentang kecakapan hidup bagi anak tunagrahita, (b) mengkaji GBPP Binadiribagi anak tunagrahita, (c) mengidentifikasi visi, misi dan lingkungan sekolah, (d) mengidentifikasi harapan orang tua, dan (e) mengidentifikasi kemampuan dan potensi siswa. Penelitian ini juga telah dihasilkan modul pegangan guru yang telah divalidasi oleh ahli media, dan pengkaji materi dari staff akademisi di bidang pendidikan anak tunagrahita, kepala sekolah dan guru-guru SLB, serta tersosialisasikannya modul tersebut ke beberapa SLB di Yogyakarta.<br />Kata kunci: pendidikan kecakapan hidup, tunagrahita ringan, modul.<br /><br />PENDAHULUAN<br /> <br />Inovasi Pendidikan saat ini mengarah pada pembentukan kecakapan kegiatan hidup sehari-hari (lifeskills), artinya pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan nyata yang diinginkan peserta didik sesuai dengan potensi dan budaya masyarakatnya. Hal ini sejalan dengan pengertian pendidikan menurut UU No, 20 tahun 2003, tentang SPN, Bab I, pasal I, ayat 1 yang menyatakan: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. Dengan demikian jelaslah bahwa pendidikan hendaknya mengarah pada penguasaan keterampilan yang dapat dimanfaatkan dalam kehidupan diri peserta didik, masyarakat, bangsa dan negara.<br /> Kenyataan di lapangan pendidikan bagi anak tunagrahita pada umumnya belum mengarah pada terkuasainya sejumlah kecakapan dan keterampilan yang sesuai dengan bakat, minat, potensi, kondisi lingkungan sekitar tempat tinggal anak, dan kebutuhan lapangan kerja yang sesuai dengan karakteristik anak tunagrahita.Hal ini dapat dibuktikan bahwa anak tunagrahita yang sekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB) belum memiliki kemampuan yang memadai dan mengarah pada kecakapan hidup yang diperlukan sehingga dalam menolong dirinya sendiri masih bergantung pada oranglain.<br /> Mengingat keterbatasan intelektual dan potensi yang dimiliki anak tunagrahita, mengakibatkan mereka kurang mampu memenuhi kebutuhannya sendiri, kurang memiliki keterampilan untuk bekerja yang memadai, namun dengan latihan dan pembiasaan mereka mampu melakukan kegiatan hidup sehari-hari.<br /> Selama ini guru melaksanakan pendidikan kecakapan hidup sehari-hari sesuai dengan GBPP Binadiri. Padahal kawasan pendidikan kecakapan hidup sehari-hari sangan luas. Apabila hanya berdasarkan GBPP ada beberapa materi yang belum tercakup. Dengan dihasilkannya model pengembangan substansi/materi dan telah tertuang dalam buku pegangan guru tentang pendidikan kecakapan hidup bagi anak tunagrahita ringan kelas dasar1, 2, dan 3, maka guru-guru diharapkan mampu melaksanakan pendidikan kegiatan hidup hari hari yang merupakan salah satu dari kecakapan hidup yang hendaknya dikuasai oleh anak tunagrahita supaya mampu menolong dirinya sendiri, dan “mandiri”. <br />Secara teoretis, anak tunagrahita adalah anak yang memiliki kemampuan intelektual di bawah rerata yaitu IQ kurang dari 70, mengalami hambatan dalam perkembangan fisik, mental, dan penyesuaian sosial dengan lingkungannya yang terjadi pada masa perkembangan. (Moh.Amin,1996) Apabila kondisi tersebut terjadi setelah masa perkembangan berakhir maka tidak termasuk anak tunagrahita<br /> Anak tunagrahita dapat dikelompok¬kan menjadi tiga yaitu: a) tunagrahita ringan, b) anak tunagrahita sedang, dan c) anak tunagrahita berat. Dalam penelitian ini yang diteliti yaitu anak tunagrahita yang termasuk ringan dan bersekolah di SLB.<br /> Karakteristik anak tunagrahita ringan yaitu: a) bentuk fisiknya seperti anak normal tidak ada kelainan, b) memiliki IQ antara 50 –70, c) cepat lupa dan kurang mampu memusatkan perhatian namun memiliki kemampuan untuk berkembang di bidang akademik yang fungsional, d) mampu melakukan penyesuaian sosial dalam kehidupan sehari-hari, e) koordinasi motoriknya baik, f) mampu melakukan pekerjaan semi skill, dan e) mampu bekerja di tempat kerja terlindung yaitu di shelteredworkshop (Ashman dan Elkins,1994; Kirk & Gallagher, 1989; Halahan, 1988)<br />Untuk melaksanakan kehidupan sehari-hari selain memperhatikan karakteristik, juga perlu memperhatikan kebutuhannya. Menurut Amin (1996) kebutuhan anak tunagrahita ialah: a) kebutuhan fisik, b) kebutuhan kejiwaan, meliputi kebutuhan akan penghargaan, kebutuhan akan komunikasi, dan kebutuhan melakukan hubungan sosial.<br /> Kebutuhan fisik antara lain: kebutuhan makan, minum, perumahan, perawatan kesehatan/badan, sarana untuk mobilitas/gerak, olah raga, rekreasi, dan bermain. kebutuhan kejiwaan yang berupa penghargaan sangat diperlukan oleh anak tunagrahita, mereka senang dipuji, ingin disapa, ingin dimanja, jika mereka diperhatikan dan dipuji karena perilakunya baik, maka mereka akan menurut apa yang diperintahkan oleh guru atau orangtua.<br /> Sebagai manusia mereka memerlu¬kan komunikasi namun karena keterbatasan kosakata mereka kesukaran mengemukakan idenya. Mumpuniarti dkk. (2003) mengemu¬kakan bahwa: “anak tunagrahita ringan mampu memahami pesan sederhana” anak tersebut perlu dikembangak kemampuan komunikasinya seupaya mereka mampu mengatakan apa keinginannya. <br />Konsep Dasar Kecakapan Hidup Sehari-hari.<br /> Secara umum pengertian kecakapan hidup sehari-hari (lifeskills) adalah: ”kecakapan yang dimiliki seseorang untuk mau dan berani menghadapi problema hidupdan kehidupan secara wajar, tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi, sehingga mampu mengatasinya (Depdiknas, 2002).<br /> Kecakapan hidup dapat dipilah menjadi lima yaitu: a) kecakapan mengenal diri, sering disebut kecakapan personal, b) kecakapan berfikir rasional, c) kecakapan sosial, d) kecakapan akademik, dan e) kecakapan vokasional (Depdiknas:2002). Ahli lain yaitu Patton &Poloway (1993) mengutip pendapat Brollin mengelom¬pokkan pendidikan kecakapan hidup bagi anak berkebutuhan khusus menjadi tiga yaitu: a) kecakapan kegiatan sehari-hari, b) kecakapan personal-sosial, dan c) kecakapan sosial. Dalam penelitian ini pendidikan kecakapan kegiatan hidup sehari-hari mengacu pada pendapatnya Brollin.<br /> Kecakapan kegiatan hidup sehari-hari ini meliputi: a) mengelola kebutuhan pribadi, b) mengelola keuangan pribadi, c) mengelola rumah tangga pribadi, d) mengelola makanan, e) mengelola pakaian, f) penggunaan fasilitas rekreasi dan pengelolaan waktu luang, g) tanggung¬jawab sebagai warganegara, dan h) kesadaran terhadap lingkungan. <br />Model Pengembangan materi Pendidikan Kecakapan Hidup Sehari-hari<br /> Pengembangan model materi pendidikan kecakapan hidup dapat dilakukan dengan cara: a) top down, b) pertimbangan kurikulum, dan c) memperhatikan aspek pembelajaran. Menurut Polloway dan Patton (1994) ada beberapa aspek yang perlu dipertimbang¬kan untuk mengembangkan substansi program pendidikan kecakapan hidup yaitu:<br />a. Merujuk pada kehidupan orang dewasa, yaitu mengidentifikasi kegiatan yang dilakukan oleh orang dewasa dalam kehidupan sehari-hari baik sebagai pribadi, sebagai anggota masyarakat. Sebagai contoh seseorang akan berinteraksi dengan sesamanya. Untuk keperluan tersebut orang perlu memperhatikan penampilan diri, berpakaian yang pantas. Supaya dapat berpakaian pantas tentu harus memiliki pengetahuan tentang jenis-jenis pakaian, cara pemeliharaannya, dimana membelinya. Untuk membeli pakaian diperlukan pengetahuan tentang cara pengelolaan uang. Berdasarkan contoh tersebut untuk mengelola pakaian dapat dijabarkan menjadi beberapa kecakapan antara lain: memakai baju, memilih baju sesuai dengan situasi dan tempat, memelihara baju, dan akhirnya keterampilan yang dapat dikembangkan yaitu mencuci, menyeterika, atau menjahit baju <br />b. Rencana pengembangan materi hendaknya komprehensif yaitu mencakup semua kawasan kecakapan kegiatan hidup sehari-hari yang diintegrasikan dengan mata pelajaran yang akan diberikan. Misalnya tentang pakaian dapat diintegrasikan dengan mata pelajaran bahasa Indonesia dengan pokok bahasan bercakap-cakap dengan topik pakaian, sekaligus mengembangkan kemampuan berkomunikasi<br />c. Relevansi, materi pelajaran hendaknya relevan dengan kehidupan anak sehari-hari, misalnya pelajaran matematika juga dapat digunakan untuk mengembangkan kecakapan kegiatan hidup sehari-hari, misalnya dalam membantu menyiapkan minuman di rumah, anak dapat menghitung jumlah anggota keluarga, sehingga minuman yang disiapkan sejumlah anggota keluarganya <br />d. Secara impiris dan sosial dapat dipertanggungjawabkan, artinya pendidikan kecakapan kegiatan hidup sehari-hari bernilai dan bermanfaat bagi dirinya. Misalnya menjaga kebersihan diri, anak diharapkan mampu memelihara kebersihan diri, mampu mandi sendiri sehingga tidak perlu meminta bantuan orang lain.<br />e. Fleksibel, artinya program pendidikan kecakapan hidup dapat memenuhi kebutuhan siswa yang berbeda-beda karena potensi dan kondisinya berbeda, jadi diberikan sesuai dengan kemampuan masing-masing siswa<br />f. Berbasis masyarakat, artinya setting kegiatan tidak hanya di kelas namun dapat dilakukan di masyarakat. Sebagai contoh anak dilatih menyapu, namun tidak hanya menyapu di kelas, tetapi dapat menyapu halaman, untuk itu tukang kebun sekolah dapat melatih bagaimana cara menyapu halaman yang betul dan bersih, <br />Dengan memperhatikan prinsip-prinsip tersebut di atas maka prosedur untukl pengembangan substansi/materi pendidikan kecakapan hidup bagi anak tunagrahita ringan adalah sebagai berikut:<br />a. Mengidentifikasi dan mendeskrip sikan potensi masyarakat/ lingkungan sekitar sekolah<br />b. Mengidentifikasi dan mendeskrip sikan visi, misi, tujuan, dan potensi sekolah<br />c. Mengidentifikasi harapan orangtua terhadap anaknya setelah lulus dari sekolah tersebut<br />d. Mendeskripsikan potensi, bakat, minat, dan cita-cita siswa.<br />e. Mengidentifikasi kurikulum dalam hal ini garis-garis besar program pembelajaran (GBPP) yang membahas tentang kecakapan kegiatan hidup sehari-hari<br />Hal-hal tersebut di atas digunakan sebagai acuan untuk mengembangkan model substansi Pendidikan kecakapan kegiatan hidup sehari-hari bagi anak tunagrahita ringan di SLB dan akhirnya ditulis menjadi bahan ajar yang dapat dihunakan untuk mengembangkan kecakapan hidup sehari-hari bagi anak tunagrahita ringan di kelas dasar 1-3 di Sekolah luar Biasa.<br />Berdasarkan hal di atas, penelitian ini bertujuan untuk:<br />a. Menemukan pengembangan model substansi/materi pendidikan kecakapan kegiatan hidup sehari-hari bagi anak tunagrahita ringan<br />b. Menghasilkan modul pegangan guru tentang pendidikan kecakapan hidup sehari-hari bagi anak tunagrahita ringan kelas dasar 1-3. di Sekolah Luar Biasa yang telah tervalidasi<br />c. Tersosialisasinya buku pegangan guru tentang pendidikankecakapan hidup sehari-hari bagi anak tunagrahita ringan kelas dasar 1-3 di Sekolah Luar Biasa.<br /> <br /><br />MOTODE<br /> <br />Penelitian ini menggunakan pendekatan ReseachandDevelopment (R&D), untuk mengkaji beberapa aspek yang diperlukan untuk mengembangkan model pendidikan kecakapan kegiatan hidup sehari-hari. <br />Metode pengumpulan data yang digunakan yaitu pengamatan dan diskusi semi kelompok dengan guru, orangtua siswa dan pengambil kebijakan dari dinas P&P selain itu juga melakukan wawancara mendalam dengan guru dan kepala sekolah.<br />Dalam penelitian ini analisis data dilakukan secara kualitatif yaitu mengatur, mengurutkan, memberi kode, dan mengkategorikan data, sehingga dapat dideskripsikan apek yang diteliti.<br />Populasi penelitian adalah anak tunagrahita ringan yang sekolah di SLB di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sampel penelitian adalah beberapa anak SLB kelas dasar satu sampai dengan tiga. Pengambilan sampel dilakukan secara purposif. Adapun sumber data yaitu guru kelas dasar satu sampai dengan kelas tiga, orangtua siswa kelas satu sampai dengan kelas tiga yang anaknya dijadikan subyek penelitian, dan kepala sekolah, pengawas SLB. Lokasi Penelitian di SLB Negeri I Yogyakarta dan SLB Marsudi Putra II Bantul.<br />Rancangan penelitian adalah sebagai berikut: (1) menyempurnakan rancangan modul model pengembangan substansi pendidikan kecakapan hidup sehari-hari bagi anak tunagrahita ringan dengan mengundang pakar terkait, (2) memperbaiki rancangan dan menulis buku pegangan guru/modul pendidikan kecakapan hidup sehari-hari bagi anak tunagrahita ringan, (3) melakukan validasi dengan pengkaji ahli media dan pengkaji materi, (4) melakukan perbaikan modul dan kemudian divalidasi dengan kepala sekolah dan guru anak tunagrahita ringan, (5) melakukan perbaikan dan sosialisasi modul. <br /> <br /><br />HASIL DAN PEMBAHASAN<br /> <br />Pengembangan Model Substansi Pendidikan Kecakapan Hidup<br />Pengembangan rancangan model pendidikan kecakapan kegiatan hidup sehari-hari dilakukan melalui prosedur sebagai berikut:<br />Mengkaji substansi materi kecakapn hidup berdasarkan literatur.<br />a. Mengkaji kurikulum yang tertuang dalam GBPP Bina diri<br />b. Mengidentifikasi visi, misi dan lingkungan sekolah, <br />c. Mengidentifikasi harapan orangtua terhadap anaknya<br />d. Mengidentifikasi potensi, bakat dan minat anaktunagrahita<br />Dengan memperhatikan aspek tersebut di atas dan hasil kajian di lapangan tentang pelaksanaan kegiatan pendidikan kecakapan hidup, dapat digunakan untuk menyusun rancangan model substansi tentang pendidikan kecakapan kegiatan hidup sehari-hari<br />Hasil rancangan model pengembangan substansi pendidikan kecakapan kegiatan hidup sehari-hari, dapat dideskripsikan sebagai berikut: <br />a. Mengelola kebutuhan pribadi meli¬puti: kebersihan diri, penampilan diri, dan memelihara kesehatan diri<br />b. Memelihara kebersihan lingkungan antara lain: membuang sampah di tempatnya, menyapu ruangan, dan menyapu halaman<br />c. Mengelola makanan antara lain: makan dan minum sendiri, mengambil porsi makannya sendiri, makan dan minum dengan cara yang sopan, menyiapkan makan dan minum, memelihara peralatan makan dan minum<br />d. Mengelola pakaian, meliputi memakai/melepas pakaian, memakai/melepas kaos kaki dan sepatu, memakai/melepas dasi, memilih pakaian sesuai dengan kondisi dan situasi, memelihara pakaian.<br />e. Mengelola keuangan sendiri ini meliputi: mengenal inilai uang, bila diberi uang mampu membeli keperluannya sendiri, membayar iuran, membayar ongkos transportasi, menyisihkan uang untuk ditabung.<br />f. Menjalin hubungan sosial dengan teman di rumah, di sekola, dengan orangtua dan keluarganya, dengan guru-guru, dengan orang yang baru dikenal, tidak mengganggu teman, membantu teman/guru/orangtua, dapat bermain bersama, dan mampu bekerjasama<br />g. Mampu bepergian ke rumah tetangga/famili, ke warung, ke pasar, ke sekolah, dan ke toko <br />h. Mampu menjaga keselamatan diri dari bahaya yang ada didalam rumah dan yang ada di sekitar rumah antara lain: bahaya kebakaran, bahaya listrik, bahaya alat rumah tangga, binatang, serangga, lalu lintas, dan alat bermesin<br />i. Tanggungjawab ini meliputi mematuhi tata tertib sekolah maupun keluarga, memelihara alat mainannya, memelihara alat sekolahnya, menghadiri undangan ulang tahun, menengok teman yang sedang sakit, ikut memperingati hari besar nasional dan hari besar keagamaan <br />j. Mengelola waktu luang, meliputi kegiatan rekreasi yaitu nonton TV, nonton pertandingan, ke kebun binatang, dan bermain, sedangkan kegiatan yang sifatnya produktif yaitu belajar, mengembangkan hobi, membantu orangtua<br />k. Mengenal berbagai macam jenis pekerjaan yang ada di sekitar tempat tinggal siswa maupun di sekitar sekolah.<br />Rancangan tersebut merupakan keseluruhan materi pendidikan kecakapan kegiatan hidup sehari-hari bagi anak tunagrahita ringan untuk kelas dasar satu-tiga.<br />Validisai model<br />a. Melakukan validasi dengan tim ahli pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dari staff akademik jurusan PLB dari UPI dan UNY untuk mengetahui apakah pengembangan model substansi yang dikembangkan sesuai dengan kondisidan kemampuan siswa. Hasilnya rancangan tersebut cukup memadai dan untuk mengembangkan menjadi buku pegangan guru diharapkan strategi pembelajaran bagi anak tunagrahita menggunakan strategi analisis tugas. <br />b. Menyusun pengembangan modul pendidikan-kecakapan kegiatan hidup sehari hari dan melakuka valoidasi dengan validasi dengan pengaji materi dan mengkaji media supaya modul pegangan guru yang dihasilkan mudah dipahami oleh guru dan dapat dilaksanakan disekolah maupun di rumah. Hasilnya modul dapat digunakan dan layak digunakan namun perlu perbaikan salah tulis, frase, dan ada beberapa kalimat yang tidak jelas dansukar difahami.<br />c. Berdasarkan masukan dari pengkaji media dan mengkaji materi, digunakan untuk memperbaiki modul, selanjutnya modul yang telah direvisi divalidasikan pada guru dan kepala sekolah. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan modul yang memiliki tingkat keterbacaan tinggi, mudah dipahami dan aplikabel. <br /> <br /><br />KESIMPULAN <br /> <br />Telah diketemukan pengembangan model substansi pendidikan kecakapan hidup bagi anak trunagrahita. Materi pendidikan kecakapan kegiatan hidup sehari-hari bagi anak tunagrahita ringan meliputi: a) mengelola kebutuhan pribadi, b) mengelola kebersihan lingkungan, c) mengelola makanan. d) mengelola pakaian, e) mengelola keuangan pribadi, f) menjalin hubungan sosial, g) bepergian, h) menjaga keselamatan diri, i) tanggungjawab, j) mengelola waktu luang, k) mengenal berbagai jenis pekerjaan. Untuk mendukung implementasinya, juga telah tersusun buku pegangan guru/modul pendidikan kecakapan hidup bagi anak tunagrahita yang telah tervalidasi.<br /> <br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /> <br />Ashman, Andrian & Elkins, John. (1994), Educating Children With Special Needs. Sidney Printice Hall of Autralia Pty. Ltd.<br />Depdikbud. (1997). KurikulumBinaDiriuntuk SLB C. Jakarta. Depdkbud. Subdit <br />Pendidikan Luar Biasa Depdiknas. (2003) Konsep Pendidikan Berorientasi kecakapan Hidup (life skills) BroadBased Education (BBE). Jakarta: Depdiknas. <br />Halahan, F.Kauffman. (1988). Exceptional Children, Introduction to Special Education. New York: Printice Hall Company.<br />Kirk, Samuel. & Gallagher, James. (1989). Education ofExceptionalChildren.Boston:Houghton mifflin Company. <br />Moh, Amin. (1996). Ortopedagogiek AnakTunagrahita. Jakarta: Depdikbud, Dirjen Dikti. <br />Mumpuniarti dkk. (2003). Pengembang anKomunikasiAnakTunagrahita SedangMelaluiPembelaja ranKecakapanHidup.Laporan Penelitian. Yogyakarta: FIP-Universitas Negeri Yogyakarta <br />Poloway, Edward,A. & Patton James.K. (1993). StrategiesforTeachingLearnerswithSpecialNeeds. New York: Macmillan Publishing Company.JASSI_AnakKuhttp://www.blogger.com/profile/12273050106097217296noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4574434941553048680.post-55943898532144467562012-01-27T04:50:00.000-08:002012-01-27T04:52:39.444-08:00Manajemen Emosi Negatif pada Anak Tunarungu yang DiasramakanMarlina<br />Universitas Negeri Padang<br /><br />ABSTRAK<br /><br />Penelitian ini dilakukan pada anak-anak tunarungu yang tinggal di asrama dan mengalami kesulitan dalam mengelola emosi negatif mereka. Tujuannya untuk membantu mereka dalam mengelola emosi negatifnya melalui penggunaan Buku “Jendela Hatiku”. Metode yang digunakan adalah mentode penelitian tindakan (action research) yang terdiri dari dua siklus. Masing-masing siklus meliputi empat komponen, yaitu perencanaan, tindakan, observasi, refleksi dan evaluasi. Subyek penelitian terdiri dari empat siswa tunarungu SLB B Aur Kuning Payakumbuh yang tinggal di asrama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa emosi negatif pada subyek penelitian mengalami penurunan, subyek lebih mampu memanajemen emosi negatif yang dirasakan melalui mekanisme tahapan manajemen emosi negatif. Artinya bahwa penggunaan buku “Jendela Hatiku” dapat mengurangi emosi negatif pada anak tunarungu yang diasramakan di SLB B Aur Kuning Payakumbuh.<br />Kata kunci: tunarungu, manajemen emosi, emosi negatif, asrama.<br /><br /> <br />PENDAHULUAN<br /><br /> <br />Sudah menjadi fitrah manusia untuk memiliki rasa atau perasaan baik yang bersifat positif (seperti cinta kasih, senang, bahagia, enjoy, dan sebagainya) maupun negatif (seperti marah, benci, iri hati, cemburu, sedih, dan sebagainya) yang harus diekspresikan termasuk juga anak tunarungu. Ketika seseorang merasakan sesuatu emosi, ia berusaha untuk mengekspresikannya dengan benar dan tepat. Artinya, ia bisa mengekspresikan emosi yang ia rasakan, orang lain memahami emosi yang dirasakannya dan emosi yang diekspresikan tidak berdampak bagi dirinya maupun bagi orang lain. <br />Ketika seseorang merasakan dan mengekspresikan emosi positif, individu yang bersangkutan cenderung mampu mengelola emosi yang dirasakan tersebut dengan baik, bahkan akan mempengaruhi dinamika kehidupannya secara positif. Hal tersebut menjadi berbeda manakala individu merasakan dan mengekspresikan negatif, individu tersebut cenderung merasakan emosi yang dirasakan sebagai kejadian yang dirasa “menekan” sehingga mekanisme keseimbangan dirinya terganggu, orang tersebut mengalami stres (Familia, 2002). Setiap kondisi, betapapun ringannya seperti harus tinggal di asrama dirasakan oleh seseorang sebagai suatu gangguan dalam kehidupan sehari-hari. Kondisi ini tidak disambut baik, apalagi jika seseorang anak harus dikondisikan tinggal di asrama sekolah yang jauh dari orangtua, dengan demikian emosi negatif akan muncul.<br />Pengalaman menunjukkan bahwa anak-anak dari segala usia yang harus tinggal di asrama mengalami stres. Namun sejalan dengan perkembangan usia, ada kecenderungan terjadi perubahan distres (Sarafino, 1998). Anak, sebagai salah satu objek yang tidak lepas dari tuntutan dan stimulus sekitarnya, merupakan dasar bagi perkembangan anak terutama pola perkembangan emosinya. Berbagai macam reaksi sosial sangat mempengaruhi emosi-emosi anak. Sejumlah studi tentang emosi menunjukkan bahwa perkembangan emosi bergantung sekaligus pada faktor pematangan dan belajar, dan tidak semata-mata bergantung pada salah satunya.<br />Jika seorang anak sering mengalami emosi negatif apalagi anak-anak yang tinggal jauh dari orangtua, akan mempengaruhi pola perkembangan kepribadian. Hal ini terlihat dari beberapa gejala antara lain: sering murung di dalam kelas, kurang bergairah dalam menjalani hidup dan kehidupan, cenderung berprasangka negatif dengan teman sebaya dan lingkungan, menyendiri, mudah tersinggung, dan sebagainya (Prawitasari, 2000). Gejala-gejala tersebut semuanya akan berdampak terhadap pencitraan akademiknya, seperti hasil belajar rendah, dan dropout dari sekolah. <br />Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan di asrama anak-anak tunarungu SLB B Aur Kuning Payakumbuh, menunjukkan bahwa dari beberapa anak yang diobservasi dan diwawancarai ada beberapa sikap dan kondisi emosi negatif yang terlihat:<br />a. Bosan. Bosan muncul karena mereka tidak dapat melakukan banyak aktivitas sebagaimana yang mereka lakukan di lingkungan keluarga. Misalnya mereka bisa main di sungai, berenang, bermain ke rumah teman yang bukan anak berkebutuhan khusus, dan sebagainya. <br />b. Kecewa dan sedih, manakala melihat beberapa teman seasrama sering dikunjungi orangtua dan kerabat, anak merasa kesepian dan merasa disingkirkan dari keluarga. <br />c. Kesepian, muncul karena mereka dikumpulkan dan dikondisikan dengan anak-anak yang memiliki kondisi sama-sama mengalami kelainan. Mereka merasa dikondisikan dalam lingkungan yang sama, tidak ada teman-teman lain yang menjenguknya selain teman di asrama. <br />d. Perasaan tidak berdaya, muncul karena ketidakberdayaan mereka melakukan berbagai aktivitas selain rutinitas asrama yang menurut mereka sangat monoton dan membosankan. <br />e. Perasaan cemas dan takut, muncul ketika mereka diharuskan melakukan aktivitas yang kurang mereka sukai seperti: membersihkan kamar mandi, harus tidur pada jam tertentu, dan sebagainya. <br />f. Perasaan iri hati, karena harus tinggal di asrama yang membuat mereka jauh dari kerabat dan keluarga lainnya.<br />Ada beberapa upaya yang dilakukan sekolah dan pembina asrama untuk mengatasi masalah tersebut, antara lain dengan memberikan ketenangan, penjelasan dan tindakan menghibur lainnya. Namun, upaya tersebut kurang menunjukkan hasil yang maksimal. Hal ini terlihat dari cara anak mengekspresikan emosi negatifnya yang kurang tepat (seperti menjerit, menangis, mogok belajar, dan sebagainya) sehingga mengganggu interaksi anak dengan teman sebayanya, bahkan mengganggu proses pembelajaran di kelas. <br />Apa yang terjadi pada anak-anak tunarungu tersebut dikuatkan oleh Sarafino (1998) bahwa kondisi ketika seseorang diharuskan berada dalam lingkungan tertentu yang monoton sering menimbulkan stres dan kesedihan yang cukup besar. Oleh karena itu, menurut Sarafino yang berada dalam kondisi tersebut harus melakukan coping (keterampilan menghadapi suatu masalah) terhadap emosinya dan mereka cenderung melakukan penyesuaian secara bertahap, yang disebut juga dengan emotion-focused coping. Anak akan berusaha mengelola emosi-emosi mereka misalnya dengan melakukan penolakan terhadap fakta-fakta yang tidak menyenangkan, menunjukkan aktivitas-aktivitas yang bertujuan untuk menarik perhatian atau mencari dukungan sosial. Sedangkan yang tidak kuat mengelola emosi negatifnya akan memperlihatkan tanda-tanda sakit kepala dan sakit perut, kegelisahan, kesulitan berkonsentrasi, mudah kesal, sikap agresif, otot tegang, kecemasan dan depresi (Armstrong, 2000). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan individual di dalam melakukan coping ketika mereka sedang mengalami emosi negatif. Dengan demikian, maka perlu diberikan cara-cara menangani dan mengelola emosi negatif pada anak-anak yang mengalami kesulitan mengelola emosi negatif tersebut.<br />Manajemen emosi diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengungkapkan, mengekspresikan, dan mengurangi emosi yang muncul karena persepsi individu terhadap kondisinya. Goleman (1995) menyatakan bahwa mengelola emosi disebut juga self regulating, yaitu kemampuan mengelola emosi berkaitan dengan cara seseorang mengakomodasi emosi yang dirasakannya. Manajemen emosi merupakan salah satu pengarahan reflektif emosi untuk mempromosikan pengembangan emosi dan intelektual sebagai salah satu tahapan dalam mencapai kecerdasan emosi (Prawitasari, 2000). Lebih lanjut Prawitasari mengemukakan 4 tahapan keterampilan emosi menuju kecerdasan emosi dan masing-masing tahapan terdiri dari 4 hal, yaitu: <br />1. Persepsi, penilaian, dan ekspresi emosi. Tahap ini membutuhkan 4 kemampuan, yaitu: a)mengenal emosi secara fisik, rasa, dan pikir, b)mengenal emosi orang lain, desain, karya seni melalui bahasa, bunyi, penampilan dan perilaku, c) mengungkapkan emosi secara tepat dan mengungkapkan kebutuhan sehubungan dengan rasa-rasa tersebut,dan d)membedakan ungkapan rasa antara tepat dan tak tepat, jujur dan tak jujur. <br />2. Fasilitas emosi untuk berpikir, terdiri dari: a)emosi memberikan prioritas pada pikiran dengan mengarahkan perhatian pada informasi penting, b)emosi cukup gamblang dan tersedia sehingga emosi tersebut dapat digunakan sebagai bantuan untuk menilai dan ingatan yang berhubungan dengan rasa, c) perubahan emosi mengubah perspektif individu dari optimis menjadi pesimis, mendorong untuk mempertimbangkan berbagai pandangan, d)keadaan emosi mendorong adanya pembedaan khusus dalam pemecahan masalah, misalnya ketika kebahagiaan memberikan fasilitas untuk penalaran induktif dan kreativitas. <br />3. Pengertian dan penguraian emosi, yakni kemampuan untuk: a)memberikan label emosi dan mengenal hubungan antara berbagai kata dan emosi itu sendiri, misalnya hubungan antara menyukai dan mencintai, b)mengartikan bahwa emosi berkaitan dengan hubungan, misalnya kesedihan sering menyertai kehilangan, c)mengerti rasa yang kompleks, rasa cinta bersamaan dengan benci, seperti takjub adalah kombinasi takut dan terkejut, d)mengenal adanya perpindahan di antara emosi, seperti adanya perpindahan dari marah ke puas, atau marah ke malu. <br />4. Pengarahan reflektif emosi untuk mempromosikan pengembangan emosi dan intelektual, terdiri dari kemampuan untuk:a) tetap terbuka terhadap perasaan baik yang menyenangkan maupun tidak, b)melibatkan diri atau menarik diri secara reflektif dari suatu emosi dengan mendasarkan pada pertimbangan adanya informasi atau kegunaan, c)memantau emosi secara reflektif dalam hubungan dengan diri sendiri dan roang lain, misalnya mengenai betapa jelas, khusus, berpengaruh, atau bernalar semuanya itu, dan d)mengelola emosi dalam diri sendiri dan orang lain dengan memadyakan emosi negatif dan memperbesar yang menyenagkan, tanpa menekan atau melebih-lebihkan informasi yang menyertainya.<br />Dengan demikian, manajemen emosi negatif diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengungkapkan, mengekspresikan, dan mengurangi emosi negatif yang muncul karena persepsi negatif individu terhadap kondisinya.<br />Para ahli psikologi pendidikan menekankan pentingnya pemenuhan kebutuhan anak dan pengaruhnya terhadap pembentukan kepribadian. Armstrong (2000) misalnya menyatakan anak-anak dalam periode ini perlu mengalami berbagai perasaan, seperti kebahagiaan dan kesedihan, harapan dan ketakutan, cemburu dan bela rasa, supaya mereka memiliki dasar yang kuat untuk kehidupan emosional selanjutnya. Ini berarti bahwa ungkapan jujur emosi anak dalam berbagai bentuk harus diakui dan diberi peluang untuk menyalurkan perasaan yang sebenarnya dalam beberapa cara misalnya melalui seni. <br />Armstrong menambahkan ada beberapa cara untuk melakukan manajemen emosi negatif pada anak, yaitu : a) melakukan kegiatan pemusatan mengurangi emosi negatif, b) mengubah perasaan melalui seni, c) memberikan keterampilan membantu diri sendiri untuk memerangi emosi negatif, d) mencari bantuan pakar melalui konseling profesional, e) menggunakan menulis dan menggambar untuk melepaskan emosi, f) membaca dengan perasaan, dan g) melibatkan dalam perencanaan yang berhubungan dengan dirinya.<br />Manajemen emosi negatif melalui seni yang diberikan dapat melatih kepekaan rasa karena seni adalah suatu aktivitas yang banyak melibatkan rasa atau emosi. Seni menyalurkan perasaan-perasaan yang mengganggu ke jalan yang membangun, membantu mengurangi tingkat stres secara keseluruhan. Pengungkapan artistik membuka hati bagi pembelajaran baru, membuat anak bisa memperoleh kendali diri atas perasaan mereka dan membiarkan mereka mengubah emosi-emosi kuat ke dalam energi baru dan kreatif (Armstrong, 2000). Selanjutnya kegiatan menulis mampu mengurangi pengekangan psikologis seperti pikiran dan perasaan yang disebabkan karena peristiwa yang bersifat traumatis. Assagioli (Armstrong, 2000) menegaskan menulis merupakan bentuk katarsis yang hebat. Dalam menulis anak diberi toleransi dan kebebasan dalam mengungkapkan baik dalam kata-kata maupun dalam bentuk akhir tulisannya. <br />Salah satu aktivitas yang melibatkan menulis dan menggambar adalah melalui penggunaan buku “Jendela Hatiku”. Buku ini adalah kreasi peneliti, yakni merupakan media tulis dan gambar yang terdiri dari kertas warna-warni untuk menceritakan pengalaman atau peristiwa yang dialami serta emosi yang dirasakan. Campbell (1996) menyatakan anak-anak dapat mengekspresikan identitas diri melalui tulisan yang memungkinkan adanya kesadaran diri, penerimaan diri, aktualisasi diri da pembukaan diri. Sedangkan menurut Gross dan Hayne (1998) anak-anak dapat menceritakan pengalaman emosional mereka melalui gambar yaitu dengan memberi kesempatan kepada anak untuk menuangkan emosi-emosi mereka dengan cara menggambar.<br /><br />Buku “Jendela Hatiku” terdiri dari: <br />a. Lembar Depan, berisi identitas dan petunjuk pengisian yang berupa bimbingan cara mengisi buku “Jendela Hatiku”. <br />b. Lembar Harian, terdiri dari : a)kertas warna warni, yaitu biru, kuning, merah muda dan hijau, yang masing-masing terdiri dari 4 lembar kertas polos dan bergaris,b)halaman polos disebelah kiri dan digunakan untuk mengambar, serta halaman bergaris disebelah kanan yang digunakan untuk menulis ungkapan ekspresi emosi. <br />c. Lembar Evaluasi. Lembar evaluasi diperuntukkan bagi anak dan lebih merupakan lembar komunikasi antara anak dan orangtua. Melalui lembar evaluasi ini anak akan diberikan feedback (umpan balik) dan komentar sebagai bentuk kepedulian terhadap apa yang dirasakan oleh anak.<br />Berangkat dari uraian di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: a) emosi-emosi negatif yang muncul pada anak-anak tunarungu yang diasramakan, b) faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya emosi negatif pada anak-anak tunarungu yang diasramakan, dan c) proses manajemen emosi pada anak-anak tunarungu yang diasramakan melalui penggunaan buku “Jendela Hatiku”.<br /> <br /><br />METODE<br /> <br />Metode penelitian yang digunakan adalah action research berkolaborasi dengan pembina asrama. Peneliti berperan sebagai pemberi tindakan, sedangkan kolaborator sebagai pengamat aktif. Penelitian ini dilakukan di SLB B Aur Kuning Payakumbuh tahun 2007. Subyek penelitian empat orang anak tunarungu dengan kriteria: a) mengalami gangguan pendengaran dan atau gangguan komunikasi dan atau gangguan kesulitan belajar dengan kecerdasan rata-rata yang berusia antara 9-12 tahun. Dengan asumsi bahwa anak pada usia ini sedang berada pada tahap perkembangan industry versus inferiority, b) mendapat izin dari pembina asrama untuk dijadikan subyek penelitian, c) memungkinkan melakukan kegiatan menulis dan atau menggambar, dan d) tinggal di asrama anak-anak tunarungu SLB B Aur Kuning Payakumbuh.<br />Data dikumpulkan melalui wawancara terstruktur serta skala deteksi emosi dan observasi. Wawancara terstruktur diberikan sebelum dan sesudah intervensi kepada subyek, berisi tentang pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan emosi-emosi yang dirasakan selama tinggal di asrama dengan menyertakan simbol-simbol sebagai simbol berbagai macam emosi yang dirasakan. Pernyataan dibacakan peneliti, kemudian subyek diminta menunjuk gambar simbol emosi sesuai dengan yang dirasakannya saat itu. Jawaban subyek ditanyakan lagi secara mendalam dan dicatat. Wawancara juga dilakukan dengan pembimbing asrama, guru kelas, orangtua dan beberapa pihak lain yang terkait. <br />Sedangkan skala deteksi emosi dan observasi digunakan untuk mengungkap bagaimana respon subyek secara fisik ketika diberikan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan perasaannya sebelum dan sesudah tindakan. Respon subyek secara fisik ini kemudian diskor dan akan diartikan dengan kemampuan anak yang diasramakan dalam mengelola emosinya. Tekniknya dengan mengamati beberapa aspek berikut:a) ekspresi wajah, terdiri dari kerutan di dahi, kerutan diantara mata, kerutan di sekitar mata, di sekitar hidung, dan tarikan bibir, b) gerakan tangan dan tubuh, terdiri dari gerakan jari-jari tangan, dan rentang lengan, dan c) nada suara. <br />Sedangkan buku “Jendela Hatiku” merupakan alat intervensi dengan menulis dan menggambar. Subyek secara kondisonal sesuai waktu diminta kesediaannya mengungkapkan pengala¬mannya dan perasaannya selama tinggal di asrama. Setelah subyek selesai berekspresi melalui tulisan dan gambar, peneliti membaca apa yang ditulis dan digambar subyek dan memberikan umpan balik. Tujuannya memotivasi subyek untuk selalu optimis mengungkapkan perasaannya dengan bebas.<br /> <br /><br />HASIL DAN PEMBAHASAN<br /> <br />Deskripsi Data Emosi Negatif Subyek sebelum Menulis dan Menggambar<br />Subyek Dd.<br />Merasa sedih ketika orang tua jarang mengunjungi ke asrama, dimarahi pembina asrama, tidak diizinkan bermain oleh pembina asrama. Merasa kecewa ketika diperlakukan tidak adil oleh orangtua jika dibandingkan perlakuan terhadap kedua saudaranya. Merasa marah ketika orangtua sering memukul jika makan sambil menonton televisi (jika berada di rumah orangtua). Merasa iri hati ketika melihat teman seasrama sering dikunjungi oleh orang tuanya. Jika emosi negatif dirasakan sering mengalami kejang, kaku, dan berkeringat, menangis, bahkan lari ke hutan dekat asrama, namun lama kelamaan kembali ke asrama karena takut dimarahi pembina asrama. <br />Subyek Nk.<br />Merasa sedih ketika uang habis, dan disuruh pinjam uang oleh pembina asrama. Kecewa ketika ada teman sekolah yang mendapatkan piala atau disuruh mewakili sekolah ke luar kota. Marah ketika uang habis, orangtua telat datang ke asrama. Iri dengki ketika melihat teman berbicara-bicara tanpa mengajaknya dan ketika teman mendapatkan hadiah dari sekolah. <br />Subyek Vn.<br />Merasa sedih dan marah ketika uang habis, orangtua telat datang ke asrama. Kecewa ketika menghadapi adik asrama suka sekali mengompol, dan diharuskan selalu mencuci bekas ompol. Marah ketika menghadapi teman seasrama mengatakan ia jelek.<br />Subyek Rd.<br />Merasa sedih ketika disuruh pembina asrama tidur, sementara ia masih ingin bermain. Kecewa ketika subyek bermain dengan adik-adik asrama, jika ada adik asrama yang menangis, selalu ia yang dimarahi. Marah ketika pembina asrama selalu membela adik asrama dan mengatakan ke subyek: ”kasihan deh lu”. Iri hati ketika melihat teman seasrama diberi hadiah.<br />Data tersebut didiskusikan dengan kolaborator, kemudian direncanakan pelaksanaan tindakan menulis dan menggambar dengan menggunakan buku “Jendela Hatiku”. <br />Identifikasi Emosi Negatif Anak Tunarungu yang di Asramakan <br />Identifikasi emosi negatif yang dirasakan diperoleh dari hasil gambar dan tulisan yang dibuat subyek. Deskripsi hasil gambar dan tulisan diperoleh setelah dikonfirmasi kepada subyek. Ketika subyek ditanya tentang emosi negatif yang dirasakan, beberapa subyek memberikan respon berbagai reaksi emosi negatif. Hal ini terlihat dari temuan berikut:<br />Sedih<br />Emosi dasar yang dirasakan oleh anak tunarungu yang diasramakan adalah sedih. Sedih karena berpisah dengan orangtua, saudara dan anggota keluarga dan dapat menyebabkan stres. Anak-anak yang terbiasa melakukan banyak aktivitas di rumah dan lingkungan keluarganya akan cenderung mengalami stres jika harus dikondisikan tinggal di asrama. Hal yang paling rentan menjadi sumber stres pada anak-anak yang diasramakan adalah keterpisahan dari orangtua mereka (Sarafino, 1998).<br />Emosi sedih dirasakan oleh semua subyek yakni jika orangtua jarang datang ke asrama dan melihat temannya sering dikunjungi orangtuanya. Meskipun semua subyek memberikan respon emosi sedih, namun ada perbedaan ekspresi emosi sedih yang dirasakan oleh masing-masing subyek. Satu subyek saat sedih diekspresikan dengan lari jauh ke halaman belakang asrama. Ada subyek lain dengan berdiam diri di kamar tanpa berkomunikasi sekalipun dengan anak lain. Bahkan ada yang mengekpresikan dengan menangis di kamar.<br />Marah<br />Emosi marah biasanya muncul ketika terjadi konflik, tidak terpenuhinya keinginan dan mengalami gangguan. Ekspresi marah yang munculpun akan bersifat meledak-ledak (tantrums) dalam bentuk menangis, menendang, memukul dan berteriak-teriak. Respon emosi marah muncul hanya pada beberapa subyek.<br />Selama diasrama subyek dituntut untuk mandiri, tinggal jauh dari keluarga. Kondisi ini menyebabkan anak merasa dijauhkan dari kebiasaan dan lingkungan keluarganya. Emosi marah muncul ketika subyek jarang dikunjungi atau tidak dikunjungi sama sekali oleh orangtua. Emosi marah juga timbul ketika subyek pulang ke rumah dan orangtua melarang bermain bersama teman-teman di rumah. <br />Irihati<br />Emosi irihati muncul ketika subyek sering melihat teman seasramanya dikunjungi orangtuanya, sementara subyek jarang dikunjungi orangtua. Berbagai ekspresi muncul, ada subyek yang menghindar dan pergi ke kolam pemancingan untuk menenangkan atau menghibur diri. Ada subyek yang menyendiri dan mengurung diri di kamarnya.<br /> <br /><br />Tabel 1<br />Hasil Identifikasi Emosi Negatif Subyek<br /><br />No Identifikasi Emosi Negatif Subyek<br /> Dd Nk Rd Vn<br />1 Sedih √ √ √ √<br />2 Marah √ √<br />3 Irihati √ √ √ <br /> <br /><br /> <br />Faktor-faktor yang Mempengaruhi Timbulnya Emosi Negatif <br />Anak Tunarungu yang Diasramakan<br />Faktor yang mempengaruhi timbulnya emosi negatif pada anak tunarungu yang diasramakan terdiri dari tiga emosi, yaitu sedih, irihati dan marah. <br /> <br /><br />Tabel 2<br />Faktor Penyebab Emosi Sedih Subyek<br /><br />No Faktor-faktor Penyebab Emosi Sedih Subyek<br /> Dd Nk Rd Vn<br />1 Terpisah dari orangtua, saudara dan lingkungan keluarga √ √ √ √<br />2 Jarang dikunjungi oleh orangtua atau sanak saudara √ √ <br />3 Jarang dikirimi paket atau terlambat dikirimi uang √ √ <br />4 Sering melihat penghuni asrama lainnya diperhatikan dan dikunjungi oleh orangtuanya √ √ √ √<br /> <br /><br /> <br />Sedih<br />Penyebab emosi negatif sedih yang paling banyak dialami subyek adalah:a) terpisah dari orangtua, saudara dan lingkungan keluarga,b) sering melihat penghuni asrama lainnya diperhatikan dan dikunjungi oleh orangtuanya. Namun untuk subyek Rd dan Vn sudah tidak timbul lagi gejala emosi negatif sedih ketika jarang dikunjungi oleh orangtua dan berbeda dengan Dd dan Vn saja yang tidak sedih ketika tidak mendapat kiriman paket atau uang oleh orangtua masing-masing. Tingkat gejala sedih timbul setiap subyek berbeda karena tingkat kemampuan manajemen emosi mereka juga berbeda. <br /> <br /><br />Tabel 3<br />Faktor Penyebab Emosi Irihati Subyek<br /><br />No Faktor-faktor Penyebab Emosi Irihati Subyek<br /> Dd Nk Rd Vn<br />1 Kawannya sering dikunjungi oleh orangtua atau sanak saudara, sementara ia tidak pernah dikunjungi. √ √ <br />2 Jarang dikirimi paket atau terlambat dikirimi uang, sementara temannya selalu mendapat kiriman paket atau uang. √ √ <br /><br /> <br />Irihati<br />Emosi irihati yang paling stabil dimiliki oleh subyek Vn karena dari kedua penyebab ia tidak mengalami emosi negatif. Sedang yang emosinya tidak stabil adalah Niki karena dari kedua faktor penyebab timbulnya emosi irihati memberikan respon keduanya. Sementara emosi irihati Subyek Dd dan Rd timbul oleh faktor penyebab yang berbeda-beda. Dd irihati ketika kawannya sering dikunjungi oleh keluarga mereka masing-masing, sementara Rd lebih ekspresif emosi irihati ketika temannya sering memperoleh kiriman paket atau uang.<br /> <br /><br />Tabel 4<br />Hasil Identifikasi Faktor Penyebab Emosi Marah<br /><br />No Faktor-faktor Penyebab Emosi Marah Subyek<br /> Dd Nk Rd Vn<br />1 Marah jika dilarang orang tua menonton TV keseharian di rumah √ √ √<br />2 Marah jika dilarang bermain dengan teman sebaya ketika pulang ke rumah √ √<br /> <br /> <br />Marah <br />Subyek yang memiliki emosi marah paling sering adalah Vn, sedang yang paling rendah adalah Dd. Penyebab timbulnya emosi negatif marah subyek adalah kekesalan kepada orang tua yang jarang mengunjungi atau memberi kasih sayang kepadanya.<br />Manajemen Emosi Negatif Melalui Buku “Jendela Hatiku” pada Anak Tunarungu yang Diasramakan<br />Emosi negatif yang dirasakan oleh anak tunarungu yang diasramakan tidak selalu diekspresikan dalam bentuk yang sama, walaupun disebabkan oleh situasi dan faktor yang sama. Untuk mengendalikan kondisi emosi sedih, marah dan irihati, subyek melakukan respon emosional sebagai salah satu bentuk coping. Kemampuan coping emosional inilah yang disebut dengan manajemen emosi. Kemampuan manajemen emosi selalu berbeda-beda dalam setiap kasus, namun dalam penelitian ini ditemukan tahapan manajemen emosi yang dilakukan oleh anak tunarungu yang diasramakan sebagai bentuk coping emosional.<br />Mengekpresikan Emosi Negatif<br />Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan subyek mengekpresikan emosi negatif muncul secara spontan. Ekspresi tersebut dipengaruhi oleh pengalaman mereka terhadap peristiwa yang mencetuskan munculnya emosi. Sedih jika melihat temannya sering dikunjungi orangtuanya, takut jika dimarahi pembina asrama. Emosi yang dirasakan juga diekspresikan dalam bentuk non verbal. Misalnya, murung, suka menyendiri dan berdiam diri di kamar, raut wajah kuyu, suka menyendiri ke kolam pemancingan ikan, dan sebagainya.<br />Setelah diberikan buku “Jendela Hatiku” subyek mengalami peningkatan dalam mengelola emosi negatifnya, subyek mengekpresikan emosi negatifnya dalam bentuk memadyakan emosi yang dirasakan, sehingga ketika timbul emosi negatif subyek sudah terasa tenang. Misalnya, jika subyek sedih dan kecewa orangtua tidak datang, ia tidak lagi lari dan menenangkan diri di kolam. Ia cukup masuk ke dalam kamar dan kemudian asyik mencoret-coret serta membuat sketsa apa saja yang disukainya.<br />Memikirkan Peristiwa-peristiwa secara Mendalam<br />Kesedihan yang dialami subyek karena jauh dari orangtua, saudara dan teman-teman sepermainannya muncul ketika subyek menerima stimulus kesedihan seperti temannya sering dikunjungi orangtua, dikirimi hadiah dan dikunjungi keluarga. Stimulus tersebut menyebabkan pemikiran yang mendalam pada subyek. Berbagai pertanyaan timbul seperti: ”Kenapa tidak dikunjungi orangtua? Kemana orang tuanya? Dan kenapa tidak ada kiriman sesuatu? Hal ini mengakibatkan berbagai ekspresi emosi negatif seperti: kejang dan kaku pada jari-jari, menyendiri, menangis dan lari untuk melepaskan kepenatan pikirannya. Seperti yang peristiwa yang dirasakan oleh subyek dalam mengekpresikan kesedian, kemarahan dan irihati, membutuhkan dukungan dan perhatian dari orang lain.<br />Langkah memikirkan secara mendalam peristiwa-peristiwa ini dapat menimbulkan stres yang dalam sehingga membutuhkan intervensi dari orang lain. Bentuk intervensi biasanya dilakukan oleh para pembina asrama dengan memberi berbagai penjelasan, arahan dan dorongan psikis kepada anak-anak yang muncul emosi negatifnya. <br />Melibatkan atau Menarik Diri secara Reflektif dari Suatu Emosi<br />Kondisi emosi sebagai respon dari stimulus dan pembentukan suasana baru yang jauh atau terpisah dari orangtua, saudara dan keluarga menyebabkan subyek menarik diri diri secara reflektif dari suatu emosi. Subyek cenderung menarik diri dan melibatkan diri dalam berbagai aktivitas seperti bermain, memancing, berinteraksi dengan teman, pembina maupun berbaur dengan teman-temannya.<br />Penarikan emosi secara reflektif juga dibantu oleh pembina seperti yang dialami salah satu subyek, ketika ada temannya dikunjungi orang tuanya, ia lari menjauh ke belakang kebun asrama. Pembina asrama mencari dan memanggilnya, dihibur, diberi pengertian dan diajak berbaur dengan orangtua teman yang datang. Setelah diberikan buku “Jendela Hatiku” subyek sudah jarang lari dan menghindar jika ada orangtua temannya yang datang, tetapi mencoba mengalihkan pada sketsa gambar atau berbaur dengan temannya yang lain.<br />Memadyakan Ekspresi Emosi Negatif dengan Memperbesar Emosi Positif<br />Secara sosial keadaan terpisah dari orangtua, saudara, teman-teman sepermainan, dan lingkungan keluarga membuat subyek merasa kesepian, bosan dan merasa kehilangan kasih sayang orangtua dan keluarga. Kondisi tersebut memunculkan emosi-emosi negatif sehingga membutuhkan intervensi psikologis agar dapat mengelola respon emosinya. Adanya media untuk katarsis mental berupa kegiatan menulis dan menggambar membuat anak lebih mudah mengekspresikan apa yang dirasakan sehingga anak akan merasakan suatu kelegaan atau perasaan tanpa beban.<br />Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa manajemen emosi negatif melalui buku “Jendela Hatiku” melibatkan proses ekstrinsik dan intrinsik. Proses ekstrinsik dan intrinsik ini bertanggungjawab dalam pembelajaran untuk mengenal, memonitor, mengevaluasi dan memodifikasi reaksi-reaksi emosi (Prawitasari, 1998). Pada keempat kasus di atas reaksi emosi negatif yang muncul diekspresikan secara spontan. <br />Ekspresi emosi negatif secara spontan dalam tulisan dan gambar yang dibuat merupakan suatu proses intrinsik yang melibatkan kognitif, afektif dan fisik. Subyek yang merespon emosi sedih yang disebabkan oleh pengalaman-pengalamannya diolah baik secara pikir, rasa maupun fisik. Hal ini memunculkan perubahan reaksi emosi negatif yang pernah dialami oleh subyek. Reaksi ini melibatkan strategi untuk mempertahankan, meningkatkan, mengontrol, dan atau menghambat emosi-emosi dalam usaha untuk mencapai tujuan (Goleman, 1995).<br />Secara umum berdasarkan temuan dalam penelitian ini terdapat dua strategi dalam mengontrol emosi negatif yaitu surface acting dan deep acting. Deep acting merupakan usaha pencapaian tujuan secara spontan, manajemen emosi secara strategis dan merasakan perasaan yang diinginkan secara spontan. Planalp (1999) menyatakan bahwa strategi manajemen emosi dapat digunakan untuk memanajemen emosi dalam diri sendiri, emosi orang lain, atau keduanya. Strategi deep acting berdasarkan temuan penelitian ini masih pada taraf manajemen emosi untuk diri sendiri. Manajemen emosi ini melalui empat tahap, yaitu mengekspresikan emosi, memikirkan peristiwa-peristiwa secara mendalam, melibatkan atau menarik diri secara reflektif dari suatu emosi, dan memadyakan ekspresi emosi negatif dengan memperbesar ekspresi emosi positif.<br />Secara khas, seseorang dapat menggunakan beberapa strategi tersebut secara simultan, namun strategi tersebut bekerja dengan cara yang berbeda. Strategi manajemen emosi tidak berhenti setelah dilakukan, namun ia merupakan bagian yang menyeluruh dari proses emosi yang lengkap dan dibangun dari komponen lain seperti objek, nilai-nilai, dan kecenderungan perilaku atau ekspresi. Manajemen emosi dapat dilakukan empat tahap yaitu manajemen peristiwa-peristiwa yang muncul, manajemen pertimbangan akan nilai-nilai, manajemen ekspresi dan impresi, serta strategi sosial dan antisosial (Planalp, 1999). <br />Manajemen peristiwa-peristiwa yang muncul merupakan strategi yang dilakukan mulai dari menghindari situasi sampai melakukan pengukuran yang nyata mengenai situasi tersebut. Hal ini nampak pada reaksi emosi subyek ketika mengalami reaksi emosi negatif kemudian diekspresikan melalui tulisan dan gambar dengan menceritakan kembali peristiwa-peristiwa yang dialami kemudian diukur secara nyata melalui penilaian emosi yang dirasakan ketika menulis dan menggambar.<br />Manajemen pertimbangan akan nilai-nilai merupakan ekspresi emosi yang direaksi oleh subyek dalam suatu perilaku dilakukan dengan pertimbangan nilai-nilai sosial. Emosi sedih yang dirasakan tidak secara langsung diekspresikan dalam bentuk menangis, namun subyek mengekspresikannya dalam bentuk gambar yang memberi kesan sedih. Manajemen ekspresi dan impresi merupakan pengontrolan terhadap emosi yang dirasakan dan yang diekspresikan. Hal ini terlihat dari reaksi-reaksi emosi negatif tertentu yang diekspresikan secara spontan oleh subyek dalam bentuk gambar, ekspresi wajah dan isyarat tubuh (gesture). Ketika subyek merasakan emosi sedih, ia mengekspresikannya melalui wajah dengan menampakkan kerutan di sekitar mata. Strategi yang terakhir adalah strategi sosial dan antisosial. Emosi dapat dimanajemen secara sosial dengan mencoba menciptakan suatu impresi atau perilaku tertentu, dengan harapan hal itu akan menjadi kenyataan. Subyek dengan strategi ini diharapkan akan mempercepat meredakan emosi atau menata tingkatan emosi yang lebih stabil. Dalam hal ini mengambar dapat menciptakan subyek pada suatu kondisi yang tenang, mengekresikan segala sesuatu yang dirasakan ke dalam gambar dengan lebih stabil.<br />Hasil penelitian juga menemukan bahwa tidak semua subyek melakukan keempat strategi deep acting untuk memanajemen emosi, yaitu tidak dilakukannya strategi manajemen ekspresi dan impresi. Hal ini disebabkan faktor latar belakang subyek, terutama dari keluarga yang sangat mempengaruhi identifikasi emosinya. Temuan ini sejalan dengan pendapat Gross & Hayne (1998) yang menyatakan bahwa anak-anak melakukan penolakan mengalami emosi negatif yang berhubungan dengan penolakan, sebagai konsekuensi mereka belajar untuk menonaktifkan ekspresi dari perasaan negatifnya dengan menolak jalinan hubungan dekat, kemudian menghilangkan dan membutakan semua pengalaman afeksinya. Dalam interaksi dengan anak, model ekspresi emosi orangtua sejalan dengan teknik pengaturan emosi yang dilakukan anak-anak (Ekman, 1980).<br /> <br /><br />KESIMPULAN<br /><br /> <br />1. Emosi negatif yang sering muncul pada anak-anak tunarungu yang diasrama¬kan adalah sedih, marah, dan irihati. semua subyek<br />2. Emosi negatif yang sama-sama dirasakan oleh adalah emosi sedih, yakni pada saat anak-anak tunarungu yang diasramakan lama tidak dijenguk orangtua dan keluarga.<br />3. Faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya emosi negatif pada anak tunarungu yang diasramakan adalah: a) terpisah dari orangtua, saudara dan lingkungan keluarga, b) jarang dikunjungi oleh orangtua atau sanak saudara, c) jarang dikirimi paket atau terlambat dikirimi uang, d) sering melihat penghuni asrama lainnya diperhatikan atau dikunjungi oleh orangtuanya, e) marah jika dilarang orangtua menonton TV seharian di rumah, dan f) marah jika dilarang bermain oleh orangtua saat pulang ke rumah.<br />4. Manajemen emosi negatif yang dilakukan pada anak tunarungu yang diasramakan melalui empat tahap, yaitu: a) mengekspresikan emosi negatif secara spontan, b) memikirkan peristiwa-peristiwa secara mendalam, c) melibatkan atau menarik diri secara reflektif dari suatu emosi, dan d) memadyakan ekspresi emosi negatif dengan memperbesar ekspresi emosi positif. <br />5. Setelah digunakan buku “Jendela Hatiku”, emosi negatif pada subyek mengalami penurunan, subyek lebih mampu memanajemen emosi negatif yang dirasakan melalui mekanisme tahapan manajemen emosi negatif. Dengan demikian, penggunaan buku “Jendela Hatiku” dapat mengurangi emosi negatif pada anak tunarungu diasramakan di SLB B Aur Kuning Payakumbuh.<br /> <br /><br />DAFTARPUSTAKA<br /><br /> <br />Armstrong, T. (2000). Setiap Anak Cerdas, Panduan Membantu Anak Belajar dengan Memanfaatkan Multiple Inteligensinya. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.<br />Ekman, P. Friesen, V.W, & Ancol, C. (1980). Facial Signs of Emotional Experience. Journal of Personality & Social Psychology.<br />Familia. (2002). Artikel : Menyadari Stres pada Anak.Majalah No. 9 Tahun ke-3 Juli 2002. Yogyakarta: Percetakan Kanisius.<br />Goleman, D. (1995). Emotional Intellegence: Why It Can Matter More Than IQ. London: Bloomsburry Publishing.<br />Gross, J & Hayne, H. (1998). Drawing Facilities Children’s Verbal Reports of Emotionally LadenEvents. Journal of Experimental Psychology Applied. Vol 4, No. 2, hal 1-17.<br /><br />Marlina. (2008). Manajemen Emosi Negatif Melalui Buku “Jendela Hatiku” pada Anak Tunarungu yang Diasramakan (Residentialized Children).Laporan Penelitian (Tidak Diterbitkan). Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Padang.<br />Planalp, S. (1999). Communicating Emotion : Social, Moral and Cultural Processes. Cambridge: Cambridge University Press.<br />Prawitasari, JE. (2000). Pengembangan Deteksi Emosi pada Pasien Rumah Sakit Umum.Laporan Penelitian (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.<br />Prawitasari, JE. (1998). Kualitas Emosi dalam Penelitian Emosi. Jurnal Psikologi, XXV (1). hal 1-16.<br />Sarafino, E.P. (1998). Health Psychology: Biopsychology Interaction. Massachussets: John Wiley & SonsJASSI_AnakKuhttp://www.blogger.com/profile/12273050106097217296noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4574434941553048680.post-23688234622919191422012-01-27T04:48:00.000-08:002012-01-27T04:50:19.675-08:00Pengembangan Model Modifikasi PerilakuPengembangan Model Modifikasi Perilaku<br />melalui ‘Continuous Reinforcement’ dan ‘Partial Reinforcement’ untuk Mengatasi Kebiasaan ‘Buruk’ Anak dalam Belajar<br /><br />Munawir Yusuf, Edy Legowo, R. Djatun, Gunarhadi<br />Universitas Negeri Sebelas Maret - Surakarta<br /><br /><br />ABSTRAK<br /><br />Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model modifikasi perilaku bagi anak dengan kebiasaan buruk dalam belajar dengan menerapkan ‘continuous reinforcement’ dan ‘partial reinforcement’. Hasinya diharapkan dapat mengubah kebiasaan buruk anak serta meningkatkan prestasi belajarnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian dilakukan dalam tiga tahap. Pada tahap pertama (tahun 2004) dilakukan dengan menghimpun data base yang diperlukan dalam penelitian tahun ke II. Pada tahun ke dua difokuskan pada pengembangan produk penelitian berupa Buku Panduan Modifikasi Perilaku untuk Mengatasi Kebiasaan Buruk Anak dalam Belajar, sebagai bahan pelatihan guru dan orangtua. Pada tahun ketiga penelitian difokuskan pada implementasi Buku Panduan, dan hasilnya menunjukkan bahwa seluruh guru dan orangtua berpendapat bahwa biku panduan yang dikembangkan, sangat positif, sebagian besar menyatakan mudah digunakan dan berdampak signifikan pada perubahan perilaku positif maupun prestasi belajar pada anak. Berdasarkan hasil penelitian tersebut direkomendasikan bahwa buku panduan modifikasi perilaku yang dikembangkan dalam penelitian ini, dapat didesiminasikan di sekolah-sekolah lain, dengan memperhatikan latar belakang pendidikan orangtua.<br />Kata kunci : Modifikasi perilaku, kebiasaan belajar, prestasi belajar<br /><br /> <br />PENDAHULUAN<br /> <br />Dalam studi yang dilakukan oleh para pakar pendidikan dan psikologi, seperti Merland (1977), Achir (1990), Yusuf (1996) antara lain ditemukan bahwa cukup banyak anak-anak yang tidak mampu mencapai prestasi yang optimal karena memiliki kebiasaan buruk dalam Belajar. Penelitian Achir (1990) antara lain menyebutkan tidak kurang dari 39% dari anak berprestasi ternyata memiliki kebiasaan dan perilaku belajar yang belum baik, dan rata-rata setiap anak berkesulitan belajar ternyata memiliki kebiasaan dan perilaku ‘buruk’ dalam Belajar. Demikian juga Yusuf (1996) menemukan sekitar 38% anak-anakyang memiliki potensi unggul tapi berprestasi di bawah potensinya atau ‘underachiever’. <br />Dari beberapa temuan lapangan tersebut dapat diambil pelajaran bahwa mengapa kualitas pendidikan kita rendah, ialah karena anak didik kita tidak optimal dalam belajar, mereka memiliki kebiasaan dan perilaku ‘buruk’ dalam belajar. Jika hipotesis ini benar, maka sesungguhnya upaya meningkatkan mutu pendidikan di sekolah dapat ditempuh dengan mengembangkan model modifikasi perilaku untuk mengatasi kebiasaan dan perilaku ‘buruk’ dalam belajar.<br />Guru pada umumnya bekerja keras dalam pembelajaran agar semua siswanya berhasil dengan baik dalam pendidikan di sekolah. Tetapi upaya itu tidak selalu berhasil dengan baik. Orangtua juga menginginkan agar anaknya berhasil dalam pendidikan. Sekolah kadang menjadi tumpuan sebagian besar dari harapan orangtua akan keberhasilan anaknya. Namun situasi yang dibangun oleh guru di sekolah kadang-kadang tidak sejalan dengan apa yang terjadi di lingkungan keluarga. Penelitian Yusuf (2001) menemukan bahwa guru sering tidak berdaya menghadapi anak berkesulitan belajar karena kurangnya dukungan dari orangtua ketika di rumah. Anak hanya belajar ketika di sekolah, sedangkan di rumah sebagian besar waktunya habis untuk kegiatan yang kurang mendukung terhadap belajar anak. Pendidikan seharusnya merupakan kerjasama dan tanggung jawab bersama antara guru dan orangtua. Kesadaran untuk hal ini sebenarnya telah ada, namun tidak ditemukan suatu pola pemberdayaan kedua belah pihak secara optimal. Karena itu perlu diciptakan suatu sistem mekanisme pendidikan bersama antara guru dan orangtua. Penelitian ini akan mengembangkan model modifikasi perilaku pada anak-anak dengan kebiasaan dan perilaku ‘buruk’ dalam belajar yang diterapkan secara bersama-sama antara guru dan orangtua. Guru untuk diterapkan di sekolah, dan orangtua untuk diterapkan di rumah.<br />Model modifikasi perilaku yang dijadikan titik tolak dari penelitian ini diangkat dari teori perilaku tentang ‘Reinforcement Theory’ (RT). Teori ini pada pokoknya membahas tentang bagaimana mendorong manusia (individu) berperilaku positif dan mengulanginya lagi sesering mungkin di waktu-waktu selanjutnya, serta bagaimana meredam kebiasaan dan perilaku negatif. Studi tentang modifikasi perilaku biasanya terbatas pada aspek dan step/tahap tertentu dan tidak sampai pada suatu aplikasi pada peran guru dan orang tua. Inilah yang sering disebut sebagai modifikasi perilaku parsial. Model modifikasi kontinyu jarang dilakukan karena butuh waktu yang relatif lama, disamping beaya dan tenaga. Manual bagaimana menerapkan pola-pola modifikasi perilaku yang parsial dan kontinyu, baik yang diterapkan guru maupun orangtua, jarang atau bahkan belum pernah ditemukan. Jika manual ini dapat dikembangkan, dan diketahui efektivitasnya, maka melalui penelitian ini akan menambah hasanah baru dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang psikologi dan pendidikan.<br />Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa melalui penelitian ini dapat ditemukan beberapa inovasi dan terobosan di bidang pendidikan, antara lain: mengatasi rendahnya mutu pendidikan di sekolah, membangun dan menciptakan kerjasama dan tanggung jawab pendidikan antara guru dan orangtua, membangun hasanah baru di bidang teori perilaku khususnya psikologi dan pendidikan.<br />Setiap anak merupakan pribadi yang unik. Karena keunikannya maka ada anak yang memiliki kesadaran dan motivasi yang tinggi untuk sukses dalam belajar, ada pula anak yang sebaliknya. Anak-anak dengan kesadaran dan motivasi rendah, cenderung memiliki kebiasaan dan perilaku belajar yang ‘buruk’. Dampaknya hasil belajar yang dicapai rendah meskipun secara intelektual mereka termasuk memiliki IQ yang cukup atau bahkan tinggi. Mereka sering disebut ‘under achiever’. Jumlah anak-anak dengan ‘under achiever’ menurut temuan Merland (1971) mencapai sekitar 50%. Kondisi ini ternyata tidak jauh berbeda dengan temuan di Indonesia (Achir, 1990) menemukan sekitar 39%, Yusuf (1996) menemukan 32% dan Utami Munandar (1983) menemukan 25%. Anak-anak dengan kondisi seperti ini, harus ditumbuhkan kesadaran dan motivasinya dalam belajar untuk mencapai hasil yang optimal. Peran guru di sekolah dan orangtua di rumah menjadi sangat penting. Modifikasi perilaku yang diterapkan guru dan orangtua dapat dijadikan model intervensi untuk mengatasi kebiasaan dan perilaku ‘buruk’ anak dalam belajar.<br />Sekolah adalah suatu organisasi. Dalam setiap organisasi dikenal adanya budaya organisasi. Salah satu dari budaya organisasi pada dasarnya adalah nilai dan norma. Budaya kondusif berarti nilai dan norma yang kondusif terhadap tercapainya target kinerja. Jika siswa ditargetkan memiliki kebiasaan dan perilaku belajar yang baik, berarti lingkungan sekolah dan lingkungan rumah harus kondusif terhadap nilai dan norma belajar yang baik tersebut. Kuncinya adalah pada adanya komitmen normatif (Y. Wiener, 1982).<br />Secara teoritik komitmen normatif tercipta melalui proses internalisasi yang didahului oleh adanya kepatuhan terhadap nilai dan norma kondusif (C.O.Reilly, 1989). Kepatuhan sebenarnya juga merupakan bentuk komitmen, tapi sifatnya masih instrumental, karena terjadi sebelum proses internalisasi. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana mencapai proses internalisasi nilai dan norma dalam kebiasaan dan perilaku belajar pada anak.<br />Dalam ‘Reinforcement Theory’ (RT) dikatakan bahwa seseorang akan mengulangi perilaku positifnya apabila setelah berperilaku, ia memperoleh sesuatu (konsekuensi) yang menyenangkan, dan tidak akan mengulangi perilaku negatifnya, apabila setelah berperilaku, ia memperoleh sesuatu (konsekuensi) yang merugikan atau tidak menyenangkan (dikenal sebagai ‘the law of effect’). RT lebih lanjut merinci dua konsekuensi yang menyenangkan, ialah (1) positive reinforcement, dan (2) negative reinforcement. Serta dua konsekuensi yang merugikan, yaitu (1) extinction dan (2) punishment.<br />Positive reinforcement mendo¬rong terciptanya dan diulanginya perilaku positif dengan (prosesnya) diiming-imingi insentif. Negative reinforcement mendorong terciptanya dan diulanginya perilaku positif dengan menghilangkan penghambatnya. Extinction dimaksud sebagai meredam perilaku negatif dengan tidak memberikan reaksi apa-apa ketika perilaku yang dimaksud dimunculkan. Sedangkan ‘punishment’ dimaksud meredam perilaku negatif dengan cara memberikan hukuman apabila perilaku yang dimaksud dimunculkan. (B.W. Soetjipto dan F. Noor, 2001).<br />Menurut W.C Hammer (1974) efektivitas penerapan RT pada dasarnya terletak pada ‘reinforcement schedule’ yaitu berkaitan dengan waktu (kapan) dan frekuensi pemberian konsekuensi. Ada dua jenis ‘reinforcement schedule’, ialah (1) continuous reinforcement, dan (2) partial reinforcement. Pada pola ‘continuous reinforcement, menghendaki konsekuensi diberikan segera setelah perilaku yang diharapkan muncul. Misal, perilaku mengerjakan PR bagi anak, menyelesaikan tugas yang diberikan, mengurangi frekuensi nonton TV, dll. Model semacam ini dapat membuat anak/individu cepat menjadi patuh terhadap nilai dan norma yang ditanamkan, akan tetapi kepatuhannya sering tidak bisa langgeng, karena begitu konsekuensi tak diberikan atau terlambat diberikan, kepatuhannya dapat berkurang atau bahkan bisa hilang sama sekali. <br />Pada pola ‘partial reinforcement’, konsekuensi diberikan mengikuti jadwal tertentu sesuai dengan skenario dalam modifikasi perilaku anak, sebagai berikut: (1) konsekuensi diberikan setelah suatu jangka waktu yang tetap, misalnya seminggu, dua minggu atau satu bulan sekali. Penjadwalan konsekuensi semacam ini dikenal sebagai ‘fixed interval reinforcement schedule’. Karena jadwalnya tetap, maka kepatuhan sering hanya muncul saat mendekati jadwal pemberian konsekuensi. (2) konsekuensi diberikan setelah jangka waktu yang bervariasi namun berkisar pada suatu jangka waktu rata-rata tertentu. Misal, seminggu sekali kemudian enam hari sekali kemudian delapan hari sekali, dan seterusnya. Penjadwalan konsekuensi semacam ini dikenal sebagai ‘variable interval reinforcement schedule’. Karena jadwal pemberian konsekuensi tidak tetap, maka pola ini biasanya lebih mampu menginternalisasikan nilai dan norma. (3) konsekuensi diberikan setelah suatu jumlah tertentu dari perilaku yang diharapkan. Misal: setiap siswa yang telah menyelesaikan PR sepuluh kali berturut-turut tanpa kesalahan, disediakan konsekuensi positif. Penjadwalan konsekuensi semacam ini sering disebut sebagai ‘fixed ratio reinforcement schedule’. Pola konsekuensi semacam ini biasanya memiliki tingkat kepatuhan yang lebih tinggi dari pola sebelumnya. (4) konsekuensi diberikan setelah jumlah yang bervariasi namun berkisar pada suatu jumlah rata-rata dari perilaku yang diharapkan. Model penjadwalan seperti ini sering disebut sebagai ‘variable ratio reinforcement schedule’. Misalnya konsekuensi diberikan setelah siswa secara teratur dan disiplin belajar di rumah sesuai jadwal yang disepakati selama satu minggu, kemudian sepuluh hari, kemudian duaminggu kemudian lima hari dst. Pola semacam ini biasanya mampu membentuk kepatuhan yang paling tinggi dalam modifikasi perilaku.<br />Tentang kebiasaan dan perilaku belajar, mula-mula dikembangkan oleh Brown dan Holzman (1967). Menurutnya dasar penilaian perilaku belajar terletak pada kebiasaan belajar (work method) dan penundaan pekerjaan atau kedisiplinan dalam belajar (delay avoidance). Work method terkait dengan (1) prosedur belajar yang efektif, (2) keterampilan belajar, dan (3) strategi belajar yang digunakan. Sedangkan ‘deley avoidance’ terkait dengan penggunaan waktu dalam belajar, penundaan-penundaan, dan hal lain yang mengganggu atau mengalihkan perhatian dalam belajar. <br />Kebiasaan belajar merupakan suatu pola tingkah laku belajar yang menetap berdasarkan hukum reinforcement (Wolman, 1974). Kebiasaan dapat terbentuk karena melalui proses belajar (Eysenk, 1975). Menurut Crow and Crow (1958) kebiasaan belajar erat kaitannya dengan pertanyaan bagaimana, kapan, di mana dan dalam kondisi bagaimana belajar berlangsung. Kebiasaan dan perilaku belajar, ada yang baik dan ada yang buruk. Menurut Crow and Crow (1958) sebagaimana dikutip oleh Z. Kasijan (1984) mengajukan 21 ciri kebiasaan dan peerilaku belajar yang baik sebagai berikut: (1) punya maksud dan tujuan, (2) ada tempat tertentu, (3) kondisi fisik mendukung, (4) rencana dan daftar waktu belajar, (5) selang seling istirahat, (6) melihat kalimat pokok pada setiap paragraf, (7) penerapan metode ‘ulangan’, (8) penerapan metode ‘keseluruhan’, (9) membaca cepat dan hati-hati, (10) membuat catatan–catatan singkat, (11) memilah bahan yang sukar dan yang mudah, (12) mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang penting dan mencoba menjawabnya sendiri, (13) mengulang kembali secara sunguh-sungguh, (14) tidak meninggalkan tabel, grafik dan semua ilustrasi, (15) membuat ihtisar dan penyimpulan, (16) ada keyakinan berhasil, (17) ada refleksi, (18) menyelidiki pokok pikiran para ahli, (19) meengaplikasikan hasil belajar untuk kegiatan yang lain, (20) menggunakan kamus sendiri, (21) menganalisa dan membetulkan setiap kesalahan.<br />Studi tentang peran kebiasaan dan perilaku belajar terhadap prestasi belajar yang dilakukan oleh Yusuf (1996) memberikan sumbangan relatif sebesar 18,3% dibanding variabel IQ, kreativitas, dan pola asuh orangtua. Pada anak-anak dengan perilaku belajar yang baik, 66,5% mampu mencapai prestasi tinggi di sekolahnya, sedangkan pada anak-anak dengan kebiasaan belajar ‘buruk’, hanya ada sekitar 2% dari mereka yang mampu mencapaia prestasi baik di sekolah. Ini menunjukkan bahwa kebiasaan dan perilaku belajar, menjadi salah satu faktor kunci dari keberhasilan pendidikan.<br />Berdasarkan uraian di atas, masalah yang diajukan dalam penelitian ini meliputi: a) Bagaimana gambaran profil anak dengan kebiasaan buruk dalam belajar?, b) Apakah anak dengan kebiasaan buruk dalam belajar berakibat pada rendahnya prestasi belajar?, c) Apakah program modifikasi perilaku dapat digunakan untuk memperbaiki perilaku buruk anak dalam belajar?, d) Bagaimana model modifikasi perilaku yang efektif untuk memperbaiki perilaku buruk anak dalam belajar?, dan e) Apakah ada pengaruh penerapan modifikasi perilaku oleh guru dan orangtua terhadap peningkatan prestasi belajar?<br /> <br />METODE <br /> <br />Penelitian ini termasuk kategori penelitian dan pengembangan (Research and Development) atau R&D. Dalam penelitian ini pada tahap awal dilakukan kajian lapangan mengenai berbagai variabel yang akan diteliti (dalam hal ini kebiasaan dan perilaku belajar anak). Dari hasil kajian lapangan selanjutnya digunakan sebagai rujukan dalam rangka pengembangan model modifikasi perilaku berupa ‘manual’ sederhana yang akan digunakan oleh guru dan orangtua. Dari manual yang disusun, diuji validitasnya untuk mencapai kelayakan penggunaan, untuk selanjutnya calon pengguna manual (dalam hal ini guru dan orangtua dari anak-anak terpilih yang akan dikenai intervensi) diberikan pelatihan tentang cara menggunakan manual dimaksud. Pada tahap selanjutnya, sesuai dengan rentang waktu yang disepakati, guru dan orangtua menerapkan model modifikasi perilaku baik pola ‘continuous reinforcement’ maupun ‘partial reinforcement’. Dengan monitoring dan pendampingan dari peneliti selama uji coba modifikasi perilaku, selanjutnya guru dan orangtua diajak untuk melakukan evaluasi baik dari segi proses maupun hasil intervensi. <br />Ada dua hasil yang diharapkan pada tahap ini, ialah (1) dari segi proses dapat diperoleh model proses uji coba yang efektif, dan (2) dari segi hasil dapat diperoleh gambaran tentang efektivitas penerapan modifikasi perilaku yang menggunakan pola ‘continuous reinforcement’ dan ‘partial reinforcement’ dalam mengatasi kebiasaan dan perilaku ‘buruk’ anak dalam belajar, serta peningkatan prestasi belajar dibanding sebelum uji coba dilakukan.<br />Pada tahun I subyek penelitian adalah siswa SD yang terpilih menjadi sampel penelitian. Mereka adalah anak-anak dengan kebiasaan buruk dalam belajar di tujuh SD Negeri dan Swasta di Surakarta yang dipilih secara random. Pada tahun II subyek penelitian adalah para pakar di bidang psikologi, pendidikan luar biasa, teknologi pendidikan dan pakar bahasa. Mereka adalah tujuh orang yang secara khusus diminta melakukan review dan menjadi ‘judges’ dari buku panduan modifikasi perilaku yang dikembangkan. Selain pakar, subyek penelitian juga mereka para guru SD dan orangtua siswa calon pengguna buku panduan untuk mengetahui tingkat validitas dan reliabilitas buku panduan.<br />Pada tahun III subyek penelitian adalah para guru kelas pada SD yang dijadikan tempat penelitian, para orangtua siswa, dan para siswa yang terpilih sebagai sampel penelitian. Jumlah guru kelas di SD ada 12 orang, jumlah orangtua siswa ada 30 orang dan jumlah siswa yang dikenai program modifikasi perilaku ada 30 orang.<br />Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kota Surakarta dengan mengambil sampel Guru Sekolah Dasar dan Orangtua anak dengan kebiasaan buruk dalam belajar. Sedangkan para ‘judges’ berasal dari Dosen FKIP UNS sesuai dengan bidang keahliannya, terdiri dari ahli pendidikan luar biasa, ahli teknologi pendidikan, ahli psikologi dan ahli bahasa. <br />Untuk menghimpun data awal digunakan metode tes, kuesioner, dokumentasi observasi dan wawancara. Sedangkan pada penelitian tahun ke II digunakan metode workshop, penilaian melalui ‘judges’ dan kuesioner. Pada thun ke III data yang dikumpulkan berupa tanggapan guru dan orangtua terhadap buku panduan, perubahan perilaku yang dialami siswa setelah mendapatkan intervensi oleh guru dan orangtua, serta hasil belajar baik sebelum maupun setelah dikenai intervensi. Untuk mendapatkan data tersebut digunakan merode angket, tes, dan dokumen. Analisis data digunakan statistik deskriptif dan analisis kualitatif.<br /> <br /><br />HASIL DAN PEMBAHASAN<br /><br /> <br />Profil Anak dengan Kebiasaan Buruk dalam Belajar<br />a. Hubungan antara Kebiasaan dan Perilaku Belajar dengan Hasil Belajar.<br /> Secara umum problem belajar yang dialami anak yang menjadi sampel dalam penelitian ini sebagian besar adalah mengalami problem perilaku belajar di sekolah 52.55%, dan mengalami kesulitan belajar 50.16%. Mereka juga memiliki kebiasaan dan motivasi belajar buruk 37.%. Apakah temuan ini ada kaitannya dengan hasil belajar, tampaknya ya, hal ini terbukti bahwa dari sampel siswa, 79,64% dari mereka memiliki prestasi belajar di bawah rata-rata kelas. Dan hanya 20,36% yang di atas rata-rata kelas. Ini menunjukkan bahwa kebiasaan buruk anak dalam belajar berdampak terhadap prestasi belajar yang rendah. Dengan demikian untuk meningkatkan prestasi belajar anak, maka salah satunya harus diatasi dengan cara memperbaiki kebiasaan dan perilaku buruk anak dalam belajar serta kesulitan belajar yang dialami.<br />b. Profil Psikologis dengan Hasil Belajar<br />Dari hasil tes psikologi diperoleh hasil bahwa sebagian besar sampel penelitian ini memiliki tingkat kecerdasan umum (IQ) sedang atau rata-rata yaitu mencapai (52,99%), sedangkan sisanya (47,01%) termasuk kategori rendah atau di bawah rata-rata. Secara logika anak yang memiliki IQ di bawah rata-rata aan memperoleh prestasi belajar yang rendah, sedangkan mereka yang memiliki IQ rata-rata, sesungguhnya mereka berpeluang untuk memperoleh prestasi belajar yang rata-rata atau bahkan tinggi. Dari hasil belajar yang diperoleh, ternyata diketahui bahwa 79,64% siswa sampel memperoleh hasil belajar di bawah rata-rata kelas. Data ini menggambarkan bahwa setidaknya ada sekitar 32,63% (79,64% dikurangi 47,01%) sampel penelitian ini termasuk kategori berprestasi di bawah potensinya (under achiever). Angka ini mempunyai makna bahwa sesungguhnya jika mereka mendapatkan pelayanan dan pembimbingan belajar yang tepat dan baik di sekolah maupun di rumah, sesungguhnya lebih dari separo sampel tersebut seharusnya mampu mencapai prestasi belajar yang tinggi. Dalam penelitian ini menemukan bahwa ternyata lebih dari 32% dari mereka tidak mampu mencapai prestasi yang tinggi alias berada di bawah rata-rata kelas padahal IQ mereka normal. Dalam literatur mereka disebut sebagai ‘under achiever’.Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa demikian. Jawabannya adalah terkait dengan kebiasaan dan perilaku yang buruk dalam belajar. Temuan ini memperkuat kajian teori yang diungkapkan sebelumnya bahwa kebiasaan buruk dalam belajar berpengaruh terhadap hasil belajar. Karena itu pengembangan modifikasi perilaku untuk mengatasi kebiasaan buruk anak dalam belajar menjadi sangat penting dan mendesak untuk dilakukan.<br />c. Hubungan antara Kemampuan Verbal dengan Kemampuan Numerikal<br />Skor kemampuan verbal tertinggi diperoleh SD4 dengan rata-rata 91.5 disusul SD 3 dan SD 7 masing-masing 73.55 dan 72.17. Demikian juga untuk kemampuan numerikal, skor tertinggi diperoleh dari SD4 dengan jumlah skor 63, disusul SD2 danSD1 masing-masing 59.05 dan 58.15. Ada temuan menarik bahwa SD yang unggul dalam kemampuan verbal ternyata tidak selalu unggul dalam kemampuan numerikal. Tampak dari SD7 yang tingkat kemampuan verbal menduduki rangking tiga pada kemampuan numerikal menduduki rangking lima. <br />d. Respon Guru terhadap Pendidikan Anak<br />Tentang respon guru terhadap pendidikan anak, pada umumnya hampir semua variable termasuk kategori tinggi. Secara rinci dapat digambarkan sebagai berikut.<br />1) Tingkat pemahaman guru terhadap anak sebagian besar (85,7%) masuk kategori tinggi, hanya satu SD (14,3%) yang memiliki tingkat pemahaman sedang.<br />2) Tingkat kebiasaan guru dalam memberikan pelayanan pendidikan kepada anak, hanya ada satu SD (14,3%) yang masuk kategori tinggi yaitu SD4 dengan skor rata-rata 31,17, sedangkan sisanya (85,7%) termasuk kategori sedang (85,7%)<br />3) Tingkat persepsi guru terhadap pendidikan anak, diperoleh hasil sebagian besar (85,7%) masuk kategori sedang, dan hanya satu SD yang masuk kategori tinggi (14,3%).<br />4) Tanggapan guru terhadap pendidikan anak, diperolah gambaran bahwa sebagian besar masuk kategori positif tinggi (85,7%) dan hanya satu SD yang masuk kategori positif sedang (14,3%).<br />e. Respon Orangtua terhadap Pendidikan Anak <br />Dari data yang terkumpul diperoleh gambaran sebagai berikut: <br />1) Tingkat pemahaman orangtua terhadap anak rata-rata cenderung sedang (85,7%), hanya satu sekolah (14,3%) yang rata-rata cenderung tinggi yaitu SD5.<br />2) Tingkat kebiasaan orangtua dalam pendidikan anak cenderung termasuk kategori sedang (100%).<br />3) Tingkat persepsi orangtua dalam pendidikan anak juga cenderung ke tingkat sedang (100%).<br />4) Tingkat tanggapan dan harapan orangtua sebagian besar (85,7%) masuk kategori sedang, dan hanya satu Sd yang cenderung masuk kategori tinggi (14.3%).<br />Model Modifikasi Perilaku yang dikembangkan<br />Berdasarkan hasil penelitian tahun pertama sebagaimana diuraikan di atas, maka dilakukan penelitian tahap kedua dengan fokus pengembangan model modifikasi perilaku yang melibatkan guru dan orangtua. Langkah dan hasil pengembangan adalah sebagai berikut.<br />a. Hasil Pengembangan Buku Panduan<br />Hasil pengembangan substansi kajian terhadap materi modifikasi perilaku sebagai pendekatan dalam pengubahan perilaku buruk anak dalam belajar, diperoleh 6 (enam) modul panduan modifikasi perilaku.<br />1) Mengenal Anak Dengan Kebiasaan Buruk dalam Belajar<br />2) Mengenal konsep dasar dan cirri-ciri serta asumsi-asumsi yang digunakan dalam melakukan modifikasi perilaku<br />3) Prosedur dan pendekatan dalam modifikasi perilaku<br />4) Merencanakan dan melaksanakan proses pengubahan perilaku<br />5) Menilai hasil pengubahan perilaku, dan <br />6) Teknik kontrak dan penguatan perilaku<br />b. Hasil Uji Validitas Buku Panduan<br />Uji validitas buku dilakukan dengan menggunakan validitas isi (content). Dari substansi kajian berdasarkan hasil studi literatur dan kajian lapangan tim peneliti, diujikan kepada para ahli di bidangnya masing-masing, yaitu seorang ahli/guru besar bidang PLB, seorang ahli (guru besar) di bidang teknologi pendidikan, seorang ahli (Doktor) di bidang Psikologi, seorang ahli (guru besar) di bidang Bahasa, dan seorang ahli (candidate doctor) di bidang Psikologi Bimbingan dan konseling. Hasil uji validitas buku panduan yang disusun dapat disajikan pada tabel 1.<br />Selanjutnya hasil uji keterbacaan buku panduan oleh beberapa guru dan orangtua sampel kecil atas produk buku panduan, diketahui hasilnya sebagai berikut:<br />1) Buku panduan dapat dimengerti dan difahami isinya dengan baik (84%)<br />2) Buku panduan penting untuk dilatihkan kepada guru dan orangtua (95%)<br />3) Buku panduan memungkinkan dapat diterapkan oleh guru dan orangtua (92%)<br />4) Buku panduan akan membantu guru dan orangtua (84%)<br />5) Buku panduan menggunakan bahasa sederhana dan mudah difahami (82%)<br />6) Buku panduan memiliki daya tarik penampilan yang cukup baik (85%)<br />Berdasarkan hasil pengembangan buku panduan sebagaimana diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa buku panduan memiliki tingkat validitas yang cukup baik, tingkat keterbacaan yang cukup tinggi, serta direspon cukup positif oleh calon pengguna.<br /> <br /><br />Tabel 1<br />Hasil Uji Validitas Buku Panduan<br /><br />No Aspek yang Dinilai Buku yang Dinilai Rata rata<br /> 1 2 3 4 5 6 <br />1 Substansi kajian/materi di buku 4,2 4,0 4,1 4,0 4,2 4,4 4,1<br />2 Manfaat buku untuk pendidikan 4,6 4,8 4,8 4,8 4,8 4,6 4,7<br />3 Cara penyajian materi kajian 4,4 4,4 4,4 4,5 4,8 4,5 4,5<br />4 Kesesuaian materi dengan soal latihan 4,4 4,8 4,4 4,5 4,8 4,8 4,6<br />5 Bahasa yang digunakan 4,2 3,8 3,8 3,8 4,2 4,0 4,0<br />6 Kemungkinan dapat diterapkan 3,8 3,8 4,0 4,2 4,0 4,0 4,0<br /> Hasil Akhir 4,2 4,2 4,1 4,3 4,4 4,3 4,2<br /><br /> <br />Efektivitas Program Modifikasi Perilaku<br />Efektivitas program modifikasi perilaku diukur dari aspek proses maupun hasil serta dampak implementasi program. Dari hasil yang dicapai dapat dilaporkan sebagai berikut:<br />1) Respon guru dan orangtua terhadap biku panduan modifikasi perilaku yang dikembangkan, sangat positif, dengan 100% responden menjawab sangat penting dan bermanfaat.<br />2) Baik guru maupun orangtua mampu mengimplementasikan buku panduan setelah mendapatkan pelatihan awal, dengan rincian sebagai berikut.<br />a) Kelompok guru, 95% menyatakan mudah dalam implementasi di lapangan, dan sisanya 5% menyatakan cukup mudah.<br />b) Kelompok orangtua, 85% menyatakan mudah dalam implementasi di lapangan, 10% cukup mudah dan sisanya 5% agak mudah.<br />c) Jumlah siswa yang mengalami perubahan perilaku positif setelah mendapatkan intervensi guru dan orangtua, cukup signifikan dengan rincian.<br />d) Kelompok guru, 90% siswa mengalami perubahan perilaku positif dengan sangat signifikan, 5% cukup signifikan, dan 5% biasa-biasa saja.<br />e) Kelompok orangtua, 85% anak mengalami perubahan perilaku positif dengan sangat signifikan, 10% cukup signifikan, dan 5% biasa-biasa saja.<br />3) Dampak penerapan modifikasi perilaku terhadap prestasi belajar siswa cukup signifikan dengan rincian, Bahasa Indonesia dari rata-rata sebelum perlakuan 6,2 naik menjadi rata-rata 6,8 setelah perlakuan. Matematika dari 5,6 menjadi 6,5. IPA dari 6,2 menjadi 6,9, dan IPS dari 6,9 menjadi 7,4. Secara keseluruhan rata-rata sebelum perlakuan 6,2 menjadi rata-rata 6,9 setelah perlakuan. Dengan demikian terjadi kenaikan pestasi belajar setelah diterapkan modifikasi perilaku. Berdasarkan hasil penelitian tersebut direkomendasikan bahwa buku panduan modifikasi perilaku yang dikembangkan dalam penelitian ini, dapat didesiminasikan di sekolah-sekolah lain. Untuk desiminasinya perlu memperhatikan latar belakang pendidikan orangtua.<br /> <br /><br />KESIMPULAN<br /> <br />Berdasarkan hasil penelitian tahun I, II dan III tentang mengatasi kebiasaan buruk anak dalam belajar melalui pendekatan modifikasi perilaku, dapat disimpulkan: <br />1. Telah dihasilkan 6 (enam) Paket Buku Panduan Midifikasi Perilaku untuk Mengatasi Kebiasaan Buruk Anak Dalam Belajar. Ke enam buku tersebut merupakan satu kesatuan bahan pelatihan yang harus dikuasai oleh guru dan orangtua untuk dapat melakukan proses pengubahan tingkahlaku.<br />2. Ke enam buku panduan tersebut terdiri atas: Buku 1 (Mengenal Anak Dengan Kebiasaan Buruk Dalam Belajar, Buku 2 ((Pengertian dan Asumsi Modifikasi Perilaku), Buku 3 (Prosedur Pengubahan Tingkah Laku), Buku 4 (Merencanakan dan Melaksanakan Pengubahan Tingkah Laku), Buku 5 (Menilai Hasil Pengubahan Tingkah Laku), dan Buku 6 (Teknik Kontrak dan Penguatan Tingkah Laku).<br />3. Hasil uji vaaliditas yang dilakukan oleh 5 orang ‘judges’ yang memiliki keahlian di bidang psikologi, PLB, Teknologi Pendidikan, Bimbingan dan Konseling dan Ahli Bahasa, diperoleh hasil rata-rata berada pada rentang tinggi – sangat tinggi.<br />4. Hasil uji lapangan terbatas terhadap tingkat keterbacaan maupun keterlaksanaannya jika diterapkan di lapangan, diperoleh kesimpulan: <br />a) Buku panduan dapat dimengerti dan difahami isinya dengan baik (84%).<br />b) Buku panduan penting untuk dilatihkan kepada guru dan orangtua (95%).<br />c) Buku panduan memungkinkan dapat diterapkan oleh guru dan orangtua (92%).<br />d) Buku panduan akan membantu guru dan orangtua (84%).<br />e) Buku panduan menggunakan bahasa sederhana dan mudah difahami (82%).<br />5. Buku panduan memiliki daya tarik penampilan yang cukup baik (85%)<br />6. Hasil implementasi lapangan terhadap guru dan orangtua siswa di Sekolah Dasar, menunjukkan bahwa baik guru maupun orangtua menganggap sangat penting dan bermanfaat serta merasa sangat terbantu dalam mengatasi kebiasaan buruk anak dalam belajar.<br />7. Setelah melalui pantauan I, II dan III lebih dari 90% siswa yang diberikan program modifikasi perilaku oleh guru, mengalami perbaikan perilaku belajar, sedangkan yang diberikan program oleh orangtua sedikit lebih rendah tingkat keberhasilannya yaitu 85%.<br />8. Dampak penerapan program modifikasi perilaku terhadap prestasi belajar empat mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, IPA dan IPS bagi siswa yang dikenai program modifikasi perilaku, menunjukkan adanya kenaikan dari rata-rata 6,2 sebelum intervensi menjadi rata-rata 6,9 setelah intervensi. Dengan demikian program modifikasi perilaku tidak saja mampu memperbaiki perilaku buruk anak dalam belajar tetapi juga mampu meningkatkan prestasi belajar. <br /> <br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /> <br />Achir, Yaumil Choiriyah, A., (1990). Bakat dan Prestasi, Studi Perandingan Mengenai Faktor-faktor Non Intelektif antara Anak Berbakat Berprestasi dan AB Berprestasi Kurang Melaui Pendekatan Terhadap Siswa dan Orangtua Pada 2 SMA Di Jakarta, Disertasi, tidak diterbitkan: Jakarta: Universitas Indonesia.<br />Brown, William F., dan Holtzman, Weyne H. (1967).Manual Survey of Study Habits and Attitudes, New York: Psychological Cooperation.<br />Crow, L.D, and Crow (1958).Education Psychology, New York: American Book,<br />Eysenk, H. J., Arnold, W. (1975).Encyclopedia of Psychology, Vol. I,New York: Fantana Collins.<br />Hammer, W.C. (1974).Reinforcement Theory and Contingency Management in Organizational Settings, dalam R.M. Steers and L.M. Porter (Editor). Motivation and Work Behavior, New York: Mc. Graw Hill Inc.<br />Marland, (1971).Education of the Gifted and Talented, Washington, US, Government Printing Office.<br />Munandar, S.C. Utami (1983).Memandu dan Memupuk Bakat, Suatu Tantangan Bagi Pendidikan di Indonesia, Pidato Pengukuhan dalam Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Psikologi UI, Jakarta.<br />Nungki, Munir (2001).Hubungan Pembelajaran Individu dengan Pembelajaran Organisasi,Jurnal Manajemen Usahawan Indonesia, No. 07 Tahun XXX Juli 2001.<br />Sidi, Indra Djati (2001).Menuju Masyarakat Belajar, Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. Jakarta:Paramadina<br />Soetjipto, Budi, W., dan Firdaus Noor, (2003).Memodifikasi Perilaku, Manajemen Usahawan Indonesia, No.02 Tahun XXXII, Februari, 2003 Jakarta.<br />Wiener, Y, (1982).Commitment in Organization, A Normative View, Academy of Mangement Review, 7 : 418 – 428.<br />Yusuf, Munawir (1996).Faktor-faktor Intelektif dan Non Intelektif yang Mempengaruhi Hasil Belajar, Tesis S2 Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta.<br />Yusuf, Munawir, dkk (1993/1994).Identifikasi Anak Berbakat Lewat Guru, Orangtua dan Teman Sekolah. Surakarta: Pusat Penelitian Rehabiulitasi dan Remediasi PPRR Lemlit UNS Surakarta.<br />Yusuf, Munawir, dkk. (2003).Pendidikan Bagi Anak Dengan Problema Belajar, Surakarta: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.JASSI_AnakKuhttp://www.blogger.com/profile/12273050106097217296noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4574434941553048680.post-46520950663166443132012-01-27T04:46:00.000-08:002012-01-27T04:47:51.904-08:00Penerapan Metode Drill pada Latihan Motorik Halus dengan Menggunakan Barang BekasPenerapan Metode Drill pada Latihan Motorik Halus dengan Menggunakan Barang Bekas yang Menimbulkan Bunyi untuk Meningkatkan Hasil Belajar Menulis Siswa Cerebral Palsy KelasI-D1 SLB-D1 YPAC Surakarta <br /><br />Nikmah<br />Lembaganya apa?<br /><br /><br />ABSTRAK<br /><br />Penelitian tindakan kelas ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan apakah penerapan metode drill pada latihan motorik halus dengan menggunakan barang bekas yang menimbulkan bunyi dapat meningkatkan hasil belajar menulis pada pelajaran bahasa indonesia pada anak cerebral palsy (CP) kelas I D1 di SLB-D1 YPAC Surakarta. Penelitian dilaksanakan secara kolaboratif dengan subyek pelaku tindakan seorang guru kelas I-D1 dan subyek penerima tindakan adalah tujuh orang siswa. Penelitian dilaksanakan melalui 3 siklus. Tiap siklus terdiri dari empat langkah, yaitu: Perencanaan, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Pengumpulan data prestasi belajar menulis menggunakan tes. Untuk analisa data yang digunakan analisa perbandingan berdasar pencapaian skor hasil belajarnya, dengan indikator ketuntasan apabila 75% dari jumlah siswa mendapat nilai 60 keatas. Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan skor rata-rata aktivitas menulis dari siklus I ke siklus II sebesar 14,29 %, dan dari siklus II ke siklus III sebesar 22,86 %. Dengan demikian, metode drill pada latihan motorik halus dengan menggunakan barang bekas yang menimbulkan bunyi pada siswa kelas I-D1 SLB-D1 YPAC Surakarta dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa maupun hasil belajar menulisnya.<br />Kata kunci: drill, motorik halus, bunyi, menulis, cerebral palsy (CP)<br /> <br /><br />PENDAHULUAN<br /><br /> <br />Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Luar Biasa sangat penting artinya dalam mempersiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) sejak dini. Pembelajaran Bahasa Indonesia meliputi empat keterampilan yang harus dikuasai siswa yaitu menyimak (mendengarkan), membaca, berbicara, dan menulis. Peneliti sangat tertarik dan terdorong untuk meneliti dan mengembangkan salah satu aspek dari keempat macam keterampilan tersebut yaitu keterampilan menulis untuk menuangkan ide atau gagasan.<br />Hal yang menjadi hambatan selama ini dalam pembelajaran Bahasa Indonesia adalah kurangnya kemampuan siswa dalam hal motorik, kurangnya siswa berkonsentrasi dan kurangnya guru untuk membimbing siswa dalam menuangkan ide atau gagasan melalui tulisan. Mereka jarang menggunakan media yang menarik minat siswa dalam latihan motorik halus dan latihan menulis, sehingga pada gilirannya kemampuan siswa dalam menulis tidak memuaskan atau rendah.<br />Agar pembelajaran Bahasa Indonesia, khususnya keterampilan menulis pada anak-anak tunadaksa khususnya anak Cerebral Palsy(CP) yang mengalami gangguan gerak (motoriknya) dapat efektif, dapat dilakukan berbagai cara. Selain mengadakan latihan, juga diperlukan pemahaman konsep melalui survey, pengamatan dan tanya jawab.<br />Pembelajaran menulis bagi anak tunadaksa khususnya bagi anak CP sangatlah sulit dilakukan, masalahnya anak CP mengalami gangguan motorik (tangannya kaku, jemarinya kaku, lemas bahkan ada juga yang kaku tetapi kemampuannya ototnya tidak ada), karena adanya gangguan motorik sehingga anak mengalami kesulitan dalam memegang pensil, menggerakkan pensil pada saat menulis, menfokuskan penglihatan dengan gerakan tangan saat menulis, serta dalam menfokuskan fikiran/konsentrasi pada satu hal.<br /> Untuk mengatasi masalah tersebut, anak CP perlu latihan khusus yaitu latihan motorik halus yang sangat berguna untuk membantu melenturkan otot-otot yang kaku, memberikan kekuatan untuk otot yang lemas, menambah konsentrasi dalam koordinasi gerak dengan penglihatannya (sensor motorik).<br />MenurutSoeharso (1959) CP adalah cacat yang sifatnya gangguan-gangguan atau kelainan-kelainan dari fungsi otot-otot dan urat syaraf (neuromuscular disorders) dan sebabnya terletak didalam otak. Disamping gangguan-gangguan otot dan urat syaraf, anak CP kadang juga mengalami gangguan dalam panca indra (sensory disorders), ingatannya (mental disorders), serta perasaan dan jiwanya (psychological disorders).<br />CP dapat disebabkan karena kurangnya oksigen yang sampai pada otak saat kelahiran. Peristiwa kurangnya oksigen ini dapat bermacam-macam. Misalnya kerusakan pada ibu saat melahirkan anak dapat membahayakan bayi, pemisahan plasenta (ari-ari) terlalu cepat pada saat kelahiran. Atau pernapasan yang terlalu sukar di hari-hari pertama kehidupan anak. Luka pada kepala dapat menyebabkan rusaknya sel-sel otak. Kondisi keturunan, kelainan pada kandungan, dan penyakit seperti meningitis selama masa bayi (Abdul Salim, 1996:94).<br />Dilihat dari topografi yaitu banyaknya anggota tubuh yang lumpuh, Cerebrol Palsy dapat digolongkan menjadi 6 (enam) golongan yaitu: 1)Monoplegia, hanya satu anggota gerak yang lumpuh misal kaki kiri sedang kaki kanan dan kedua tangannya normal, 2)Hemiplegia, lumpuh anggota gerak atas dan bawah pada sisi yang sama, misalnya tangan kanan dan kaki kanan, atau tangan kiri dan kaki kiri, 3)Paraplegia, lumpuh pada kedua tungkai kakinya, 4)Diplegia, lumpuh kedua tangan kanan dan kiri atau kedua kaki kanan dan kiri (paraplegia),5)Triplegia, tiga anggota gerak mengalami kelumpuhan, misalnya tangan kanan dan kedua kakinya lumpuh, atau tangan kiri dan kedua kakinya lumpuh, dan 6)Quadriplegia, anak jenis ini mengalami kelumpuhan seluruhnya anggota geraknya. Mereka cacat pada kedua tangan dan kedua kakinya, quadriplegia disebutnya juga tetraplegia (Direktorat PSLB, 2007).<br />Sedangkan penggolongan menurut fisiologi, kelainan gerak dilihat dari segi letakkelainan di otak dan fungsi geraknya (motorik), anak CP dibedakan atasspastic, athetoid, ataxia, tremor, rigid, dan tipe campuran. <br />Salah satu masalah mendasar yang banyak dihadapi anak CP adalah aspek motorik, termasuk motorik halus. Menurut Pearces (1985) motorik (daerah motorik) adalah awal jalur motorik yang mengendalikan gerakan pada sisi lain dari tubuh, keseluruhan tubuh justru diwujudkan terbalik yaitu dari daerah motorik yang mengendalikan anggota badan bawah, badan anggota atas, leher dan akhirnya ke kepala. Sedangkan motorik halus adalah kemampuan otot-otot kecil untuk melaksanakan gerakan-gerakan dimana kemampuan otot-otot dapat dipengaruhi oleh aspek-aspek lain, misalnya sensasi tarik, gerak otot. <br />Termasuk gerakan motorik halus adalah:<br />a. Gerak koordinasi motorik halus, yaitu menggenggam, meraih, menjimpit, menjumput, menggerakkan, meremas kertas, menulis, mewarnai, menggunting kertas, menempel kertas, melipat kertas, membuka dan menutup ujung jari, meronce manik-manik. <br />b. Gerak koordinasi mata tangan, yaitu meletakkan mengambil benda dalam berbagai posisi, menyusun urutan dari tinggi ke yang rendah, menyusun benda dari besar ke kecil, menyusun bermacam-macam balok, membong¬kar dan memasang puzzle. <br />c. Gerak koordinasi mata kaki, yaitu melangkah kaki dalam berbagai pola dan bentuk, menendang bola dengan berbagai ukuran. <br />d. Gerak koordinasi mata, tangan, dan kaki dalam bentuk permainan, yaitu bermain kelereng, melempar dan menangkap bola.<br />Bagi anak tunadaksa kekuatan otot sangat besar pengaruhnya terhadap kemampuan gerak mereka, karena kekuatan otot adalah kunci untuk beraktifitas setiap saat. Salah satu masalah besar yang dialami anak tunadaksa khususnya anak CP adalah adanya penurunan fungsi otot,untuk itu diperlukan latihan motorik secara rutin dan terus menerus.<br />Latihan motorik harus diberikan agar gerakan anak dapat tepat menuju sasaran sesuai dengan isi perintah/tujuan, dengan fungsi utama untuk melemaskan otot dan sendinya.<br />Metode drill adalah salah satu cara latihan motorik halus dengan cara mengajar melalui latihan secara berulang-ulang, terus-menerus atau secara teratur. Metode drill sangat cocok untuk mengajarkan keterampilan motorik. Suwarna (2006: 111) menjelaskan bahwa metode drill sangat cocok untuk mengajarkan keterampilan motorik maupun keterampilan mental. Dengan demikian metode drill sangat cocok dipakai untuk melatih motorik halus bagi anak CP. Agar pelaksanaan drill atau latihan dapat berjalan dengan lancar, maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:a) perlu adanya penjelasan tentang tujuan latihan,b) perlu adanya penjelasan tentang apa yang harus dikerjakan,c)lama latihan perlu disesuaikan dengan kemampuan siswa,d) perlu adanya kegiatan selingan, sehingga anak tidak merasa bosan, dan e) jika ada kesalahan harus segera diadakan perbaikan. (Suwarna, 2006: 111).<br />Dalam penerapan metode drill pada latihan motorik halus ini, siswa di latih secara individual, karena setiap siswa mempunyai kemampuan motorik, kecerdasan, mental yang berbeda-beda jumlah siswa hanya sedikit yaitu hanya tujuh orang anak. Tujuh orang anak ini yang dijadikan subyek penelitian.<br />Sebelum memberikan keterampilan menulis hendaknya guru mengadakan asesmen. Asesmen yang paling praktis adalah menganalisa sampel hasil tulisan anak (Depdiknas,2002:7). Dengan asesmen kita dapat mengetahui masalah yang dihadapi anak. Misalnya dengan mengamati cara anak memegang kertas, posisi kertas, posisi duduk, jarak mata dan buku, kondisi emosional anak, serta sikap-sikap yang ditunjukkan selama proses belajar menulis. Melalui pengamatan ini guru guru dapat mencermati kesulitan yang dihadapi dan kesiapannya dalam menulis.<br />Secara umum, termasuk dalam kesulitan menulis, antara lain: a)terlalu lambat menulis, b) salah arah pada penulisan huruf, c) tidak tepat dalam mengikuti garis horizontal, d) bentuk huruf atau angka tidak terbaca, dan e) tekanan pensil tidak tepat (terlalu tebal atau terlalu tipis). Kesulitan ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya, gangguan motorik, gangguan emosi, gangguan persepsi visual, atau gangguan ingatan. <br />Berdasarkan hal-hal di atas, permasalahan utama dalam penelitian ini adalah: “Apakah metode drill pada latihan motorik halus dengan menggunakan barang bekas yang menimbulkan bunyi dapat meningkatkan hasil belajar menulis pada pelajaran bahasa indonesia pada anak CP kelas I D1 di SLB-D1 YPAC Surakarta?<br /> <br /><br /> <br />METODE<br /> <br /><br /> <br />Penelitian tindakan kelas ini di laksanakan secara kolaboratif di SLB-D1 YPAC Surakarta dan waktu penelitian dilaksanakan pada semester I tahun 2008/2009.Subyek pelaku tindakan seorang guru kelas I-D1. Subyek penerima tindakan adalah tujuh (7) orang siswa kelas I-D1 semester I tahun pelajaran 2008/2009. Subyek yang membantu dalam penelitian ini adalah seorang guru kelas I-D (kelas regular) YPAC Surakarta sebagai pengamat yaitu Sri Yuliani S.Pd.<br />Penelitian dilaksanakan melalui 3 siklus. Tiap siklus dilaksanakan sesuai dengan perubahan yang ingin dicapai, seperti yang telah direncanakan dan didesain dalam variabel yang diteliti. Untuk melihat aktifitas belajar siswa digunakan metode observasi. Hasil observasi tersebut sebagai dasar untuk menentukan tindakan yang tepat dalam rangka meningkatkan hasil belajar menulis. <br />Sebagai penelitian tindakan, pengembangan model didasarkan atas konsep pokok bahwa penelitian tindakan terdiri dari empat komponen pokok yang juga menunjukkan langkah, yaitu: Perencanaan atau planning, tindakan atau acting, pengamatan atau observing, refleksi reflecting(Suharsimi Arikunto, 2003:38). Hubungan antara keempat komponen tersebut menunjukkan sebuah siklus atau kegiatan berkelanjutan berulang. <br />Pengumpulan data prestasi belajar menulis menggunakan tes pada observasi awal dan tes pada akhir setiap siklus. Maksudnya bahwa data dikumpulkan dari hasil kegiatan yang dilaksanakan dari satu siklus ke siklus berikutnya. <br />Sedangkan teknik analisa data yang digunakan adalah analisa perbandingan yang dideskripsikan ke dalam suatu bentuk data penilaian yang berupa nilai. Data nilai menulis yang diperoleh selanjutnya ditabulasikan secara nominal dan kemudian ditentukan prosentasenya, dari prosentase itu akan dideskripsikan kearah kecenderungan tindakan guru dan reaksi serta hasil belajar siswa.<br />Penerapan metode drill dalam latihan motorik halus ini, siswa dilatih dengan cara berulang-ulang secara individual, menyesuaikan dengan karakteristik. Adapun prosedurnya adalah sebagai berikut:(1) Anak yang pendiam duduk berdekatan anak yang banyak bicaranya, sehingga pada saat latihan anak yang banyak bicaranya dapat memperhatikan penjelasan dari guru dan pada saat latihan dapat tenang, (2) Siswa meremas tissue, meremas kertas, meremas plastisin pada saat meremas menggunakan tangan yang dipakai menulis dilanjutkan dengan relaksasi, (3) Setiap anak di beri satu alat (barang bekas yang dapat menimbulkan bunyi, misal botol “Yakult” diisi pasir/kacang hijau/ benda yang lain), (4) Setelah setiap anak memegang alat, guru meminta anak membunyikan alat secara individual (satu-persatu secara bergantian). Semua siswa membunyikan alat bersama-sama sambil bernyanyi. Guru mengingatkan bahwa latihan dengan sungguh-sungguh dan kebersamaan akan menghasilkan kekuatan, apabila otot tangan kuat maka siswa dapat menulis dengan baik dengan tekanan yang baik.<br />Dalam penelitianini, guru kelas membuat panduan materi yang akan digunakan untuk menulis. Materi yang digunakan meliputi: (1) Gerakan tangan ke berbagai arah, yaitu atas bawah, kiri kanan, depan belakang. (2) Menelusuri bentuk-bentuk geometri dan garis putus-putus. (3) Menghubungkan titik-titik, (4) Membuat garis horizontal dari kiri ke kanan, (5) Membuat garis vertikal dari atas ke bawah, (6) Membuat lingkaran dengan arah jarum jam, dengan arah berlawanan, dan membuat garis lengkung, (7) Membuat garis-garis sejajar miring., (8) Menyalin bentuk sederhana, (9) Menyebutkan nama hutuf dan menjelaskan perbedaan dan persamaan bentuk antara huruf atau angka, dan (10) Menyalin tulisan atau menulis kata.<br />Adapun indikator kinerja dalam penelitian ini adalah hasil belajar menulis siswa kelas I-D1 YPAC Surakarta dikatakan tuntas, apabila 75% dari jumlah siswa mendapat nilai 60 keatas. Sedangkan penelitiannya sendiri dilakukan setiap hari selama 85 hari, setiap hari 60 menit. Setiap hari dilakukan latihan motorik halus 20 menit dan menulis 40 menit.<br /> <br /><br />HASIL DAN PEMBAHASAN<br /><br /> <br />Siklus I<br />Siklus ini dilaksanakan pada tanggal 4 Agustus sampai 30 Agustus 2008. Langkah yang ditempuh dalam persisapan kegiatan adalah penulis menyiapkan data dan identitas diri dan lembar tugas nomor 1 serta lembar refleksi dan lembar pengamat, alat latihan motorik halus dan juga lembar tugas siswa yaitu menulis.Tugas menulis ada pada lampiran.<br />¬Langkah siklus I: a. Guru mengatur tempat duduk siswa, siswa yang motoriknya bagus ditempatkan di samping kiri atau kanan, dilanjukan senam jari (meremas kertas tipis lalu plastisin). b. Menggerakkan alat latihan secara individu. Dilanjutkan menyanyi sambil mengerakkan tangan menggunakan barang bekas yang menimbulkan bunyi (seperti bermain musik bersama). Anak termotivasi sehingga tidak terasa motorik siswa bergerak menyesuikan lagu yang didengar. c. Guru membagikan tugas menulis kepada semua siswa, meliputi: 1).Gerakan tangan ke berbagai arah, yaitu atas bawah, kiri kanan,depan belakang, 2). Menelusuri bentuk-bentuk geometri dan garis putus-putus, dan 3). Menghubungkan titik-titik.<br />Siklus II<br />Siklus II dilaksanakan pada tanggal 8 September 2008 sampai 31 Oktober 2008 (30 hari). Langkah persiapan latihan sama dengan siklus I hanya saja siswa sudah menyiapkan alat-alat sendiri sebelum latihan dan latihan mulai dipimpin oleh siswa yang bertugas. Materi menulis adalah: 1) membuat garis horizontal dari kiri ke kanan, 2) membuat garis vertical dari atas ke bawah, 3) membuat lingkaran dengan arah jarum jam, dengan arah berlawanan, dan membuat garis lengkung, dan 4) membuat garis-garis sejajar miring. Pada siklus ini langkah-langkahnya sebagai berikut:<br />a. Siswa duduk sesuai tempat duduk yang telah ditentukan (setiap seminggu sekali tempat duduk berputar searah jarum jam).<br />b. Menggerakkan alat latihan secara individu. Dilanjutkan menyanyi sambil mengerakkan tangan menggunakan barang bekas yang menimbulkan bunyi (seperti bermain musik bersama). Anak termotivasi sehingga tidak terasa motorik siswa bergerak menyesuikan lagu yang didengar (siswa yang bertugas yang memimpin latihan).<br />c. Guru membagikan tugas menulis kepada semua siswa sesuai materi yang disepakati.<br />Siklus III<br />Siklus III dilaksanakan pada tanggal 3 sampai 29 Nopember 2009. Langkah persiapan latihan sama dengan siklus I dan II hanya saja dalam latihan ini siswa sudah menyiapkan sendiri alat-alat dan latihan dimulai dipimpin oleh siswa yang bertugas. Materi menulis adalah: 1) menyalin bentuk sederhana, 2) menyebutkan nama hutuf dan menjelaskan perbedaan dan persamaan bentuk antara huruf atau angka, 3) menyalin tulisan atau menulis kata. Adapun langkah-langkah dalam sikulus ini meliputi:<br />a. Siswa duduk di lantai dengan alas matras untuk sedikit berganti suasana supaya siswa tidak jenuh. <br />b. Menggerakkan alat latihan secara individu, dilanjutkan menyanyi sambil mengerakkan tangan menggunakan barang bekas yang menimbulkan bunyi (seperti bermain musik bersama). Anak termotivasi sehingga tidak terasa motorik siswa bergerak menyesuikan lagu yang didenga (siswa yang bertugas yang memimpin latihan).<br />c. Guru membagikan tugas menulis kepada semua siswa sesuai materi yang di sepakati namun siswa duduk di kursi.<br />Hasil Belajar Menulis<br />Setelah melaksankan dan menyelesaikan tindakan pada setiap siklus dan diadakan penilaian akhir pada setiap siklus, kemudian dilakukan perbandingan peningkatan hasil belajar menulis siswa, setelah diterapkan metode drill pada latihan motorik halus menggunakan barang bekas yang menimbulkan bunyi untuk meningkatkan hasil belajar menulis dan sekaligus mengadakan refleksi.<br /><br /><br /> <br />Penilaian awal<br />Hasil penilaian awal terhadap kemampuan menulis pada subyek penelitian, diperoleh hasil sebagai berikut:<br /><br /> <br /><br />Tabel 1<br />Hasil Belajar Menulis Sebelum Menerapkan Metode Drill <br />dalam Latihan Motorik Halus Menggunakan Barang Bekas<br /><br />Nilai (N) Jumlah (F) N.F Presentasi<br />40<br />50<br />60 1<br />4<br />2 40<br />200<br />120 14.28%<br />57,14%<br />28,57%<br />Jumlah 7 360 100%<br />Rata-rata 51,42 %<br /><br /> <br />Adapun rekapitulasi hasil belajar menulis melalui metode drill dalam latihan motorik halus dengan menggunakan barang bekas pada siklus I, 2, dan 3 dapat disajikan dalam tabel 2, sedangkan untukmemperjelas perbandingan dari masing-masing siklus disajikan dalam tabel 3.<br /> <br /><br />Tabel 2<br />Hasil Belajar Menulis Melalui Metode Drill dalam Latihan Motorik Halus <br />Menggunakan Barang Bekas pada Siklus I,II, dan III<br /><br />Siklus Nilai (N) Jumlah (F) N.F Presentasi<br />Siklus 1<br /> <br /> 50<br />60<br />70 2<br />2<br />3 100<br />120<br />210 28.6%<br />28.6%<br />42.8%<br /> jumlah - 7 430 100%<br /> Rata-rata 61.43 <br />Siklus II<br /> <br /> 50<br />60<br />70<br />80 1<br />2<br />3<br />1 50<br />120<br />210<br />80 14.3%<br />28.6%<br />42.8%<br />14.3%<br /> jumlah - 7 460 100%<br /> Rata-rata 65,71 <br />Siklus III<br /> <br /> 50<br />60<br />70<br />80 -<br />1<br />3<br />3 -<br />60<br />210<br />240 -<br />14.3%<br />42.8%<br />42.8%<br /> jumlah - 7 510 100%<br /> Rata-rata 72,85 <br /> <br /> <br />Berdasarkan data pada tabel 3, diketahui bahwa pada siklus III nilai rata-rata kelas 72.85 jika dibandingkan dengan nilai prestasi awal nilai rata-rata 65,71 pada siklus III telah menunjukkan peningkatan prosentase yang berarti. Pada siklus III ini siswa yang mendapat nilai dibawah 60 tidak ada (0 %), siswa yang mendapat nilai 60 ada 1 (14,3%), dan siswa yang mendapat nilai diatas 60 ada 6 (85,7%). Dengan demikian ditinjau dari sudut ketuntasan ada peningkatan dari 85,7% menjadi 100%. Sedangkan peningkatan nilai rata-rata hasil belajar menulis setiap siklus, menunjukkan bahwa dalam berdasarkan tes awal, pada siklus I terjadi peningkatan sebesar 7,15. Dari siklus I ke siklus II terjadi peningkatan sebesar 4,28, dan dari siklus ke II ke siklus ke tiga terjadi peningkatan sebesar 7,14. (Tabel 4).<br />Berdasarkan indikator kinerja yang telah ditetapkan bahwa hasil belajar menulis siswa CP kelas I-D1 YPAC Surakarta tuntas ditentukan apabila 75% dari jumlah siswa mendapat nilai 60 ke atas, hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa yang mendapat nilai 60 keatas mencapai 100%. Hal ini menunjukkan bahwa dalam menulis, seluruh siswa telah berhasil menuntaskan belajarnya.<br /> <br /><br />Tabel 3<br />Perbandingan Hasil Belajar Menulis Menerapkam Metode Dril dalam Latihan Motorik Halus Menggunakan Barang Bekas (Siklus I. II, III)<br /><br />Nilai Siklus I Siklus II Siklus III<br /> Jumlah % Jumlah % Jumlah %<br />50<br />60<br />70<br />80 2<br />2<br />3 28,6%<br />28,6%<br />42,8% 1<br />2<br />3<br />1 14.3%<br />28,6%<br />42,8%<br />14,3% -<br />1<br />3<br />3 -<br />14,3%<br />42,8%<br />42,8%<br />Jumlah 7 100% 7 100% 7 100 %<br />Rata-rata 61,43 65,71 72,85<br /><br />Tabel 4<br />Peningkatan Nilai Rata-rata Hasil Belajar Menulis Setiap Siklus<br /><br /> Nilai Rata-rata Peningkatan<br />Tes Awal 54,28 -<br />Siklus I 61,43 07,15<br />Siklus II 65,71 04,28<br />Siklus III 72,85 07,14<br /> <br /> <br />Penilaian Hasil Aktivitas Latihan Motorik Halus Menggunakan Barang Bekas <br />Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa hasil aktivitas latihan motorik halus dengan metode drill dengan menggunakan barang bekas pada siklus I, II, dan III dapat disajikan pada tabel 5, sedangkan peningkatan yang dicapai dari masing-masing siklus berdasar atas nilai rata-ratanya dapat disajikan dalam tabel 6.<br /><br />Berdasarkan data tabel tersebut, dapat ditafsirkan bahwa penerapan metode drill pada latihan motorik halus dengan menggunakan barang bekas yang menimbulkan bunyi mampu meningkatkan semua aktvitas belajar menulis (mendengar¬kan guru, memegang benda dengan benar, menggerakkan benda dengan baik, menulis dengan tekanan pensil, dan menulis mengikuti petunjuk) pada semua siswa, yang ditunjukkan dengan meningkatnya skor rata-rata aktivitas menulis dari siklus I ke siklus II sebesar 14,29 %, dan daro siklus II ke siklus III sebesar 22,86 %. <br /> <br /><br />Tabel 5<br />Hasil Aktivitas Siswa dalam Latihan Motorik Halus Menggunakan Barang Bekas<br /><br />Aktivitas Siklus I Siklus II Siklus III<br /> Jml % Jml % Jml %<br />Mendengarkan guru<br />Memegang benda dengan benar<br />Menggerakkan benda dengan baik<br />Menulis dengan tekanan pensil<br />Menulis mengikuti petunjuk 5<br />4<br />4<br />4<br />4 71,42<br />57,14<br />57,14<br />57,14<br />57,14 6<br />6<br />5<br />4<br />5 85,71<br />85,71<br />71,42<br />57,14<br />71,42 7<br />7<br />7<br />6<br />7 100<br />100<br />100<br />85,71<br />100<br />Jumlah /Rata-rata 21 59,99 26 74,28 34 97,14<br /><br />Tabel 6<br />Peningkatan Aktivitas Latihan Siswa pada Setiap Siklus<br /><br />S i k l u s Nilai Rata-rata Peningkatan<br />Siklus I 59,99 -<br />Siklus II 74,28 14,29<br />Siklus III 97,14 22,86<br /> <br /><br /> <br /><br />KESIMPULAN<br /> <br />Berdasarkan hasil analisis dan pembahasannya dalam penelitian tindakan kelas ini dapat disimpulkan bahwa metode drill pada latihan motorik halus dengan menggunakan barang bekas yang menimbulkan bunyi padasiswa CP kelas I-D1 SLB-D1 YPAC Surakartadapat meningkatkan aktivitas belajar siswa maupun hasil belajar menulisnya.Artinya, bahwa latihan tersebut mampu menjadikan siswa dapat belajar dengan lebih senang dan lebih termotivasi yang pada akhirnya bermuara kepada terjadinya peningkatan hasil belajarnya.<br /> <br /><br /> <br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br /> <br />Abdurrahman Mulyono, (1995). Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Surakarta: FKIP UNS Surakarta.<br />Abdul Salim, (1996). Ortopedagogik Tunadaksa II. Surakarta: Universitas Sebelas Maret Surakarta.<br />Depdiknas, 2006. Pedoman Administrasi sekolah Luar Biasa, Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa.<br />Depdiknas, (1996). Ortopedagogik Umum I. Jakarta. Direktorat Pembeinaan Sekolah Luar Biasa.<br />Depdiknas, (2002). Paket Penanganan Siswa Berkesulitan Belajar, Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Nasional,<br />Depdiknas, (2007). Model Pembelajaran Pendidikan Khusus Tunadaksa Ringan dan TunadaksaSedang. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa.<br />Depdiknas. (2008). Bahan Ajar Latihan Keterampilan Menulis, Jakarta: Dirjen Peningkatan Mutu dan Tenaga Kependidikan.<br />Effendi, Muhammad, (2006). Pengantar Psikho Pedagogik Anak Berkesulitan. Jakarta: Bumi Aksara.<br />Mudjiono, (2006). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta. Rineka Cipta.<br />Nana Sudjana, (2007). Evaluasi Pembelajaran. Bandung: Remaja Rodaskarya.<br />Ngalim Purwanto, (2002). Psikologi Pendidikan. Bandung” Remaja Rosdakarya’ <br />Pasaribu dan Simanjuntak, (2003). Psikhologi Perkembangan. Bandung: Tarsito. <br />Soeharso, (1959). Cerebral Palcy (Cacat Sejak Lahir). Surakarta YPAT.<br />Suwarno, (2006). Pengajaran Mikro. Jogjakarta: IKAPI.<br />Stephen, (2004). Peningkatan Minat Kemempuan Anak Usia Pra Sekolah Untuk BelajarMembaca dan Menulis Permulaan Menggunakan Komputer AIDED LIERNING. Gemetika Jurnal Manajemen Informatika, vol 9. Juni 2008.<br />Winarno Surakhmat, (2003). Pengantar Interaksi Mengajar-Belajar. Bandung: TarsitoJASSI_AnakKuhttp://www.blogger.com/profile/12273050106097217296noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4574434941553048680.post-86840705708483205672012-01-27T04:42:00.000-08:002012-01-27T04:44:23.636-08:00Pembelajaran Membaca dan Menulis Braille Permulaan pada Anak TunanetraSari Rudiyati<br />Universitas Negeri Yogyakarta<br /><br />ABSTRAK<br /><br />Penelitian kualitatif ini bertujuan untuk mendeskripsikan pembelajaran membaca dan menulis Braille permulaan bagi anak-anak tunanetra di Sekolah Luar Biasa Tunanetra, terutama ditinjau dari persepsi guru, strategi, metodik khusus, dan peralatan yang digunakan. Subjek penelitian Kepala Sekolah, guru dan siswa. Teknik pengumpulan data melalui pengamatan berperan-serta, wawancara mendalam, dan studi dokumentasi, sedang untuk analisis data digunakan model alir dan interaktif. Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat perbedaan persepsi guru terkait dengan kompetensi guru, kemampuan yang harus dimiliki siswa serta pentingnya membaca dan menulis Braille permulaan bagi anak tunanetra. Strategi strategi khusus yang dilakukan guru adalah usaha kompensasi keterbatasan visual dengan melatih dria-dria non-visual terutama dria taktual. Metodik khusus yang digunakan guru yaitu melakukan modifikasi cara dan alat membaca dan menulis Braille. Peralatan yang digunakan yaitu bahan limbah dan peralatan seperti potongan-potongan kain; kertas amplas yang berbeda teksturnya, gunting, kertas tebal dan tipis, biji-bijian; papan huruf/bacaan atau Reken Plank,Reglet dan penanya atau stylus.<br />Kata kunci: membaca,menulis, Braille permulaan, tunanetra.<br /><br /> <br />PENDAHULUAN<br /> <br />Anak tunanetra adalah anak yang karena sesuatu hal mengalami kondisi penglihatan yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Kondisi itu disebabkan oleh kerusakan mata-mata, syaraf optik dan atau bagian otak yang mengolah stimulus visual (Sasraningrat, 1984).<br />Ketunanetraan akan membawa akibat timbulnya beberapa keterbatasan bagi penyandangnya, antara lain adalah keterbatasan memperoleh informasi. Seperti dinyatakan oleh para ahli bahwa kurang lebih 85% pengamatan manusia dilaksanakan oleh mata (Sasraningrat, 1984). Oleh karena itu untuk memperoleh informasi seorang penyandang tunanetra terutama yang mengalami tingkat buta, akan menggunakan dria-dria non-visual yang masih berfungsi seperti dria pendengaran, dria perabaan/taktual, dria pembau, dan lain sebagainya. <br />Membaca dan menulis Braille merupakan salah satu sarana bagi para penyandang tunanetra buta untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi dengan orang lain yang menggunakan dria taktual. Dengan demikian kepekaan dria taktual merupakan tuntutan dalam memiliki kecakapan membaca dan menulis Braille. Padahal kepekaan dria taktual bukan merupakan hal yang otomatis bagi para penyandang tunanetra, tetapi perlu adanya latihan dan atau pembelajaran bagi yang bersangkutan.<br />Membaca dan menulis Braille permulaan sebagai dasar kecakapan membaca dan menulis Braille bagi penyandang tunanetra, perlu diajarkan di sekolah-sekolah khusus anak tunanetra atau yang disebut Sekolah Luar Biasa Tunanetra. Guru anak tunanetra memegang peranan penting dalam pembelajaran membaca dan menulis Braille permulaan, sebab melalui pembelajaran membaca dan menulis Braille ini anak-anak tunanetra dipersiapkan untuk memiliki kecakapan mengakses informasi dan berkomunikasi. Namun demikian apakah para guru telah melakukan pembelajaran membaca dan menulis Braille permulaan dengan tepat, sehingga anak tunanetra memperoleh pembelajaran yang berarti atau sebaliknya para guru mengabaikan asas-asas mengajar membaca dan menulis Braille permulaan, sehingga anak tunanetra tidak cakap membaca dan menulis Braille.<br />Sementara itu kondisi obyektif di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak anak tunanetra yang telah menduduki sekolah lanjutan, belum terampil membaca dan menulis Braille. Oleh karena itu perlu diteliti bagaimana guru memberikan pembelajaran membaca dan menulis braille permulaaan pada sekolah khusus atau Sekolah Luar Biasa Tunanetra. Dengan demikian akan dapat dideskripsikan tentang pembelajaran membaca dan menulis Braille permulaan bagi anak tunanetra di Sekolah Luar Biasa Tunanetra.<br />Berdasarkan permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan untuk memahami dan mendeskripsikan pembelajaran membaca dan menulis Braille permulaan bagi anak-anak tunanetra di Sekolah Luar Biasa Tunanetra, terutama berdasar atas persepsi guru, strategi dan metodik khusus yang dilakukan, dan peralatan yang digunakan.<br /> <br /><br />METODE <br />Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif kualitatif, sebab pendekatan ini tepat untuk mengadakan pemahaman mendalam dan mencari makna pembelajaran membaca dan menulis Braille permulaan bagi anak tunanetra. Peneliti berusaha memahami arti peristiwa pembelajaran dan kaitan-kaitannya terhadap pembelajaran membaca dan menulis Braille permulaan anak tunanetra. Pemahaman tentang pembelajaran membaca dan menulis Braille permulaan bagi anak tunanetra menuntut penelitian yang bersifat alami, sebagaimana adanya, tanpa manipulasi dan atau intervensi peneliti. Selain itu Bogdan dan Taylor (l995) telah mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu bersangkutan secara holistik (utuh); oleh karena itu dengan pendekatan kualitatif akan dapat diperoleh pemahaman dan penafsiran secara mendalam mengenai makna dari kenyataan dan fakta yang relevan dengan pembelajaran membaca dan menulis Braille permulaan bagi anak tunanetra.<br />Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus, dengan mengkaji terhadap multi kasus yang berupa kata-kata dan tindakan para aktor penelitian, sumber tertulis, foto dan peristiwa-peristiwa pembelajaran membaca dan menulis Braille permulaan yang terjadi. <br />Dijadikan latar/setting penelitian adalah sekolah khusus bagi anak-anak tunanetra atau yang disebut dengan Sekolah Luar Biasa Tunanetra Yayasan Kesejahteraan Tunanetra Islam (Yaketunis), jalan Parangtritis No.46, Yogyakarta; di mana anak-anak tunanetra memperoleh pembelajaran membaca dan menulis Braille permulaan. Penelitian dilaksanakan dalam jangka waktu empat bulan, yaitu mulai bulan Juli sampai dengan Oktober 2004.<br />Adapun sumber data dalam penelitian ini adalah para informan yang terdiri dari Kepala Sekolah, guru dari siswa tunanetra di SLB/A Yaketunis Yogyakarta. Sedangkan subjek penelitian dipilih secara purposif, dengan menentukan ciri-ciri anak-anak tunanetra yang mengalami kesulitan dalam pembelajaran membaca dan menulis Braille permulaan di tingkat dasar kelas D1.<br />Teknik pengumpulan data dilakukan melalui teknik pengamatan berperanserta, wawancara mendalam dan analisis dokumen. Sedangkan kegiatan analisis data dilakukan dalam dua tahap, yaitu selama dan setelah pengumpulan data. Terhadap data yang diperoleh dilakukan analisis dengan teknik model alur dan interaktif yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman (1992) yang terdiri dari tiga komponen dan mempunyai alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan dan berinteraksi satu dengan yang lain, yaitu : reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan/verifikasi.<br />Guna mencapai keabsahan data, dilakukan dengan:<br />a. Memperpanjang pengamatan dan keiikutsertaan peneliti dalam kegiatan pembelajaran membaca dan menulis Braille permulaan bagi anak tunanetra. <br />b. Tekun mengamati fenomena secara terus-menerus untuk menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan pembelajaran membaca dan menulis Braille permulaan.<br />c. Melaksanakan trianggulasi terhadap kebenaran data dan penafsirannya, baik dengan pengecekan, pengecekan ulang, maupun pengecekan silang “cross check”.<br />d. Analisis kasus negatif, dengan cara mengumpulkan kasus yang tidak sesuai dengan data yang telah dikumpulkan, dan digunakan sebagai pembanding.<br />e. Mengadakan diskusi analitik dengan rekan-rekan sejawat, baik tentang hasil sementara maupun hasil akhir dari penelitian ini.<br />f. Membuat deskripsi pekat atau “thick description” tentang makna pembelajaran membaca dan menulis Braille permulaan bagi anak tunanetra.<br />g. Mengadakan penelusuran “audit” dengan cara melacak kesimpulan sampai pada data mentah, termasuk catatan lapangan. <br /> <br /><br /> <br /><br /><br /><br /><br />HASIL DAN PEMBAHASAN<br /><br /> <br />Persepsi Guru <br /> Dalam pembelajaran membaca dan menulis Braille permulaan bagi anak tunanetra, guru mempunyai persepsi yang tidak berbeda dengan guru lain. Persepsi guru merupakan dasar dari pelaksanaan pembelajaran termasuk pembelajaran membaca dan menulis Braille permulaan bagi anak-anak tunanetra. Seperti dinyatakan oleh Ibu Hartini (samaran), guru Bahasa Indonesia kelas D.I SLB/A yang sekaligus juga mengajar membaca dan menulis Braille permulaan, sebagai berikut:<br />“Semua anak tidak terkecuali termasuk anak tunanetra pasti mempunyai potensi; walaupun anak tunanetra mempunyai keterbatasan, potensi mereka perlu dikembangkan semaksimal mungkin. Oleh karena itu sebagai guru anak tunanetra, harus mempunyai modal dasar kesabaran, ketelatenan dan kreativitas, dan sekaligus mau menjadi pengganti mata siswa tunanetra”.<br />Jadi, semua anak, termasuk anak tunanetra mempunyai potensi yang dapat dikembangkan, walaupun dalam pembelajaran membaca dan menulis, anak-anak tunanetra kadang-kadang harus memakan waktu yang agak lama dibandingkan dengan anak-anak pada umumnya. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan yang dialami oleh mereka. Oleh karena itu seorang guru anak tunanetra juga dituntut kesabaran, ketelatenan dan kreativitas mereka, serta bersedia menjadi pengganti mata dari siswa tunanetra.<br />Membaca dan menulis Braille merupakan salah satu sarana bagi para penyandang tunanetra buta untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi dengan menggunakan dria taktual; oleh karena itu kepekaan dria taktual merupakan tuntutan dalam memiliki kecakapan membaca dan menulis Braille. Padahal kepekaan dria taktual bukan merupakan hal yang otomatis bagi para penyandang tunanetra, tetapi perlu adanya latihan dan atau pembelajaran bagi yang bersangkutan. Seperti antara lain dikatakan oleh Ibu Atika (samaran) seorang guru anak tunanetra di SLB/A Yaketunis, sebagai berikut:<br />“Anak tunanetra terutama yang buta, harus dapat membaca dan menulis Braille; karena membaca dan menulis Braille merupakan salah satu sarana bagi para penyandang tunanetra untuk memperoleh informasi dan berkomuni¬kasi dengan orang lain”.<br />Lebih lanjut Ibu Atun (samaran) dan beberapa guru yang lain menyatakan bahwa:<br />“Sebelum diajar membaca dan menulis Braille, anak tunanetra perlu dilatih kepekaan dria taktualnya, karena kepekaan dria taktual bukan merupakan hal yang otomatis dikuasai oleh anak-anak tunanetra, tetapi harus dilatih”.<br />Berdasarkan persepsi para guru anak tunanetra seperti tersebut di atas, maka membaca dan menulis Braille permulaan sebagai dasar kecakapan membaca dan menulis Braille bagi penyandang tunanetra perlu diajarkan di sekolah-sekolah khusus anak tunanetra atau yang disebut Sekolah Luar Biasa Tunanetra. Guru anak tunanetra memegang peranan penting dalam pembelajaran membaca dan menulis Braille permulaan, sebab melalui pembelajaran membaca dan menulis Braille ini anak-anak tunanetra dipersiapkan untuk memiliki kecakapan mengakses informasi dan berkomunikasi. Oleh karena itu para guru dituntut untuk melakukan pembelajaran membaca dan menulis Braille permulaan secara tepat, sehingga anak tunanetra memperoleh pembelajaran yang berarti dalam memiliki kecakapan membaca dan menulis Braille. <br />Strategi yang Dilakukan<br />Strategi pembelajaran membaca dan menulis Braille permulaan merupakan rekayasa dan rencana yang cermat mengenai proses interaksi antara siswa tunanetra dan lingkungannya, dan atau proses penciptaan sistem lingkungan yang merupakan seperangkat peristiwa yang dirancang untuk mendorong, menggiatkan, mendukung dan memungkinkan terjadinya anak tunanetra belajar membaca dan menulis Braille permulaan; sehingga terjadi perubahan perilaku anak tunanetra yaitu memiliki kecakapan dalam membaca dan menulis Braille. Untuk mewujudkan hal-hal tersebut di atas, menurut beberapa sumber data maka seorang guru perlu memiliki keterampilan dalam memilih dan menggunakan metode pengajaran yang sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan lingkungan siswa tunanetra. Selain itu seorang guru kadang-kadang juga perlu menggunakan beberapa metode secara bervariasi dengan memperhatikan ketepatan penggunaan beberapa metode tersebut terhadap kondisi, kebutuhan dan lingkungan dari siswa tunanetra bersangkutan.<br />Hasil pengamatan peneliti pembelajaran membaca dan menulis Braille permulaan juga menggunakan berbagai metode secara bervariasi. Metode ceramah dan tanyajawab dilaksanakan secara serentak dengan metode peragaan atau demonstrasi. Misalnya pada waktu guru menjelaskan tentang posisi dan konfigurasi titik-titik Braille sambil memperagaan letak tititik-titik Braille tersebut pada papan huruf/bacaan yang juga disebut dengan “Reken Plank”. Apabila anak tunanetra belum memiliki pemahaman tentang apa yang dijelaskan guru, maka guru memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya kepada guru; dan selanjutnya guru menjawab pertanyaan siswa bersangkutan. Setelah siswa tunanetra paham, maka guru kemudian memberikan tugas tertentu agar siswa tunanetra aktif melakukan kegiatan belajar membaca dan menulis Braille. Misalnya guru mendekte secara pelan-pelan, siswa tunanetra menulis apa yang didektekan guru, kemudian guru meminta siswa tunanetra secara bergiliran untuk membaca apa yang telah ditulis oleh siswa tunanetra bersangkutan. Jika ada kesalahan guru menjelaskan dimana letak kesalahannya dan sekaligus mengoreksinya, kemudian siswa tunanetra diminta untuk memperbaiki; tetapi jika siswa tunanetra telah melaksanakan tugas dengan benar, guru kemudian memberikan “reward” dengan cara antara lain menepuk bahu siswa bersangkutan sambil berkata “betul!”, “pintar!”,atau “bagus!”.<br /> Selain hal tersebut di atas guru juga menggunakan metode latihan, yaitu cara mengajar untuk mengkondisikan atau menanamkan suatu kebiasaan membaca dan menulis Braille kepada siswa tunanetra untuk memperoleh keterampilan atau kecakapan dalam membaca dan menulis Braille. Misalnya guru memberikan penjelasan bagaimana memasang kertas pada reglet, bagaimana menusukkan pena atau “stylus” pada relget yang sudah ada kertasnya; kemudian anak berlatih sendiri dengan diawasi oleh guru bersangkutan. Jika siswa tunanetra belum bisa diulang-ulang terus sampai bisa; dan jika sudah bisa kemudian guru mulai meminta siswa tunanetra menulis kata atau kalimat sederhana. Siswa tunanetra diminta untuk membaca hasil tulisannya dengan cara membalik posisi kertas, guru mengawasi cara siswa tunanetra membaca tulisan Braille tersebut sambil menjelaskan cara membaca yang baik, yaitu antara lain dengan meraba secara ringan dari kiri ke kanan.<br /> Dalam pembelajaran membaca dan menulis Braille permulaan perlu menggunakan pendekatan mengajar secara fungsional-indivudual. Seperti antara lain dinyatakan oleh ibu Hartini (samaran) bahwa: <br />“Guru perlu memiliki keterampilan dalam menentukan pendekatan mengajar fungsional-individual bagi siswa tuna¬netra dengan mempertimbangkan keterbatasan, ketidakmampuan dan atau kendala tertentu dalam proses belajar mereka”<br />Strategi khusus yang telah dilaksanakan oleh guru dalam pembelajaran mambaca dan menulis Braille adalah usaha kompensasi keterbatasan kemampuan visual dengan melatih dria-dria non-visual terutama dria taktual. Latihan dria non-visual terutama dria taktual dilakukan oleh guru dengan melatih siswa tunanetra untuk mempunyai kepekaan dria taktual. Hal ini membekali siswa tunanetra dalam memiliki keterampilan membaca dan menulis Braille. Setelah dria taktual dilatih maka siswa tunanetra akan mempunyai kepekaan taktual, sehingga memperlancar dalam membaca dan menulis Braille, karena dengan mudah mereka akan dapat membedakan konfigurasi titik-titik Braille. <br />Metodik Khusus yang Dilakukan<br />Berdasarkan pengamatan peneliti dan hasil wawancara terhadap guru Bahasa Indonesia, membaca dan menulis Braille permulaan menggunakan metodik khusus dengan melakukan modifikasi terhadap cara dan alat membaca dan menulis Braille. Pada waktu mengajarkan titik-titik Braille tidak langsung pada alat tulis Braille yaitu reglet dan penanya atau “stylus” tetapi menggunakan papan huruf/bacaan atau disebut juga dengan “Reken Plank” terlebih dahulu. Dengan “Reken Plank” tersebut anak tunanetra dikenalkan posisi enam titik Braille baik dalam posisi horizontal maupun vertikal. Misalnya dalam posisi horizontal titik-titik 1-4; 2-5; 3-6; dan dalam posisi vertikal adalah titik-titik 1-2-3; dan 4-5-6.<br />Papan huruf/baca atau “Reken Plank” selain digunakan untuk memperkenalkan titik-titik Braille juga dapat digunakan untuk melatih kepekaan dria taktual siswa tunanetra. Setelah siswa tunanetra memahami konfigurasi titik-titik Braille, maka guru dapat segera mentransfer pemahaman siswa tunanetra tentang titik-titik Braille ke dalam reglet yang titik-titiknya lebih kecil dibandingkan dengan paku-paku yang ditancapkan pada pada huruf/baca. Jika siswa tunanetra masih bingung maka penggunaan papan huruf/baca masih diperlukan, sampai siswa tunanetra betul-betul dapat membaca dan menulis Braille dengan Reglet dan penanya. Setelah siswa tunanetra dapat membaca dan menulis Braille dengan Reglet, maka guru akan memperkenalkan dengan penggunaan mesin ketik Braille yang hasil langsung dapat dibaca, tidak perlu dibalik seperti pada waktu menggunakan Reglet.<br />Peralatan yang Digunakan <br />Alat atau segala sesuatu yang dipakai untuk mengerjakan dan atau dipakai untuk mencapai tujuan pengajaran membaca dan menulis Braille permulaan yang ideal adalah benda sesungguhnya yaitu Reglet dan penanya atau “stylus”. Mengingat anak-anak tunanetra mempunyai keterbatasan di dalam mengamati secara visual, maka alat pengajaran membaca dan menulis Braille bagi anak tunanetra yang berupa Reglet dan “stylus” untuk pertama kali diganti dengan model papan bacaan yang disebut “Reken Plank”<br /> Sebelum siswa tunanetra diperkenalkan dengan papan huruf/baca atau “Reken Plank” guru telah melatih terlebih dahulu kepekaan dria taktual mereka dengan menggunakan bahan-bahan limbah dan peralatan yang dapat digunakan untuk melatih kepekaan dria taktual siswa tunanetra. Potongan-potongan kain sutera, katun, wool, lurik; kertas amplas yang berbeda teksturnya; gunting, kertas tebal dan tipis; biji-bijian, dan barang-barang limbah lain yang dapat dimanfaatkan untuk melatih kepekaan dria taktual siswa tunanetra. Hal ini menunjukkan kreavitias guru dalam menciptakan alat pembelajaran dan atau sumber belajar.<br /> Setelah anak mempunyai kepekaan dria taktualnya, maka guru mulai memperkenalkan dan melatih siswa tunanetra dengan “Reken Plank”, reglet dan penanya serta mesin ketik Braille. Dengan demikian sebelum siswa tunanetra bersangkutan mempunyai kepekaan dria taktual maka akan sulit untuk mengikuti latihan membaca dan menulis Braille dengan “Reken Plank”, Reglet dan penanya, serta mesin ketik Braille. <br /> <br /><br />KESIMPULAN<br /><br /> <br />Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai pembelajaran membaca dan menulis Braille permulaan Anak tunanetra di Sekolah Luar Biasa Tunanetra Yaketunis Yogyakarta, dapat disimpulkan bahwa:<br />1. Para guru mempunyai persepsi yang sama bahwa:a) semua anak tunanetra pasti mempunyai potensi dan perlu dikembangkan semaksimal mungkin. b) anak tunanetra terutama yang buta, harus dapat membaca dan menulis Braille sebagai sarana untuk memperoleh informasi dan komunikasi dengan orang lain, c) sebelum diajar membaca dan menulis Braille, anak tunanetra perlu dilatih kepekaan dria taktualnya, karena bukan merupakan hal yang otomatis dikuasai oleh anak-anak tunanetra, dan d) membaca dan menulis Braille permulaan merupakan dasar kecakapan bagi penyandang tunanetra, sehingga perlu diajarkan di sekolah-sekolah khusus anak tunanetra atau SLB/A.<br /> 2. Strategi yang dilakukan guru adalah: a) memilih dan menggunakan berbagai metode pengajaran sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan lingkungan siswa tunanetra, b) menggunakan berbagai metode secara bervariasi. c) Mengoreksi kesalahan anak dan memberikan “reward” terhadap siswa yang berhasil mencapai kemajuan, serta d) menggunakan pendekatan mengajar fungsional-individual dengan mempertimbangkan keterbatasan, ketidak-mampuan dan atau kendala belajar yang dihadapi, serta usaha kompensasi keterbatasan visual dengan melatih dria-dria non-visual terutama dria taktual dan dilakukan sebelum mengajarkan membaca dan menulis Braille.<br /> 3. Metodik khusus yang digunakan guru yaitu dengan memodifikasi cara dan alat membaca dan menulis Braille, dengan mengajarkan titik-titik Braille tidak langsung pada alat tulis Braille, maupun mesin ketik Braille melalui“Reken Plank” terlebih dahulu.<br />4. Peralatan yang digunakan untuk melatih kepekaan dria taktual anak tunanetra yaitu dengan menggunakan alat dan atau bahan limbah, seperti potongan kain, kertas amplas,gunting, kertas tebal dan tipis, serta biji-bijian. Sedangkan untuk pengenalan konfigurasi titik-titik Braille dan sekaligus untuk melatih kepekaan dria taktual yaitu dengan papan huruf/bacaan atau “Reken Plank, dan setelah memahami konfigurasinya, baru mengunakan reglet dan penanya atau “stylus” serta mesin ketik Braille. <br /> <br /><br /> <br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br /> <br />Abdurrahman, Mulyono.(1994).Strategi Pembelajaran dalam PLB. Jakarta: Proyek Pembinaan dan Pembinaan dan Peningkatan Mutu Tenaga Kependidikan, Ditjen Dikti, Depdikbud. <br />Bogdan, R. C. dan Biklen, SK. (1982 ). Qualitative Research for Education (An Introduction to Theory an d Methods). Boston, USA.: Allyn and Bacon Inc.<br />Bower, Gordon H. dan Ernest R. Hilgard.(1981). Theories of Learning. Englewood Cliffs, New Jersey, USA: Prentice Hall, Inc.<br />Carrol, Revered Thomas J. (l96l). Blindness. USA: Brown and Company (Canada) Limited.<br />Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln. (1994). Handbook of Qualitative Research. Thousand Oaks, California 91320, USA: Sage Publications,Inc.<br /> Depdikbud. (1999).Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta; Balai Pustaka.<br /> Hallahan dan Kauffman. (1978). Exceptional Children. (Intruduction to Special Education). New York: Pretice Hall.<br />Lincoln, YS. Guba EG. (1995). Naturalistic Inquiry. New Delhi: Sage Publication.<br /> Lexy J. Moleong.(1988). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakaryan Offset.<br />Lowenfeld, Berthold. (1979). Anak Tunanetra di Sekolah (Enstrak). Terj. Frans. Harsana Sasraningrat. Jakarta: BP3K Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.<br />Lusli, Mimi Mariani. (1992). Pedoman dan Struktur Dalam Huruf Braille. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.<br />Lydon T. William and Loretta Mc. Graw.(1978).Pengembangan Konsep Untuk Anak Buta. Terj. BP3K Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bandung : Helen Keller International Incorporated.<br />Miles B., Matthew dan A. Michel Huberman. (1984). Qualitative Data Analysis. Beverley Hills, California, USA: Sage Publication, Inc.<br />______.(1992). Analisis Data Kualitatif. Terj. Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.<br />Morse, Janice M. (1991). Critical Issues In Qualitative Research Methods.California, USA: Sage Publications, Inc.<br /><br /><br />Sasraningrat. F. Harsana. (1981). Metodik Khusus Anak Tunanetra. Yogyakarta: Federasi Kesejahteraan Tunanetra Indonesia.<br />______dan Sumarno. (l984). Ortodidaktik Anak Tunanetra. Jakarta: DepartemenPendidikan dan Kebudayaan RI.<br />Scholl. Geraldine. (l988). Foundation of Education for the Visually Impaired Children and Youth. New York, N.Y.: American Foundation for the Blind Incorporated.<br />Silverman, David. (1993). Interpreting Qualitative Data. California, USA: Sage Publications, Inc.<br />Sumarno, Dwijo dan Purwanta HK. (1986). Pedoman Menulis Braille I. Yogyakarta: Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa.<br />Spradley, James P.(1980). Participant Observation. New York, USA: Holt, Rinehart and Winston.<br />______.(1997). Metode Etnografi. Terj. Misbah Zulfa Elizabeth. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.<br /> Wardani,I.G.A.K.(l994). Pengembangan Perencanaan Pengajaran Dalam Pendidikan Luar Biasa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.JASSI_AnakKuhttp://www.blogger.com/profile/12273050106097217296noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4574434941553048680.post-27113378674131825172012-01-27T04:25:00.000-08:002012-01-27T04:30:08.500-08:00Pendidikan Luar Biasa dalam Perspektif Dewasa IniDjadja Rahardja<br />Universitas Pendidikan Indonesia<br /><br />ABSTRAK<br />Sikap masyarakat dunia terhadap individu berkebutuhan pendidikan khusus sekarang ini tidak lepas dari berbagai upaya yang telah dilakukan oleh para philosof, aktivis, dan humanitarian Eropa pada akhir abad 18 atau awal abad 19. Salah satunya, adalah Itard, yang kemudian mendapat gelar “Bapak Pendidikan Luar Biasa”. Di Indonesia, sejarah perkembangan pendidikan luar biasa dimulai ketika Belanda masuk ke Indonesia (1596-1942), dengan membuka lembaga-lembaga khusus untuk anak-anak berkebutuhan pendidikan khusus.Sejak Indonesia merdeka, seluruh warganegara tanpa terkecuali apakah dia mempunyai kelainan atau tidak, mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan dan hal ini dijamin oleh UUD 1945. Kecenderungan yang secara signifikan mempengaruhi pendidikan luar biasa dewasa ini adalah pendidikan inklusif, akuntabilitas dan aksesibilitas pembelajaran, dukungan perilaku yang positif, serta kolaborasi. Apapun bentuk layanan pendidikan dan dimanapun layanan pendidikan itu diberikan kepada anak berkebutuhan pendidikan khusus, pemerintah seyogyanya menyediakan berbagai alternatif layanan pendidikan sebagai pilihan.<br />Kata kunci: anak berkebutuhan pendidikan khusus, pendidikan luar biasa, pendidikan inklusif, kolaborasi.<br /> <br /><br /><br /> <br />PENDAHULUAN<br /> <br />Dalam Encyclopedia of Disability (2006:257) tentang pendidikan luar biasa dikemukakan sebagai berikut: “Special education means specifically designed instruction to meet the unique needs of a child with disability”. Pendidikan luar biasa berarti pembelajaran yang dirancang secara khusus untuk memenuhi kebutuhan yang unik dari anak penyandang cacat. <br />Ketika seorang anak diidentifikasi mempunyai kelainan, pendidikan luar biasa sewaktu-waktu diperlukan. Hal itu dikemukakan karena siswa berkebutuhan pendidikann khusus tidak secara otomatis memerlukan pendidikan luar biasa. Pendidikan luar biasa akan sesuai hanya apabila kebutuhan siswa tidak dapat diakomodasi dalam program pendidikan umum. Singkat kata, pendidikan luar biasa adalah program pembelajaran yang disiapkan untuk memenuhi kebutuhan unik dari individu siswa. Mungkin dia memerlukan penggunaan bahan-bahan, peralatan, layanan, dan/atau strategi mengajar yang khusus. Sebagai contoh, seorang anak yang kurang lihat memerlukan buku yang hurufnya diperbesar; seorang siswa dengan kelainan fisik mungkin memerlukan kursi dan meja belajar yang dirancang khusus; seorang siswa dengan kesulitan belajar mungkin memerlukan waktu tambahan untuk menyelesaikan pekerjaannya. Contoh yang lain, seorang siswa dengan kelainan pada aspek kognitifnya mungkin akan memperolah keuntungan dari pembelajaran kooperatif yang diberikan oleh satu atau beberapa guru umum bersama-sama dengan guru pendidikan luar biasa. Pendidikan luar biasa merupakan salah satu komponen dalam salah satu sistem pemberian layanan yang kompleks dalam membantu individu untuk mencapai potensinya secara maksimal.<br />Pendidikan luar biasa diibaratkan sebagai sebuah kendaraan dimana siswa berkebutuhan pendidikan khusus, meskipun berada di sekolah umum, diberi garansi untuk mendapatkan pendidikan yang secara khusus dirancang untuk membantu mereka mencapai potensi maksimalnya. <br />Pendidikan luar biasa tidak dibatasi oleh tempat khusus. Pemikiran modern menyarankan bahwa layanan sebaiknya diberikan di lingkungan yang lebih alamiah dan normal yang sesuai dengan kebutuhan anak. Seting seperti itu bisa dilakukan dalam bentuk program layanan di rumah bagi anak-anak berkebutuhan pendidikan khusus prasekolah, kelas khusus di sekolah umum, atau sekolah khusus untuk siswa-siswa yang memiliki keberbakatan. Pendidikan luar biasa bisa diberikan di kelas-kelas pendidikan umum. <br />Individu-individu berkebutuhan pendi¬dik¬an khusus hendaknya dipandang sebagai individu yang sama bukannya berbeda dari teman-teman sebaya lainnya. Juga harus selalu diingat, bahwa pandanglah mereka sebagai pribadi bukan kekurangannya, dan pusatkan perhatian pada apa yang dapat mereka lakukan daripada pada apa yang tidak dapat mereka lakukan. <br /> <br /><br /> <br />PEMBAHASAN<br /> <br />Menyimak Sejarah<br />Yang mendasari sikap masyarakat dunia sekarang ini terhadap individu berkebutuhan pendidikan khusus adalah berbagai upaya yang telah dilakukan oleh para philosof, aktivis, dan humanitarian Eropa. Dedikasi mereka sebagai pembaharu dan rintisan pemikirannya menjadikan mereka sebagai katalisator perubahan. Para ahli sejarah pendidikan biasanya menggambarkan mulainya pendidikan luar biasa pada akhir abad ke-delapan belas atau awal abad ke-sembilan belas.<br />Salah satu dokumen yang pertama kali mencoba menggambarkan pendidikan luar biasa adalah upaya yang dilakukan oleh seorang dokter Perancis bernama Jean Marc-Gaspard Itard (1775-1838) dengan mendidik Victor anak berusia 12 tahun, yang selanjutnya disebut “anak liar dari Aveyron”. Menurut cerita rakyat, Victor ditemukan oleh sekelompok pemburu di hutan dekat kota Aveyron. Ketika ditemukan, dia tidak berpakaian, tidak berbahasa, berlari tapi tidak berjalan, dan menunjukkan perilaku seperti binatang. Itard, sebagai ahli penyakit telinga dan mengajar anak-anak muda dengan ketunarunguan, mencoba pada tahun 1799 “mendidik” Victor. Dia mencoba mengajar Victor melalui program latihan sensori dan apa yang sekarang ini disebut modifikasi perilaku. Karena kedewasaannya tersebut Itard tidak berhasil mengembangkan bahasa secara utuh setelah lima tahun dedikasinya dan seluruh pembelajarannya, dan hanya terbiasa dengan keterampilan dasar sosial dan menolong diri. Itard menganggap usahanya tersebut gagal. Tetapi kemudian dia mampu menunjukkan bahwa belajar masih memungkinkan bagi individu yang digambarkan tidak mempunyai harapan dan idiot. Gelar “Bapak Pendidikan Luar Biasa” tepat diberikan kepada Itard karena inovasi pekerjaanya pada 200 tahun yang lalu.<br />Pionir yang berpengaruh lainnya adalah murid Itard bernama Edouard Seguin (1812-1880). Dia mengembangkan program pembelajaran bagi anak muda yang oleh para ahli lainnya diidentifikasi tidak mempunyai kemampuan untuk belajar. Seperti halnya sang mentor Itard, Seguin dipengaruhi oleh pentingnya aktifitas sensorimotor sebagai alat bantu untuk belajar. Metodologinya berdasar pada asesmen yang komprehensf dari kekuatan dan kelemahan siswa bersamaan dengan pembuatan perencanaan secara berhati-hati latihan sensomotor yang dirancang untuk remediasi kelainan khusus. Seguin juga merealisasikan nilai pendidikan usia dini; dia disebut sebagai orang yang pertama dalam melakukan intervensi dini. Ide dan teori Seguin, yang dia gambarkan dalam bukunya berjudul Idiocy and Its Treatment by the Physiological Method, merupakan dasar untuk Maria Montessori melakukan pekerjaan kemudian dengan urban yang miskin dan anak-anak dengan ketunagrahitaan.<br />Pekerjaan Itard, Seguin, dan para pembaharu lainnya pada waktu itu membantu mewujudkan dasar-dasar untuk banyak praktek dewasa ini dalam pendidikan luar biasa. Contoh dari berbagai kontribusi tersebut termasuk di dalamnya pembelajaran individual, penggunaan teknik reinforcement positif, dan keyakinan bahwa semua anak dapat belajar. <br />Pada tahun 1948, Seguin berimigrasi ke Amerika Serikat, dan dalam beberapa tahun kemudian dia membantu mendirikan American Association on Mental Retardation (AAMR). Seorang Amerika, Reverend Thomas Hopkins Gallaudet (1787-1851) melakukan perjalanan ke Eropa dan belajar tentang teknik-teknik yang mutakhir dan inovasi untuk mengajar anak-anak tunarungu. Setelah kembali ke negaranya, dia berusaha mendirikan American Asylum for the Education of the Deaf and Dumb di Hartford, Conecticut. Fasilitas ini didirikan pada tahun 1817, merupakan sekolah berasrama yang pertama di Amerika Serikat dan sekarang ini dikenal dengan sebutan American School for the Deaf, Universitas Gallaudet, merupakan lembaga pendidikan seni bagi siswa dengan ketunarunguan, nama tersebut diperuntukkan bagi kontribusinya.<br />Berikut ini ringkasan pekerjaan yang dilakukan oleh para pemikir dan aktifis Eropa dan Amerika yang berpengaruh secara signifikan terhadap perkembangan pendidikan luar biasa.<br /> <br /><br />Para Pionir yang Berkontribusi pada<br />Pengembangan Pendidikan Luar Biasa (Gargiulo, 2006)<br /><br />Nama Pemikiran<br />Jacob Rodrigues Pereine<br />1715 – 1718 Memperkenalkan pemikirannya bahwa orang-orang dengan ketunarunguan dapat diajari berkomunikasi. Mengembangkan bentuk awal dari bahasa isyarat. Memberikan inspirasi dan dorongan untuk pekerjaan Itard dan Seguin.<br />Phillippe Pinel<br />1775 – 1826 Seorang dokter Perancis yang mempunyai perhatian terhadap perawatan humanitarian individu denga sakit mental. Mendukung pelepasan pasien dari institusi yang membelenggunya. Sebagai pionir dalam occupational therapy. Berperan sebagai mentor Itard.<br /> <br /> <br />Nama Pemikiran<br />Jean Marc-Gaspard Itard<br />1775 – 1838 Seorang dokter Perancis yang kemudian menjadi terkenal karena upaya yang sistematisnya dalam mendidik dewasa yang diperkirakan tunagrahita berat. Menemukan pentingnya stimulasi sensori.<br />Thomas Gallaudet<br />1787 – 1851 Mengajari anak-anak dengan ketunarunguan berkomunikasi mempergunakan sistem isyarat manual dan simbol. Mendirikan lembaga yang pertama di Amerika.<br />Samuel Gridley Howe<br />1801 – 1876 Seorang dokter Amerika dan pendidik yang menjadi tekenal secara internasional karena keberhasilannya dalam mengajar individu dengan ketunanetraan dan ketunarunguan. Mendirikan fasilitas berasrama yang pertama bagi tunanetra dan aktif memberikan penghargaan pada lembaga pemerhati anak-anak dengan ketunagrahitaan.<br />Dorothea Lynde Dix<br />1802 – 1887 Dix merupakan orang Amerika pertama yang meraih juara terbaik dan menangani lebih manusiawi mereka yang sakit mental. Berinisiatif mendirikan berbagai institusi bagi individu-individu dengan kelainan mental.<br />Louis Braille<br />1809 – 1852 Seorang pendidik Perancis, tunanetra, yang mengembangkan sistem perabaan untuk membaca dan menulis bagi orang tunanetra. Sistem dia, berdasar pada sel berupa enam buah titik timbul, yang masih dipergunakan sampai sekarang. Kode yang baku ini dikenal sebagai Braille Inggris Standar.<br />Edouard Seguin<br />1812 – 1880 Murid dari Itard, Seguin merupakan seorang dokter Perancis yang bertanggung jawab dalam mengembangkan metoda mengajar bagi anak-anak dengan ketunagrahitaan. Latihannya menekankan pada aktifitas sensomotoris. Setelah berimigrasi ke Amerika Serikat, dia membantu mendirikan organisasi yang disebut American Association on Mental Retardation.<br />Francis Galton<br />1822 – 1911 Ilmuwan yang konsern dengan perbedaan individu. Sebagai hasil dari mempelajari orang terkenal, dia percaya bahwa kejeniusan hanya sebagai hasil dari keturunan. Bahwa kemampuan superior adalah dilahirkan bukan dibuat.<br />Alexander Graham Bell<br />1847 – 1922 Pionir pendukung mendidik anak-anak dengan kelainan di sekolah umum. Sebagai seorang guru bagi siswa dengan ketunarunguan. Bell memperkenalkan penggunaan sisa pendengaran dan mengembangkan keterampilan berbicara pada siswa dengan ketunarunguan.<br />Alfred Binet<br />1857 – 1911 Psikolog Prancis yang mengkontruksi pertama kali skala asesmen perkembangan standar yang mampu menentukan angka inteligensi. Tujuan orisinil dari tes ini adalah mengidentifikasi siswa yang mempunyai kemungkinan keuntungan dari pendidikan luar biasa dan bukan mengklasifikasikan individu berdasar pada kemampuannya. Juga menemukan usia mental dengan siswanya Theodore Simon.<br />Maria Montessori<br />1870 – 1952 Dikenal di seluruh dunia untuk kepionirannya bekerja dengan anak-anak muda dengan ketunagrahitaan. Perempuan pertama yang memperoleh gelar dokter di Itali. Ahli dalam bidang pendidikan anak usia dini. Menunjukkan bahwa anak-anak mampu untuk belajar pada usia sangat awal kalau dikelilingi oleh bahan-bahan manipulatif dalam lingkungan yang kaya dan mendukung. Keyakinannya bahwa anak-anak belajar dengan baik melalui pengalaman langsung sensoris.<br />Nama Pemikiran<br />Lewis Terman<br />1877 – 1956 Seorang pendidik Amerika dan psikolog yang merevisi instrumen asesmen asli Binet. Hasilnya berupa publikasi Stanford-Binet Simon Scale of Intelligence pada tahun 1916. Terman mengembangakn ide tentang intelligence quotient, atau IQ. Juga terkenal untuk studi jangka panjangnya tentang individu-individu gifted. Disebut sebagai kakeknya pendidikan anak-anak gifted.<br /> <br /><br /> <br />Di Indonesia, sejarah perkembangan pendidikan luar biasa dimulai ketika Belanda masuk ke Indonesia (1596-1942), mereka memperkenalkan sistem persekolahan dengan orientasi Barat. Untuk pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan pendidikan khusus dibuka lembaga-lembaga khusus. Lembaga pertama untuk pendidikan anak tunanetra dibuka pada tahun 1901, untuk anak tunagrahita tahun 1927, dan untuk anak tunarungu tahun 1930, ketiganya di Bandung. <br />Tujuh tahun setelah proklamasi kemerdekaan, pemerintah Republik Indonesia mengundangkan undang-undang yang pertama mengenai pendidikan. Mengenai anak-anak yang mempunyai kelainan fisik <br />dan/atau mental, undang-undang itu menyebutkan: Pendidikan dan pengajaran luar biasa diberikan dengan khusus untuk mereka yang membutuhkan (pasal 6 ayat 2) dan untuk itu anak-anak tersebut terkena pasal 8 yang mengatakan : semua anak-anak yang sudah berumur 6 tahun berhak dan yang sudah berumur 8 tahun diwajibkan belajar di sekolah sedikitnya 6 tahun. Dengan diberlakukannya undang-undang tersebut maka sekolah-sekolah baru yang khusus bagi anak berkebutuhan pendidikan khusus, termasuk untuk anak tunadaksa dan tunalaras, dibuka. Sekolah-sekolah ini disebut sekolah luar biasa (SLB). <br />Sebagian berdasarkan urutan sejarah berdirinya SLB pertama untuk masing-masing kategori kecacatan, SLB-SLB itu dikelompokkan menjadi: (1) SLB bagian A untuk anak tunanetra, (2) SLB bagian B untuk anak tunarungu, (3) SLB bagian C untuk anak tunagrahita, (4) SLB bagian D untuk anak tunadaksa, (5) SLB bagian E untuk anak tunalaras, dan (6) SLB bagian G untuk anak cacat ganda. Eko (2006) mengemukakan bahwa dari jumlah keseluruhan 1.48 juta yang dikategorikan berkelainan, 21.42% merupakan anak-anak usia sekolah. Meskipun demikian, hanya 25% atau 79.061 anak yang sekarang ini berada di sekolah luar biasa. Beberapa sekolah luar biasa yang mengakomodasi berbagai jenis kelainan dibangun untuk menuntaskan wajib belajar 9 tahun. Selain itu dilakukan juga berbagai upaya, salah satunya adalah sosialisasi dan implementasi pendidikan inklusif.<br />Konsep pendidikan terpadu diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1978 oleh Helen Keller International, Inc. Ketika itu HKI membantu Departemen Pendidikan dan Kebudayaan membuka sekolah terpadu bagi anak tunanetra. Keberhasilan proyek itu menyebabkan dikeluarkannya SK Mendikbud nomor 002/U/1986 tentang Pendidikan Terpadu bagi Anak Cacat, yang pada intinya mengatur bahwa anak berkebutuhan pendidikan khusus yang memiliki kemampuan dapat diterima bersekolah di sekolah reguler. <br />Sayangnya, setelah proyek pendidikan terpadu itu berakhir, implementasi pendidikan terpadu itu semakin mundur, terutama di tingkat sekolah dasar. Akan tetapi menjelang akhir tahun 90-an muncul upaya baru untuk mengembangkan pendidikan inklusif melalui proyek kerjasama antara Depdiknas dengan pemerintah Norwegia di bawah manajemen Braillo Norway dan Direktorat PLB. Dengan implementasi pendidikan inklusif diharapkan lebih banyak anak berkebutuhan pendidikan khusus usia sekolah akan mendapatkan kesempatan bersekolah. <br />Pendidikan guru untuk PLB yang pertama, Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa (SGPLB), didirikan di Bandung pada tahun 1952, dengan lama pendidikan dua tahun. Pada mulanya SGPLB diperuntukkan bagi guru-guru yang sudah berpengalaman mengajar di SD dan berizasah SGB. Dalam perkembangan selanjutnya, input SGPLB adalah tamatan SLTA, dan lulusannya dihargai sejajar dengan sarjana muda. Ketika SGPLB dilikuidasi pada tahun 1994, di seluruh Indonesia terdapat enam SGPLB (Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Surakarta, Makasar dan Padang). Likuidasi tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan kualifikasi guru PLB menjadi sekurang-kurangnya berizasah S1. <br />Program S1 PLB yang pertama di Indonesia dibuka di IKIP Bandung (sekarang UPI) pada tahun 1964. Beberapa tahun kemudian beberapa IKIP dan perguruan tinggi lain juga membuka jurusan PLB. Kini sembilan universitas di Jawa, Sumatera dan Sulawesi, memiliki jurusan PLB. <br />Pada tahun 1996 UPI membuka konsentrasi Bimbingan Anak Khusus pada program studi Bimbingan dan Penyuluhan di Program Pasca-Sarjana sebagai upaya merintis dibukanya program studi PLB pada jenjang S2. Pada tahun 2004 program studi ini menjadi mandiri dengan nama Program Studi Inklusi dan Pendidikan Kebutuhan Khusus. <br />Kebijakan<br />Seluruh warganegara tanpa terkecuali apakah dia mempunyai kelainan atau tidak, mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Hal ini dijamin oleh UUD 1945 Pasal 31 ayat 1 yang mengemukakan, bahwa: Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran.<br />Pada tahun 2003 Pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN). Dalam undang-undang tersebut dikemukakan hal-hal yang erat hubungannya dengan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan pendidikan khusus, sebagai berikut:<br />a. Bab I Pasal 1 (18) Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh Warga Negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah.<br />b. Bab III Pasal 4 (1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.<br />c. Bab IV Pasal 5 (1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, (2) Warganegara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus, (3) Warganegara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus, (4) Warganegara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus, dan (5) Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat. Pasal 6 (1) Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Pasal 11 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi, dan (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.<br />d. Bab V Pasal 12 (1) huruf b. mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya, huruf d. mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya, huruf e. pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara, dan huruf f. menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan.<br />e. Bab VI Pasal 15 Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus.<br />f. Bab VI, Bagian Kesebelas, Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus, Pasal 32 (1) Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa, (2) Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi, dan (3) Ketentuan mengenai pelaksanaan pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.<br />g. Bab VIII Pasal 34 (1) Setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program wajib belajar, (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, (3) Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat, dan (4) Ketentuan mengenai wajib belajar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.<br />h. Bab X Pasal 36 (2) Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.<br />Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dikemukakan berbagai ketentuan tentang penyelenggaraan pendidikan luar biasa, baik untuk tingkat SDLB, SMPLB, maupun SMALB.<br />Selain dari beberapa perundangan dan peraturan yang dikemukakan di atas, masih ada kebijakan-kebijakan lainnya yang berhubungan dengan layanan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan pendidikan khusus, salah satunya adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa yang dituangkan dalam bentuk visi dan misi sebagai berikut: <br />Visi <br />Terwujudnya pelayanan yang optimal bagi anak berkebutuhan khusus sehingga dapat mandiri dan berperan serta dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.<br />Misi<br />a. Memperluas kesempatan bagi semua anak berkebutuhan khusus melalui program segregasi, terpadu dan inklusi <br />b. Meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan luar biasa dalam hal pengetahuan, pengalaman, atau keterampilan yang memadai. <br />c. Meningkatkan kemampuan manajerial para pengelola, pembina, pengawas, guru, dan tenaga pendidikan lainnya. <br />d. Memperluas jejaring (network) dalam upaya mengembangkan dan mensosialisasikan pendidikan luar biasa. (Dit. PSLB, 2006)<br />Berbagai kebijakan yang berhubungan dengan layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan pendidikan khusus tidak hanya yang bersifat regional dan nasional, tetapi juga yang bersifat internasional. Beberapadiantaranya adalah: <br />a. 1948 Deklarasi tentang Hak Azasi Manusia – termasuk di dalamnya hak pendidikan dan partisipasi penuh bagi semua orang – PBB.<br />b. 1989 Konvensi tentang Hak Anak (PBB, dipublikasikan tahun 1991)<br />c. 1990 Pendidikan untuk Semua: Konferensi dunia tentang Pendidikan untuk Semua di Jomtien, Thailand yang menyatakan bahwa: (1) memberi kesempatan kepada semua anak untuk sekolah, dan (2) memberikan pendidikan yang sesuai bagi semua anak. Dalam kenyataannya pernyataan tersebut belum termasuk di dalamnya anak luar biasa (UNESCO, dipublikasikan tahun 1991 dan 1992)<br />d. 1993 Peraturan Standar tentang Kesamaan Kesempatan untuk Orang-orang penyandang cacat (PBB, dipublikasikan tahun 1994)<br />e. 1994 Pernyataan Salamanca tentang Pendidikan Inklusif (UNESCO, dipublikasikan tahun 1994, laporan terakhir tahun 1995)<br />f. 2000 Kesepakatan Dakar tentang Pendidikan untuk Semua (UNESCO).<br />Pada bulan Oktober 2002 kelompok kerja Asia dan Pasifik meluncurkan Aksi Biwako Millenium Framework (BMF) sebagai kerangka kerja regional untuk panduan negara-negara di Asia Timur dan Pasifik yang dalam pelaksanaannya diperluas menjadi Asia Pasifik untuk 10 tahun yang akan datang. BMF mengidentifikasi tujuh prioritas sebagai berikut: (1) organisasi swadaya penyandang cacat dan asosiasi keluarga dan orang tua, (2) perempuan penyandang cacat, (3) deteksi dini, intervensi dini, dan pendidikan, (4) pelatihan dan penempatan kerja, termasuk wirausaha, (5) akses dalam lingkungan dan transportasi, (6) akses dalam informasi dan komunikasi, termasuk teknologi informasi, komunikasi dan alat bantu, serta (7) mengurangi kemiskinan melalui capacity-building, keamanan sosial, dan program kehidupan berkelanjutan (Takamine, Y., 2004)<br />Kecenderungan dalam Pendidikan Luar Biasa<br />Berikut ini akan dikemukakan beberapa kecenderungan yang secara signifikan mempengaruhi pendidikan luar biasa dewasa ini.<br />Pendidikan inklusif<br />Tidak ada topik dalam pendidikan luar biasa yang mempunyai dampak yang luas atau mengakibatkan banyaknya kontroversi selain inklusi. Banyak definisi tentang inklusi bermunculan, kebanyakan dari definisi tersebut berfokus pada seting dimana para siswa berkebutuhan pendidikan khusus menerima pendidikan. Inklusi adalah suatu sistem yang dapat saling membagi diantara setiap anggota sekolah sebagai masyarakat belajar–guru, administrator, staf lainnya, siswa, dan orang tua – tentang tanggung jawabnya untuk mendidik semua siswa sehingga mereka dapat mencapai potensinya semaksimal mungkin. Meskipun lokasi fisik siswa di sekolah atau kelas ada dalam satu dimensi inklusifitas, inklusi bukan tentang dimana siswa duduk seperti halnya teman sekelasnya yang menerima mereka untuk sama-sama mendapatkan akses kuriklum dan menerima keanekaragaman siswa, di dalam sekolah sekarang dikatakan tidak ada pendekatan tunggal yang cocok untuk semua anak. Inklusi meliputi para siswa yang berbakat, mereka yang mempunyai resiko kegagalan karena lingkungan hidup mereka, mereka yang berkelainan, dan mereka yang mempunyai prestasi rata-rata. Inklusi adalah suatu sistem yang dipercaya dapat terwujud apabila ada pemahaman dan penerimaan dari semua staf. <br />Beberapa ahli mengatakan bahwa hanya dengan cara ini sekolah dapat menunjukkan sistem inklusif dimana seluruh siswa dapat berpartisipasi penuh dalam pendidikan umum. Menurut mereka tanpa dengan pendekatan ini sebagian anak akan terpisah selama-lamanya karena mereka tidak dapat terpenuhi standar akademik sebagaimana mestinya. Mereka juga mengemukakan, bahwa para siswa berada di sekolah baik mengikuti kurikulum eksplisit maupun implisit. Kurikulum eksplisit adalah kurikulum yang diperuntukan bagi siswa pada umumnya yang tidak dapat diakses oleh para siswa yang berkelainan, sedangkan kurikulum implisit adalah kurikulum yang termasuk di dalamnya interaksi sosial dan berbagai keterampilan yang sangat baik dipelajari bersama-sama dengan siswa pada umumnya. Para ahli meyakinkan bahwa dengan guru yang kompeten, dukungan dan layanan yang mencukupi, serta komitmen yang kuat dapat menjamin setiap siswa berhasil dengan tidak memerlukan tempat pendidikan yang terpisah. Para ahli tersebut menyarankan bahwa banyak siswa yang memerlukan kelas dengan ukuran lebih kecil, metoda pembelajaran khusus, dan untuk sebagian siswa perlu adanya kurikulum yang lebih menekankan pada keterampilan hidup yang dapat diberikan dalam kelas khusus untuk sebagian atau pun seluruh waktu sekolah.<br />Akuntabilitas dan aksesibilitas pembelajaran<br />Akuntabilitas untuk pembelajaran dewasa ini juga dilihat dari adanya akses anak berkebutuhan pendidikan khusus terhadap kurikulum yang dipergunakan oleh anak-anak pada umumnya. Meskipun pada waktu dulu, para ahli umumnya berpikiran bahwa kebanyakan siswa berkebutuhan pendidikan khusus hendaknya mempunyai kurikulum yang khusus dirancang sesuai dengan kebutuhan khusus mereka, tetapi pada umumnya sekarang mereka mendukung bahwa semua siswa berkebutuhan pendidikan khusus sedekat mungkin hendaknya belajar dari kurikulum yang sama dipergunakan oleh siswa yang lain dengan melakukan penyesuaian yang diperlukan. Hal tersebut merupakan suatu keseimbangan yang logis dalam prinsip-prinsip inklusi: Jika tujuan pendidikan bagi siswa adalah keberhasilan usia dewasa nanti untuk dapat hidup, bekerja, dan bermain di dalam masyarakat kita, maka cara untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan meyakinkan bahwa seluruh anak mestinya mempunyai akses yang sama terhadap belajar awal secepat mungkin ketika mereka masuk sekolah. Apabila kurikulum tidak sama, siswa dengan kelainan ditempatkan secara kurang menguntungkan.<br />Pendekatan pembelajaran untuk melaksanakan tugas-tugas kompleks yang meyakinkan bahwa siswa berkebutuhan pendidikan khusus mempunyai akses pada kurikulum disebut desain universal untuk pembelajaran. Desain universal ini berasal dari arsitektur, dimana para ahli menyadari bahwa jika pembangunan akses untuk para penyandang cacat dilakukan setelah selesainya bangunan, hasilnya biasanya elevator atau ramp yang jelek. Tetapi ketika akses tersebut diintegrasikan dalam rancangan bangunan sejak awal, maka hal tersebut akan menjadi bagian yang sama dari struktur secara keseluruhan, malahan mungkin akan memperindah bangunan atau bisa dinikmati oleh masyarakat lain pada umumnya. Penerapannya dalam pendidikan, desain universal ini, adalah guru hendaknya merancang pembelajaran sejak dini untuk memenuhi tingkat keanekaragaman siswa daripada membuat penyesuaian setelah mereka melakukan pembelajaran. Apabila para guru melakukan hal ini, mereka biasanya akan menemukan bahwa para siswa yang mempunyai kekhususan dan memerlukan pembelajaran khusus dapat memperoleh keuntungan dari upaya yang mereka lakukan. <br />Meskipun desain universal ini dapat dipergunakan dalam kebutuhan pembelajaran khusus bagi siswa berkebutuhan pendidikan khusus dalam seting sekolah umum, tetapi pendidikan luar biasa juga mempunyai pembelajaran khusus sebagai ciri, dan siswa memerlukannya. Misalnya, banyak pandangan terhadap bagaimana siswa belajar membaca. Bagi siswa dengan kesulitan yang bergelut dengan membaca, para ahli dengan jelas telah menemukan bahwa anak-anak seperti ini sering mempunyai masalah dalam mendengar pemisahan ucapan kata-kata dan membeda-bedakan kata-kata tersebut. Jadi penekanan bagi anak seperti ini adalah dalam penggunaan pendekatan membaca dalam seting satu lawan satu atau kelompok kecil yang intensif. <br />Dimensi lain dari akuntabilitas dan aksesibilitas pembelajaran adalah pengguna¬an alat bantu teknologi, yang merupakan alat dan layanan yang dapat meningkatkan kemampuan fungsi siswa berkebutuhan pendidikan khusus. Ketika anda bekerja di sekolah, anda mungkin akan melihat siswa menggunakan alat bantu komunikasi khusus, bola yang bisa berbunyi bagi siswa tunantera, atau alat-alat yang lainnya. Alat bantu teknologi tidak selalu berupa elektronik, tetapi juga termasuk di dalamnya membantu siswa dengan alat pemegang pensil khusus sehingga dia bisa menulis secara lebih mudah, gambar-gambar buatan guru yang dapat ditempelkan di jadwal untuk menunjukan kegiatan siswa yang akan dilakukan selama satu hari itu, dan sebagainya. <br />Dukungan perilaku positif<br />Beberapa anak berkebutuhan pendidikan khusus mempunyai perilaku yang mengganggu atau tidak berperilaku secara sesuai dengan teman-teman pada umumnya di dalam kelas. Misalnya seorang siswa yang mempunyai kesulitan dalam menemukan kata-kata yang tepat untuk mengatakan maksudnya meminta bantuan, mungkin akan mengekspresikan rasa frustrasinya dengan mendorong temannya. Dulu perilaku tersebut dianggap sebagai suatu bentuk konsekuensi negatif. Kenyataan dewasa ini sangat berbeda. Sekarang para ahli mempergunakan dukungan perilaku positif yang terintegrasi dalam perencanaan intervensi perilaku. Mereka melihat perilaku siswa dalam konteks situasi dimana hal itu terjadi, secara hati-hati menentukan apa yang terjadi dalam rangka merancang cara untuk mengurangi perilaku negatif, meningkatkan perilaku yang diinginkan, dan membantu siswa memiliki kualitas akademik dan sosial yang lebih baik dalam kehidupannya. Di dalam contoh dimana seorang siswa mendorong temannya, para ahli akan menganalisis masalah serius tersebut, dan memahaminya dengan baik, kemudian mereka akan menentukan intervensinya. Mereka mungkin akan mencoba mencegah rasa frustrasi siswa dengan memberikan penugasan yang tidak terlalu sulit atau dengan kata lain membantu siswa untuk terhindar dari situasi frustrasi. Mereka juga mungkin mengajarkan kepada para siswa cara terbaik untuk mengekspre¬sikan rasa frustrasinya, mungkin dengan mengajarkan kepada siswa untuk mengatakan „Tolong saya....“ dan memberi¬kan penghargaan kepada siswa untuk perilaku yang sesuai atau dapat diterima. Mereka juga bekerja bersama-sama dengan orang tua dalam merancang program perilaku siswa, sehingga ada konsistensi antara pendekatan di sekolah dan di rumah. <br />Kolaborasi<br />Jika anda berpikir konsep inklusi sebagai penciptaan masyarakat pembelajar, dimana pembelajaran dirancang secara khusus dan merespon kebutuhan siswa, anda mungkin akan memperkirakan bahwa keberhasilan pendidikan inklusif akan bergantung pada pekerjaan guru dan orang tua secara bersamaan. Tidaklah mengejutkan, bahwa kolaborasi menjadi suatu dimensi yang krusial dalam merenca¬na¬kan, melaksanakan, dan mengevaluasi pendidikan luar biasa serta layanan lainnya. Kolaborasi berhubungan dengan cara dimana para ahli berhubungan dengan yang lainnya dan orang tua atau anggota keluarga seperti mereka bekerja bersama-sama dalam mendidik siswa berkebutuhan pendidikan khusus. Kolaborasi bukanlah sebagai tujuan, tetapi sebagai alat untuk meningkatkan tujuan yang akan dicapai.<br /> <br /><br /> <br />KESIMPULAN<br /> <br />Pendidikan luar biasa akan sesuai hanya apabila kebutuhan siswa tidak dapat diakomodasi dalam program pendidikan umum. Singkat kata, pendidikan luar biasa adalah program pembelajaran yang disiapkan untuk memenuhi kebutuhan unik dari individu siswa. Pendidikan luar biasa tidak dibatasi oleh tempat khusus. Pemikiran modern menyarankan bahwa layanan sebaiknya diberikan di lingkungan yang lebih alamiah dan normal yang sesuai dengan kebutuhan anak. Pendidikan inklusif, akuntabilitas dan aksesibilitas pembelajaran, dukungan perilaku yang positif, serta kolaborasi merupakan berbagai kecenderungan dalam memberikan layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan pendidikan khusus dewasa ini. Mana yang terbaik dari sekian alternatif layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan pendidikan khusus? Semuanya akan berpulang kepada terpenuhi atau tidaknya kebutuhan unik dari individu siswa tersebut. Yang terpenting adalah bagaimana berbagai layanan tersebut disediakan sebagai alternatif pilihan.<br /> <br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br /> <br />Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa (2006). Identifikasi Anak Berkebutuhan Pendidikan Khusus dalam Pendidikan Inklusif. [online]. Tersedia:http://www.ditplb.or.id/ new/index. php?menu= profile&pro=52<br />Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa (2006). Visi dan Misi Pendidikan Luar Biasa.[online]. Tersedia:http://www.ditplb.or.id/new/index.php?menu=profile&pro=11<br />Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa (2006). Identifikasi Anak Berkebutuhan Pendidikan Khusus dalam Pendidikan Inklusif. [online]. Tersedia:http://www.ditplb.or.id/new/index.php?menu= profile&pro=52<br />Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa (2006). Visi dan Misi Pendidikan Luar Biasa.[online]. Tersedia:http://www.ditplb.or.id/new/index.php?menu=profile&pro=11<br />Eko, D., S. (2006). Development of Special Education in Indonesia, 9th International Symposium of ASAPE, Dit. PSLB, Jakarta.<br />Forness, S.R. (2001). Special education and related services: What have we learned from meta-analysis [electronic version]. Exceptionality, 9, 185-197.<br />Friend, M. (2005). Special Education, Contemporary Perspectives for School Professionals, United States of America: Pearson Education Inc.<br />Friend, M., &Bursuck, S.D. (2002). Including students with special needs: A practical guide for classroom teachers (3rd ed.). Boston: Allyn & Bacon.<br />Gargiulo, R.M., (2006). Special Education In Contemporary Society, An Introduction to Exceptionality, second condition, Singapore: Thomson Wadsworth.<br />Hallahan, D.P., and Kauffman, J. (2000). Exceptional Learners (8th ed.), Boston, MA: Allyn and Bacon.<br />Hitcock, D., Meyer, A., Rose, D., & Jackson, R. (2002). Providing new access to the general curriculum Universal design for learning. Teaching Exceptional Children, 35 (2), 8-17.<br />Ishikida, M.Y. (2001). Japanese Education in the 21st Century, Universe, Japan.<br />Levy, S.E. (1996). The developmental disabilities. In L.A. Kurtz, P.W. Dowrick, S.E. Levy, & M.L. Batshaw (Eds.), Handbook of developmental disabilities (pp. 3-11). Gaithersburg, MD:Aspen.<br />Lovaas, O.I. (1987). Teaching developmentally disabled children: The ME book. Austin, TX: Pro-Ed.<br />Lyon, G.R., et al. (2001). Rethinking learning disabilities. In C.E. Finn, A.J. Rotherham, & C.R. Hokanson (Eds.), Rethinking special education for a new century (pp.259-287). Washington, DC: Thomas T. Fordham Foundation and Progressive Policy Institute.<br />Nakata, H. (2003). Educational Cooperation Bases System Construction Project, Implementation Report, Center for Research on International Cooperation in Educational Development (CRICED), University of Tsukuba, Japan.<br />Polloway, E., Patton, J., & Serna, L. (2001). Strategies for teaching learners with special needs (7th ed.), Upper Saddle River, NJ: Merrill/Prentice Hall.<br />Smith, C.R. (1998). History, definition, and prevalence. In Learning disabilities: The interaction of learner, task, and setting (4th ed., pp. 1-51). Boston: Allyn & Bacon.<br />Takamine, Y. (2004). Working Paper Series on Disability Issues in East Asia: Review and Ways Forward, Paper No. 2004-1, World Bank.<br />Ware, L. and Allan, J. (2006). Special Education, Encyclopedia of Disability, volume 4, Thousand Oaks, London, New Delhi: SAGE Publications.JASSI_AnakKuhttp://www.blogger.com/profile/12273050106097217296noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4574434941553048680.post-69732306033421430662012-01-27T03:15:00.000-08:002012-01-27T04:38:10.152-08:00Meningkatkan Kemampuan Percakapan Bahasa Inggris dengan Model Make a Match pada Siswa Tunarungu Wicara dan Tunagrahita Kelas VII SMPLBEndah Dwi Hastuti<br />SLB Hamong Putro Sukoharjo<br /><br />ABSTRAK<br /><br />Penelitian tindakan kelas ini bertujuan meningkatkan kemampuan siswa tunarungu wicara dan tunagrahita kelas VII SMPLB dalam percakapan Bahasa Inggris. Ada beberapa faktor yang dianggap sebagai penyebab rendahnya kemampuan siswa dalam percakapan bahasa Inggris, seperti tidak tertarik atau kurang senang karena pembelajarannya monoton dan pasif. Penelitian ini dilakukan melalui penerapan model pembelajaran “Make a Match” berdasar pada situasi yang nyata dengan menggunakan media visual aids berupa benda nyata, kartu gambar dan kartu kata. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara kuantitatif pada siklus pertama cukup baik dengan rata-rata 5,38 atau 67,25% dan siklus kedua adalah baik dengan rata-rata 7,0 atau 87,5%. Artinya, dari siklus pertama ke siklus kedua, ada perbaikan sebesar 0,75 atau 20,25%. Secara kualitatif, respon siswa pada model pembelajaran ini positif, yaitu membuat siswa lebih aktif dan lebih senang dalam mengikuti proses pembelajaran. Dengan demikian, model pembelajaran “Make a match” ini mampu meningkatkan kemampuan mahasiswa percakapan dan pada akhirnya mampu meningkatkan nilai pada masing-masing siswa.<br />Kata kunci: Tunarungu, tunagrahita, SMPLB, percakapan Bahasa Inggris, make a match, <br /><br />PENDAHULUAN<br /><br /> <br />Bagi siswa SMPLB, Bahasa Inggris merupakan merupakan materi baru, sehingga memerlukan kemampuan khusus untuk dapat memahaminya dengan baik. Apalagi bagi siswa tunarungu wicara (B) dan siswa tunagrahita (C) atau sering dikenal sebagai anak berkebutuhan khusus (ABK).<br />Salah satu standar kompetensi yang harus diajarkan pada siswa tunarungu dan tunagrahita di SMPLB adalah berbicara (speaking) dan di dalamnya terdapat kompetensi dasar percakapan transaksional/ interpersonal sangat sederhana dengan melibatkan berbagai tindak tutur. Keterbatasan kemampuan anak tunarungu dan tunagrahita menyebabkan mereka kurang mampu dalam percakapan, apalagi kalau guru menyampaikan materi dengan metode yang monoton, kurang menarik, tidak melibatkan seluruh siswa dan tanpa media pendidikan yang dapat mempermudah dan memperjelas materi. Tujuan utama pembelajaran Bahasa Inggris adalah agar siswa berlaku aktif dan mampu memahami materi tersebut sebagaimana yang telah digariskan dalam kurikulum. <br />Memperhatikan realita diatas, perlu adanya solusi untuk dapat meningkatkan kemampuan percakapan Bahasa Inggris, sehingga siswa lebih mudah memahami konsep–konsep yang terkandung didalamnya, melibatkan seluruh siswa untuk ikut aktif tanpa mengesampingkan ketepatan, kemanfaatan dan kesesuaian metode yang digunakan dengan materi yang dibahas dengan menambah variasi model pembelajaran yang menarik dan menyenangkan bagi siswa sebagai alternatif pilihan bagi pemecahan masalah tersebut. <br />Sesuai Standar Isi tahun 2006 pembelajaran Bahasa Inggris terdiri dari 4 (empat) standar kompetensi yaitu mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis. Keempat standar kompetensi tersebut harus diajarkan agar siswa mampu menguasai materi sesuai yang diharapkan. <br />Terutama untuk standar kompetensi berbicara (speaking), yaitu mengungkapkan makna dalam teks percakapan transaksional/interpersonal lisan dan/atau isyarat sangat sederhana untuk berinteraksi dengan lingkungan terdekat. Adapun kompetensi dasarnya yaitu menggunakan makna dalam ragam bahasa lisan terutama dalam percakapan transaksional/ interpersonal sangat sederhana dan berterima yang melibatkan tindak tutur: menyapa yang belum/sudah dikenal, memperkenalkan diri sendiri/orang lain, mengucapkan terima kasih, meminta maaf, memerintah atau melarang, meminta dan memberi informasi, mengungkapkan kesantunan. <br />Bagi siswa tunarungu dan tunagrahita, pencapaian kompetensi dasar di atas tentu tidak mudah, sehingga diperlukan model pembelajaran yang menarik dan menyenangkan siswa dengan media tertentu sehingga tanpa terasa siswa dapat melakukan percakapan dengan Bahasa Inggris. Salah satu model pembelajaran yang dipandang sesuai untuk pembelajaran Bahasa Inggris untuk siswa tunarungu maupun tunagrahita di SMPLB adalah model Make a match. Dalam bahasa Indonesia model ini disebut model pembelajaran mencari pasangan. Menurut Lorna Curran, (LPMP, 2008:13) dalam model pembelajaran make a match langkah-langkahnya, yaitu: 1. Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik yang cocok untuk sesi review, sebaiknya satu bagian kartu soal dan bagian lainnya kartu jawaban, 2. Setiap siswa mendapat satu buah kartu, 3. Tiap siswa memikirkan jawaban/soal dari kartu yang dipegang, 4. Setiap siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan kartunya (soal jawaban), 5. Setiap siswa yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu diberi poin, 6. Setelah satu babak kartu dikocok lagi agar tiap siswa mendapat kartu yang berbeda dari sebelumnya, 7. Demikian seterusnya, 8. Kesimpulan/penutup.<br />Berdasarkan model pembelajaran di atas, pada penelitian ini guru menyiapkan kartu-kartu baik kartu gambar maupun kartu kata dan bisa juga berwujud benda nyata yang ada di sekitar kelas, misalnya buku, bolpen, penghapus, papan tulis, penggaris, tas, payung, gunting, bola, sepeda dan lain-lain. Benda nyata, kartu gambar maupun kartu kata yang disiapkan guru merupakan materi yang harus sesuai dengan sesi review pada saat pembelajaran tersebut. Benda nyata, kartu gambar maupun kartu kata yang disiapkan guru dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama untuk kartu soal dan bagian kedua untuk kartu jawaban.<br />Setiap siswa diberi satu kartu, pada saat permainan kartu yang dipegang dapat berupa kartu soal maupun kartu jawaban. Untuk memandu, kartu soal pada awal kegiatan dipegang guru dan seluruh siswa memegang kartu jawaban tetapi hanya ada satu jawaban yang benar. Bagi siswa yang memegang kartu jawaban benar maka harus lari mendekati pasangan yang memegang kartu soal (baik itu guru maupun siswa) kemudian harus membacanya terlebih dahulu bila sudah hafal/lancar maka pasangan yang membawa kartu soal dan kartu jawaban melakukan percakapan seperti pada kartu yang dipegang masing-masing.<br />Setiap siswa yang dapat mencocok¬kan antara kartu soal dengan kartu jawaban, kemudian dapat melakukan percakapan seperti dalam kartu yang dipegang sebelum batas waktu habis, akan mendapat hadiah sebagai pengganti poin.<br />Dalam penelitian ini kartu gambar, kartu kata, dan benda nyata yang digunakan berfungsi sebagai media visual aids atau alat peraga yang diasumsikan dapat membantu para siswa dalam memahami materi Bahasa Inggris khususnya dalam berbicara percakapan Bahasa Inggris.<br />Dalam kaitannya dengan media visual aids banyak ahli pendidikan berpendapat bahwa visual aids adalah teknik pembelajaran dengan penggunaan alat bantu pandang yang berupa gambar, poster, diagram dan leaflet (Sudjana, 2001:83). Sedangkan Soedjono (1956:84) menyatakan bahwa alat peraga visual adalah alat peraga yang dapat dilihat. Pada waktu menerima peragaan, indera yang aktif adalah penglihatan (mata). Adapun alat peraga auditif visual adalah alat peraga yang dapat dilihat dan didengar. Pada waktu menerima peragaan, indera yang aktif adalah pendengaran dan penglihatan (telinga dan mata). Adapun Isbani dkk (1989:23) berpendapat bahwa media pendidikan audio visual aids adalah alat, metode dan teknik yang digunakan dalam rangka lebih mengefektifkan komunikasi dan interaksi antara guru dan siswa dalam proses pendidikan dan pengajaran di sekolah. <br />Sementara itu Bobby de Porter (2000:67) mengatakan bahwa sebuah gambar lebih berarti dari seribu kata. Jika anda menggunakan alat peraga dalam situasi belajar, akan terjadi hal yang menakjubkan. Bukan hanya mengawali proses belajar dengan cara merangsang modalitas visual, alat peraga juga secara harfiah menyalakan jalur syaraf seperti kembang api di malam lebaran. Beribu-ribu asosiasi tiba-tiba diluncurkan ke dalam kesadaran. Kaitan ini menyediakan konteks yang kaya untuk pembelajaran yang baru. <br />Digunakannya benda nyata, kartu gambar, kartu kata sebagai media visual aids dalam penelitian ini didasari oleh hasil penelitian Glenn Doman dan Janet Doman (2006) menunjukkan bahwa pembelajaran dengan bantuan kartu kata yang berlanjut dengan kartu kalimat telah terbukti mampu merangsang anak-anak cedera otak, baik dalam kemampuan membaca maupun kemampuan lainnya. Dijelaskan dalam bukunya yang berjudul “What To Do About Your Brain-Injured Child” tentang seorang anak cedera otak berat berumur tiga tahun bernama Tomy yang divonis tidak akan pernah bisa berjalan atau berbicara, sehingga dia harus tinggal di lembaga perawatan seumur hidup, tetapi setelah menjalankan program intervensi dengan cara mengajarkan berbagai pengetahuan dengan menggunakan kartu kata, Tomy mengalami banyak kemajuan. Setelah enam puluh hari menjalankan program Tomy sudah dapat merangkak dengan tangan dan lututnya. Pada kunjungan ketiga Tomy sudah dapat mengucapkan dua kata pertamanya yaitu “Mama” dan “Papa”. Atas kegigihan orangtuanya pada usia empat tahun dua bulan Tomy sudah dapat membaca buku, dan pada kunjungan yang kesebelas Tomy sudah dapat membaca apa saja dengan lancar dengan tekanan dan nada suara yang tepat, serta dapat memahami maknanya. Semua itu dilakukan orangtuanya dengan menggunakan kartu kata. Kondisi ini menjadikan Tomy tidak perlu menghabiskan hidupnya di lembaga perawatan dan mampu belajar di sekolah khusus. <br />Hasil penelitian di atas, memperkuat harapan peneliti agar anak-anak tunarungu wicara dan anak tunagrahita dalam meningkatkan kemampuan percakapan Bahasa Inggris, mengingat kondisi fisik dan psikisnya tidak separah anak-anak cedera otak.<br /> <br /><br />METODE<br /><br /> <br />Subyek penelitian ini adalah siswa kelas VII anak tunarungu wicara (SMPLB B) dan anak tunagrahita (SMPLB C) di SLB B-C Hamong Putro Jombor Sukoharjo tahun pelajaran 2008/2009 yang berjumlah 8 anak, 4 siswa perempuan anak tunarungu wicara (SMPLB B) dan 4 siswa laki-laki anak tunagrahita (SMPLB C).<br /> Dalam penelitian ini terdapat dua macam variabel yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Model pembelajaran make a match merupakan variabel bebas dan meningkatnya kemampuan percakapan Bahasa Inggris merupakan variabel terikat.<br />Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK) yaitu penelitian yang berbasis pada kelas. Dengan penelitian ini diperoleh manfaat berupa perbaikan praktis yang meliputi penanggulangan berbagai permasalahan belajar siswa dan kesulitan mengajar guru. <br />PTK ini dilaksanakan dalam bentuk proses berdaur 4 tahap sebagaimana yang ditulis Suharsimi Arikunto (2004:16) yaitu (1) perencanaan, (2) pelaksanaan, (3) pengamatan dan (4) refleksi.<br />Penelitian tindakan ini dilakukan dalam dua siklus, setelah pada siklus I dilakukan refleksi akan muncul pemasalahan baru sehingga perlu dilakukan perencanaan ulang, pelaksanaan ulang, tindakan ulang, pengamatan ulang serta refleksi ulang.<br />Siklus I bertujuan untuk mengetahui tingkat kemampuan siswa dalam percakapan Bahasa Inggris yang kemudian digunakan sebagai bahan refleksi untuk melakukan tindakan pada siklus II, sedang siklus II bertujuan untuk mengetahui peningkatan kemampuan siswa dalam percakapan Bahasa Inggris setelah dilakukan perbaikan terhadap pelaksanaan pembelajaran berdasarkan hasil refleksi siklus I.<br />Teknik penggumpulan data dilakukan melalui tes dan nontes. Tes, digunakan untuk mengetahui tingkat kemampuan percakapan Bahasa Inggris setelah proses pembelajaran melalui penerapan model pembelajaran make a match dengan menggunakan media visual aids yang berupa benda nyata, kartu gambar dan kartu kata. Tes dilakukan pada tiap siklus penelitian. <br />Pengumpulan data melalui nontes dilakukan melalui tiga teknik, yaitu observasi, wawancara dan jurnal.<br />Observasi digunakan untuk memperoleh gambaran tingkat kemampuan siswa dalam percakapan Bahasa Inggris dan perubahan tingkah laku yang menyertai pada saat proses pembelajaran diterapkan model pembelajaran make a match dengan menggunakan media visual aids yang berupa benda nyata, kartu gambar dan kartu kata sebagai media pendidikan atau alat peraga. Observasi dilakukan untuk mengamati secara langsung proses dan hasil yang diperlukan untuk menentukan langkah-langkah selanjutnya yang berupa langkah perbaikan agar lebih efektif dan efisien.<br />Wawancaradigunakan untuk mendapatkan data kualitatif berupa tanggapan maupun jawaban tentang kemampuan siswa dalam percakapan Bahasa Inggris dan perubahan tingkah laku yang menyertai setelah diterapkan model pembelajaran make a match dengan menggunakan media visual aids yang berupa benda nyata, kartu gambar dan kartu kata sebagai media pendidikan atau alat peraga melalui tanya jawab sepihak. <br />Jurnal berisi tentang catatan reflektif dan kritis tentang fenomena kelas yang berguna untuk mengetahui gejala yang muncul pada saat penerapan model pembelajaran make a match dengan menggunakan media visual aids yang berupa benda nyata, kartu gambar dan kartu kata sebagai media pendidikan atau alat peraga, baik tentang kemajuan maupun kemunduran siswa yang dapat digunakan untuk mengadakan perbaikan pada siklus berikutnya.<br />Teknik yang digunakan untuk menganalisa data adalah teknik deskriptif analitik:<br />1. Data kuantitatif yang diperoleh dari hasil tes diolah dengan persentase. Nilai yang diperoleh siswa dirata-rata untuk menemukan tingkat kemampuan percakapan Bahasa Inggris. <br />2. Data kualitatif yang diperoleh dari hasil observasi, wawancara dan jurnal, diolah dengan cara mengklasifikasikan berdasar aspek-aspek yang dijadikan fokus analisis.<br />Hasil analisis data kuantitatif dan kualitatif selanjutnya dijadikan sebagai dasar untuk mendeskripsikan keberhasilan penerapan model pembelajaran make a match dalam percakapan Bahasa Inggris dan perubahan tingkah laku yang menyertai.<br /> <br /><br />HASIL DAN PEMBAHASAN<br /><br /> <br />Hasil Penelitian Siklus I<br />Hasil Tes<br /> Setelah diadakan tes perbuatan tentang kemampuan percakapan Bahasa Inggris menggunakan model pembelajaran Make a match, diperoleh hasil:<br /><br /> <br /><br /><br /><br /><br /><br />Tabel 1<br />Skor persentaseTingkat Kemampuan Percakapan Bahasa Inggris pada Siklus I<br /><br />No Kategori Skor Responden % Keterangan<br />1.<br />2.<br />3. Baik<br />Cukup<br />Kurang 7,0 – 8,0<br />4,0 – 6,9<br />0,0 – 3,9 4<br />3<br />1 50<br />37,5<br />12,2 Skor rata-rata:<br />5,38 (kategori cukup)<br />Jumlah 8 100 <br /><br /> <br />Berdasarkan tabel 2 di atas dapat diketahui bahwa tingkat kemampuan percakapan Bahasa Inggris siswa dengan model pembelajaran make a match menggunakan media visual aids adalah sebagai berikut: dari 8 siswa yang diteliti diketahui ada 4 siswa (50%) telah mencapai kategori baik, 3 siswa (37,5%) dengan kategori cukup, dan 1 siswa (12,5%) yang termasuk dalam kategori kurang. Dengan menerapkan cara perhitungan seperti yang telah diuraikan pada bagian teknik analisis data maka dapat diperoleh data skor rata-rata tingkat kemampuan percakapan Bahasa Inggris sebesar 5,38 atau termasuk dalam kategori cukup. <br />Hasil Nontes<br />Hasil nontes pada siklus I mencakup hasil yang diperoleh dari observasi, wawancara, dan jurnal.<br />Hasil observasi pada siklus I menunjukkan bahwa tingkat kemampuan siswa dalam percakapan Bahasa Inggris dengan model pembelajaran make a match menggunakan media visual aids, suasana kelas nampak hidup dan kondusif, 4 siswa atau 50% responden aktif mengikuti seluruh kegiatan dengan rasa senang tanpa dipaksa maupun dipandu guru, 2 siswa atau 25% responden mau bersikap aktif apabila dirangsang atau dipandu guru untuk melakukan percakapan, kemudian 2 siswa atau 25 % responden masih agak pasif dalam mengikuti kegiatan pembelajaran, tetapi kadang-kadang 2 siswa putra anak tunagrahita atau 25% responden tersebut terekam berbincang-bincang (bergurau) disaat guru menerangkan kepada siswa lain atau pada saat guru membagikan kartu kepada siswa lain dan kadang terekam ada 1 siswa putra anak tunagrahita (12,5%) bersembunyi di bawah meja karena mendapat pasangan siswa putri sehingga harus dirayu dulu.<br />Dari hasil wawancara yang ditujukan kepada 8 siswa diperoleh informasi 4 siswa putri atau 50% responden menyatakan bahwa pembelajaran Bahasa Inggris dalam percakapan dengan model make a match menggunakan media visual aids, membuat siswa merasa senang dan mempermudah dalam percakapan karena dibantu dengan benda nyata, kartu gambar dan kartu kata, 2 siswa atau 25% responden pada saat ditanya tentang penggunaan model pembelajaran make a match menjawab senang tetapi sambil tertawa-tawa seperti tidak yakin dengan jawabannya, dan 2 siswa atau 25% responden tidak memberikan jawaban, hanya senyum sambil menunduk .<br />Dari data jurnal menunjukkan bahwa pembelajaran Bahasa Inggris dalam percakapan dengan model make a match menggunakan media visual aids, disambut baik oleh 4 siswa atau 50% responden dengan menunjukan reaksi yang positif saat kegiatan pembelajaran tersebut, tetapi 2 siswa lainnya atau 25% responden menunjukkan reaksi positif bila distimulasi guru, dan 2 siswa atau 25% menunjukkan reaksi positif bila distimulasi dan dipandu guru, 4 responden (50%) menunjukkan kemampuan percakapan Bahasa Inggris yang baik, ada 2 siswa (25%) responden menunjukkan kemampuan yang cukup baik dan 2 siswa (25%) responden menunjukan kemampuan kurang baik.<br />Hasil Penelitian Siklus II<br />Hasil Tes<br />Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui kemampuan percakapan Bahasa Inggris siswa : dari 8 siswa yang diteliti ada 6 siswa atau 75% responden termasuk dalam kategori baik dengan memperoleh skor masing-masing sebesar 8, kemudian 1 siswa atau 12,5% responden termasuk dalam kategori cukup dengan mendapatkan skor 6 dan 1 siswa atau 12,5 % responden termasuk dalam kategori kurang dengan memperoleh skor 2. Dengan menerapkan cara perhitungan seperti yang telah diuraikan pada bagian teknik analisis data, diperoleh data skor rata-rata tingkat kemampuan percakapan Bahasa Inggris dengan model pembelajaran make a match menggunakan media visual aids sebesar 7,0. Jika skor maksimal 8, maka skor rata-rata siswa sebesar 7,0 tersebut berarti ada pada kategori baik dan apabila dihitung dengan persentase sebesar 87,5 %. Hasil penelitian siklus II dapat dilihat pada tabel 2 dibawah ini :<br /> <br /><br />Tabel 2<br />Skor Persentase<br />Tingkat Kemampuan percakapan Bahasa Inggris pada Siklus II<br /><br />No Kategori Skor Responden % Keterangan<br />1. Baik 7,0 – 8,0 6 75 Skor rata-rata : 7,0<br />(Kategori Baik)<br />2. Cukup 4,0 – 6,9 1 12,5 <br />3. Kurang 0,0 – 3,9 1 12,5 <br /> Jumlah 8 100 <br /><br /> <br />Hasil Nontes<br />Hasil observasi pada siklus II menunjukkan bahwa pembelajaran Bahasa Inggris dalam percakapan dengan model make a match menggunakan media visual aids mampu merangsang siswa untuk memiliki tingkat kemampuan yang baik, suasana kelas yang menyenangkan makin hidup dan kondusif, siswa melakukan sendiri semua kegiatan yang merangsang untuk percakapan Bahasa Inggris. Dalam pembelajaran ini siswa lebih aktif mengikuti kegiatan belajar selama proses pembelajaran berlangsung karena merasa sebagai bagian dari kesibukan bersama. Dari hasil observasi diketahui 6 siswa atau 75% responden aktif mengikuti kegiatan, 1 siswa (12,5%) masih harus dimotivasi untuk ikut aktif saat proses pembelajaran sedang 1 siswa lainnya (12,5%) masih harus dipandu guru, kedua siswa yang sering berbincang-bincang saat proses pembelajaran, pada siklus II tidak berbincang-bincang lagi saat kegiatan belajar berlangsung, dan siswa yang pada siklus I malu bila mendapat pasangan lawan jenis, pada siklus II sudah tidak malu-malu lagi meskipun mendapat pasangan lawan jenis. Dengan demikian dari 8 siswa yang diteliti, 6 siswa atau 75% responden pada siklus II ini dapat melakukan percakapan Bahasa Inggris dengan baik, 1 siswa atau 12,5 % responden dapat melakukan percakapan dengan dimotivasi serta 1 siswa atau 12,5% responden dapat melakukan percakapan dengan dipandu guru.<br />Hasil wawancara pada siklus II diperoleh informasi dari 8 siswa atau 100% responden menyatakan setuju, lebih mudah dan senang apabila dalam pembelajaran percakapan Bahasa Inggris dengan model make a match menggunakan media visual aids. Siswa yang pada siklus I tidak menjawab pertanyaan pada siklus II mau menjawab pertanyaan.<br />Dari data jurnal guru diperoleh gambaran bahwa 8 siswa atau 100% responden yang diteliti tingkah lakunya memberi reaksi positif terhadap pembelajaran Bahasa Inggris dalam percakapan dengan model make a match menggunakan media visual aids yang berupa benda nyata, kartu gambar maupun kartu kata dengan hasil yang baik.<br />Berdasarkan temuan penelitian di atas, diketahui bahwa hasil tes pada penelitian ini difokuskan pada aspek kemampuan percakapan Bahasa Inggris dari kemampuan siswa. Pada siklus I diketahui 4 siswa atau 50% responden mencapai kategori baik, sedangkan 3 siswa lainnya atau 37,5% responden mencapai kategori cukup baik tetapi masih ada 1 siswa atau 12,5% responden yang termasuk kategori kurang baik. Pada siklus II, 6 siswa atau 75% responden telah mencapai kategori baik, ada 1 siswa atau 12,5% responden termasuk dalam kategori cukup baik dan 1 siswa teermasuk kategori kurang baik.<br />Skor rata-rata pada siklus I sebesar 5,38 apabila dihitung dengan persentase sebesar 67,25% kemudian pada siklus II naik menjadi 7,0 atau bila dihitung dengan persentase sebesar 87,5%, jadi dari siklus I dibandingkan dengan siklus II ada kenaikan sebesar 1,62 dari 5,38 menjadi 7,0 dan ada peningkatan dalam kategori dari tingkat kemampuan cukup pada siklus I kemudian menjadi tingkat kemampuan baik pada siklus II. Dengan hitungan persentase dari siklus I ke siklus II ada kenaikan sebesar 20,25% dari 67,25% menjadi 87,5%.<br />Secara klasikal tingkat kemampuan siswa dalam percakapan Bahasa Inggris dengan menggunakan model pembelajaran make a match menggunakan media visual aids berupa benda nyata, kartu gambar dan kartu kata meningkat dari siklus I ke siklus II, ada kenaikan sebesar 20,25% yaitu dari 67,25% menjadi 87,5%. <br />Dari hasil observasi, wawancara dan jurnal diketahui bahwa pada siklus I, ada 4 siswa atau 50% responden aktif pada saat proses pembelajaran, senang melakukan kegiatan tanpa dipandu guru, 2 siswa atau 25% responden mau aktif apabila distimulasi oleh guru dan 2 siswa lainnya atau 50% responden agak pasif sehingga harus distimulasi dan dipandu guru, dan pada siklus II diketahui ada 6 siswa atau 75% aktif tanpa dipandu guru, ada 1 siswa atau 12,5% responden aktif tetapi harus dimotivasi/distimulasi oleh guru dan 1 siswa lagi atau 12,5% responden mau aktif bila dimotivasi dan dipandu oleh guru. <br />Pada siklus I semua siswa harus berdiri kemudian berlari untuk mengambil benda nyata yang disediakan guru lalu mencari pasangan untuk praktek percakapan, setelah itu siswa harus berlari mengambil kartu, baik kartu soal maupun kartu jawaban kemudian harus mencari pasangannya sesuai kartu gambar yang dipegang lalu harus berlari mencari benda nyata yang telah disiapkan guru sesuai kartu masing-masing. Setelah setiap pasangan memegang benda nyata, kartu gambar dan kartu kata maka saatnya mereka bergiliran untuk praktek percakapan. Pada siklus I masih ada 2 pasangan yang harus diingatkan bahwa sekarang sampai pada gilirannya, kemudian ada 1 pasangan yang masih harus dipandu. Hal tersebut pada siklus I diulang lagi pada siklus II, dan tinggal 1 pasangan yang harus dipandu untuk melakukan percakapan Bahasa Inggris. 2 siswa atau 25% responden yang pada siklus I diketahui sering berbincang-bincang (mengobrol) pada saat guru menerangkan kepada siswa lain, hal ini tidak tampak lagi pada siklus II dan 1 siswa yang pada siklus I malu (bersembunyi) dibawah meja bila mendapat pasangan lawan jenis sekarang tidak malu lagi bila mendapat pasangan lawan jenis. <br />Dari hasil wawancara pada siklus I, dengan model make a match ada 4 siswa atau 50% menyatakan senang, enak/mempermudah percakapan Bahasa Inggris, 2 siswa atau 25% responden menyatakan senang sambil tertawa dan 2 siswa (25%) responden tidak menjawab ketika ditanya hanya tersenyum sambil menunduk dan hal tersebut tidak terjadi lagi pada siklus II karena hasil wawancara siklus II, 8 siswa atau 100% responden menjawab senang dan lebih mudah serta lebih enak belajar Bahasa Inggris percakapan dengan model make a match menggunakan media visual aids bahkan sebagian siswa minta diulang lagi karena pembelajaran tersebut sangat menyenangkan. <br /> <br /><br />Tabel 3<br />Data kemampuan siswa pada siklus I dan II<br /><br />No Nama Siswa Kemampuan<br /> Siklus I Siklus II<br />1. I P K 8 8<br />2. A R A 5 8<br />3. D E 5 8<br />4. R A U N 4 6<br />5. H S 7 8<br />6. N 7 8<br />7. I 7 8<br />8. I T 1 2<br />Jumah 43 56<br />Rata-rata 5,38 7,0<br />Kategori Cukup Baik<br /><br /> <br />Data jurnal menunjukkan 4 siswa atau 50% responden memberikan reaksi yang positif, 2 siswa atau 25% responden mau aktif bila distimulasi guru dan 2 siswa atau 25% responden harus distimulasi dan dipandu guru dahulu baru mau memberikan reaksi yang positif pada siklus I, hal tersebut tidak terjadi lagi pada siklus II karena pada siklus II, 8 siswa atau 100% responden bertingkah laku memberikan reaksi yang positif. <br /> <br /><br /> <br />KESIMPULAN<br /><br /> <br />Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran make a match menggunakan media visual aids berupa benda nyata, kartu gambar maupun kartu kata disamping dapat meningkatkan kemampuan percakapan Bahasa Inggris siswa kelas VII SMPLB B dan C di SLB B-C Hamong Putro Jombor Bendosari Sukoharjo tahun pelajaran 2008/2009, juga mampu membuat siswa aktif, merasa senang saat proses pembelajaran, serta dapat meningkatkan hasil belajar, yang dibuktikan dengan adanya peningkatan skor yang diperoleh secara individual.<br /> <br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br /> <br />Bobby de Porter, dkk. (2000). Quantum Teaching. Bandung: Kaifa<br />Depdiknas. (2006(.Standar Isi. Jakarta: Depdiknas<br />Glenn Doman, Janet Doman. (2006). .How To Teach Your Baby To Read (Bagaimana Mengajar Bayi Anda Membaca Sambil Bermain). Jakarta: Tigaraksa Satria <br />Isbani, R. dan Sardjono. (1989). Cipta Karya Audio Visual Aids. Surakarta: Uniersitas Sebelas Maret Press.<br />Soedjono AG. (1956). Pendahuluan didaktik dan metodik Umum. Jakarta: Harapan Masa<br />Suharsimi Arikunto, Suhardjono, Supardi. (2006). Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara<br />LPMP. (2008). Model-Model Pembelajar¬an. Semarang: LPMP Jawa Tengah.JASSI_AnakKuhttp://www.blogger.com/profile/12273050106097217296noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4574434941553048680.post-37378531651563220012010-04-29T21:03:00.000-07:002010-04-29T21:08:23.404-07:00Model Konseling Rehabilitasi bagi Individu Tunanetra DewasaModel Konseling Rehabilitasi <br />bagi Individu Tunanetra Dewasa<br /><br />Didi Tarsidi<br />Universitas Pendidikan Indonesia<br /><br /><br />ABSTRAK<br /><br />Dengan exploratory mixed methods research design, penelitian ini mengembangkan model konseling rehabilitasi bagi orang dewasa yang baru mengalami ketunanetraan untuk membantunya mengatasi masalah-masalah psikososial yang diakibatkan oleh ketunanetraan. Konstruk model dikembangkan dari data hasil studi kasus terhadap enam orang yang ketunanetraannya terjadi pada usia dewasa dan telah terbukti berhasil dalam kehidupannya. Konstruk model tersebut memuat lima unsur yang saling terkait yaitu: (1) keyakinan filosofis tentang ketunanetraan dan konseling rehabilitasi, (2) tujuan konseling, (3) pendekatan konseling, (4) metode konseling, dan (5) tahap-tahap konseling. Model divalidasi dengan expert judgment dan diujicobakan dengan desain single-subject research pada dua orang klien yang relatif baru mengalami ketunanetraan. <br />Kata Kunci: konseling rehabilitasi, tunanetra dewasa <br /><br />PENDAHULUAN<br /><br /> <br />Data yang dikeluarkan oleh WHO (2004) menunjukkan bahwa secara global, pada tahun 2002 terdapat lebih dari 161 juta orang tunanetra, yang terdiri dari 124 juta orang penyandang low vision dan 37 juta orang tunanetra berat. Lebih dari 82% dari seluruh populasi tunanetra itu berusia 50 tahun atau lebih tua. Ini berarti bahwa sebagian besar orang tunanetra pernah bergantung pada penglihatannya untuk mengenal dan berhubungan dengan dunia <br />Ketunanetraan yang terjadi pada masa dewasa memunculkan lebih banyak tantangan psikologis daripada ketunanetraan yang terjadi pada awal masa kehidupan. Ketunanetraan yang terjadi tiba-tiba pada usia dewasa dapat mengakibatkan depresi, persepsi diri yang tidak tepat, sangat menurunnya tingkat motivasi, rendahnya harga diri, dan rendahnya self-efficacy (Dodds, 1993). <br />Reaksi terhadap kebutaan yang mendadak mungkin paralel dengan tahapan penyesuaian terhadap kehilangan akibat kematian (Kubler-Ross, 1969; Messina & Messina, 2005). Meskipun tidak ada kesepakatan di kalangan para teoretisi mengenai jumlah tahapan dalam proses penyesuaian ini, tetapi terdapat banyak persamaan dalam berbagai model penyesuaian yang mereka kemukakan, yaitu bahwa proses penyesuaian terhadap ketunanetraan itu biasanya mencakup tiga tahapan umum. Ketiga tahapan tersebut mencakup tahap awal yang berupa reaksi syok dan/atau penolakan, yang diikuti dengan tahap di mana individu mengalami keadaan cemas, stress hingga depresi, dan akhirnya tahap penerimaan dan penyesuaian (Buys & Kendall, 1998). Namun perlu ditekankan bahwa respon individu terhadap kehilangan penglihatan itu bersifat idiosinkratik dan mungkin sangat terkait dengan status penyesuaian dirinya sebelum menjadi tunanetra (Harrington & Mcdermott, 1993). <br />Kehilangan penglihatan sering mengakibatkan masalah-masalah sosial, seperti penolakan oleh lingkungan sosialnya, kesulitan membina hubungan sosial, dan sikap belas kasihan dan overproteksi dari orang-orang lain (Steffens & Bergler, 1998 – dalam Ben-Zur & Debi, 2005), serta kesulitan mendapatkan pekerjaan (Golub, 2003). <br />Helen Keller (Dodds, 1993) bahkan mengamati bahwa hambatan utama bagi individu tunanetra bukan ketunanetraannya itu sendiri, melainkan sikap orang-orang awas terhadap orang tunanetra. Keterbatasan-keterbatasan yang terkait dengan ketunaan sebagian besar diakibatkan oleh lingkungan yang nonakomodatif dan sikap diskriminatif dari orang-orang non-ketunaan, bukan oleh kekurangan fungsional yang terkait dengan ketunaan itu sendiri (Seelman, 1998 - dalam Bellini & Rumrill, 1999). Oleh karena itu, mengatasi masalah-masalah yang terkait dengan kehilangan penglihatan harus dilakukan dua arah: (1) terhadap penyandangnya pada level emosi, persepsi, kognitif, dan perilaku; dan (2) terhadap lingkungan sosialnya untuk memberikan pemahaman yang tepat mengenai hakikat ketunaan. Dan ini semua saling terkait (Dodds, 1993). <br />Karena kehilangan penglihatan mempengaruhi individu pada berbagai level sekaligus, yang menuntut individu itu mengubah caranya berpersepsi, berperilaku, berpikir, dan merasakan berbagai hal, maka penyesuaian dirinya dapat merupakan proses yang panjang, dan mungkin harus dilakukan melalui berbagai macam cara, tergantung pada temperamen individu itu, pengalamannya terdahulu, dan strategi coping yang dipergunakanya untuk mengatasi krisis (Dodds, 1991; Horowitz & Reinhardt, 1998). John Hull (1990) membutuhkan waktu empat tahun untuk menyesuaikan diri dengan kondisi ketunanetraannya, sedangkan Rebecca Conrad (2004) memerlukan 15 tahun untuk sampai pada titik kecenderungan untuk menerima ketunanetraannya. <br />Bagi individu yang ketunanetraannya terjadi pada usia dewasa, belajar beradaptasi dengan kehilangan penglihatan dapat merupakan salah satu rintangan kehidupan yang paling besar (Lighthouse International, 2007). Akan tetapi, menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh the Arlene R. Gordon Research Institute (Lighthouse International, 2007), terdapat beberapa strategi yang dapat membantu banyak orang tunanetra beradaptasi dengan ketunanetraannya. Penerimaan yang realistik terhadap kehilangan penglihatan – tidak menolak dan tidak juga membesar-besarkan dampaknya – merupakan salah satu langkah terpenting untuk mengatasi tantangan yang diakibatkan oleh ketunanetraan. Semakin tinggi keberhasilan seorang individu dalam mengadaptasikan dirinya dengan kondisi ketunanetraan, akan semakin tinggi pula kemampuan fungsionalnya, harga dirinya, dan kepuasan hidupnya, dan akan semakin rendah tingkat depresinya (Elliott & Kuyk, 1994; Horowitz & Reinhardt, 1998).<br />Pengalaman menunjukkan bahwa bila memperoleh pendidikan dan latihan yang tepat dan diberi kesempatan yang sama (sebagai tindak lanjut dari perlakuan konseling rehabilitasi), orang tunanetra pada umumnya dapat melakukan pekerjaan pada umumnya di tempat kerja pada umumnya, dan dapat melakukannya sebaik tetangganya yang awas (Omvig, 1999). <br /> Kunci pembuka jalan ke arah keberhasilan tersebut adalah persepsi diri (self-perception) yang tepat dan penerimaan diri sepenuhnya (unconditional self-acceptance), dan intervensi konseling telah terbukti efektif untuk menumbuhkannya dan memfasilitasi penyesuaian (adjustment) dengan kondisi ketunanetraan itu. <br />Di beberapa Negara, konseling yang dikaitkan dengan rehabilitasi penyandang ketunaan telah berkembang menjadi sebuah disiplin ilmu yang disebut “rehabilitation counseling”. Konseling rehabilitasi adalah proses konseling untuk membantu individu penyandang ketunaan dalam beradaptasi dengan lingkungan, dan membantu lingkungan dalam mengakomodasi kebutuhan individu tersebut agar dapat mencapai tujuan personal, vokasional, dan kehidupan yang mandiri, dan mampu berpartisipasi penuh dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Praktek konseling rehabilitasi dilandasi oleh filosofi rehabilitasi dalam konteks yang luas. Prinsip dasar filosofi rehabilitasi mengajarkan pemahaman yang benar tentang dampak ketunaan terhadap individu, hak-hak individu, dan saran-saran mengenai strategi untuk mencapai tujuan rehabilitasi (Maki & Riggar, 1985 – dalam Parker et al, 2004).<br />Berbagai model intervensi konseling telah diterapkan untuk membantu penyandang ketunaan beradaptasi secara psikososial dengan kondisi ketunaannya, baik dalam setting individual maupun kelompok. Literatur menunjukkan bahwa di antara teori-teori konseling yang paling banyak diterapkan adalah psikoanalisis, psikodinamik, individual (Adlerian), Gestalt (Perls), person-centered (Rogers), rational-emotive-behavioral (Ellis), cognitive (Beck), dan behaviorist. Akan tetapi, tujuan fundamental dari konseling rehabilitasi – yaitu memberdayakan penyandang ketunaan untuk mencapai potensi tertingginya dalam ranah personal, kehidupan sosial, dan dunia kerja – dapat terwujud terbaik dengan menggunakan model intervensi konseling eklektik/integratif (Parker et al., 2004). Lebih jauh, karena rehabilitasi penyandang ketunaan menganut perspektif holistik dan ekoligis, yaitu mencakup aspek-aspek fisik, mental dan spiritual individu yang bersangkutan maupun hubungannya dengan keluarganya, pekerjaannya dan keseluruhan lingkungannya, maka diperlukan konseling dengan pendekatan ekologis. <br />Di dalam masyarakat Indonesia, penulis telah mengidentifikasi beberapa individu tunanetra dewasa yang mampu menghadapi berbagai tantangan ketunanetraannya itu dengan berhasil dalam waktu yang relatif singkat dan berhasil mendapatkan kembali kemandiriannya dan mencapai kehidupan yang bermakna, tidak hanya untuk dirinya tetapi juga untuk banyak orang lain. Studi ini meneliti bagaimana keberhasilan tersebut dapat dicapai, dan bagaimana pengalaman keberhasilan tersebut dapat dituangkan ke dalam sebuah model konseling rehabilitasi untuk membantu individu dewasa lain yang baru mengalami ketunanetraan. Model konseling rehabilitasi yang dihasilkan dari penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh lembaga-lembaga ketunanetraan, terutama lembaga penyedia layanan rehabilitasi bagi tunanetra dewasa, untuk membantu para kliennya mengatasi berbagai permasalahan psikologis akibat ketunanetraan agar mampu mendapatkan kembali kemandiriannya dan mencapai kehidupan yang bermakna.<br /> <br /><br /> <br />METODE<br /><br /> <br />Penelitian ini difokuskan pada orang yang menjadi tunanetra pada usia dewasa (usia 18 tahun atau lebih) yang selanjutnya disebut “tunanetra dewasa”. Terdapat dua kelompok target penelitian ini, yaitu (1) tunanetra dewasa yang sudah terbukti berhasil mengatasi masalah penyesuaian dirinya dengan ketunanetra¬annya, dan (2) individu tunanetra dewasa yang baru mengalami ketunanetraan dan masih dihadapkan pada kesulitan dalam penye¬suaian dirinya terhadap kondisi ketuna¬netraannya. Penelitian pada kelompok target pertama difokuskan pada proses keberhasilannya, sedangkan penelitian pada kelompok target kedua difokuskan pada keefektifan model konseling rehabilitasi yang diterapkan kepadanya. <br /> Oleh karena itu, ada dua gugus pertanyaan penelitian yang dicoba dijawab melalui penelitian ini. Pertanyaan penelitian gugus pertama adalah yang terkait dengan kasus-kasus yang berhasil, sedangkan pertanyaan penelitian gugus kedua adalah yang terkait dengan model konseling rehabilitasi yang diterapkan kepada individu tunanetra dewasa yang masih berada dalam proses adaptasi. <br /> Kedua gugus pertanyaan penelitian tersebut dirumuskan sebagai berikut: <br />a. Bagaimanakah individu tunanetra dewasa dapat berhasil mengatasi dampak ketunanetraannya sehingga mampu mendapatkan kembali kemandiriannya dan mencapai kehidupan yang bermakna? <br />b. Bagaimanakah model konseling rehabilitasi yang dapat membantu individu tunanetra dewasa memperoleh kepercayaan diri untuk mendapatkan kembali kemandirian¬nya dan membangun kehidupan yang bermakna? <br /> Selanjutnya dua gugus pertanyaan tersebut dirinci dalam enam subpertanyaan penelitian. sebagai berikut: <br />c. Bagaimanakah proses penyesuaian psikososial kasus dengan kondisi ketunanetraannya? <br />d. Faktor-faktor apakah yang berkontribusi pada penerimaan kasus terhadap ketunanetraannya? <br />e. Strategi coping apakah yang digunakan kasus untuk menghadapi tantangan yang diakibatkan oleh ketunanetrannya? <br />f. Pandangan filosofis apakah yang mendasari keberhasilan hidup kasus?<br />g. Bagaimanakah sebaiknya konstruk model konseling rehabilitasi bagi individu tunanetra dewasa? <br />h. Apakah model konseling rehabilitasi bagi individu tunanetra dewasa yang dihasilkan dari penelitian ini efektif? <br />Penelitian dilaksanakan menggunakan pendekatan research and development (R & D) dengan exploratory mixed method research design. Desain ini dipilih karena peneliti harus menangani dua jenis data yaitu data kualitatif maupun data kuantitatif. Data kualitatif itu berupa data deskriptif tentang pengalaman sejumlah individu tunanetra dewasa dalam mengatasi berbagai kesulitan yang diakibatkan oleh ketunanetraannya yang mengarah pada keberhasilanya memperoleh kembali kemadiriannya dan mencapai kehidupan yang bermakna; sedangkan data kuantitatif adalah berupa hasil pengukuran keefektifan model konseling rehabilitasi yang dirumuskan berdasarkan data kualitatif tersebut.<br />Data kualitatif tentang pengalaman keberhasilan kasus diperoleh melalui wawancara mendalam (in-depth interview), dengan pedoman wawancara tak berstruktur, dalam studi kasus terhadap partisipan yang memenuhi kriteria purposive sampling sebagai berikut: <br />1) Partisipan menjadi tunanetra pada usia dewasa (18 tahun atau lebih). <br />2) Setelah menjadi tunanetra, partisipan mampu menyelesaikan studinya di S-1 (bagi individu yang ketunane¬traannya terjadi sebelum tamat S-1). <br />3) Setelah menjadi tunanetra, partisipan memiliki pekerjaan tetap yang bermartabat dengan penghasilan di atas standar upah minimum regional (UMR). <br />4) Setelah menjadi tunanetra, partisipan mampu menghasilkan karya atau melakukan kegiatan (di luar pekerjaan rutinnya) yang bermanfaat bagi komunitasnya. <br />Berdasarkan kriteria tersebut, ditemukan enam orang partisipan dengan data demografik sebagai berikut. Tiga kasus tinggal di Bandung, sedangkan tiga lainnya masing-masing tinggal di Jakarta, Yogyakarta dan Semarang. Keenam kasus beragama Islam. Empat dari kasus adalah laki-laki dan dua lainnya adalah perempuan. Empat kasus menjadi tunanetra karena penyakit dan dua lainnya karena kecelakaan. Ketunanetraan pada Tiga kasus tergolong kategori low vision dan tiga kasus lainnya tergolong blind (berdasarkan definisi WHO). Tiga kasus menjadi tunanetra secara gradual, dua kasus menjadi tunanetra secara mendadak, dan satu lainnya secara drastis. Empat kasus menjadi tunanetra pada usia 20-an dan dua lainnya pada usia 30-an. Pada saat menjadi tunanetra, tiga kasus sudah memperoleh gelar sarjana, sedangkan tiga kasus lainnya adalah tamatan pendidikan menengah. Tiga kasus menjadi tunanetra pada saat sudah berstatus menikah, sedangkan tiga lainnya masih lajang; empat kasus sudah memiliki pekerjaan tetap, satu kasus sudah bekerja paruh waktu, dan satu kasus belum bekerja. <br />Model Konseling Rehabilitasi bagi Individu Tunanetra Dewasa yang dirumuskan berdasarkan hasil studi kasus terhadap individu tunanetra dewasa yang berhasil itu (setelah divalidasi melalui expert judgment) diujicobakan kepada dua orang klien untuk melihat keefektifannya. Uji coba dilaksanakan menggunakan single-subject research dengan desain A-B-A. <br />Untuk uji efektivitas digunakan dua orang partisipan, kedua orang klien tersebut terdiri dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang masing-masing berusia 37 dan 34 tahun. Satu klien beragama Islam dan yang lainnya beragama Kristen, satu klien sudah berkeluarga dan yang lainnya masih lajang. Kedua klien menjadi tunanetra karena penyakit lebih dari dua tahun tetapi kurang dari tiga tahun sebelum intervensi uji coba dilaksanakan. Klien 1 menjadi tunanetra secara gradual dalam kurun waktu satu tahun dan kini hanya memiliki persepsi cahaya, sedangkan Klien 2 menjadi tunanetra secara mendadak dan kini masih memiliki sisa penglihatan yang fungsional (low vision). Klien 1 adalah tamatan SMA dan merupakan seorang pengusaha konveksi ketika ketunanetraannya terjadi, sedangkan Klien 2 berpendidikan S1 manajemen dan merupakan staf akunting sebuah perusahaan garmen ketika ketunanetraannya terjadi. Hingga penelitian ini dilaksanakan, kedua klien belum pernah memperoleh intervensi rehabilitasi, dan kini mereka hidup dengan dukungan keluarganya. <br />Penelitian dimulai dengan mengaplikasikan instrumen asesmen tersebut yang hasilnya merupakan baseline, kemudian dilakukan treatment dengan mengaplikasikan model konseling rehabilitasi, dan setelah itu instrumen asesmen yang sama diaplikasikan kembali. Hasil asesmen kedua dibandingkan dengan baseline. Perbandingan antara baseline dengan asesmen kedua dapat menunjukkan perubahan persepsi partisipan tentang ketunanetraan dan implikasinya bagi dirinya. <br />Untuk mendapatkan data kuantitatif, perubahan persepsi tersebut dikuantifikasikan sebagai berikut: <br /> 1) Skor 1 diberikan apabila pernyataan-pernyataan pada asesmen sesudah intervensi mengindikasikan ada perubahan yang jelas ke arah yang lebih positif dalam persepsi partisipan tentang ketunanetraan dan implikasinya bagi dirinya. <br /> 2) Skor 0 diberikan apabila tidak ada indikasi yang jelas dalam perubahan persepsi partisipan. <br /> 3) -1 diberikan apabila pernyataan-pernyataan pada wawancara asesmen sesudah intervensi justru mengindikasikan adanya perubahan ke arah yang lebih negatif dalam persepsi partisipan tentang ketunanetraan dan implikasinya bagi dirinya. <br />Mengenai keefektifan model ini, peneliti menentukan kriteria sebagai berikut. <br />1) Apabila total skor untuk efek intervensi seorang klien mencapai 7 atau lebih, maka peneliti menafsirkan bahwa model konseling ini cenderung efektif untuk klien tersebut. <br />2) Apabila rata-rata total skor untuk kedua partisipan itu adalah sekurang-kurangnya 7 dan total skor masing-masing partisipan adalah sekurang-kurangnya 7, maka peneliti dapat berasumsi bahwa model itu cenderung efektif. <br />3) Apabila rata-rata total skor kedua partisipan itu adalah 7 tetapi total skor salah seorang partisipan adalah kurang dari 7, maka peneliti menafsirkan bahwa keefektifan model itu meragukan. <br /> <br /><br /> <br />HASIL DAN PEMBAHASAN<br /><br /> <br />Studi kasus terhadap enam individu tunanetra dewasa yang berhasil memunculkan data hasil penelitian tentang: (1) proses penyesuaian psikososial kasus dengan kondisi ketunanetraannya, (2) faktor-faktor yang berkontribusi pada penerimaan kasus terhadap ketunanetra¬annya, (3) strategi coping yang digunakan kasus untuk menghadapi tantangan yang diakibatkan oleh ketunanetrannya, dan (4) pandangan filosofis yang mendasari keberhasilan hidup kasus. Data tersebut dijadikan dasar bagi konstruk Model Konseling Rehabilitasi bagi Individu Tunanetra Dewasa yang diujicobakan pada dua orang klien.<br />1. Proses Penyesuaian Psikososial Kasus dengan Kondisi Ketunanetra¬annya <br />Temuan penelitian ini mendukung teori bahwa reaksi individu terhadap kehilangan penglihatan yang terjadi pada masa dewasa bersifat idiosinkratik, bervariasi dari individu ke individu, baik dalam bentuk reaksinya, tahapannya maupun waktu yang dibutuhkannya untuk dapat menyesuaikan diri dengan kondisi ini. Namun reaksi-reaksi itu dapat dikategorikan ke dalam tiga tahapan umum yaitu tahap awal yang berupa reaksi syok dan/atau penolakan, yang diikuti dengan tahap di mana individu mengalami keadaan cemas, stress hingga depresi, dan akhirnya tahap penerimaan dan penyesuaian. <br />Setelah berhasil menyesuaikan dirinya dengan kondisi ketunanetraan, semua kasus dalam penelitian ini berhasil mengembangkan dirinya ke arah kebermaknaan hidup, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang banyak. Keberhasilan-keberhasilan tersebut dapat dirangkum sebagai berikut: <br />a. Semua kasus (tiga orang) yang ketunanetraannya terjadi sebelum mereka menempuh pendidikan tinggi berhasil meraih gelar sarjana, dan satu kasus berhasil meraih gelar magister, dan seorang kasus yang pada saat terjadinya ketunanetraan sudah memperoleh gelar sarjana berhasil memperoleh gelar magister. . <br />b. Dari empat kasus yang ketunanetraannya terjadi sesudah memasuki dunia kerja, satu kasus dapat melanjutkan karirnya dalam pekerjaan yang sama (sebagai dosen), satu kasus melanjutkan karir dalam bidang terkait tetapi dengan berganti pekerjaan (dari pegawai bank menjadi komisaris sebuah lembaga konsultan keuangan), dua kasus mengubah bidang karirnya (satu beralih dari karir militer ke karir guru, dan satu lainnya beralih dari asisten apoteker menjadi guru). <br />c. Kasus yang ketunanetraannya terjadi sesudah menyelesaikan pendidikan tinggi tetapi belum bekerja berhasil mengembangkan karir dalam bidang yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya (sebagai psikolog sekolah). <br />d. Semua kasus berhasil mencapai kehidupan yang layak dan mempunyai karya atau kegiatan lain (di luar pekerjaan rutinnya) yang bermakna bagi orang banyak. <br />2. Faktor-faktor yang Berkontribusi pada Penerimaan Kasus terhadap Ketunanetraannya <br /> Penelitian ini menunjukkan bahwa dukungan keluarga dan orang-orang lain yang signifikan, religiositas, kontak dengan individu tunanetra yang berhasil, serta kontak dengan lembaga ketunanetraan (meskipun tidak terlibat langsung sebagai klien di lembaga tersebut) merupakan faktor kontributif terhadap proses penerimaan ketunanetraan bagi kasus. Penelitian juga menunjukkan bahwa persepsi positif tentang orang tunanetra yang diperoleh sebelum kasus sendiri menjadi tunanetra berpengaruh positif pada penerimaan ketunanetraannya. Selain itu, keberhasilan kasus dalam memperoleh keterampilan baru (keterampilan kompensatoris) pada awal masa ketunanetraan terbukti mempercepat penerimaan kasus akan ketunanetraannya. <br />3. Strategi Coping yang Digunakan Kasus untuk Menghadapi Tantangan yang Diakibatkan oleh Ketunanetra¬annya <br />Strategi-strategi ini dapat dikelompokkan ke dalam lima kategori yaitu: <br />a. Religious coping strategy dalam bentuk berdoa yang digunakan kasus untuk mendapatkan jalan guna menghadapi kesulitan terutama pada masa-masa awal ketunanetraannya. Mereka meyakini bahwa Tuhan akan menunjukkan jalan keluar dari masalah apabila mereka berdoa secara khusuk. <br />b. Psychological coping strategy (yang mencakup kognitif dan emotif) difokuskan pada upaya-upaya untuk menerima realita ketunanetraan, menemukan kembali rasa harga diri, menumbuhkan kegairahan untuk belajar keterampilan baru, menum¬buh¬kan kemampuan emosional untuk menghadapi kesulitan-kesulitan yang diakibatkan oleh ketunanetraan. Ini dilakukan setelah kasus mulai memasuki tahap penerimaan, mereka mulai mencari informasi tentang ketunanetraan dan mulai belajar keterampilan kompensatoris yang dibutuhkannya untuk melakukan kegiatan kehidupan sehari-hari tanpa penglihatan, mengontrol emosi atau melakukan perenungan diri (self-talk) bila mereka menghadapi sikap masyarakat yang tidak suportif. <br />c. Behavioral coping strategy berupa penggunaan keterampilan kompen¬satoris atau teknik alternatif untuk mengatasi tuntutan lingkungan dalam melakukan kegiatan kehidupan sehari-hari tanpa penglihatan atau dengan penglihatan yang terbatas. Pada umumnya kasus menggunakan jenis keterampilan kompensatoris yang sama yang mencakup penggunaan Braille dan rekaman audio untuk membaca/ menulis, menggunakan komputer dengan software pembaca layar JAWS atau menggunakan mesin tik biasa dengan teknik 10 jari untuk berkomunikasi secara tertulis dengan orang awas, dan menggunakan tongkat sebagai alat bantu orientasi dan mobilitas. Extensivitas penggunaan masing-masing keterampilan kompen¬satoris tersebut bervariasi dari kasus ke kasus tergantung preferensinya. Kasus tertentu yang masih memiliki sisa penglihatan yang cukup baik juga menggunakan CCTV untuk keperluan membaca tulisan biasa. Dalam hal tertentu, keterampilan kompensatoris itu berupa teknik alternatif tanpa alat bantu khusus, yaitu berupa modifikasi perilaku. <br />d. Social coping strategy yaitu upaya-upaya untuk mengatasi kesulitan akibat ketunanetraan dengan melibatkan bantuan orang lain. Strategi ini digunakan kasus dalam hal keterampilan kompensatoris yang dimilikinya tidak dapat mengatasi tuntutan lingkungan yang dihadapinya.<br />e. Self-advocacy adalah upaya penyandang ketunaan untuk memperoleh dan mempertahankan hak-haknya dengan menyuarakannya dan mengkomunikasikannya. Strategi ini digunakan kasus untuk menghadapi perlakuan diskriminatif atau perlakuan tak wajar yang masih sering mereka terima sebagai akibat dari mispersepsi masyarakat tentang ketunanetraan dan tentang ketunaan pada umumnya. <br />4. Pandangan Filosofis yang Mendasari Keberhasilan Hidup Kasus<br />Setelah Kasus melewati proses yang panjang melalui berbagai macam pengalaman pahit selama masa-masa awal ketunanetraannya dan pengalaman keberhasilan yang kemudian mereka raih, mereka memandang ketunanetraan sebagai salah satu karakteristik manusia yang dianugrahkan Tuhan kepada orang-orang tertentu yang seyogyanya dipandang sejajar dengan berbagai karakteristik lain yang secara bersama-sama membentuk keunikan individu, dan oleh karenanya tidak seyogyanya dipandang sebagai inferior. Ketunanetraan memang dapat menimbulkan berbagai tantangan, tetapi Tuhan telah menyediakan jalan untuk mengatasinya, sehingga ketunanetraan tidak harus menghalangi orang untuk mencapai kehidupan yang bermakna, baik bagi dirinya maupun bagi orang lain.<br />5. Konstruk Model Konseling Rehabili¬tasi bagi Individu Tunanetra Dewasa <br />Konstruk model ini memuat lima unsur yang saling terkait dan harus terintegrasikan ke dalam intervensi yang dilakukan oleh seorang konselor. Kelima unsur tersebut adalah: (a) keyakinan filosofis tentang ketunanetraan dan konseling rehabilitasi, (b) tujuan konseling, (c) pendekatan konseling, (d) metode konseling, dan (e) tahap-tahap konseling. <br />a. Filosofi. Secara filosofis, model konseling rehabilitasi ini didasarkan atas pandangan tentang ketunanetraan yang positif, yaitu sebagai salah satu karakteristik manusia yang sejajar dengan berbagai karakteristik lainnya yang secara keseluruhan membentuk keunikan individu, dan atas pandangan bahwa konseling rehabilitasi merupakan proses yang mampu memberdayakan individu tunanetra guna mempertahan¬kan eksistensinya sebagai warga masyarakat yang bermartabat. Oleh karena itu, tingkat keberhasilan model ini akan lebih tinggi apabila konselor yang mengaplikasikannya menganut pandangan filosofis ini <br />b. Tujuan. Setelah mendapatkan intervensi konseling rehabilitasi dengan model ini, individu tunanetra dewasa diharapkan: <br /> 1) menerima kondisi ketunanetraanya. <br /> 2) merasa mendapat dukungan dari keluarga dan orang-orang ter¬dekatnya.<br /> 3) memiliki pengetahuan tentang keterampilan kompensatoris yang dibutuhkannya dan sumber untuk mendapatkanya. <br /> 4) memiliki keyakinan akan berhasil memperoleh kemandiriannya kembali.<br /> 5) dapat membuat perencanaan yang realistis untuk masa depannya. <br />c. Pendekatan. Model konseling ini didasarkan atas pendekatan holistik/ekologis, yang mengintervensi seluruh aspek pribadi klien secara terintegrasi, yang mencakup aspek-aspek fisik, mental, sosial dan spiritual maupun hubunganya dengan keluarganya, pekerjaannya dan keseluruhan lingkungannya.<br /><br /> <br /> <br />bbbbGambar 1<br />Konstruk Model Konseling Rehabilitasi bagi Individu Tunanetra Dewasa<br /><br /> <br />d. Metode. Model konseling ini dianjurkan untuk diterapkan menggunakan metode eklektik, yang terutama terdiri dari Person-Centered Counseling, konseling kognitif dan konseling behavioral, dalam setting konseling individual maupun kelompok. <br />e. Tahap-tahap Konseling. Model ini terdiri dari 5 atau 6 tahap konseling, yang masing-masing tahap dapat terdiri dari beberapa sesi konseling tergantung kebutuhan klien. Kesemua tahapan konseling melibatkan klien dan orang-orang lain yang paling signifikan baginya. Tahap-tahap intervensi konseling itu adalah sebagai berikut: <br />Tahap 1: Asesmen <br />Tahap 2: Intervensi keluarga dan orang-orang lain yang paling signifikan bagi klien <br />Tahap 3: Konseling melalui kontak dengan individu tunanetra yang berhasil <br />Tahap 4: Konseling melalui kontak dengan lembaga rehabilitasi tunanetra <br />Tahap 5: (Opsional): Intervensi lingkungan kerja atau lingkungan belajar. Tahap ini dilaksanakan hanya apabila klien masih terdaftar sebagai pegawai atau mahasiswa. <br />Tahap 6: Refleksi, evaluasi, rencana tindak lanjut, dan referal <br />6. Keefektifan Model Konseling Rehabilitasi bagi Individu Tunanetra Dewasa <br />Setelah diujicobakan dalam skala terbatas kepada dua orang klien tunanetra dewasa, model konseling ini menunjukkan efektif bagi kedua orang klien tersebut. Mereka menunjukkan perubahan ke arah yang lebih positif pada 9 dari 10 item wawancara asesmen sesudah intervensi. Dengan demikian, penulis dapat berasumsi bahwa model ini efektif untuk membantu individu tunanetra dewasa menumbuhkan keyakinannya bahwa mereka akan dapat mengatasi masalah-masalah yang diakibatkan oleh ketunanetraannya dan memperoleh kembali kemandiriannya. <br /> <br /><br />KESIMPULAN<br /><br /> <br />Konstruk model konseling rehabilitasi bagi individu tunanetra dewasa konseling rehabilitasi bagi individu tunanetra dewasamemuat lima unsur yang saling terkait yaitu: (1) keyakinan filosofis tentang ketunanetraan dan konseling rehabilitasi, (2) tujuan konseling, (3) pendekatan konseling, (4) metode konseling, dan (5) tahap-tahap konseling. Model divalidasi dengan expert judgment dan diujicobakan dengan desain single-subject research pada dua orang klien yang relatif baru mengalami ketunanetraan. Hasilnua menunjukkan bahwa model tersebut efektif.<br /> <br /><br />DAFTAR PUSTAKA <br /><br /> <br />Bellini, J. L. & Rumrill, P. D., Jr. (1999). Research in Rehabilitation Counseling. Springfield, Illinois: Charles C Thomas Publisher, Ltd.<br />Ben-Zur, H. & Debi, Z. (2005). “Optimism, Social Comparisons, and Coping with Vision Loss in Israel”. Journal of Visual Impairment and Blindness, 99 (3), 151-164. <br />Buys, N. & Kendall, E. (1998). “An Integrated Model of Psychosocial Adjustment Following Acquired Disability”. The Journal of Rehabilitation 64. <br />Conrad, R. (2004). Coping with blindness. (Online): http://www.enablelink.com/coping_with_blindness.htm. Retrieved 11/11/2004. <br />Creswell, J.W. (1994). Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches. London: Sage Publications.<br />Creswell, J.W. (2008). Educational Research: Planning, Constructing, and Evaluating Quantitative and Qualitative Research. Upper Saddle River: Pearson.<br />Dodds, A. (1993). Rehabilitating Blind and Visually Impaired People: A psychological approach. London: Chapman& Hall.<br />Dodds, A.; Ferguson, E.; Ng, L.; Flannigan, H.; Hawes, G.; & Yates, L. (1994). “The concept of adjustment: A structural model”. Journal of Visual Impairment & Blindness, 88, 487-497.<br />Dodds, A.G. (1991). “The psychology of rehabilitation”. British Journal of Visual Impairment, 9 (2). <br />Elliott, J. L., & Kuyk, T. K. (1994). “Selfreported functional and psychosocial outcomes of blind rehabilitation”. Journal of Visual Impairment & Blindness, 88, 206-212.<br />Fitzgerald and Parkes (1998). “Coping with loss: Blindness and loss of other sensory and cognitive functions”. Palliative Medicine. (Online): http://bmj.bmjjournals.com/cgi/content/full/316/7138/1160#B8 <br />Harrington, R. G. & Mcdermott, D. (1993). “A Model for the Interpretation of Personality Assessments of Individuals with Visual Impairments”. The Journal of Rehabilitation, 59 (4).<br />Horowitz, A., & Reinhardt, J. P (1998). “Development of the adaptation to age-related vision loss scale”. Journal of Visual Impairment & Blindness, 92, 30-41.<br />Hull, J. (1990). Touching the Rock. London: Arrow Books.<br />Kubler-Ross, E. (1969). On death and dying. New York: Macmillan Publishing Co. <br />Lighthouse International (2007). Coping with Age-Related Vision Loss. (Online): http://www.lighthouse.org/. Retrieved 27/05/2007. <br />Messina, J.J. & Messina, C. M. (2004). Tools for Handling Loss. (Online): http://www.coping.org. Retrieved 10/09/2005. <br />Omvig, J.H. (1999). “Proper Training for the Blind; What Is It? - The Fourth Ingredient”. The Braille Monitor. November 1999. Baltimore: National Federation of the Blind. <br />Parker, M.R.; Szimanski, E.M.; & Patterson, J.B. (Eds.) (2004). Rehabilitation Counseling: Basics and Beyond. Fourth Edition. Texas: Pro.ed Inc. International Publisher<br />Sussman-Skalka, C.J. (2006). Depression: It Can Happen to Anyone. (Online): http://www.lighthouse.org/. Retrieved 01/05/2006. <br />World Health Organization. (2004). Magnitude and causes of visual impairment. Fact Sheet No. 282. (Online): http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs282/en/. Retrieved 09/12/2007. <br /> <br />kkkJASSI_AnakKuhttp://www.blogger.com/profile/12273050106097217296noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4574434941553048680.post-88674060123196883252010-04-29T18:14:00.000-07:002010-04-29T18:15:31.268-07:00Indeks Inklusi dalam Pembelajaran di Kelas yang Terdapat ABK di Sekolah DasarIndeks Inklusi dalam Pembelajaran <br />di Kelas yang Terdapat ABK di Sekolah Dasar <br /><br />Juang Sunanto <br />Universitas Pendidikan Indonesia<br /><br /><br />ABSTRAK<br /><br />Tujuan utama penelitian ini untuk mengetahui (1) bagaimanakah keberadaan anak berkebutuhan khusus (ABK) di Sekolah Dasar yang menyelenggarakan pendidikan inklusif di Kota Bandung, (2) berapa besar indeks inklusi (index for inclusion) yang dicapai di Sekolah Dasar yang menyelenggarakan pendidikan inklusif di Kota Bandung, dan (3) berapa besar indeks inklusi di Sekolah Dasar penyelenggara pendidikan inklusif berdasarkan jumlah ABK, jumlah siswa keseluruhan di kelas, jumlah guru, dan pengalaman guru mengikuti pelatihan tentang penanganan ABK. Indeks inklusi diperoleh dengan melakukan pengamatan pada proses pembelajaran di kelas dengan menggunakan 18 indikator yang dikembangkan oleh Centre for Studies on Inclusive Education. Penelitian dilakukan terhadap 10 kelas dari 4 Sekolah Dasar di Kota Bandung yang menyelenggarakan pendidikan inklusif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) jumlah ABK di Sekolah Dasar inklusif bervariasi dari 1 sampai 4 anak. Sedangkan jumlah siswa antara 20 dan 46. Pada umumnya kelas yang memiliki siswa ABK gurunya lebih dari satu. (2) rata-rata indeks inklusi sebesar 38,58 dengan indeks ideal 54. (3) indeks inklusi yang tinggi dicapai di kelas yang memiliki guru lebih dari satu, gurunya sering mengikuti pelatihan penanganan ABK, siswa ABK lebih banyak, dan jumlah siswa keseluruhan lebih sedikit. <br />Kata Kunci: Indeks inklusi, Sekolah Dasar, proses pembelajaran<br /><br /><br />PENDAHULUAN<br /><br /> <br />Pendidikan inklusif telah disepakati oleh banyak negara untuk diimplementasi¬kan dalam rangka memerangi perlakuan diskriminatif di bidang pendidikan. Pendidikan inklusif didasari oleh dokumen-dokumen internasional, yaitu Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948, Konvensi PBB tentang Hak Anak tahun 1989, Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua, Jomtien tahun 1990, Peraturan Standar tentang Persamaan Kesempatan bagi para Penyandang Cacat tahun 1993, Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus tahun 1994.<br />Strategi, metode, atau cara mengimplementasikan pendidikan inklusif di masing-masing negara sangat bervariasi (UNESCO, 200; Stubbs, 2002). Keberagaman implementasi ini disebabkan karena tiap-tiap negara memiliki budaya dan tradisi yang berbeda. Perbedaan implementasi ini juga terjadi di tingkat provinsi, kota, bahkan sekolah. Sebenarnya perbedaan cara implementasi ini tidak menjadi masalah asalkan prinsip dan motivasinya sama.<br />Pemerintah Indonesia telah berupaya mengimplementasikan pendidikan inklusif melalui berbagai program dan kegiatan yang dilaksanakan oleh Departemen Pendidikan Nasional dan Dinas-dinas pendidikan di provinsi, Kota/Kabupaten. Dalam praktiknya, implementasi pendidik¬an inklusif menemui berbagai kendala dan tantangan. Kendala tersebut di antaranya yang sering dilaporkan adalah kesalahan pemahaman tentang konsep pendidikan inklusif, peraturan atau kebijakan yang tidak konsisten, sistem pendidikan yang tidak luwes dan sebagainya. <br />Sejak pemerintah memperkenalkan dan mengimplementasikan pendidikan inklusif di sekolah-sekolah, wacana tentang pendidikan inklusi telah menarik perhatian banyak kalangan, khususnya para penyelenggara pendidikan. Semakin meningkatnya perhatian terhadap pendidikan inklusif tidak secara otomatis implementasinya berjalan secara lancar. Akan tetapi, berbagai pandangan dan sikap yang justru dapat menghambat implementasi pendidikan inklusi makin beragam. Oleh karena itu, pertanyaan tentang sejauh mana implementasi pendidikan inklusif di Indonesia telah terjadi patut mendapat perhatian. <br />Keterlaksanaan pendidikan inklusif khususnya di sekolah sampai sekarang belum banyak dilaporkan. Di samping itu, implementasi pendidikan inklusif dipengaruhi juga oleh banyak faktor, misalnya kebijakan pemerintah, sumber dukungan yang ada, sikap, pengetahuan, dan pemahaman para praktisi pendidikan terhadap pendidikan inklusif. Penelitian ini bermaksud menggambarkan nilai-nilai inklusi yang telah ada di Sekolah Dasar yang memiliki siswa berkebutuhan khusus di Kota Bandung. Nilai-nilai inklusi yang dimaksud adalah praktik-praktik yang dilakukan guru selama mengajar di kelas. Nilai-nilai inklusi tersebut diamati menggunakan indeks inklusi (index for inclusion) yang dikeluarkan oleh Centre for Studies on Inclusive Education (CSIE). <br />Upaya memperkenalkan dan mencobakan pendidikan inklusif di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1980-an. Meskipun demikian, belum banyak hasil penelitian yang melaporkan tentang kualitas atau pencapaian pelaksanaan pendidikan inklusif. Sukses pelaksanaan pendidikan inklusif dipengaruhi oleh banyak faktor di antaranya faktor budaya, politik, sumber daya manusia (Kwon, 2005). Menurut Ainscow (2002) keterlaksanaan pendidikan inklusif dapat dievaluasi menggunakan suatu indeks yang disebut index for inclusion. Secara konseptual indeks inklusi ini dibangun dari tiga dimensi, yaitu (1) dimensi Budaya (creating inclusive cultures), (2) dimensi Kebijakan (producing inclusive policies), dan (3) dimensi Praktik (evolving inclusive practices). Setiap dimensi dibagi dalam dua seksi, yaitu: Dimensi budaya terdiri atas seksi membangun komunitas (building community) dan seksi membangun nilai-nilai inklusif (establishing inclusive values). Dimensi kebijakan terdiri atas seksi pengembangan tempat untuk semua (developing setting for all) dan seksi melaksanakan dukungan untuk keberagam¬an (organizing support for diversity). Sedangkan dimensi praktik terdiri atas seksi belajar dan bermain bersama (orchestrating play and learning) dan seksi mobilisasi sumber-sumber (mobilizing resources). Penelitian ini bermaksud (1) Mengetahui keberadaan anak berkebutuhan khusus (ABK) di Sekolah Dasar yang menyelenggarakan pendidikan inklusif di Kota Bandung?, (2) Mengetahui indeks inklusi (index for inclusion) di kelas pada Sekolah Dasar yang menyelenggarakan pendidikan inklusif di Kota Bandung?, dan (3) Mengetahui indeks inklusi di kelas pada Sekolah Dasar di Kota Bandung yang menyelenggarakan pendidikan inklusif berdasarkan jumlah ABK, jumlah siswa, jumlah guru, dan pengalaman guru mengikuti pelatihan penanganan ABK? <br /> <br /><br />METODE<br /><br /> <br />Subjek <br />Subjek penelitian ini adalah kelas di Sekolah Dasar yang memiliki siswa berkebutuhan khusus yang ada di Kota Bandung. Berdasarkan data di Dinas Pendidikan Kota Bandung ada sebanyak 15 kelas yang tersebar di 8 Sekolah Dasar. Oleh karena itu, yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah Sekolah Dasar yang menyelenggarakan pendidikan inklusif. Dalam penelitian ini dipilih 10 kelas sebagai subjek penelitian yang diambil secara acak dari 4 Sekolah Dasar.<br />Prosedur<br />Data keberadaan anak berkebutuhan khusus (ABK), jumlah siswa keseluruhan, jumlah guru, dan pengalaman guru mengikuti pelatihan tentang penanganan ABK diperoleh melalui wawancara dengan guru kelas. Sedangkan indeks inklusi diperoleh dengan observasi terhadap proses pembelajaran di kelas dengan menggunakan daftar observasi yang terdiri dari 18 indikator. Setiap indikator yang dengan jelas teridentifikasi diberikan skor 3, yang ragu-ragu 2, dan yang tidak teridentifikasi 1, maka skor maksimal indeks inklusi yang dicapai adalah 54. <br />Data utama dalam penelitian ini adalah (1) indeks inklusi, (2) jumlah ABK dalam kelas, (3) jumlah siswa keseluruhan, (4) jumlah guru yang mengajar, dan (5) pengalaman guru mengikuti pelatihan penangan ABK yang semuanya merupakan data kuantitatif, maka untuk menganalisis data tersebut digunakan analisis statistik deskriptif. <br /><br /><br />HASIL DAN PEMBAHASAN<br /><br /> <br />Dalam kelas inklusi, ada kecenderungan bahwa jumlah ABK antara 1 dan 4 dengan guru lebih dari 1 yang terdiri dari guru kelas dengan guru khusus atau guru pembantu. Jenis ABK dengan learning disability (LD) lebih banyak ditemukan di samping anak autis dan tunagrahita (Tabel 2). Fenomena ini sesuai dengan temuan penelitian terdahulu bahwa anak-anak dengan LD dan auitis sering tidak tampak secara kasat mata (Golis, 1995), sehingga mereka tidak dikenali sejak masuk sekolah tetapi sering teridentifikasi setelah mengikuti proses pembelajaran. Peristiwa semacam ini sering kali membuat sekolah mau menerima ABK secara terpaksa pada awalnya tetapi kemudian menerima dengan motivasi yang lebih positif. <br /> <br />Tabel 2 <br /> <br />Table with 5 columns and 10 rows. <br /><br />Kelas <br />Jumlah ABK <br />Jenis ABK <br />Jumlah Siswa <br />Jumlah Guru <br /><br />Kelas 1 <br />2 <br />1 Tunadaksa, 1 LD<br />34<br />1<br /><br />Kelas 2<br />2<br />1 LD, 1 ASD<br />33<br />2<br /><br />Kelas 3<br />2<br />1 ADHD, 1 LD<br />46<br />3<br /><br />Kelas 4<br />2<br />1 Tunagrahita, 1 LD<br />34<br />2<br /><br />Kelas 5<br />1<br />1 LD<br />35<br />1<br /><br />Kelas 6<br />1<br />1 ADHD<br />20<br />1<br /><br />Kelas 7<br />4<br />1 Tunagrahita, 1 Autis, 1 LD, 1 Gifted<br />22<br />6<br /><br />Kelas 8<br />3<br />Autis, LD, ADHD<br />20<br />3<br /><br />Kelas 9<br />2<br />2 Autis<br />20<br />4<br /><br />Kelas 10<br />2 <br />1 Tunagrahita, 1 ADHD<br />25<br />4<br />End of table. <br /><br />Dari indeks inklusi maksimal 54, ditemukan indeks tertinggi 51,6 dan terendah 28 dengan rata-rata 38,.58. Hal ini menunjukkan bahwa inklusivitas yang dicapai oleh Sekolah Dasar yang menyelenggarakan pendidikan inklusif belum optimal. Menurut data ini, indeks inklusi tertinggi terjadi pada sekolah dengan jumlah murid 22 orang, ABK 4 dengan guru 6 orang. Hal ini tampaknya jumlah guru yang cukup memadai menjadi faktor utama untuk mencapai indeks inklusi yang tinggi. <br /> <br />Indeks inklusi pada kelas dengan jumlah ABK lebih banyak adalah lebih tinggi daripada indeks inklusi pada kelas dengan jumlah ABK lebih sedikit. Sedangkan kelas dengan jumlah siswa keseluruhan lebih sedikit indeks inklusi lebih tinggi. Indeks inklusi tertinggi dicapai oleh kelas dengan jumlah guru lebih banyak serta pada kelas yang dengan guru yang lebih banyak mengikuti pelatihan. Hal ini mengindikasikan bahwa faktor jumlah ABK, siswa keseluruhan, jumlah guru, dan keikutsertaan pelatihan berdampak pada pencapaian indeks inklusi dalam pembelajaran di kelas.<br /> <br /> <br /><br />Dalam instrumen untuk menggali indeks inklusi memiliki 18 indikator. Masing-masing indikator tersebut adalah: indikator 1 perencanaan, indikator 2 saling berkomunikasi, indikator 3 partisipasi, indikator 4 pemahaman perbedaan, indikator 5 aktivitas yang melecehkan anak, indikator 6 keterlibatan anak, indikator 7 kerja sama, indikator 8 penilaian, indikator 9 saling menghormati, indikator 10 aktivitas kegiatan berpasangan, indikator 11 bantuan pengajaran, indikator 12 mengambil bagian, indikator 13 pengaturan kelas, indikator 14 sumber pelajaran, indikator 15 perbedaan sebagai sumber, indikator 16 pemanfaatan sumber ahli, indikator 17 pengembangan sumber, dan indikator 18 pemanfaatan sumber.<br />Grafik 3 menunjukkan bahwa indikator 3, 6, dan 9, yaitu tentang partisipasi anak, keterlibatan anak dalam kegiatan, dan saling menghormati mendapat skor tertinggi. Sementara itu indikator yang mendapat skor terendah adalah indikator 10 dan 16, yaitu indikator yang terkait dengan kegiatan berpasangan dan penggunaan sumber daya ahli.<br />Sesuai dengan pertanyaan penelitian yang diajukan, hasil penelitian menunjukkan bahwa pada 10 kelas yang menyelenggarakan pendidikan inklusi, jumlah ABK bervariasi dari 1 sampai 4, di mana kelas dengan 2 ABK paling banyak ditemukan. Sedangkan jumlah siswa keseluruhan paling sedikit 20 dan paling banyak 46. Pada umumnya kelas yang memiliki ABK gurunya lebih dari satu, yaitu satu guru utama dibantu oleh asisten atau guru khusus, namun beberapa kelas gurunya hanya satu. Jika dalam kelas ada ABK, keadaan yang paling ideal jika ada guru kelas dan guru khusus. Guru khusus ini sebaiknya guru yang memiliki latar belakang pendidikan luar biasa (PLB) yang bertindak sebagai guru konsultan bagi guru kelas. Banyak negara di Eropa dan Amerika mewajibkan setiap sekolah yang memiliki siswa ABK menyediakan guru khusus. Akhir-akhir ini di Indonesia ada kecenderungan sekolah yang memiliki siswa ABK mulai menyediakan guru khusus yang umumnya terjadi di sekolah swasta. Ketersediaan guru khusus ini ada yang disediakan oleh sekolah sendiri ada pula yang disediakan oleh orangtua.<br />Pada penelitian ini ditemukan rata-rata indeks inklusi sebesar 38,58 dengan indeks ideal 54. Hal ini menunjukkan bahwa indeks inklusi tertinggi baru mencapai 71,4%. Banyaknya guru yang mengajar turut mempengaruhi pencapaian indeks inklusi, di mana jumlah guru yang lebih banyak mencapai indeks inklusi yang lebih tinggi. Di samping itu, pencapaian indeks inklusi tinggi juga terjadi pada guru yang te lebih banyak mengikuti pelatihan tentang penanganan ABK. <br />Sementara itu, indeks inklusi lebih tinggi dicapai oleh kelas yang memiliki ABK lebih banyak. Sebaliknya pada kelas yang jumlah siswa keseluruhannya lebih sedikit indeks inklusi lebih tinggi dari pada kelas yang jumlah siswa keseluruhannya lebih sedikit. <br />Kelas yang memiliki jumlah guru lebih banyak indeks inklusinya lebih tinggi dibandingkan dengan kelas yang memiliki jumlah guru sedikit. Fenomena ini dapat dijelaskan bahwa dengan jumlah guru lebih dari satu menyebabkan perhatian khusus pada ABK lebih baik sehingga memungkinkan ABK dapat berpartisipasi dalam kegiatan belajar dan berpartisipasi secara optimal di kelas. <br />Kelas yang memiliki guru dengan pengalaman mengikuti pelatihan tentang penanganan ABK yang lebih banyak indeks inklusinya lebih tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa kegiatan pelatihan memberikan dampak pada guru untuk menerapkan prinsip-prinsip pendidikan inklusif dalam proses pembelajaran di kelas. Efektivitas pelatihan untuk mengubah perilaku seseorang dapat dijelaskan dengan perubahan sikap seseorang di mana sikap memiliki tiga aspek yaitu, aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Dengan diberikan informasi yang benar pengetahuan seseorang menjadi benar, dengan pengetahuan yang benar mempengaruhi seseorang untuk berbuat benar pula. Dengan argumen ini, dapat diduga guru yang mengikuti pelatihan menyebabkan mereka menerapkan prinsip-prinsip pendidikan inklusif yang benar. <br />Indikator yang membentuk indeks inklusi dalam penelitian ini terdiri dari 18 indikator. Indikator yang mendapat skor tertinggi atau sering terjadi di dalam kelas adalah indikator yang terkait dengan partisipasi, keterlibatan anak dalam belajar, dan saling menghormati. <br /> <br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Booth, T. and Ainscow, M. (2002). Index for Inclusion. Developing Learning and Participation in School, London: CSIE.<br />Golis, S. A. at al (1995) Inclusion in Elementary Schools: A Survey and policy Analysis. A peer-reviewed scholarly electronic Journal, education policy Analysis archives. 3,15.<br />Kwon, H. (2005). Inclusion in South Korea: The current situation and future directions. International Journal of Disability, Development and Education, 52, 1, 59-68. <br />Stubbs, S. (2002). Inclusive Education Where There are Few Resources. Oslo: The Atlas Alliance.<br />UNESCO (2002). Open File on Inclusive Education. Support Materials for Managers and Administrators.JASSI_AnakKuhttp://www.blogger.com/profile/12273050106097217296noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4574434941553048680.post-67411418766731042742009-03-20T07:07:00.000-07:002009-03-20T07:08:46.709-07:00KONSELING UNTUK POPULASI KHUSUS(Studi Kasus Terhadap Layanan Konseling bagi Siswa Tunanetra di SMTA Reguler)<br /><br /><br />Didi Tarsidi <br />MIF Baihaqi<br /><br />Jurusan Pendidikan Luar Biasa<br />Universitas Pendidikan Indonesia<br /><br /><br />ABSTRAK<br />Penelitian ini dilakukan terhadap empat orang siswa tunanetra di empat SMTA reguler yang berbeda. Penelitian ditujukan untuk mengetahui: (1) Apakah siswa tunanetra memperoleh akses yang sama ke layanan konseling sebagaimana siswa-siswa lainnya yang awas? (2) Siapakah yang proaktif dalam layanan kon¬seling itu – konselor atau klien tunanetra? (3) Masalah-masalah apakah yang pada umumnya menjadi fokus layanan konseling bagi siswa tunanetra? dan (4) Bagaimanakah bentuk solusi yang ditawarkan oleh konselor untuk mengatasi masalah yang dihadapi siswa tunanetra? <br /><br />Kata kunci: Konseling, populasi khusus, tunanetra, SMTA reguler<br /><br /><br />PENDAHULUAN <br />Orang yang tunanetra sering sekali digambarkan sebagai tak berdaya, tidak mandiri dan menyedihkan, sehingga terbentuk persepsi purbasangka (prejudice) di kalangan masyarakat awas bahwa orang tunanetra itu patut dikasihani, selalu butuh perlindungan dan bantuan. Dodds (1993) menge¬muka¬kan bahwa persepsi negatif tentang ketunanetraan tersebut sering sengaja dipertahankan dan diperkuat oleh badan-badan amal demi meng¬gugah hati banyak orang untuk berderma. Hal yang serupa sangat sering kita jumpai di dalam masyarakat kita, dimana pencari derma berkeliling dari rumah ke rumah dengan mengatasnamakan tunanetra. Citra tuna¬netra yang digambarkan oleh para pencari derma tersebut bahkan diperkuat oleh pemandangan yang sering dijumpai di banyak pusat keramaian dimana orang tuna¬netra yang tidak berkesempatan memperoleh pendidikan, rehabilitasi, atau latihan yang sesuai dengan kebutuhannya terpaksa harus meng¬gan¬tungkan dirinya pada belas kasihan orang lain. Sangat jarang orang awas bertemu dengan model peran tunanetra yang positif dalam wujud orang tunanetra yang kompeten dan mandiri. <br />Di samping itu, media, seni rupa, literatur, dan drama lebih sering menampi¬l¬kan citra ketunanetraan yang negatif, yang cenderung menonjolkan stigma daripada me¬nawarkan aspirasi positif kepada mereka yang pada suatu saat berkemungkinan untuk kehilangan penglihatannya (Lee & Loverage, 1987), menimbulkan rasa sedih pada pemirsanya atau pembacanya, serta membuat orang awas merasa superior dan beruntung bahwa mereka tidak seperti yang digambarkan itu (Dodds, 1993). Dodds juga mengamati bahwa banyak media menggambarkan kebutaan sebagai hukuman yang patut diterima oleh penyandangnya atas kejahatan yang dilakukannya. Gam¬bar¬an seperti ini mengundang pemirsanya untuk memposisikan diri pada pan¬dang¬an moral tertentu terhadap sang korban; satu pandangan dimana rasa kasihan merupa¬kan satu-satunya respon yang tepat bagi mereka yang mempunyai rasa belas kasihan, juga perasaan kebenaran dan keadilan bagi mereka yang tidak mampu menunjukkan rasa belas kasihan. <br />Sama merusaknya dengan gambaran negatif mengenai ketunanetraan adalah gambaran positif yang tidak realistis dimana orang tunanetra dilukis¬kan sebagai ‘super hero’, yang dipandang sebagai orang yang memiliki daya yang menga¬gumkan, baik fisik maupun mental (ingat misalnya "Si Buta dari Gua Hantu"). <br />Akhir-akhir ini sering juga muncul pemberitaan tentang orang tuna¬netra dengan prestasi tinggi, misalnya mereka yang dapat mengoperasi¬kan komputer dengan baik, atau berhasil meraih gelar akademik yang prestisius, atau berhasil dalam karir profesionalnya. Masyarakat sering memandang pencapaian seperti ini sebagai ‘langka tetapi nyata’, sesuatu yang me¬nga¬gum¬kan. Pemberitaan seperti ini tidak berhasil mengubah stereotipe negatif tentang ketunanetraan, karena dibalik kekaguman itu tersirat pikiran bahwa orang tunanetra pada umumnya tidak dapat atau tidak seharusnya demikian, sehingga bila masyarakat melihat contoh orang tunanetra melanggar ekspektasi negatif tersebut, itu hanya dipandang sebagai kasus kekecualian. Dengan kata lain, ekspektasi masyarakat terhadap orang tunanetra masih tetap rendah. <br />Gambaran di atas menunjukkan bahwa masyarakat masih cenderung mem¬posisikan orang-orang tunanetra sebagai kelompok yang oleh Pedersen (1981) di¬sebut sebagai populasi khusus (special population), yaitu kelompok minoritas yang sering dihambat aksesnya ke berbagai layanan umum termasuk layanan konseling. Studi kasus ini bertujuan menemukan apakah diskriminasi semacam ini dialami juga oleh siswa-siswa tunanetra dalam layanan konseling di sekolah menengah tingkat atas reguler dimana mereka merupakan kelompok minoritas di sekolah yang mayoritas siswanya adalah orang awas. <br />Secara spesifik, studi kasus ini berusaha menemukan jawaban atas empat pertanyaan penelitian sebagai berikut: <br />1. Apakah siswa tunanetra memperoleh akses yang sama ke layanan konseling sebagaimana siswa-siswa lainnya yang awas? <br />2. Siapakah yang proaktif dalam layanan konseling itu – konselor atau klien tunanetra? <br />3. Masalah-masalah apakah yang pada umumnya menjadi fokus layanan konseling bagi siswa tunanetra? <br />4. Bagaimanakah bentuk solusi yang ditawarkan oleh konselor untuk meng¬atasi masalah yang dihadapi siswa tunanetra? <br /><br /><br />KERANGKA TEORETIK <br /><br />Konseling Lintas Budaya dengan Perspektif Rehabilitasi <br />Rao & Walton (2006) mengartikan budaya sebagai fenomena yang terkait dengan relasionalitas – hubungan antara individu-individu di dalam suatu kelompok, antara kelompok-kelompok, antara ide-ide dan berbagai perspektif. Budaya ter¬sangkut dengan identitas, aspirasi, pertukaran simbol-simbol, koordinasi, struktur dan praktek yang mendukung tujuan hubungan, seperti etnisitas, ritual, warisan, norma, makna, dan keyakinan. Budaya bukan himpunan fenomena primordial yang secara permanen terbingkai dalam kelompok kebangsaan atau keagamaan ataupun kelompok-kelompok lainnya, melainkan merupakan himpunan atribut yang senan¬tiasa berubah, yang membentuk dan dibentuk oleh aspek-aspek sosial dan ekonomi dari interaksi manusia.<br />Konseling yang diarahkan pada konseli dengan latar belakang budaya yang berbeda-beda disebut konseling lintas budaya. Pedersen (Locke, 1993) men¬defi¬nisi¬kan konseling lintas budaya (multicultural counseling) sebagai konseling yang di¬arahkan pada berbagai jenis multikelompok tanpa menilai¬nya, membandingkannya atau memperingkatnya sebagai lebih baik atau lebih jelek dari satu dengan lainnya dan tanpa menolak perspektif yang di¬bawa oleh masing-masing kelompok itu betapa pun berbedanya ataupun kontradiktifnya perspektif itu. Definisi Pedersen tersebut cenderung men¬cakup berbagai macam variabel, misalnya usia, jenis kelamin, tempat tinggal, pendidikan, faktor-faktor sosioekonomi, afiliasi, kebangsaan, etnis¬itas, bahasa, agama, kecacatan, sehingga multikulturalisme menjadi generik bagi semua hubungan konseling. Dalam studi kasus ini, penulis meng¬gunakan definisi konseling lintas budaya dalam pengertian yang luas sesuai dengan definisi Pedersen tersebut.<br />Konseling yang dirancang khusus untuk membantu penyandang cacat disebut konseling rehabilitasi. The International Rehabilitation Counseling Consortium, sebuah kelompok yang beranggotakan beberapa organisasi profesi yang terkait dengan konseling rehabilitasi, mendefinisikan konselor rehabilitasi sebagai berikut: <br />“A rehabilitation counselor is a counselor who possesses the special¬ized knowledge, skills and attitudes needed to collaborate in a profess¬sional relationship with people who have disabilities to achieve their personal, social, psychological and vocational goals.” (Virginia Com¬mon¬wealth University Department of Rehabilitation Counseling, 2005). <br />Berdasarkan definisi tersebut, konseling rehabilitasi dapat diartikan sebagai suatu bidang ilmu yang mengkaji cara-cara membantu penyandang cacat mencapai tujuan personal, sosial, psikologis dan vokasionalnya. Untuk itu, seorang konselor rehabilitasi perlu memiliki pengetahuan dan keteram¬pil¬an khusus serta sikap yang dibutuhkan untuk berkolaborasi dalam hu¬bung¬an profesional dengan penyandang cacat. <br /><br />Banyak persamaan dalam stigma dan ketidakadilan yang dialami oleh orang-orang dari kelompok etnik minoritas dan orang-orang penyandang cacat. Misalnya, Orange (1997) mengemukakan bahwa secara historis kedua kelompok ini telah dikucilkan dari kehidupan masyarakat Amerika pada umumnya dan sama-sama berstatus “underprivileged”. Meskipun masya¬rakat tertentu memandang individu penyandang cacat dengan perasaan ‘kagum’ dan ‘penuh hormat’, tetapi di sebagian besar masyarakat kecacatan secara tradisi cenderung dikaitkan dengan negativisme. <br />Stigma yang terkait dengan status minoritas mencerminkan pengala¬man ini. Herbert dan Cheatham (Orange, 1997) mengemukakan bahwa menyandang ke¬cacatan atau¬pun berstatus minoritas itu dapat menimbulkan stigma yang meng¬hambat partisipasi penuh dalam pendidikan, pekerjaan, dan pergaulan sosial. Wright (Orange, 1997) mengemukakan bahwa seorang individu dinilai berdasarkan karakteristik yang di¬pandang baik oleh kelom¬pok tempatnya berada. Oleh karenanya, individu penyan¬dang cacat sering dicap sebagai orang yang mengalami kemalangan besar, dan akibatnya kehidupannya terganggu dan ternoda. <br />Stereotipe seperti ini juga dialami oleh orang-orang dari kelompok minoritas di kalangan masyarakat luas. Misalnya, orang Amerika asal Afrika dipersepsi sebagai low achievers, immoral, dan tak dapat dipercaya. Wright (Orange, 1997) mengemukakan bahwa dampak stigma yang terkait dengan kecacatan ataupun status minoritas ini dapat demikian kuat dan mendalam sehingga dapat menutupi karak¬teristik personal lainnya yang positif yang sesungguhnya dapat mengimbangi stigma tersebut. <br />Asumsi kultural tentang kecacatan juga mempengaruhi pembentukan pikiran dan sikap para profesional. Asumsi ini juga mempengaruhi peng¬guna¬an bahasa, keyakinan masyarakat, dan interaksi dalam keseluruhan budaya. Orange (1997) mengidentifikasi asumsi kultural umum dan impli¬kasi¬nya sebagai berikut:<br />1. Kecacatan dipandang sebagai hanya bersifat biologis dan hasil interaksi sosial didasarkan pada kecacatan sebagai variabel bebas. <br />2. Masalah-masalah yang dihadapi para penyandang cacat merupakan akibat dari kelainan fisiknya, bukan akibat konteks budaya, peraturan per¬undang-undang¬an, ekonomi, sosial, atau lingkungan.<br />3. Penyandang cacat adalah korban ketidakadilan biologis, bukan korban ketid¬akadilan sosial; dan karenanya, intervensi diarahkan untuk meng¬ubah kemam¬puan individu, bukan untuk mengubah konteks sosial. <br />4. Kecacatan adalah sentral untuk konsep diri individu, definisi dirinya, per¬bandingan sosialnya, dan kelompok acuannya.<br /><br />Konseling lintas budaya dengan pendekatan ekologi dapat mengubah asumsi-asumsi tersebut ke arah yang berpihak kepada penyandang cacat, dan konseling lintas budaya dengan perspektif rehabilitasi bagi penyandang cacat dapat membantu mereka lebih mendekatkan diri ke ekspektasi masyarakat luas melalui perubahan yang dilakukan oleh kedua belah pihak. <br /><br />METODOLOGI PENELITIAN <br />Studi kasus dilakukan terhadap empat orang sampel yang terdiri dari dua orang laki-laki dan dua orang perempuan tunanetra. Status mereka saat ini adalah: dua orang guru dan dua orang mahasiswa. Keempatnya pernah bersekolah di sekolah menengah tingkat atas reguler (2 SMA negeri, 1 SMA swasta, dan 1 madrasah aliyah negeri). Resume identitas kasus dapat dilihat pada tabel 2.1 di bawah ini. <br /><br />Tabel 2.1<br /> Identitas Kasus<br /><br />Nama Jenis Kelamin Status Sekarang Sekolah Asal<br />Kasus 1 Laki-laki Guru SMA Negeri<br />Kasus 2 Perempuan Guru MAN <br />Kasus 3 Perempuan Mahasiswa SMA suasta<br />Kasus 4 Laki-laki Mahasiswa SMA Negeri <br /><br />Data diperoleh melalui wawancara tak terstruktur. Wawancara difokuskan pada pengalaman mereka dengan layanan bimbingan dan konseling di SMTA tersebut. Topik-topik wawancara mencakup: <br />1. Akses ke layanan bimbingan dan konseling <br />2. Proaktivitas konselor/klien <br />3. Topik bimbingan dan konseling <br />4. Solusi masalah <br /><br />Data hasil wawancara tersebut dianalisis dalam dua bentuk, yaitu intra-case analysis (analisis terhadap item-item dalam satu kasus yang sama) dan cross-case analysis (analisis terhadap item-item yang sama untuk kasus yang berbeda). Proses analisis dalam penelitian ini menggunakan kerangka yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman (Frechtling & Sharp, 1997; Bloland, 1992), yang terdiri dari tiga fase, yaitu reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), dan penarikan konklusi dan verifikasi. <br />Menurut Miles dan Huberman, reduksi data adalah proses menyeleksi, mem¬fokuskan, menyederhanakan, mengabstraksikan, dan mentrasformasi¬kan data yang tercantum dalam catatan lapangan atau transkrip wawancara. Reduksi data ini tidak hanya dimaksudkan agar menjadi padat sehingga mudah dikelola, tetapi juga agar lebih mudah dipahami dari perspektif masalah yang dibahas. Reduksi data sering memaksa peneliti untuk memilih aspek-aspek mana dari data yang telah terkumpul itu harus diberi penekanan, diminimalkan atau dikesampingkan sama sekali untuk tujuan penelitian yang sedang dilaksanakan. Dalam analisis kualitatif, peneliti memutuskan data yang mana yang harus ditonjolkan dalam deskripsi data itu berdasarkan prinsip selektivitas, terutama selektivitas berdasarkan Relevansi data itu untuk menjawab pertanyaan penelitian tertentu. <br />Fase kedua dari analisis data ini adalah menentukan bagaimana data itu akan disajikan. Sajian data ini menampilkan rakitan informasi yang padat dan ter¬organisasi untuk memudahkan penarikan konklusi. Sajian data itu dapat berupa diagram, tabel, atau grafik, yang berisi data tekstual. Sajian data tersebut di¬maksudkan untuk mempermudah peneliti membuat ekstra¬polasi dari data karena dengan sajian ini peneliti dapat dengan lebih cepat melihat adanya pola-pola dan hubungan-hubungan yang sistematik. Di dalam studi ini, peneliti menggunakan bentuk sajian data berupa tabel.<br />Fase ketiga dari proses analisis data adalah penarikan konklusi dan verifikasi. Penarikan konklusi dilakukan dengan melihat kembali data untuk menimbang-nimbang makna dari data yang sudah dianalisis itu dan untuk menimbang impli¬kasinya bagi pertanyaan penelitian terkait. Verifikasi, yang terkait secara integral dengan penarikan konklusi, dilakukan dengan mem¬baca ulang data berkali-kali untuk melakukan cross-check atau menguji kebenaran konklusi yang telah dibuat. Di samping itu, verifikasi juga di¬maksudkan untuk menguji apakah ‘makna’ yang di¬simpulkan dari data yang dianalisis itu rasional, ajeg dan kokoh. Dengan kata lain, verifikasi di¬mak¬sud¬kan untuk menguji validitas dan reliabi¬litasnya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Bloland (1992) bahwa verifikasi di dalam penelitian kualitatif sama fungsinya dengan reliabilitas dan validitas di dalam penelitian kuantitatif. Dia mengemukakan, “Verification performs for qualitative research what reliability and validity perform for quantitative research” (hal.4). Validitas di sini berbeda maknanya dengan yang diper¬guna¬kan di dalam penelitian kuantitatif dimana validitas merupakan satu istilah teknis yang secara spesifik mengacu pada pertanyaan apakah suatu konstruk tertentu benar-benar mengukur apa yang hendak diukurnya. Di dalam penelitian kualitatif, menurut Frechtling dan Sharp (1997), yang dimaksud dengan validitas adalah kepastian bahwa konklusi yang ditarik dari data itu dapat dipercaya, dapat dipertahankan, dijamin kebenar¬annya, dan mampu bertahan terhadap penjelasan alternatif. <br />Di dalam studi kasus ini, untuk mencapai validitas tersebut, sebagai¬mana disarankan oleh Frechtling dan Sharp (1997), peneliti membaca ulang data dan secara sistematik memeriksa data berulang kali dengan meng¬gunakan berbagai taktik termasuk menelaah apakah terdapat pola-pola dan tema-tema tertentu, mengelompokkan kasus, mengontraskan dan memban¬ding¬kannya, memilah-milah variabel-variabel, dan membedakan antara faktor-faktor khusus dengan faktor umum, yang didasarkan atas asumsi teo¬re¬tik tertentu. Dalam hal ini pembandingnya adalah teori-teori tentang konseling lintas budaya untuk populasi khusus, dan populasi khusus dalam studi kasus ini adalah orang tunanetra, sehingga teori konseling lintas budaya yang diaplikasikan dalam studi ini memiliki perspektif rehabilitasi. <br /><br />TEMUAN DAN ANALISIS <br /><br />A. Temuan <br />Sebagaimana dikemukakan di atas, studi kasus ini dilakukan terhadap 4 orang tunanetra (2 laki-laki dan 2 perempuan) yang pernah bersekolah di SMTA reguler bersama-sama siswa-siswa yang melihat. Wawancara dengan keempat orang kasus itu dilaksanakan di Bandung ketika dua di antara mereka sudah berstatus guru dan dua lainnya berstatus mahasiswa. Wawan¬cara difokuskan pada empat pertanyaan penelitian. Wawancara tersebut menghasilkan temuan-temuan sebagai berikut. <br /><br />Kasus 1 <br />Kasus 1 adalah seorang laki-laki yang bersekolah di sebuah SMA negeri di Bandung. Sehubungan dengan pertanyaan tentang aksesnya ke layanan konseling di sekolah tersebut, dia menceritakan bahwa dia merasa memperoleh akses yang sama ke layanan konseling di sekolahnya sebagai¬mana siswa-siswa lainnya yang awas. Dia tidak merasa didiskriminasikan –selalu diikutsertakan dalam konseling kelom¬pok dan mendapat layanan sebagaimana mestinya dalam konseling individual. Kasus 1 menceritakan dua kesempatan di mana dia diundang oleh guru bimbingan dan konseling untuk mendiskusikan dua hal yang berbeda. <br />Pada kesempatan pertama, guru BK dikonsultasi oleh guru seni rupa tentang kesulitan yang di¬hadapinya dalam mengajarkan melukis pada siswa tunanetra. Pembicaraan mereka menghasilkan solusi agar materi seni lukis itu diganti dengan materi yang bertujuan sama (seni membentuk), yaitu dengan menganyam. <br />Pada kesempatan kedua, guru BK mengundang Kasus 1 sehubungan dengan konsultasi guru olahraga dalam hal pelaksanaan ujian praktek olah¬raga bagi siswa tunanetra. Solusi yang disepakati adalah bahwa sebagai ganti praktek, Kasus 1 di¬tugasi membuat makalah dengan topik yang terkait dengan materi praktek olahraga tersebut. <br /><br /><br /><br />Kasus 2 <br />Kasus 2 adalah seorang perempuan yang bersekolah di sebuah madrasah aliyah di Banyuwangi, Jawa Timur. Sebagaimana halnya dengan Kasus 1, Kasus 2 pun merasa mendapat perlakuan yang semestinya dalam layanan konseling. Dia menceritakan tentang satu kesempatan di mana guru BK secara proaktif memberikan penyuluhan kepada teman-teman sekelasnya tentang membangun hubungan sosial dan kerjasama akademik dengan orang tunanetra. Pada kesempatan lain, Kasus 2 berkonsultasi dengan guru BK sehubungan dengan keterlibatannya dalam pelajaran olahraga. Selama ini, dalam pelajaran olahraga, dia selalu menjadi ’penungu pinggir lapangan’. Dia mengusulkan agar guru melibatkannya dalam kegiatan olahraga yang sesuai dengan kemampuannya. Hasilnya adalah dalam jam-jam olahraga selanjutnya guru selalu berusaha melibatkan Kasus 2. <br /><br />Kasus 3 <br />Kasus 3 adalah seorang perempuan yang bersekolah di sebuah SMA swasta di Bandung. Dia merasa bahwa guru BK selalu responsif dan positif terhadap pemecahan masalah yang dihadapinya di sekolah. Masalah pertama yang dikonsul¬tasikannya adalah yang terkait dengan hubungan sosialnya dengan teman-teman sekolahnya yang awas. Dia merasa bahwa teman-temannya itu belum memiliki pemahaman yang tepat tentang ketunanetraan sehingga tidak memperlakukannya secara wajar. Akibatnya dia merasa terkucil. Keadaan ini berubah ke arah yang lebih positif setelah guru BK memberi penyuluhan kepada mereka. Fokus penyuluhan tersebut lebih ditekankan pada membentuk sikap empati dan hanya sedikit saja pada teknik komunikasi sosial nonvisual. Namun demikian, siswa tunanetra tersebut me¬rasakan adanya perubahan yang lebih menyenangkan. Melalui penga¬laman, teman-temannya itu dapat memahami cara-cara berkomunikasi dengan¬nya dan dalam hal apa dia memerlukan bantuan. <br />Masalah lain yang dikonsultasikannya kepada guru BK adalah kesulit¬annya dalam mengikuti pelajaran kimia. Untuk mengatasi masalah tersebut, guru BK ber¬bicara dengan guru yang bersangkutan. Hasilnya adalah guru kimia memberikan pelajaran tambahan kepada Kasus 3, tetapi kesulitan tersebut tidak teratasi karena yang diperlukannya bukan tambahan waktu belajar melainkan teknik mengajar yang sesuai dengan modalitas belajar nonvisual untuk memahami konsep-konsep kimia. <br /><br />Kasus 4 <br />Kasus 4 adalah seorang laki-laki yang bersekolah di sebuah SMA negeri di Cimahi, Jawa Barat. Dia menjelaskan bahwa guru BK di sekolah tersebut mem¬berikan perhatian yang baik kepadanya dalam menghadapi kesulitan yang di¬hadapinya saat bersekolah di sekolah reguler. Guru tersebut pernah sengaja mengundangnya untuk menanyakan kalau-kalau ada ke¬sulitan yang dihadapinya. Kasus 4 mengeluhkan kesulitannya dalam pel¬ajaran biologi, khususnya dalam mem¬peroleh gambaran tentang mikro¬organisme. Sesudah pertemuannya dengan guru BK tersebut, guru biologi lebih proaktif dalam usahanya memberi peragaan kepadanya. <br /><br />B. Analisis <br />Untuk memudahkan analisis, maka temuan-temuan di atas dirangkum dalam tabel berikut. <br /><br />Tabel 4.1<br />Rangkuman Temuan Penelitian<br />Kasus Pertanyaan 1 Pertanyaan 2 Pertanyaan 3 Pertanyaan 4<br />1 Akses sama. Konselor berdasarkan konsultasi guru bidang studi. Kesulitan dalam PBM seni rupa dan olahraga. Guru men-substitusi materi dengan tujuan sama. <br />2 Akses sama. Konselor dan klien. 1) Kesulitan dalam PBM olahraga. <br />2) Masalah hubungan sosial dengan teman awas. 1) Guru menyesuaikan materi kegiatan dengan kemampuan. <br />2) Konselor memberikan penyuluhan kelas tentang ketunanetraan.<br />3 Akses sama. Klien. 1) Kesulitan dalam PBM kimia. <br />2) Masalah hubungan sosial dengan teman awas. 1) Guru memberikan jam pelajaran ekstra. <br />2) Konselor memberikan penyuluhan kelas.<br />4 Akses sama. Konselor. Kesulitan dalam PBM biologi. Guru memberikan peragaan. <br />Pertanyaan penelitian 1: Apakah siswa tunanetra memperoleh akses yang sama ke layanan konseling sebagaimana siswa-siswa lainnya yang awas? <br /><br />Temuan menunjukkan bahwa keempat kasus memberikan jawaban positif terhadap pertanyaan ini, yaitu bahwa mereka merasa memperoleh akses yang sama ke layanan konseling di sekolahnya sebagaimana siswa-siswa lainnya yang awas. Mereka tidak merasa didiskriminasikan –selalu diikutsertakan dalam konseling kelompok dan mendapat layanan sebagai¬mana mestinya dalam konseling individual. Bila Pedersen (1981) menge¬muka¬kan bahwa populasi khusus (kelompok minoritas) sering dihambat aksesnya ke berbagai layanan umum, dan Orange (1997) menge¬mukakan bahwa banyak persamaan dalam stigma dan ketidakadilan yang dialami oleh orang-orang dari kelompok etnik minoritas dan orang-orang penyandang cacat, maka temuan dalam studi kasus ini tidak mendukung teori tersebut. Perbedaan ini mungkin dikarenakan studi kasus ini dan data yang diper¬gunakan sebagai dasar pengembangan teori itu mempunyai latar belakang budaya yang berbeda. <br /><br />Pertanyaan penelitian 2: Siapakah yang proaktif dalam layanan konseling itu – konselor atau klien tunanetra?<br /><br />Temuan studi ini menunjukkan bahwa proaktivitas itu bervariasi. Pada Kasus 4, konselor proaktif menemukan kesulitan yang dihadapi siswa tunanetra; pada Kasus 1, konselor aktif setelah dikonsultasi oleh guru bidang studi; sedangkan pada Kasus 2 dan Kasus 3, klien yang lebih proaktif berkonsultasi dengan konselor. Data menunjukkan bahwa klien perempuan lebih berinisiatif daripada klien laki-laki untuk berkonsultasi dengan konselor, dan klien laki-laki tidak melaporkan adanya masalah hubungan sosial dengan teman-temannya yang awas. Ini mungkin karena siswa laki-laki lebih percaya diri bahwa mereka dapat mengatasi masalahnya sendiri atau mungkin mereka memiliki kecenderungan untuk memendam masalah yang dihadapinya. <br /><br />Pertanyaan penelitian 3: Masalah-masalah apakah yang pada umumnya menjadi fokus layanan konseling bagi siswa tunanetra? <br /><br />Temuan penelitian menunjukkan bahwa terdapat dua jenis masalah yang pada umum¬nya dihadapi oleh siswa tunanetra di sekolah reguler itu dan memerlukan layanan konseling, yaitu kesulitan dalam mengikuti proses bel¬ajar/mengajar dalam mata pelajaran yang tidak dapat dilakukan secara non¬visual tanpa adaptasi, modifikasi atau substitusi; dan masalah hubungan sosial dengan teman-teman sekelasnya yang awas. Meskipun masalah hubung¬an sosial tersebut hanya dikonsultasikan oleh siswa tunanetra yang perempuan, tetapi ini tidak berati bahwa siswa tunanetra laki-laki tidak menghadapi masalah yang serupa. Tampaknya mereka dapat toleran lebih lama terhadap masalah penyesuaian diri ini dan lambat-laun masalah ter¬sebut dapat teratasi melalui proses interaksi alami. <br /><br />Pertanyaan penelitian 4: Bagaimanakah bentuk solusi yang ditawarkan oleh konselor untuk mengatasi masalah yang dihadapi siswa tunanetra?<br /><br />Untuk mengatasi masalah hubungan sosial antara siswa tunanetra dengan teman-temannya yang awas, konselor memberi penyuluhan kelas tentang ketuna¬netraan. Temuan menunjukkan bahwa konselor telah memiliki empati yang suportif terhadap siswa-siswa tunanetra, tetapi untuk dapat memberikan penyuluhan yang lebih komprehensif, konselor perlu memiliki lebih banyak pengetahuan tentang ketunanetraan, khususnya tentang komu¬ni¬kasi nonvisual yang dapat menggantikan komunikasi nonverbal agar komu¬nikasi sosial antara siswa awas dan siswa tunanetra menjadi lebih lancar. <br />Sehubungan dengan kesulitan dalam proses belajar/mengajar, solusi yang diajukan oleh konselor lebih banyak didasarkan atas hasil diskusinya dengan siswa tunanetra dan mengandalkan pemahaman, pengetahuan, dan keterampilan guru bidang studi untuk mengimplementasikannya, dan sering¬kali implementasi tersebut tidak sesuai dengan harapan siswa tunanetra. <br /><br /> <br />KESIMPULAN DAN IMPLIKASI<br />Studi kasus ini memunculkan temuan bahwa kekhawatiran tentang dis¬kriminasi yang sering dialami oleh populasi khusus pada umumnya tidak ditemukan pada siswa tunanetra di SMTA reguler dalam hal akses ke layanan konseling. Masalah yang ditemukan lebih bersifat teknis yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan khusus siswa tunanetra dalam lingkungan sekolah reguler. Masalah teknis itu dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori, yaitu masalah hubungan sosial antara siswa tunanetra dengan teman-teman sekolahnya yang awas, dan masalah teknik pembelajaran bagi tunanetra. <br />Kedua masalah di atas mengindikasikan dan berimplikasi bahwa materi pendidikan konselor perlu dilengkapi dengan konseling rehabilitasi agar konselor sekolah memiliki kapabilitas yang lebih baik untuk menangani siswa tunanetra, dan sekolah reguler perlu bekerjasama lebih erat dengan SLB atau resource center untuk pendidikan kebutuhan khusus guna men¬dapatkan dukungan teknis yang lebih tepat untuk membantu memperlancar kegiatan belajar/mengajar bagi siswa tunanetra di sekolah reguler. <br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br />Bloland, P.A. (1992). Qualitative Research in Student Affairs. ERIC Digest. Tersedia: http://www.ed.gov/databases/ERIC_Digests/ed347487.html<br />Dodds, A. (1993). Rehabilitating Blind and Visually Impaired People: A psychological approach. London: Chapman& Hall.<br />Frechtling, j. & Sharp, l. (Eds.). (1997). User-Friendly Handbook for Mixed Method Evaluations. (Online). Tersedia: http://www.ehr.nsf.gov/EHR/ REC/pubs/ NSF97-153/<br />Lee, G. dan Loverage, R. (1987). The Manufacture of Disadvantage: Stigma and Social Closure. Milton Keynes: Open University Press. <br />Locke, Don C. (1993). Multicultural Counseling. ERIC Digest. ERIC Clearinghouse on Counseling and Personnel Services Ann Arbor MI.<br />Orange, Leo M. (1997). Skills Development for Multicultural Rehabilitation Counseling: A Quality Of Life Perspective. Disability and Diversity: New Leadership for a New Era. (Online). Tersedia: http://www.dinf. ne.jp/doc/english/Us_Eu/ada_e/pres_com/pres-dd/ orange.htm<br />Pedersen, P. B., Draguns, J. G., Lonner W. J., & Trimble, J. E. (1981). Counseling across Cultures. USA: The University Press of Hawaii<br />Rao, Vijayendra and Walton, Michael. (2006). Culture and Public Action: An Introduction. The World Bank. (Online). Tersedia: http://www. cultureand publicaction.org/pdf/Overview%20Final%20Final.pdfJASSI_AnakKuhttp://www.blogger.com/profile/12273050106097217296noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4574434941553048680.post-39317538855570258372009-03-20T07:05:00.000-07:002009-03-20T07:06:12.655-07:00MELAKUKAN ORIENTASI ULANG TENTANG PENDIDIKAN BAGI PESERTA DIDIK TUNAGRAHITA(Dari Pendekatan Formal ke Pendekatan Fungsional) <br /><br /><br />Zaenal Alimin <br /><br />Jurusan PLB FIP <br />Universitas Pendidikan Indonesia <br /><br /><br />ABSTRAK<br /><br />Pendididikan bagi peserta didik tunagrahita saat ini dipandang masih belum berhasil. Ketidakberhasilan proses pembembelajaran bukan semata-mata karena keterbatasan yang dimiliki oleh anak tunagrahita, tetapi karena ketidakefektifan proses pembelajaran yang terjadi di seko¬lah. Proses pembelajaran terlalu formal dan lebih menekankan pada pem¬belajaran yang bersifat akdemik. Oleh karena itu diperlukan orien¬tasi ulang tantang pembelajaran dari yang bersifat formal ke yang bersifat fungsional. Pembelajaran yang bersifat fungsional menekankan pada hambatan belajar dan kebutuhan setiap peserta didik agar dapat mencapai perkembangan secara optimal, baik perkembangan vertikal maupun perkembangan horizontal, bukan didasarkan semata-mata pada kurikulum. Pembelajaran lebih berpusat pada anak, bukan pada kuri¬kulum.<br /><br />Kata kunci: Pendekatan formal, pendekatan fungsional, peserta didik tunagrahita, perkembangan vertikal, perkembangan horizontal. <br /><br /><br />PENDAHULUAN<br /><br />Pendidikan bagi peserta didik tunagrahita seharusnya ditujukan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki anak secara optimal, agar mereka dapat hidup mandiri dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan di mana mereka berada.<br />Hasil observasi lapangan (Alimin, 2006) menunjukkan bahwa indi¬vidu tunagrahita yang telah menyelesaikan pendidikan dari Sekolah Luar Biasa, pada umumnya belum menunjukkan perkembangan yang diharapkan. Sebagai contoh, seorang individu tunagrahita yang telah selesai mengikuti program pendidikan selama 12 tahun, ternyata masih belum bisa mandiri, masih belum memiliki keterampilan untuk mengurus diri dan masih meng¬alami ketergantungan kepada orang tuanya atau saudaranya cukup tinggi. Maka dari itu, ada kesan bahwa pendidikan yang telah diikuti sekian lama –sejak jenjang pendidikan dasar (SDLB-SLTPLB) hingga jenjang pendidikan menengah (SMLB) itu– sepertinya tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kehidupan individu tunagrahita.<br />Keadaan seperti itu bukan semata-mata karena keterbatasan yang di¬alami peserta didik tunagrahita, akan tetapi juga karena terdapat kesen¬jang¬an antara program pendidikan di sekolah (SLB) dengan harapan orang tua dan harapan lingkungan. Masyarakat dan orang tua mengharapkan agar anak-anaknya yang mengalami tunagrahita memiliki keterampilan dalam kehidupan sehari-hari, sesuai dengan potensi yang dimiliki masing-masing individu siswa, sementara layanan pendidik di sekolah belum mengarah ke sana.<br />Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa program pendidikan bagi peserta didik tunagrahita saat ini masih sangat menekankan kepada aspek pengajaran yang bersifat akademik (semata-mata menyampaikan bahan ajar), itupun dalam pelaksanaannya masih besifat klasikal dan belum mem¬perhitungkan perbedaan hambatan belajar dan kebutuhan yang dialami anak secara individual (Alimin, 2006). Padahal esensi pendidikan pada peserta didik tunagrahita bersifat individual (Suhaeri & Purwanta, 1996). Persoalan lain yang juga penting untuk diperhatikan yaitu program pembelajaran pada peserta didik tunagrahita di sekolah belum terkait dengan kehidupan nyata sehari-hari. Seolah-olah apa yang terjadi di sekolah tidak ada hubungannya dengan kehidupan anak. Padahal sekolah seharusnya mengembangkan pro¬gram-program yang terkait langsung dengan kehidupan anak di ling¬kung¬annya (Miriam, 2003).<br />Kelemahan yang terjadi dalam pendidikan pada peserta didik tuna¬grahita selama ini diduga sangat erat kaitannya dengan belum tepatnya layanan pendidikan yang dilakukan, yaitu hanya menekankan pada penyam¬paian bahan ajar (semata-mata mengejar target kurikulum), belum memper¬hatikan dengan seksama perbedaan-perbedaan hambatan perkembangan dan hambatan belajar secara individual, serta belum mengaitkan program pen¬didikan di sekolah dengan kehidupan nyata yang dialami oleh individu tuna¬grahita.<br />Oleh karena itu diperlukan usaha-usaha untuk melakukan orientasi ulang terhadap pendidikan bagi peserta didik tunagrahita. Untuk itu, tulisan ini mengupas secara singkat tentang masalah-masalah yang dialami oleh peserta didik tunagrahita, analisis tentang pendidikan bagi mereka yang saat ini berlangsung, dan membahas beberapa usulan yang perlu dilakukan se¬bagai upaya perbaikan (dipandang sebagai orientasi ulang tentang pen¬didikan bagi peserta didik tunagrahita).<br /><br />PEMBAHASAN<br />A. Hambatan yang Dialami Peserta Didik Tunagrahita<br />Secara umum individu tunagrahita mengalami dua hambatan utama yaitu hambatan dalam perkembangan kognitif dan hambatan dalam perilaku adaptif. Kedua hal itu menimbulkan hambatan dalam belajar, hambatan dalam menyesuiakan diri dengan lingkungan dan hambatan dalam menolong diri.<br />1. Konsep<br />Individu yang mengalami tunagrahita sering keliru dipahami oleh masyarakat, bahkan kadang-kadang para profesional dalam bidang pen¬didikan sekalipun salah dalam memahami tunagrahita. Perilaku individu yang mengalami tunagrahita kadang-kadang aneh, tidak lazim dan sering tidak cocok dengan situasi lingkungan, sering menjadi bahan tertawaan dan olok-olok bagi orang-orang yang berada di dekatnya. Keanehan tingkah laku itu dianggap oleh orang awam sebagai orang sakit jiwa.<br />Tunagrahita sesungguhnya bukan sakit jiwa. Perilaku aneh dan kadang-kadang tidak lazim itu karena anak mengalami kesulitan dalam menilai situasi akibat hambatan dalam perkembangan kognitif. Dengan kata lain terdapat kesenjangan yang lebar antara kemampuan berpikir (mental age) dengan perkembangan usia (chronological age). Sebagai contoh anak yang berusia 15 tahun menunjukkan tingkah laku seperti anak berusia 8 tahun, sehingga tingkah laku yang ditampilkan tidak sejalan dengan perkem¬bangan usianya. Tunagrahita berkaitan langsung dengan perkembangan kog¬nitif yang rendah dan merupakan kondisi, sementara sakit jiwa berkaitan dengan disintegrasi kepribadian dan setiap orang memiliki peluang untuk mengalaminya. Ketunagrahitaan merupakan kondisi yang kompleks, menun¬jukkan kemampuan intelektual yang rendah dan memiliki hambatan dalam perilaku adaptif. Seseorang tidak dapat dikategorikan sebagai tunagrahita apabila tidak memenuhi dua kriteria tersebut. <br />Istilah perilaku adaptif diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam memikul tanggung jawab sosial menurut ukuran norma sosial tertentu, sejalan dengan perkembangan usia (chronological age). Hambatan dalam perilaku adaptif pada individu tunagrahita dapat dilihat dari dua area, yaitu 1) keterampilan menolong diri (personal living skills) dan 2) keterampilan dalam hubungan interpersonal dan keterampilan dalam menggunakan fasi¬litas yang diperlukan setiap hari (social living skills). Individu tunagrahita mengalami hambatan dalam kedua hal tersebut (Ingalls, 1987).<br />Berdasarkan perkembangan kognitif atau kemampuan kecerdasan, se¬seorang dikategorikan tunagrahita apabila kemampuan kecerdasannya me¬nyimpang 2 sampai 3 simpangan baku (standard deviation) dari ukuran rata-rata. Jika menggunakan ukuran kecerdasan dari Stanford Binet (rata-rata IQ 100 dengan simpangan baku 16), maka individu yang memiliki IQ 68-54 ke bawah dikategorikan sebagai tunagrahita (Smith, 2003). Patokan simpangan baku di atas selanjutnya digunakan untuk membuat pengelompokan berat ringannya ketunagrahitaan yang dialami oleh seseorang. Individu yang ting¬kat kecerdasannya menyimpang 2 hingga 3 simpangan baku dari rata-rata di¬kelom¬pok¬kan sebagai tunagrahita ringan. Individu yang tingkat kecerdas¬annya menyimpang 3-4 simpangan baku dari rata-rata dikelompokkan se¬bagai tunagrahita sedang. Individu yang tingkat kecerdasannya me¬nyimpang 4-5 simpangan baku dikelompokkan sebagai tunagrahita berat, dan sim¬pang¬an baku 6 keatas dikategorikan sebagai individu yang meng¬alami ketuna¬grahitaan sangat berat. <br /><br />2. Hambatan-hambatan yang Dialami Individu Tunagrahita <br />Perkembangan fungsi kognitif/kecerdasan yang terhambat disertai oleh kemampuan perilaku adaptif yang rendah, berakibat langsung kepada kehidupan mereka sehari-hari, antara lain meliputi:<br />a. Hambatan dalam Belajar<br />Aktivitas belajar berkaitan langsung dengan perkembangan kognitif dan kecerdasan. Di dalam kegiatan belajar sekurang-kurangnya dibutuhkan kemampuan dalam mengingat, memahami, dan kemampuan untuk mencari hubungan sebab akibat. Oleh sebab itu anak-anak pada umumnya dapat menemukan kaidah dalam belajar. Setiap anak akan mengembangkan sendiri kaidah dalam mengingat, memahami dalam mencari hubungan sebab akibat tentang apa yang sedang mereka pelajari. Sekali kaidah itu dapat ditemukan, anak dapat belajar secara efektif. Setiap anak biasanya mempunyai kaidah belajar yang berbeda satu sama lainnya.<br />Peserta didik tunagrahita pada umumnya tidak memiliki kaidah dalam belajar. Mereka mengalami kesulitan dalam memproses informasi secara abstrak, sedangkan belajar bagi mereka harus terkait dengan objek yang bersifat kongkret. Kondisi seperti itu berhubungan dengan kesulitan dalam mengingat, terutama ingatan jangka pendek.<br />Peserta didik tunagrahita dalam belajar hampir selalu dilakukan dengan coba-coba. Mereka tidak dapat menemukan kaidah dalam belajar, sukar melihat objek yang sedang dipelajari secara keseluruhan. Mereka cenderung melihat objek secara terpisah-pisah. Oleh karena itu peserta didik tunagrahita mengalami kesulitan dalam mencari hubungan sebab akibat. Hasil penelitian Alimin (1993) menunjukkan bahwa individu tunagrahita mengalami apa yang disebut dengan cognitive deficite yang tercermin pada salah satu atau lebih proses kognitif, seperti persepsi, daya ingat, mengem¬bangkan ide, evaluasi, dan penalaran. <br />Hasil penelitian tersebut berseberangan dengan pendirian para pang¬anut psikologi perkembangan seperti Zigler (1968) yang menjelaskan bahwa jika anak tunagrahita dibandingkan dengan anak yang bukan tunagrahita pada CA yang sama, sudah pasti anak tunagrahita secara kognitif akan ketinggalan, akan tetapi apabila anak tunagrahita dibandingkan dengan anak yang bukan tunagrahita pada MA yang sama secara teoritis mempunyai perkembangan yang sama. Pendirian para penganut teori perkembangan ternyata tidak selalu cocok untuk menjelaskan fenomena ketunagrahitaan. Sebab meskipun anak tunagrahita dibandingkan dengan anak yang bukan tunagrahita pada MA yang sama, ternyata secara kognitif perkembangannya tertinggal oleh anak yang bukan tunagrahita, meskipun pada MA yang sama.<br /><br />b. Hambatan dalam Penyesuaian Diri<br />Individu tunagrahita mengalami hambatan dalam memahami dan meng¬artikan norma lingkungan. Oleh karena itu mereka sering melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan norma lingkungan dimana mereka berada. Tingkah laku individu tunagrahita kadang-kadang dianggap aneh oleh orang lain karena mungkin tindakannya tidak lazim atau apa yang mereka lakukan tidak sesuai dengan usianya.<br />Keganjilan tingkah laku yang tidak sesuai dengan ukuran normatif berkaitan dengan kesulitan dalam memahami dan mengartikan norma, sedangkan keganjilan tingkah laku berkaitan dengan ketidaksesuaian atau kesenjangan antara perilaku yang ditampilkan dengan perkembangan umur. Sebagai contoh anak tunagrahita yang berusia 10 tahun berperilaku seperti anak usia 6 tahun. Hal ini disebabkan adanya selisih yang signifikan antara CA dengan MA. Semakin anak tunagrahita menjadi dewasa, selisih ini akan semakin lebar. Hal inilah yang mungkin menimbulkan persepsi yang salah dari masyarakat mengenai tunagrahita.<br /><br />c. Hambatan dalam Perkembangan Bahasa<br />Kemampuan bahasa pada anak-anak diperoleh melalui proses yang menakjubkan dengan beberapa cara. Pertama, anak belajar bahasa dari apa yang mereka dengar setiap hari. Hampir semua anak dapat menguasai dasar aturan bahasa (gramatikal) kurang lebih pada usia 4 tahun. Kedua, anak-anak belajar bahasa tidak sekedar meniru ucapan yang mereka dengar. Anak-anak belajar juga konsep gramatikal yang abstrak dalam menghubungkan kata-kata menjadi kalimat. Anak-anak di manapun dan belajar bahasa apapun ternyata melalui tahapan dan proses yang sama. Dapat dipastikan bahwa perolehan bahasa dan bicara merupakan sifat biologis manusia (Ingalls, 1987).<br />Terdapat dua hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan gangguan proses bahasa. Pertama, gangguan atau kesulitan bicara, dimana individu mengalami kesulitan dalam mengartikulasikan bunyi bahasa dengan benar. Kenyataan menunjukkan bahwa anak tunagrahita banyak yang mengalami kesulitan bicara dibandingkan anak pada umumnya. Kelihatan dengan jelas bahwa terdapat hubungan positif antara hambatan perkembangan kognitif dengan gangguan bicara. Kedua, hal yang lebih serius adalah gangguan bahasa dimana seorang anak mengalami kesulitan dalam memahami konsep kosa-kata, kesulitan memahami aturan sintaksis dan gramatikal dari bahasa yang digunakan.<br />Peserta didik tunagrahita yang mengalami gangguan bahasa lebih banyak dibandingkan dengan yang mengalami gangguan bicara. Hasil penelitian Ingalls (1987) tentang kemampuan berbahasa anak tunagrahita menunjukkan bahwa: 1) anak tunagrahita pada dasarnya memperoleh ke¬terampilan bahasa sama seperti anak pada umumnya, 2) kecepatan anak tunagrahita dalam memperoleh keterampilan berbahasa jauh lebih rendah dibandingkan dengan anak pada umumnya, 3) kebanyakan anak tunagrahita tidak dapat mencapai keterampilan berbahasa yang sempurna, 4) per¬kem¬bangan bahasa anak tunagrahita sangat ketinggalan dibandingkan dengan anak pada umumnya, sekalipun pada MA yang sama, 5) anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam memahami gramatikal, 6) anak tunagrahita meng¬alami kesulitan dalam menggunakan dan memahami kalimat majemuk.<br /><br />d. Masalah Kepribadian<br />Anak-anak tunagrahita memiliki ciri kepribadian yang khas, berbeda dari anak-anak pada umumnya. Perbedaan ciri kepribadian seseorang di¬bentuk oleh faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Terdapat sejumlah alasan yang menjelaskan mengapa individu tunagrahita mempunyai hambat¬an dalam perkembangan kepribadian. Alasan-alasan tersebut meliputi: 1) isolasi dan penolakan, 2) labeling dan stigma, 3) stres keluarga, 4) frustrasi dan kegagalan, serta 5) kesadaran rendah.<br /><br />1) Isolasi dan penolakan<br />Perilaku seorang individu tunagrahita yang dipandang ganjil dan aneh oleh orang lain, cenderung akan dikucilkan dari pergaulan kelompok teman sebaya. Anak tunagrahita cenderung tidak mempunyai teman, mereka men¬jadi tersingkir dari pergaulan sosial. Penolakan dari teman sebaya bukan semata-mata disebabkan oleh label tunagrahita, tetapi lebih disebabkan oleh perilaku aneh dan ganjil yang mereka tampilkan.<br />Penolakan teman sebaya terhadap anak tunagrahita karena anak tuna¬grahita mengalami kesulitan dalam belajar keterampilan sosial yang di¬perlukan dalam pergaulan sosial. Semakin kehadiran anak tunagrahita di¬tolak oleh teman sebaya, anak tunagrahita semakin mengembangkan cara yang salah dalam berhubungan dengan teman. Penolakan dan isolasi seperti ini menyebabkan munculnya penyimpangan kepribadian dan penyimpangan dalam penyesuaian diri.<br /><br />2) Labeling dan stigma<br />Pemberian label tunagrahita yang bersifat permanen dapat dipandang sebagai bentuk diskriminasi dan merupakan vonis yang harus disandang seumur hidup. Label seperti ini telah membentuk persepsi masyarakat bahwa tunagrahita adalah kelompok manusia yang dikategorikan sebagai manusia yang tidak normal (stigma).<br />Stigma seperti itu menimbulkan pemisahan yang tajam anatara manusia yang di-stigma-kan sebagai tunagahita dengan manusia lainnya. Sebagai akibat dari labeling dan stigma seperti itu, sebagian orang tua melarang anak-anaknya untuk bergaul dan bermain dengan anak tunagrahita.<br /><br />3) Stres keluarga<br />Para ilmuwan psikologi, sosiologi, dan pakar pendidikan sepakat bahwa keluarga merupakan faktor yang sangat penting dan menentukan dalam perkembangan anak. Seorang anak yang dibesarkan dalam keluarga yang penuh kasih sayang dan kelahirannya diterima oleh kedua orang tua¬nya, cenderung akan menjadi orang dewasa yang dapat menyesuaikan diri dengan baik. Sementara, sorang anak yang dibesarkan yang kehadirannya ditolak atau terlalu dilindungi oleh kedua orang tuanya, cenderung akan menjadi orang dewasa yang sulit menyesuaikan diri.<br />Kehadiran seorang anak tunagrahita dalam keluarga cenderung me¬nim¬bulkan stres dan ketegangan pada keluarga yang bersangkutan. Ketika orang tua mengetahui bahwa anaknya tunagrahita, orang tua pada umumnya mengalami perasaan bersalah atau menunjukkan mekanisme pertahanan diri, atau mungkin merasa kecewa yang mendalam. Akibat stres dan ketegangan seperti itu mungkin orang tua menolak kehadiran anak atau mungkin memberikan perlindungan yang sangat berlebihan. Sikap-sikap seperti tu dapat mengakibatkan masalah perilaku dan emosi pada anak yang ber¬sangkutan.<br /><br />4) Frustasi dan kegagalan<br />Sebagai akibat dari adanya hambatan dalam perilaku adaptif, anak tunagrahita tidak dapat memenuhi tugas-tugas yang dituntut oleh masyarakat atau oleh teman sebayanya. Akibat dari keadaan seperti itu, anak tunagrahita cenderung mengalami banyak kegagalan dan frustrasi. Kegagalan dan frus¬trasi yang sangat sering dialami oleh anak tunagrahita berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian.<br /><br />5) Kesadaran rendah<br />Proses kognitif dan proses kepribadian merupakan dua hal yang berdiri sendiri tetapi saling mempengaruhi. Proses kognitif terlibat erat dalam perubahan pola kepribadian dan bahkan dalam reaksi emosi. Sangat masuk akal apabila berpegang pada asumsi bahwa orang yang kemampuan kognitifnya tidak memadai seperti halnya tunagrahita, kepribadiannya tidak matang dan tidak rasional.<br />Sebagai contoh, aspek penting dalam perkembangan kepribadian ada¬lah kontrol terhadap impuls dan pengendalian dari tindakan impulsif. Kontrol impuls berkaitan erat dengan pekembangan kognitif. Anak pada umumnya akan dapat mengontrol impuls dan menunda kepuasan sejalan dengan bertambahnya umur. Akan tetapi anak tunagrahita mengalami ke¬kurangan dalam perkembangan kognitif, maka anak tunagrahita pada umum¬nya mengalami kesulitan dalam mengontrol impuls dan sukar mengontrol keinginan dalam memenuhi kepuasan sesaat. Ciri kepribadian anak tunagrahita ditandai oleh dua hal, yaitu (a) pengendalian lokus eksternal (external locus of control), dan (b) kelemahan fungsi ego. <br /><br />(a) Pengendalian lokus eksternal (external locus of control)<br />Istilah locus of control dapat dijelaskan sebagai persepsi individu ter¬hadap kejadian yang terjadi pada dirinya sendiri. Individu yang memiliki internal locus of control dapat merasakan bahwa apa yang terjadi pada diri¬nya sebagian besar ditentukan oleh tindakannya sendiri. Sementara individu yang memiliki external locus of control merasakan bahwa apa yang terjadi pada dirinya ditentukan oleh tindakan orang lain. Anak tunagrahita pada umumnya memiliki external locus of control.<br />External locus of control dari anak tunagrahita cenderung mengarah kepada perasaan tidak berdaya. Sebagai contoh, anak tunagrahita yang ke¬hilangan barang, tidak ada usaha untuk mencarinya. Anak tunagrahita pada umumnya tidak memiliki daya untuk melakukan usaha atas kemauan sendiri, ia akan melakukannya apabila ada dorongan yang datang dari orang lain. <br /><br />(b) Kelemahan fungsi ego<br />Para peneliti seperti Robinson (1965), Stenlich (1972), dan Deutsch (1972; dalam Ingalls 1987) telah melakukan analisis terhadap kepribadian tunagrahita dengan menggunakan teori psikoanalisis Sigmund Freud. Menurut Freud, struktur kepribadian dibagi kedalam tiga bagian yaitu: Id sebagai tempat beradanya impuls-impuls, insting, dan drive yang dibawa sejak lahir, merupakan aspek biologis. Ego, yang berfungsi sebagai eksekutif yang bertugas untuk menguji realitas membawa impuls-impuls dari Id dan membuat keseimbangan antara impuls-impuls yang datang dari Id dengan tuntutan realitas. Ego merupakan aspek psikologis dari kepribadian. Semen¬tara Super Ego mempunyai kepedulian terhadap aspek moralitas dan merupakan aspek sosiologis dari kepribadian atau sinomim dengan istilah kesadaran.<br />Anak tunagrahita mengalami kelemahan dalam fungsi ego. Ego ber¬fungsi untuk mengenali dan mempelajari realitas, memahami akibat dari sebuah tindakan, memenuhi dorongan insting dan drive sehingga ketegangan dapat dilepaskan dengan cara-cara yang dapat diterima secara sosial. Anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam proses seperti itu. Artinya anak tunagrahita kebanyakan tidak mampu untuk mengontrol impuls-impuls dan oleh karena itu emosinya mudah meledak.<br />Kelemahan fungsi ego menyebabkan anak tunagrahita sulit untuk menyalurkan ketegangan insting dalam bentuk perilaku yang dapat diterima. Penyaluran ketegangan dalam mengontrol kecemasan lebih banyak bersifat primitif. Semakin primitif mekanisme pertahanan diri semakin tidak efektif dalam mereduksi kecemasan. Semakin canggih mekanisme pertahanan diri (yang secara sosial dapat diterima) semakin efektif dalam mereduksi ke¬tegangan. Oleh sebab itu perilaku anak tungrahita biasanya ditandai oleh reaksi irrasional dan kecemasan yang berlebihan.<br /><br />B. Refleksi tentang Pendidikan bagi Peserta Didik Tunagrahita yang Berlangsung Saat ini <br /><br />Setelah diuraikan secara singkat tentang hambatan-hambatan yang di¬alami oleh individu tunagrahita seperti digambarkan diatas, timbul per¬tanya¬an apakah layanan pendidikan bagi peserta didik tunagrahita yang dilakukan saat ini fungsional sehingga dapat mengembangkan potensi mereka secara optimal? Untuk menjawab pertanyaan itu diperlukan semacam analisis dan refleksi terhadap layanan pendidikan bagi peserta didik tunagrahita yang sedang berlangsung saat ini.<br />Hasil penelitian Alimin (2006) memberikan gambaran tentang layanan pendidikan peserta didik tunagrahita di Sekolah Luar Biasa yang terjadi saat ini. Kesimpulan penelitian itu menunjukkan bahwa layanan pendidikan lebih bersifat formal, ini dapat dilihat dalam tiga hal, yaitu: 1) kurikulum yang digunakan, 2) pendekatan pembelajaran, dan 3) penilaian hasil belajar; dapat diuraikan sebagai berikut.<br /><br />1. Kurikulum yang Digunakan<br />Temuan penelitian Alimin (2006) menunjukkan bahwa kurikulum yang digunakan cenderung bermuatan akademik yang besifat formal. Isi kurikulum belum banyak menyentuh kebutuhan dan hambatan belajar peserta didik tunagrahita, sehingga kecil kemungkinannya kurikulum seperti ini dapat mengembangkan potensi peserta didik secara optimal. Tampaknya terdapat semacam kebijakan yang dilakukan untuk membuat garis linier antara apa yang ada dan terjadi di sekolah biasa, harus ada dan terjadi pula di sekolah luar biasa untuk peserta didik tunagrahita. Oleh karena itu dalam struktur dan isi kurikulumnya mengandung unsur-unsur yang tidak fungsi¬onal untuk memenuhi kebutuhan belajar peserta didik tunagrahita.<br />Sejauh ini para guru cenderung menggunakan kurikulum sebagai patokan utama dalam melakukan proses pembelajaran. Dengan kata lain pembelajaran berorientasi pada kurikulum (curriculum oriented), belum mempertimbangkan hambatan belajar, hambatan perkembangan, dan ke¬butuhan peserta didik secara individual. Para guru memiliki kecenderungan melakukan pembelajaran semata-mata menyampaikan bahan pelajaran yang tercantum dalam kurikum dan berusahan hanya untuk menyelesaikan target berdasarkan kurikulum tersebut. Guru kurang mempedulikan hal-hal yang terjadi pada diri siswa, seperti misalnya apakah telah terjadi proses belajar pada diri siswa, apakah siswa telah mengalami perubahan ke arah perkem¬bangan yang positif. Data seperti itu hanya akan dapat diperoleh melalui proses yang disebut asesmen. Pada saat ini asesmen kurang mendapat per¬hatian para guru, padahal sangat penting dalam pendidikan peserta didik tunagrahita.<br />Pembelajaran yang perpusat pada kurikulum biasanya memberi peluang kepada guru untuk melakukan proses pembelajaran secara klsikal dan membuat norma/ukuran yang klasikal pula. Padahal sesungguhnya esensi pendidikan bagi peserta didik tunagrahita bersfat individual. <br /><br />2. Pendekatan Pembelajaran<br />Temuan penelitian Alimin (2006) menunjukkan bahwa pendekatan pembelajaran yang dilakukan oleh kebanyakan guru lebih bersifat formal, berpusat pada kurikulum, dan berpusat pada guru; belum memperhatikan perbedaan perkembangan dan hambatan belajar peserta didik tunagrahita secara individual. Pada umumnya guru menyampaikan bahan pelajaran langsung pada tahap abstrak. Sementara peserta didik tunagrahita memiliki kesulitan dalam memahami konsep yang bersifat abstrak, mereka me¬merlukan aktivitas belajar yang dimulai dari tahap kongkret. Untuk meng¬kongkretkan konsep yang bersifat abstrak diperlukan media atau alat peraga, akan tetapi kebanyakan para guru di Sekolah Luar Biasa untuk peserta didik tunagrahita belum memanfaatkan media dan alat peraga dalam pem¬belajaran.<br />Pendekatan pembelajaran yang berpusat pada kurikulum menyebab¬kan adanya kesenjangan bahan pelajaran dengan hambatan belajar dan kebutuhan belajar peserta didik tunagrahita. Terdapat banyak prasyarat yang seharusnya menjadi dasar dalam pembelajaran, tidak dapat dipenuhi.<br />Secara fisik, susunan kelas (classroom arrangement) lebih bersifat statis. Kelas hampir tidak pernah berubah susunannya, sehingga anak men¬jadi sangat terikat pada posisi tempat duduknya. Keterikatan seperti itu sesungguhnya tidak menguntungkan bagi perkembangan peserta didik tuna¬grahita.<br />Dalam proses pembelajaran, kebanyakan para guru cenderung lebih banyak memberikan perintah dan larangan, sangat jarang para guru mem¬berikan semacam penghargaan ketika peserta didik dapat melakukan sesuatu yang positif sekecil apapun. Ada kesan yang kuat bahwa para guru belum memunculkan empati ketika sedang berinteraksi dengan peserta didik.<br />Dampak dari pendekatan pembelajaran seperti itu menyebabkan ter¬jadinya kesenjangan antara perkembangan aktual yang dicapai anak dengan perkembangan optimum yang seharusnya dapat dicapai. Kesenjangan ini bukan semata-mata karena faktor kecerdasan tunagahita yang kurang, tetapi juga karena faktor lingkungan dan pendekatan pembelajaran yang belum efektif.<br />Ketepatan penggunaan pendekatan pembelajaran dan kesesuian ling¬kungan belajar dengan perkembangan peseta didik sangat penting dalam mengoptimalkan perkembangan. Hal ini sejalan dengan asumsi bahwa per¬kembangan yang dicapai oleh peserta didik dipandang sebagai hasil belajar yang diperoleh melalui interaksi dengan lingkungan. Lingkungan dengan segala perangkatnya dipandang sebagai wahana untuk mengembangkan potensi peserta didik (Vygotsky, 1988, Capuzzi, 1995, Kartadinata, 1996). Perkembangan yang dapat dicapai oleh peserta didik sebagai perolehan hasil belajar akan sangat tergantung kepada kualitas interaksi anak dengan ling¬kungannya.<br />Pembelajaran yang dilakukan oleh para guru saat ini belum me¬manfaatkan lingkungan belajar secara optimal. Hal ini dapat dilihat ketika pembelajaran berlangsung, belum terjadi interaksi yang intensif antara guru dengan anak, ataupun anak dengan anak. Atmosfir kelas cenderung kering, belum ada upaya untuk menghubungkan pengalaman anak dengan bahan pelajaran yang akan diajarkan.<br /><br />3. Penilaian Hasil Belajar<br />Berdasarkan hasil wawancara dengan para guru dalam memaknai pengertian hasil belajar, para guru cenderung mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hasil belajar adalah penguasaan bahan pelajaran oleh peserta didik melalui sebuah ujian atau tes yang dinyatakan dalam bentuk angka (kuantitatif). <br />Oleh karena itu apa yang dilakukan oleh para guru dalam menilai hasil belajar peserta didik tunagrahita baru menyangkut aspek penguasaan bahan pelajaran secara kognitif. Penilaian seperti ini belum dapat meng¬ungkapkan seluruh perkembangan yang terjadi pada diri peserta didik sebagai hasil belajar. Penilaian seperti ini tidak memberikan informasi yang memadai tentang apa yang telah terjadi pada diri peserta didik secara utuh.<br />Dalam konteks pendidikan tunagrahita, hasil belajar harus dilihat secara utuh, yaitu perubahan yang terjadi pada semua aspek perkembangan, dan perkembangan dipandang sebagai perolehan/hasil belajar (Vygotsky, 1988). Oleh karena itu penilaian seharusnya dilakukan untuk mengetahui perubahan pada semua aspek perkembangan peserta didik tunagrahita. Perubahan yang terjadi pada peserta didik sekecil apapun harus dapat di¬identifikasi dan dicatat sebagai data yang dapat dilaporkan sebagai laporan kemajuan siswa dalam belajar. <br />Sehubungan dengan itu diperlukan perubahan dalam memaknai kon¬sep hasil belajar oleh para guru di Sekolah Luara Biasa, dan diperlukan diversifikasi cara melakukan penilaian hasil belajar, sehingga dapat meng¬gambarkan kondisi objektif setiap peserta didik secara lengkap.<br /><br />C. Pendekatan Fungsional dalam Pendidikan Tunagrahita Sebagai Orientasi yang Dituju <br /><br />1. Makna Pendekatan Fungsional<br />Perkembangan yang terjadi pada diri seorang anak merupakan hasil belajar. Dengan kata lain perkembangan merupakan akibat dari proses belajar (Vygotsky, 1978). Oleh karena itu hasil belajar harus dipandang sebagai satu kesatuan holistik, menyangkut semua aspek perkembangan individu. Sangat keliru apabila ada anggapan yang mengatakan bahwa hasil belajar hanya berkenaan dengan bidang akademik semata-mata. Berpijak pada asumsi bahwa perkembangan adalah hasil belajar, maka proses belajar harus membantu anak agar dapat berkembang secara optimal. <br />Selanjutnya Vygotsky (1988) menjelaskan secara lebih khusus tentang pendidikan anak tunagrahita. Ia menjelaskan bahwa pendidikan anak tuna¬grahita harus mempertimbangakan situasi sosial dimana anak itu berada dan pembelajaran dilakukan untuk mendekatkan jarak antara kompetensi orang dewasa dengan perkembangan anak yang dicapai pada saat itu (zone of proximal development), sehingga anak dapat mencapai perkembangan yang lebih tinggi. Untuk mengembangkan kemampuan anak tunagrahita di¬per¬lukan waktu-upaya yang lebih banyak dan waktu lebih lama diban¬dingkan dengan anak pada umumnya. Oleh karena itu upaya pendidikan dan pem¬belajaran masih belum cukup untuk memberdayakan tunagrahita, masih diperlukan upaya lain yang lebih mengarah kepada upaya pemberian bantuan dalam pengembangan diri yang memberikan kesempatan dan kemudahan kepada siswa untuk belajar agar dapat berkembang sebagai manusia.<br />Untuk mencapai perkembangan itu, sekurang-kurangnya guru harus memiliki empat kemampuan, yaitu: (1) Asesmen perkembangan anak, (2) Adaptasi kurikulum (bahan ajar) dengan perkembangan anak, (3) Memilih lingkungan belajar, dan (4) Tahapan pembelajaran. Urutan nomor dari setiap aspek, menunjukkan pula urutan prosedur kerja dari pendekatan ini.<br /><br />2 . Kemampuan yang Seharusnya Dimiliki Oleh Guru<br />2.1 Asesmen Perkembangan Anak<br />Asesmen diperlukan untuk mengetahui perkembangan anak tuna¬grahita yang dicapai saat ini. Perkembangan anak dalam pendekatan ini didefinisikan sebagai proses perubahan yang bersifat progresif dan holistik. Perkembangan anak tunagrahita tidak hanya dilihat sebagai proses yang mengikuti tahapan anak tangga, yang menjelaskan bahwa setiap anak tangga harus dilewati satu demi satu, tetapi juga perkembangan harus dilihat sebagai proses sirkuler yang melingkar ke samping. Oleh karena itu proses per¬kem¬bangan harus dilihat sebagai proses perubahan yang mengikuti arah spiral, yaitu interaksi antara perkembangan yang mengikuti arah anak tangga (perkembangan vertikal) dengan perkembangan yang mengikuti arah lingkaran (perkembangan horizontal).<br />Sebagai konsekuensi dari pendirian bahwa perkembagan itu bersifat spiral, maka asesmen perkembangan anak tunagrahita dilakukan dalam dua bentuk yaitu asesmen perkembangan vertikal dan asesmen perkembangan horizontal.<br /><br />a) Asesmen Perkembangan Vertikal <br />Asesmen perkembangan vertikal digunakan untuk melihat tahapan perkembangan yang dicapai oleh setiap anak tunagrahita. Dalam model ini, perkembangan vertikal difokuskan kepada perkembangan kognitif yang berpijak pada pandangan Piagetian Constuctivism, yang meliputi empat tahap perkembangan yaitu: Sensorimotor, kongkret-operasional, formal operasional, dan dialektik (Capuzzi,1995). Perkembangan vertikal adalah perpindahan dari level yang lebih rendah ke level yang lebih tinggi. Individu yang berada pada level sensorimotor memerlukan bantuan untuk mencapai perkembangan yang lebih tinggi yaitu perkembangan pra-operasional.<br />Setiap tahapan perkembangan kognitif memiliki karakteristik yang khas dan memerlukan lingkungan belajar yang khas pula. Perkembangan sensorimotor memerlukan lingkungan yang terstruktur, dan direktif. Individu yang berada pada tahap perkembangan ini memerlukan pengalaman belajar yang kongkret. Perkembangan pra-oprasional memerlukan lingkungan bel¬ajar yang bersifat semi terstruktur. Perkembangan formal operasional memerlukan lingkungan belajar yang konsultatif, dan perkembangan dialek¬tik memerlukan lingkungan belajar yang bersifat kolaboratif.<br />Teknik asesmen yang digunakan untuk mengetahui perkembangan vertikal anak adalah wawancara terbuka dan bebas (komunikasi verbal). Ungkapan atau ekspresi verbal dari setiap anak yang diajak bicara, atau diwawancara menunjukkan tahap perkembangan kognitif yang dicapai saat ini. Apabila guru sudah dapat mengetahui secara vertikal tahapan per¬kembangan anak, maka guru sudah dapat menentukan lingkungan belajar yang harus disediakan. <br /><br />b) Asesmen Perkembangan Horizontal<br />Perkembangan horizontal adalah sebuah eksplorasi, penguasaan dan elaborasi tentang sikap, emosi, dan perilaku yang berkenaan dengan suatu tahap perkembangan vertikal tertentu. Ini adalah proses yang digunakan untuk menjamin konstruksi dengan landasan yang kokoh. Untuk mengetahui perkembangan horizontal yang telah dicapai oleh anak tunagrahita, dilakukan dengan menggunakan teknik observasi dan wawancara kepada setiap anak.<br />Secara horizontal, perkembangan anak tunagrahita yang di-asesmen mencakup tiga aspek yaitu aspek perkembangan keterampilan bahasa (mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis), aspek perkembangan keteranpilan berhitung, dan perkembangan perilaku adaptif. Data hasil asesmen perkembangan horizontal dijadikan dasar dalam menentukan bahan ajar untuk disesuaikan dengan kebutuhan anak tunagrahita. Di sinilah awal terjadi proses penyesuaian antara materi kurikulum dengan perkembangan anak, sehingga pembelajaran menjadi berpusat kepada anak dan kurikulum menjadi fleksibel.<br /><br />2.2 Adaptasi Kurikulum dengan Perkembangan Anak <br />Data hasil asesmen perkembangan kognitif vertikal menjadi dasar dalam menentukan lingkungan belajar dan interaksi pembelajar yang se¬harus¬nya dilakukan oleh guru. Sementara itu, data hasil asesmen per¬kembangan kognitif horizontal memberikan informasi tentang kapasitas dan hambatan belajar yang dialami oleh anak tunagrahita dalam belajar bahasa, berhitung, dan perilaku adaptif. Data hasil asesmen horizontal digunakan sebagai dasar untuk menyusun program pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan anak tunagrahita. Oleh karena itu dilakukan penyesuaian antara isi kurikulum dengan kebutuhan belajar anak tunagrahita.<br /> Penyesuaian antara isi kurikulum dengan kebutuhan anak tuna¬grahita, ditempuh melalui dua langkah. Pertama, -melalui asesmen- harus diketahui lebih dahulu kemampuan yang sudah dimiliki dan hambatan belajar yang dialami oleh anak tunagrahita dalam pelajaran tertentu, misal¬nya dalam pelajaran berhitung. Kedua, menemukan pada tahap mana dan materi apa dalam kurikulum –misalnya dalam pelajaran berhitung– yang sesuai dengan kemampuan dan hambatan anak tunagrahita. Jika secara eksplisit di dalam kurikulum tidak ditemukan topik atau pokok bahasan yang diperlukan, maka harus dilakukan analisis ururan prerekuisit dari setiap pokok bahasan. Sangat mungkin terjadi ada prerekuisit yang tidak secara eksplisit tercantum dalam kurikulum, menjadi tujuan pembelajaran.<br /> Hasil analisis isi kurikulum (content analysis), memberikan infor¬masi yang jelas tentang urutan prerekuisit dari setiap topik atau pokok bahasan, sehingga menjadi sangat mudah untuk melakukan penyesuaian antara kurikulum dengan kemampuan setiap anak tunagrahita.<br /><br />2.3 Memilih Lingkungan Belajar<br />Dalam perspektif pendekatan fungsional, lingkungan belajar yang diciptakan harus sejalan dengan perkembangan kognitif vertikal individu yang akan belajar. Perkembangan kognitif terdiri atas empat tahap yaitu: tahap sensorimotor, kongkret operasional, formal operasional, dan dialektik. Setiap tahap perkembangan memerlukan lingkungan belajar yang sesuai dengan karakteristik dari tahapan perkembangan tersebut. Tahapan per¬kembangan seorang anak tunagrahita diketahui melalui proses asesmen (Capuzzi, 1995).<br />Tahap perkembangan sensorimotor bersesuaian dengan lingkungan belajar yang terstruktur, tahap perkembangan pra-operasional bersesuaian dengan lingkungan belajar yang bersifat semi terstrukur, tahap per¬kem¬bangan formal operasional bersesuaian dengan lingkungan belajar konsul¬tatif, dan perkembangan kognitif dialektik bersesuaian dengan lingkungan belajar yang bersifat kolaboratif.<br /><br />2.4 Tahapan Pembelajaran <br />Pendekatan fungsional dalam pembelajaran anak tunagrahita, me¬miliki tiga tahapan. Pertama tahap orientasi, kedua tahap mediasi, dan ketiga tahap ko-konstruksi. Ketiga tahap pembelajaran itu merupakan kesatuan yang utuh dan terintegrasi, sehingga perindahan dari satu tahap ke tahap lainnya tidak terdapat jeda dalam pelaksanaannya. Pelaksanaan pem¬bel¬ajaran dalam model ini memerlukan dua orang guru, yaitu guru utama (main teacher) yang bertugas mengelola kelas secara keseluruhan, dan guru pendamping (co-teacher) yang bertugas memberikan perhatian dan pe¬layanan kepada setiap anak. <br /><br />(a) Tahap orientasi: Pembelajaran pada tahap ini merupakan proses menghubungkan antara pengalaman anak dengan bahan ajar dan lingkungan belajar. Pada tahap ini guru menciptakan situasi yang dapat membangkitkan perhatian dan motivasi semua anak agar terlibat aktif dalam aktivitas yang diciptakan oleh guru, tanpa merasa bahwa mereka sedang belajar. Tahap orientasi dimaksudkan untuk mengawali kegiatan belajar dengan aktivitas yang gembira dan menyenangkan.<br />Pada tahap ini terdapat dua kegiatan utama yang harus dilakukan oleh guru, yaitu pertama penataan posisi duduk anak. Susunan tempat duduk tidak dibuat dalam bentuk barisan, akan tetapi disusun dalam bentuk yang lebih fleksibel (memungkinkan diubah-ubah), bisa dalam bentuk setengah lingkaran, kelompok, atau saling berhadap-hadapan. Kegiatan ini dilakukan bersama-sama antara guru dengan semua anak. Posisi guru utama (main teacher) berada di tempat yang dapat dilihat oleh semua anak, sementara itu guru pendamping (co-teacher) berkeliling menghampiri setiap anak untuk memberikan bantuan yang diperlukan oleh setiap anak. Kedua, guru mengajak anak-anak untuk berceritera tentang sesuatu yang pernah dialami oleh anak-anak, kemudian menghubungkannya dengan bahan ajar yang akan disampaikan. Hal ini dilakukan, untuk menghubungkan antra bahan ajar dengan pengalaman anak. <br /> Dengan kata lain pembelajaran selalu dimulai dari apa yang telah diketahui dan dialami oleh anak, sehingga pembelajaran menjadi lebih menarik, lebih menyenangkan dan lebih bermakna bagi anak, karena tidak ada diskontinyuitas antara pengalaman masa lalu dengan pengetahuan baru.<br /><br />(b) Tahap Mediasi: Pada tahap ini diciptakan situasi agar terjadi interaksi antara anak dengan perangsang yang disediakan. Guru tidak memulai pembelajaran dengan penjelasan konsep, tetapi dimulai dari aktivitas. Terdapat tiga urutan proses yang harus dilalui pada tahap ini yaitu: belajar pada tahap kongkret, semi kongkret, dan belajar pada tahap abstrak.<br /> <br /> Pembelajaran level kongret: Proses pembelajaran yang meng¬hubungkan anak dengan banyak perangsang (media) yang bersifat kongret. Anak diberi kesempatan seluas-luasnya untuk memanipulasi objek kongkret yang ber¬hubungan dengan konsep yang diajarkan. Dengan kata lain konsep yang bersifat abstrak diakses melalui proses yang dapat diamati secara visual, auditif, kinestetik, dan taktual. Sehingga konsep yang diajarkan bisa dipahami oleh anak secara lengkap dan mantap.<br />¬<br /> Pembelajaran level semi kongkret: Proses pembelajaran yang terjadi di sini sama seperti pada tahap kongret. Perbedaannya terletak pada perangsang (media) yang digunakan. Pada tahap ini media atau perangsang yang digunakan adalah media dua dimensi (gambar). Hal ini dimaksudkan untuk menjembatani antara pemahaman yang bersifat kongkret dengan pemahaman yang bersifat abstrak. <br /><br /> Pembelajaran level abstrak: Pada tahap ini pembelajaran tidak lagi menggunakan perangsang (media), tetapi lebih banyak menggunakan bahasa secara verbal. Pada tahap ini diharapkan anak mengalami proses meng¬konstruksi dan merekonstruksi pengetahuan baru dihubungkan dengan pengetahuan yang sudah dimiliki anak sebelumnya.<br /><br />(3) Tahap Ko-konstruksi: Pembelajaran pada tahap ini merupakan kegiatan pemantapan, agar anak mengalami proses adaptasi kognitif, yaitu terjadi perkembangan pada diri anak sebagai hasil belajar. Terdapat dua proses yang terjadi pada tahap ini, yaitu proses yang mengarah kepada aktivitas evaluasi dan proses yang mengarah kepada aktivitas asesmen. Keduanya terjadi dan menyatu dalam proses pembelajaran.<br />Evaluasi tidak dimaknai secara sempit sebagai ujian, tapi harus dilihat sebagai upaya untuk melihat perkembangan yang terjadi pada diri anak sebagai hasil belajar. Sementara itu, asesmen dimaknai sebagai upaya untuk melihat hambatan belajar yang dialami oleh anak pada saat mengikuti proses pembelajaran. <br /><br />DAFTAR PUSTAKA <br /><br />Alimin, Z. (1993). Study on Cognitive Process of Incomplete Figure Recognitiion in Children with Mentally Retarded. Master Thesis University of Tsukuba: Tsukuba.<br />Alimin, Z. (2006). Model Pembelajaran Anak Tunagrahita Melalui Pendekatan Konseling: Penelitian Tindakan Kolaboratif dalam Upaya Mengembangkan Anak Tunagrahita Mencapai Perkembangan Opti¬mum. Disertasi Sekolah Pascasarjana UPI. Bandung: tidak diterbitkan.<br />Bairne-Smith, M. (2002). Mental Retardation. Columbus: Merrill Prentice Hall.<br />Capuzzi, D. (1995). Counseling and Psychotherapy: Theories and Intervenstion. Columbus: Prentice Hall.<br />Ingals, P.R. (1987). Mental Retardation The Changing Outlook. New York: John Wiley & Son.<br />Kartadinata, S. (1996). Kerangka Kerja Bimbingan dan Konseling dalam Pendidikan: Pendekatan Ekologis Sebagai Alternatif. Pidato Pengu¬kuhan Guru Besar pada Jurusan BP FIP IKIP Bandung. Bandung: tidak diterbitkan.<br />Skjorten, D.M. (2003). Education-Special Needs Education: An Introduction. Oslo: Unifub<br />Suhaeri, HN. & Purwanta, E. (1996). Bimbingan Konseling Anak Luar Biasa. Jakarta: Ditjen Dikti Depdiknas.<br />Vygotsky, L. (1988). Mind in Society. The Development of Higher Psychological Process. Cambridge: Harvad University Press.JASSI_AnakKuhttp://www.blogger.com/profile/12273050106097217296noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4574434941553048680.post-54149762378665576932009-03-20T06:47:00.000-07:002009-03-20T06:49:10.201-07:00PROFESI PELUKIS ATAU DESAINER TAMPAKNYA SANGAT MENJANJIKAN BAGI ANDI(Studi Kasus terhadap Seorang Anak Tunarungu)<br /><br /><br />Permanarian Somad <br />Didi Tarsidi<br /><br />Jurusan Pendidikan Luar Biasa<br /> Universitas Pendidikan Indonesia<br /><br /><br />ABSTRAK<br />Studi kasus ini berangkat dari informasi awal yang diperoleh dari guru kelas 2 tingkat dasar pada Sekolah Luar Biasa bagi Anak Tunarungu di Bandung tentang kesulitan yang dialami oleh seorang siswanya dalam belajar bahasa. Penelusuran lebih lanjut dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang latar belakang kasus, yang mencakup kajian tentang penyebab dan saat terjadinya ketunarunguan siswa tersebut, jenis dan tingkat ketunarungu¬annya, serta bentuk intervensi yang pernah diterimanya. Ditemukan bahwa Kasus memiliki kemampuan matematik yang baik dan bakat menggambar yang menonjol. Saran-saran yang diajukan untuk membantu per¬kem¬bangan kasus ini, serta cara-cara penanganan kasus ketunarunguan pada umumnya, dirumuskan atas dasar kajian literatur. <br /><br />Kata kunci: profesi pelukis, desainer<br /><br />DESKRIPSI KASUS<br />Pada saat studi kasus ini dilaksanakan, Andi (nama samaran) berusia 10 tahun. Dia adalah seorang anak laki-laki, anak pertama dari tiga bersaudara. Andi menyandang ketunarunguan berat sekali (profound hearing impairment) dengan tingkat pendengaran 110 desibel, yang terdeteksi pada saat Andi berusia empat bulan. Jenis ketunarunguannya adalah sensorineural loss akibat rubella yang diderita ibunya pada saat mengandung. Andi dimasukkan ke SLB/B di Bandung pada usia enam tahun, dan studi kasus dilaksanakan pada saat dia duduk di kelas 2 SD. Andi dilahirkan oleh pasangan keluarga Pak Toto dan Bu Titi yang sama-sama berijazah SMA. Mereka menikah pada usia 30 dan 27 tahun. Pak Toto adalah seorang wiraswastawan dalam bidang perkaosan, sedangkan Bu Titi adalah seorang ibu rumah tangga. <br />METODE STUDI<br />Studi kasus ini dilaksanakan dengan wawancara kepada guru kelas, observasi terhadap kasus dalam kegiatan belajarnya di kelas, dan wawancara kepada ibu kasus. Wawancara dengan guru kelas dilakukan di sekolah, observasi dilakukan di kelas ketika Kasus sedang belajar matematika, keterampilan, dan bina persepsi bunyi Indonesia (BPBI), sedangkan wawancara dengan ibu Kasus dilakukan melalui beberapa percakapan telepon. <br /><br />TEMUAN<br />Andi adalah anak pertama dari pasangan Bapak Toto dan Ibu Titi. Pada saat Ibu Titi mengandung tujuh bulan, dia terserang rubella selama dua minggu, dan petugas kesehatan memperingatkan kepadanya tentang kemungkinan terjadi kelainan pada bayinya. <br />Pada saat Andi lahir, Ibu Titi merasa lega karena tidak melihat tanda-tanda kelainan pada bayinya itu. Akan tetapi, ketika Andi berusia empat bulan, Ibu Titi mulai mencurigai sesuatu. Bila Ibu Titi membunyi-bunyikan mainan di hadap¬annya, Andi segera merespon dengan berusaha menggapainya, tetapi bila hal itu dilakukan dari arah belakangnya, Andi tidak bereaksi apa-apa, dan berbeda dari respon yang diberikan oleh bayi pada umumnya, yang akan segera menoleh ke arah bunyi mainan itu. Didorong oleh keinginan untuk meyakinkan apa yang dikhawatirkannya, Ibu Titi mencoba dengan cara lain: dia membunyikan sesuatu keras-keras pada saat Andi sedang tidur, tetapi bayi itu tidak pernah tampak terganggu betapa pun kerasnya bunyi yang dibuat oleh ibunya itu. <br />Ibu Titi berasal dari keluarga besar dengan banyak adik, sehingga dia sudah terbiasa mengasuh adik-adiknya dan banyak belajar tentang perilaku bayi. Perilaku Andi meyakinkan Ibu Titi bahwa sesuatu yang tidak diharapkan telah terjadi pada anaknya itu. Maka Pak Toto dan Bu Titi segera berkonsultasi dengan dokter spesialis anak, tetapi dokter itu selalu meyakinkannya bahwa tidak ada sesuatu yang berkelainan pada fisik Andi. <br />Konsultasi ke dokter THT. Didorong oleh kecurigaannya terhadap kondisi pendengaran Andi, Pak Toto dan Bu Titi membawanya ke dokter spesialis THT ketika anaknya berumur satu tahun. Dokter THT itu mengkonfirmasi kecurigaan mereka: terdapat kelainan dalam sistem pendengaran Andi. Tes yang lebih seksama baru dilakukan ketika Andi berumur dua tahun, dan ditemukan bahwa kedua belah telinganya hanya dapat menerima stimulus bunyi pada intensitas 110 desibel, dan gangguan terjadi pada syaraf pendengarannya. Ini berarti bahwa ketunarunguan yang dialami Andi termasuk klasifikasi berat sekali (profound hearing impairment). <br />Setelah Bapak dan Ibu Toto mengetahui kondisi anaknya yang sesungguh¬nya, kini mereka dihadapkan pada masalah psikologis untuk menerima realita itu. Mereka memperoleh informasi bahwa klinik Yayasan Surya Kanti di Bandung bergerak dibidang pengembangan potensi anak dengan mendeteksi, meng¬inter¬vensi, serta memberikan terapi sedini mungkin bagi anak balita yang mengalami gangguan perkembangan, dan bahwa Andi dapat lebih baik perkembangannya dengan layanan semacam ini. Akan tetapi, kedua orang tua ini masih menyimpan harapan bahwa anaknya itu akan dapat disembuhkan. Maka, setelah upaya medis menemui jalan buntu, mereka mencoba ber¬bagai cara penyembuhan alternatif bagi buah hatinya itu. Baru setelah sekitar tiga tahun berlalu tanpa hasil kecuali terkurasnya sumber dana keluarga, mereka menyadari bahwa kondisi anaknya itu merupakan takdir Tuhan yang harus mereka terima dengan keikhlasan. <br />Ketika Andi berusia enam tahun, mereka memasukkannya ke sekolah khusus bagi anak-anak tunarungu (SLB/B) di Bandung. Mereka mendapati bahwa seharusnya Andi dimasukkan ke sekolah itu lebih awal agar memperoleh penanganan lebih dini. SLB/B ini melayani anak sejak usia empat tahun, dimana anak dimasukkan ke kelas persiapan yang terdiri dari tiga tingkat (P1, P2 dan P3). <br />Pada saat studi kasus ini dilakukan, Andi sudah berusia sepuluh tahun dan duduk di kelas 2 tingkat dasar. Guru kelasnya, Ibu Bet, mengidentifikasi kemampuan mate¬matika yang sangat baik dan bakat menggambar yang menonjol pada diri Andi. "Gambarnya selalu hidup," demikian Bu Bet menuturkan. Akan tetapi, perkembangan bahasa Andi lebih lambat daripada rata-rata siswa di kelasnya. <br />Pengajaran bahasa bagi siswa-siswa di sekolah ini lebih ditekankan pada penggunaan metode membaca ujaran yang dibantu dengan bahasa isyarat. Pemanfaatan sisa pendengaran tidak memperoleh penekanan yang optimal, yang tercermin dari tidak maksimalnya penekanan terhadap pentingnya penggunaan alat bantu dengar. Faktor ekonomi merupakan penyebab bagi anak-anak tertentu untuk tidak menggunakan alat bantu dengar, tetapi pada anak-anak lain faktor psikososial merupakan penyebabnya –mereka merasa malu menggunakan alat bantu dengar. Di samping itu, lingkungan auditer di sekolah ini kurang mendukung pengajaran bahasa secara aural: antara satu ruangan kelas dengan ruangan kelas lainnya dihubungkan oleh pintu, sehingga pembicaraan di kelas lain dapat terdengar dan bahkan mengganggu konsentrasi pendengaran anak terhadap pembicaraan gurunya. Kelas P1, P2 dan P3 bahkan diajar dalam satu ruangan dengan tiga orang guru.<br /><br />DISKUSI<br />Rubella sebagai penyebab ketunarunguan pada diri Andi, cara Bu Titi mendeteksi ketunarunguan pada bayinya, serta implikasi ketunarunguan yang diklasifikasikan sebagai berat sekali menarik untuk didiskusikan lebih lanjut. Di samping itu, partisipasi orang tua dalam membantu mengembangkan bahasa anaknya, metode dan pendekatan yang di¬pergunakan dalam pengajaran bahasa kepada Andi serta anak-anak lain di SLB/B tempat Andi bersekolah juga akan didiskusikan.<br /><br />1. Rubella Sebagai Penyebab Ketunarunguan<br />Rubella (yang oleh masyarakat umum dikenal dengan nama campak) sering dipandang sebagai penyakit ringan. Orang dewasa maupun anak-anak biasanya tidak akan dibahayakan secara permanen oleh penyakit ini, tetapi bayi yang masih dalam kandungan dapat sangat terpengaruh. Jika seorang ibu yang sedang mengandung mengidap penyakit ini pada masa tiga bulan pertama kehamilannya, dia sendiri mungkin tidak akan merasa sakit sama sekali, tetapi penyakit tersebut dapat berdampak kepada bayi di dalam kandungannya melalui placenta, dengan akibat yang serius. Banyak di antara bayi-bayi itu lahir tunagrahita, dan mereka juga dapat mengalami kecacatan fisik. Penyakit jantung, kesulitan pernafasan, gangguan penglihatan atau gangguan pen¬dengaran sering dialami oleh bayi-bayi ini (Finkelstein, 1994). <br />Oleh karena itu, berbagai upaya pencegahan seyogyanya dilakukan untuk mengurangi ancaman terha¬dap janin. Anak¬-anak –terutama pe¬rempuan– sebaiknya divaksi¬nasi agar mereka mengembangkan daya tahan terhadap rubella di kemudian hari. Wanita yang sedang hamil muda harus mengh¬indari kontak dengan orang yang sedang terkena penyakit ini. <br /><br />2. Deteksi Dini Ketunarunguan<br />Pengalaman empirik telah mengajari Ibu Titi cara tertentu untuk mendeteksi ketunarunguan secara dini. Di awal pendeteksian oleh ibunya, Andi tampak tidak mempunyai perhatian terhadap bunyi-bunyi. <br />Easterbrooks (1997) mengemukakan tanda-tanda ketunarunguan sebagai ber¬ikut. Pada bayi atau anak kecil, tanda-tanda ketunarunguan itu mencakup tidak adanya perhatian atau adanya perhatian yang tidak konsisten; tidak adanya atau kurangnya interaksi vocal; dan tidak adanya atau sangat lambatnya perkembangan bahasa, terutama yang terkait dengan kata-kata yang diakhiri konsonan tak letup seperti t, ng, atau s. Pada anak-anak usia sekolah, tanda-tanda ketunarunguan itu mencakup tingginya ting¬kat frustrasi terhadap sekolah dan orang lain, rendahnya atau sangat menurunnya nilai-nilai pelajaran, atau berubahnya pola perhatiannya. Pada orang dewasa, tanda-tanda tersebut dapat berupa keluhan bahwa orang lain bergumam padahal berbicara normal, atau menyalakan peralatan seperti radio atau TV terlalu keras. <br /><br />3. Klasifikasi dan Jenis Ketunarunguan<br />Di bagian deskripsi temuan, dikemukakan bahwa dokter THT meng¬identifikasi Andi sebagai mengalami gangguan pada syaraf pendengarannya dan hanya memiliki persepsi bunyi dengan intensitas 110 desibel, yang dikategorikan sebagai ketunarunguan berat sekali. <br />Easterbrooks (1997) mengemukakan bahwa terdapat tiga jenis utama ketuna¬runguan menurut lokasi ganguannya: <br />1) Conductive loss, yaitu ketunarunguan yang terjadi bila terdapat gangguan pada bagian luar atau tengah telinga yang menghambat dihantarkannya gelombang bunyi ke bagian dalam telinga. <br />2) Sensorineural loss, yaitu ketunarunguan yang terjadi bila terdapat kerusakan pada bagian dalam telinga atau syaraf auditer yang mengakibatkan ter¬hambatnya pengi¬riman pesan bunyi ke otak. (Ketunarunguan Andi tampaknya termasuk ke dalam kategori ini). <br />3) Central auditory processing disorder, yaitu gangguan pada sistem syaraf pusat proses auditer yang mengakibatkan individu mengalami kesulitan memahami apa yang didengarnya meskipun tidak ada gangguan yang spesifik pada telinganya itu sendiri. Anak yang mengalami gangguan pusat pem¬rosesan auditer ini memiliki pendengaran yang normal bila diukur dengan audiometer, tetapi mereka sering mengalami kesulitan memahami apa yang didengarnya. <br /><br />Berdasarkan tingkat keberfungsian telinga dalam mendengar bunyi, Ashman dan Elkins (1994) mengklasifikasikan ketunarunguan ke dalam empat kategori, yaitu:<br />1) Ketunarunguan ringan (mild hearing impairment), yaitu kondisi dimana orang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 20-40 dB (desibel). Mereka sering tidak menyadari bahwa sedang diajak bicara, mengalami sedikit kesulitan dalam per¬cakapan. <br />2) Ketunarunguan sedang (moderate hearing impairment), yaitu kondisi dimana orang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 40-65 dB. Mereka mengalami ke¬sulitan dalam percakapan tanpa memperhatikan wajah pembicara, sulit mendengar dari kejauhan atau dalam suasana gaduh, tetapi dapat terbantu dengan alat bantu dengar (hearing aid).<br />3) Ketunarunguan berat (severe hearing impairment), yaitu kondisi dimana orang hanya dapat mendengar bunyi dengan intensitas 65-95 dB. Mereka sedikit memahami percakapan pembicara bila memperhatikan wajah pembicara dengan suara keras, tetapi percakapan normal praktis tidak mungkin dilakukannya, tetapi dapat terbantu dengan alat bantu dengar. <br />4) Ketunarunguan berat sekali (profound hearing impairment), yaitu kondisi dimana orang hanya dapat mendengar bunyi dengan intensitas 95 dB atau lebih keras. Mendengar percakapan normal tidak mungkin baginya, sehingga dia sangat ter¬gantung pada komunikasi visual. Sejauh tertentu, ada yang dapat terbantu dengan alat bantu dengar tertentu dengan kekuatan yang sangat tinggi (superpower). <br />Survey tahun 1981 di Australia menemukan bahwa 59% dari populasi tunarungu menyandang ketunarunguan ringan, 11% sedang, 20% berat, dan 10% tidak dapat dipastikan (Cameron, 1982, dalam Ashman dan Elkins, 1994). <br />Perlu dijelaskan bahwa decibel (disingkat dB) adalah satuan ukuran intensitas bunyi. Istilah ini diambil dari nama pencipta telepon, Graham Bel, yang istrinya tuna¬rungu, dan dia tertarik pada bidang ketunarunguan dan pendidikan bagi tunarungu. Satu decibel adalah 0,1 Bel. <br />Bagi para fisikawan, decibel merupakan ukuran tekanan bunyi, yaitu tekanan yang didesakkan oleh suatu gelombang bunyi yang melintasi udara. Dalam fisika, 0 db sama dengan tingkat tekanan yang mengakibatkan gerakan molekul udara dalam keadaan udara diam, yang hanya dapat terdeteksi dengan menggunakan instrumen fisika, dan tidak akan terdengar oleh telinga manusia. Oleh karena itu, di dalam audiologi ditetapkan tingkat 0 yang berbeda, yang disebut 0 dB klinis atau 0 audiometrik. Nol inilah yang tertera dalam audiogram, yang merupakan grafik tingkat ketunarunguan. Nol audiometrik adalah tingkat intensitas bunyi terendah yang dapat terdeteksi oleh telinga orang rata-rata dengan telinga yang sehat pada frekuensi 1000 Hz (Ashman & Elkins, 1994). <br /><br />4. Metode dan Pendekatan Pengajaran Bahasa bagi Anak Tunarungu<br />Perdebatan tentang cara terbaik untuk mengajar anak tunarungu ber¬komunikasi telah marak sejak awal abad ke-16 (Winefield, 1987). Perdebatan ini masih berlang¬sung, tetapi kini semakin banyak ahli yang berpendapat bahwa tidak ada satu sistem komu¬nikasi yang baik untuk semua anak (Easterbrooks, 1997). Pilihan sistem komunikasi harus ditetapkan atas dasar individual, dengan mempertimbangkan karakteristik anak, sumber-sumber yang tersedia, dan komitmen keluarga anak terhadap metode komunikasi tertentu. <br /><br />4.1 Metode Pengajaran Bahasa bagi Anak Tunarungu<br />Terdapat tiga metode utama cara individu tunarungu belajar bahasa, yaitu dengan membaca ujaran, melalui pendengaran, dan dengan komunikasi manual, atau dengan kombinasi ketiga cara tersebut. <br /><br />1) Belajar Bahasa Melalui Membaca Ujaran (Speechreading)<br />Orang dapat memahami pembicaraan orang lain dengan ’membaca’ ujarannya melalui gerakan bibirnya. Akan tetapi, hanya sekitar 50% bunyi ujaran yang dapat ter¬lihat pada bibir (Berger, 1972). Di antara 50% lainnya, sebagian dibuat di belakang bibir yang tertutup atau jauh di bagian belakang mulut sehingga tidak kelihatan, atau ada juga bunyi ujaran yang pada bibir tampak sama sehingga pembaca bibir tidak dapat memastikan bunyi apa yang dilihatnya. Hal ini sangat menyulitkan bagi mereka yang ketunarunguannya terjadi pada masa prabahasa. Seseorang dapat menjadi pembaca ujaran yang baik bila ditopang oleh pengetahuan yang baik tentang struktur bahasa sehingga dapat membuat dugaan yang tepat mengenai bunyi-bunyi yang ‘tersembunyi’ itu. Jadi, orang tunarungu yang bahasanya normal biasanya merupakan pembaca ujaran yang lebih baik daripada tunarungu prabahasa, dan bahkan terdapat bukti bahwa orang non-tunarungu tanpa latihan dapat membaca bibir lebih baik daripada orang tunarungu yang terpaksa harus bergantung pada cara ini (Ashman & Elkins, 1994).<br />Kelemahan sistem baca ujaran ini dapat diatasi bila digabung dengan sistem cued speech (isyarat ujaran). Cued Speech adalah isyarat gerakan tangan untuk melengkapi membaca ujaran (speechreading). Delapan bentuk tangan yang menggambarkan kelompok-kelompok konsonan diletakkan pada empat posisi di sekitar wajah yang menunjukkan kelompok-kelompok bunyi vokal. Digabungkan dengan gerakan alami bibir pada saat berbicara, isyarat-isyarat ini membuat bahasa lisan menjadi lebih tampak (Caldwell, 1997). Cued Speech dikembangkan oleh R. Orin Cornett, Ph.D. di Gallaudet University pada tahun 1965 66. Isyarat ini dikembangkan sebagai respon terhadap laporan penelitian pemerintah federal AS yang tidak puas dengan tingkat melek huruf di kalangan tunarungu lulusan sekolah menengah. Tujuan dari pengembangan komunikasi isyarat ini adalah untuk meningkatkan perkembangan bahasa anak tunarungu dan mem¬beri mereka pondasi untuk keterampilan membaca dan menulis dengan bahasa yang baik dan benar. Cued Speech telah diadaptasikan ke sekitar 60 bahasa dan dialek. Keuntungan dari sistem isyarat ini adalah mudah dipelajari (hanya dalam waktu 18 jam), dapat dipergunakan untuk mengisyaratkan segala macam kata (termasuk kata-kata prokem) maupun bunyi-bunyi non-bahasa. Anak tunarungu yang tumbuh dengan menggunakan cued speech ini mampu membaca dan menulis setara dengan teman-teman sekelasnya yang non-tunarungu (Wandel, 1989 dalam Caldwell, 1997). <br /><br />2) Belajar Bahasa Melalui Pendengaran <br />Ashman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa individu tunarungu dari semua tingkat ketunarunguan dapat memperoleh manfaat dari alat bantu dengar tertentu. Alat bantu dengar yang telah terbukti efektif bagi jenis ketunarunguan sensorineural dengan tingkat yang berat sekali adalah cochlear implant. Cochlear implant adalah prostesis alat pendengaran yang terdiri dari dua komponen, yaitu komponen eksternal (mikropon dan speech processor) yang dipakai oleh pengguna, dan komponen internal (rangkaian elektroda yang melalui pembedahan dimasukkan ke dalam cochlea (ujung organ pendengaran) di telinga bagian dalam. Komponen eksternal dan internal tersebut di¬hubungkan secara elektrik. Prostesis cochlear implant dirancang untuk menciptakan rangsangan pendengaran dengan langsung memberikan stimulasi elektrik pada syaraf pendengaran (Laughton, 1997). <br />Akan tetapi, meskipun dalam lingkungan auditer terbaik, jumlah bunyi ujaran yang dapat dikenali secara cukup baik oleh orang dengan klasifikasi ketunarunguan berat untuk memungkinkannya memperoleh gambaran yang lengkap tentang struktur sintaksis dan fonologi bahasa itu terbatas. Tetapi ini tidak berarti bahwa penyandang ketunarunguan yang berat sekali tidak dapat mem¬peroleh manfaat dari bunyi yang diamplifikasi dengan alat bantu dengar. Yang menjadi masalah besar dalam hal ini adalah bahwa individu tunarungu jarang dapat mendengarkan bunyi ujaran dalam kondisi optimal. Faktor-faktor tersebut mengakibatkan individu tunarungu tidak dapat mem¬peroleh manfaat yang maksimal dari alat bantu dengar yang dipergunakannya. Di samping itu, banyak penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar alat bantu dengar yang di¬per¬gunakan individu tunarungu itu tidak berfungsi dengan baik akibat kehabisan baterai dan earmould yang tidak cocok. <br /><br />3) Belajar Bahasa secara Manual <br />Secara alami, individu tunarungu cenderung mengembangkan cara komunikasi manual atau bahasa isyarat. Untuk tujuan universalitas, berbagai negara telah me¬ngembangkan bahasa isyarat yang dibakukan secara nasional. Ashman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa komunikasi manual dengan bahasa isyarat yang baku memberikan gambaran lengkap tentang bahasa kepada tunarungu, sehingga mereka perlu mem¬pelajarinya dengan baik. Kerugian penggunaan bahasa isyarat ini adalah bahwa para penggunanya cenderung membentuk masyarakat yang eksklusif.<br /> <br />4.2 Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa bagi Anak Tunarungu<br />Pengajaran bahasa secara terprogram bagi anak tunarungu harus dimulai sedini mungkin bila kita mengharapkan tingkat keberhasilan yang optimal. Terdapat dua pendekatan dalam pengajaran bahasa kepada anak tunarungu secara dini, yaitu pendekatan auditori-verbal dan auditori-oral. <br /><br />1) Pendekatan Auditori verbal<br />Pendekatan auditori-verbal bertujuan agar anak tunarungu tumbuh dalam ling¬kungan hidup dan belajar yang memungkinkannya menjadi warga yang mandiri, partisipatif dan kontributif dalam masyarakat inklusif. Falsafah auditori-verbal men¬dukung hak asasi manusia yang mendasar bahwa anak penyandang semua tingkat ketunarunguan berhak atas kesempatan mengembangkan kemampuan untuk men¬dengar¬kan dan menggunakan komunikasi verbal di dalam lingkungan keluarga dan masya¬rakatnya. Pendekatan auditori verbal didasarkan atas prinsip mendasar bahwa peng¬gunaan amplifikasi memungkinkan anak belajar mendengarkan, memproses bahasa verbal, dan berbicara. Opsi auditori verbal merupakan strategi intervensi dini, bukan prinsip-prinsip yang harus dijalankan dalam pengajaran di kelas. Tujuannya adalah untuk mengajarkan prinsip-prinsip auditori verbal kepada orang tua yang mempunyai bayi tunarungu (Goldberg, 1997). <br />Prinsip-prinsip praktek auditori verbal itu adalah sebagai berikut: (a) Berusaha sedini mungkin mengidentifikasi ketunarunguan pada anak, idealnya di klinik perawatan bayi; (b) Memberikan perlakuan medis terbaik dan teknologi amplifikasi bunyi kepada anak tunarungu sedini mungkin; (c) Membantu anak memahami makna setiap bunyi yang didengarnya, dan mengajari orang tuanya cara membuat agar setiap bunyi bermakna bagi anaknya sepanjang hari; (d) Membantu anak belajar merespon dan menggunakan bunyi sebagaimana yang dilakukan oleh anak yang berpendengaran normal; (e) Menggunakan orang tua anak sebagai model utama untuk belajar ujaran dan komunikasi lisan; (f) Berusaha membantu anak mengembangkan sistem auditori dalam (inner auditory system) sehingga dia menyadari suaranya sendiri dan akan berusaha mencocokkan apa yang diucapkannya dengan apa yang didengarnya; (g) Memahami bagaimana anak yang berpendengaran normal mengembangkan kesadaran bunyi, pendengaran, bahasa, dan pemahaman, dan menggunakan pengetahuan ini untuk membantu anak tunarungu mempelajari keterampilan baru; (h) Mengamati dan mengevaluasi perkembangan anak dalam semua bidang; (i) Mengubah program latihan bagi anak bila muncul kebutuhan baru; (j) Membantu anak tunarungu berpartisipasi dalam kegiatan pendidikan maupun sosial bersama-sama dengan anak-anak yang berpendengaran normal dengan mem¬berikan dukungan kepadanya di kelas reguler.<br />Hasil penelitian terhadap sejumlah tamatan program auditori verbal di Amerika Serikat dan Kanada (Goldberg & Flexer, 1993, dalam Goldberg, 1997) menunjukkan bahwa mayoritas responden terintegrasi ke dalam lingkungan belajar dan lingkungan hidup ’reguler’. Kebanyakan dari mereka bersekolah di sekolah biasa di dalam ling¬kungannya, masuk ke lembaga pendidikan pasca sekolah menengah yang tidak dirancang khusus bagi tunarungu, dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan masyarakat. Di samping itu, keterampilan membacanya setara atau lebih baik daripada anak-anak berpendengaran normal (Robertson & Flexer, 1993, dalam Goldberg, 1997).<br /><br />2) Pendekatan Auditori Oral<br />Pendekatan auditori oral didasarkan atas premis mendasar bahwa memperoleh kompetensi dalam bahasa lisan, baik secara reseptif maupun ekspresif, merupakan tujuan yang realistis bagi anak tunarungu. Kemampuan ini akan berkembang dengan sebaik-baiknya dalam lingkungan di mana bahasa lisan dipergunakan secara eksklusif. Lingkungan tersebut mencakup lingkungan rumah dan sekolah (Stone, 1997). <br />Elemen-elemen pendekatan auditori oral yang sangat penting untuk menjamin keberhasilannya mencakup: (a) Keterlibatan orang tua. Untuk memperoleh bahasa dan ujaran yang efektif menuntut peran aktif orang tua dalam pendidikan bagi anaknya; (b) Upaya intervensi dini yang berfokus pada pendidikan bagi orang tua untuk menjadi partner komunikasi yang efektif; (c) Upaya-upaya di dalam kelas untuk mendukung keterlibatan anak tunarungu dalam kegiatan kelas; (d) Amplifikasi yang tepat. Alat bantu dengar merupakan pilihan utama, tetapi bila tidak efektif, penggunaan cochlear implant merupakan opsi yang memungkinkan. <br />Mengajari anak menggunakan sisa pendengaran yang masih dimilikinya untuk mengembangkan perolehan bahasa lisan merupakan hal yang mendasar bagi pendekatan auditori oral. Meskipun dimulai sebelum anak masuk sekolah, inter¬vensi oral berlanjut di kelas. Anak diajari keterampilan mendengarkan yang terdiri dari empat tingkatan, yaitu deteksi, diskriminasi, identifikasi, dan pemahaman bunyi. Karena tujuan pengem¬bangan keterampilan mendengarkan itu adalah untuk mengembangkan kompetensi bahasa lisan, maka bunyi ujaran (speech sounds) merupakan stimulus utama yang dipergunakan dalam kegiatan latihan men¬dengar¬kan itu. Pengajaran dilakukan dalam dua tahapan yang saling melengkapi, yaitu tahapan fonetik (mengembangkan kete¬rampilan menangkap suku-suku kata secara terpisah-pisah) dan tahapan fonologik (mengembangkan keterampilan memahami kata-kata, frase, dan kalimat). Pengajaran bahasa dilaksanakan secara natu¬ralistik dalam kegiatan-kegiatan yang berpusat pada diri anak, tidak dalam setting didaktik. Pada masa prasekolah, pengajaran bagi anak dan pengasuhnya dilakukan secara individual, tetapi pada masa sekolah pengajaran di¬laksanakan dalam setting kelas inklusif atau dalam kelas khusus bagi tunarungu di sekolah reguler. Setting pengajaran ini ter¬gantung pada keterampilan sosial, komunikasi dan belajar anak. <br />Keuntungan utama pendekatan auditori-oral ini adalah bahwa anak mampu berkomunikasi secara langsung dengan berbagai macam individu, yang pada gilirannya dapat memberi anak berbagai kemungkinan pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan sosial. Geers dan Moog (1989; dalam Stone, 1997) melaporkan bahwa 88% dari 100 siswa tunarungu usia 16 dan 17 tahun yang ditelitinya memiliki kecakapan berbahasa lisan dan memiliki tingkat keterpahaman ujaran yang tinggi. Kemampuan rata-rata membacanya adalah pada tingkatan usia 13 hingga 14 tahun, yang hampir dua kali lipat rata-rata kemampuan baca seluruh populasi anak tunarungu di Amerika Serikat. <br />KESIMPULAN DAN IMPLIKASI<br />Kasus Andi menyandang jenis ketunarunguan sensorineural dengan tingkat ketunarunguan berat sekali, yang terjadi pada masa prabahasa, disebabkan oleh penyakit rubella yang menyerang ibunya pada saat hamil tujuh bulan. Tidak diperolehnya inter¬vensi dini untuk membantu perkembangan bahasanya, kurang tepatnya pendekatan dan metode pengajaran bahasa yang dipergunakan, serta tidak dipergunakannya alat bantu dengar baginya, telah mengakibatkan Andi mengalami keterlambatan dalam perkem¬bangan bahasa. Bakat menggambarnya yang menonjol dan kemampuan matema¬tik¬nya yang baik menunjukkan bahwa dia memiliki kapasitas kognitif yang baik, yang sangat menjanjikan keberhasilan dalam belajarnya. <br />Keterampilan bahasa verbal masih realistis untuk diharapkan dari Andi apabila dia dapat memperoleh alat bantu dengar yang sesuai dengan tingkat ketunarunguannya. Tampaknya cochlear implant merupakan pilihan alat bantu dengar terbaik baginya (jika faktor harganya yang masih sangat mahal tidak menjadi bahan pertimbangan). <br />Bila alat bantu dengar yang sesuai tidak dapat diperolehnya, maka penggunaan metode membaca ujaran yang dikombinasikan dengan sistem isyarat ujaran (cued speech) tampaknya merupakan pilihan metode terbaik baginya untuk dapat belajar bahasa secara efektif. Dengan metode ini, kita tidak dapat berharap banyak bahwa Andi akan dapat mengucapkan bunyi-bunyi bahasa yang bermakna, tetapi dia dapat di¬harapkan memiliki kemampuan memahami pembicaraan orang lain dan memiliki kecakapan berkomunikasi secara tertulis. <br />Bakat menggambarnya yang sudah tampak menonjol perlu terus dipupuk, misalnya dengan memberi pelajaran tambahan dalam bidang seni lukis atau desain. Profesi pelukis atau desainer tampaknya merupakan harapan yang realistis baginya untuk kehidupan di masa dewasanya. <br />Berikut ini adalah hal-hal yang dapat dilakukan untuk mencegah munculnya kasus-kasus serupa di masa mendatang:<br />1) Penyampaian informasi yang tepat kepada masyarakat luas mengenai bahaya penyakit rubella.<br />2) Pembentukan suatu lembaga layanan yang memberikan intervensi dini kepada bayi dan kanak-kanak tunarungu (serta bayi dan kanak-kanak penyandang kecacatan pada umumnya) beserta keluarganya, baik intervensi medis, pen¬didikan, maupun sosial yang diberikan secara profesional. <br />3) Kampanye kesadaran tentang pentingnya penggunaan alat bantu dengar bagi penyandang ketunarunguan agar dapat memanfaatkan sisa pendengarannya untuk belajar bahasa verbal. <br /><br /> <br />DAFTAR PUSTAKA<br />Ashman, A. and Elkins, J. (eds.). (1994). Educating Children with Special Needs. Sidney: Prentice Hall of Australia Pty Ltd<br />Caldwell, B. (1997). Educating Children Who Are Deaf or Hard of Hearing: Cued Speech. The ERIC Clearinghouse on Disabilities and Gifted Education (ERICEC). Tersedia: http://ericec.org/digests/e555.html<br />Easterbrooks, S. (1997). Educating Children Who Are Deaf or Hard of Hearing: Overview. The ERIC Clearinghouse on Disabilities and Gifted Education (ERIC EC). Tersedia: http://ericec.org/digests/e549.html <br />Finkelstein, D., dalam Jernigan, K. (1994). If Blindness Comes. Baltimore: National Federation of the Blind <br />Laughton, J. (1997). Educating Children Who Are Deaf or Hard of Hearing: Cochlear<br />Implants. The ERIC Clearinghouse on Disabilities and Gifted Education (ERIC EC). Tersedia: http://ericec.org/digests/e554.htmlJASSI_AnakKuhttp://www.blogger.com/profile/12273050106097217296noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-4574434941553048680.post-21622579520319312482009-03-20T06:45:00.000-07:002009-03-20T06:46:57.536-07:00PENGEMBANGAN KONSEP PADA ANAK TUNANETRAJuang Sunanto<br /><br />Jurusan Pendidikan Luar Biasa<br /> Universitas Pendidikan Indonesia<br /><br /><br /><br />ABSTRAK<br />Artikel ini membahas tentang pengajaran pengembangan konsep pada anak tunanetra. Secara khusus dalam artikel ini dibahas pengertian konsep, konsep-konsep penting yang perlu dipahami oleh tunanetra, prosedur asesmen pemahaman konsep, dan bagaimana sebaiknya konsep diajarkan. Tulisan ini diharapkan dapat menjadi informasi pengajaran konsep pada anak tunanetra oleh guru dan orangtua. <br /><br />Kata kunci: pengembangan konsep, asesmen, anak tunanetra. <br /><br /><br />PENDAHULUAN<br />Anak dengan hambatan penglihatan (tunanetra) seringkali mengalami kekurangan konsep-konsep dasar dan gagal untuk menyatukan komponen-kom¬ponen penting informasi dari lingkungan untuk membentuk beberapa konsep. Kesulitan membentuk konsep ini salah satu penyebabnya adalah hilangnya persepsi penglihatan. Dibandingkan dengan persepsi yang lain, persepsi penglihatan lebih banyak diterima oleh manusia. Para psikolog dan pendidik percaya bahwa 90-95% persepsi seseorang datang dari informasi visual (Hatlen dan Curry, 1987; dalam Tailor dan Sternberg, 1989).<br />Menurut Lowenfeld (1973) ketunanetraan dapat mengakibatkan tiga macam keterbatasan, yaitu (1) keterbatasan dalam luasnya dan variasi pengalaman, (2) keterbatasan dalam kemampuan untuk berpindah tempat, dan (3) keterbatasan untuk mengontrol dan berinteraksi dengan lingkungan. Dalam kehidupan sehari-hari ada banyak informasi atau konsep yang harus dipahami sehingga pengalaman seseorang menjadi kaya. Beberapa informasi atau obyek memerlukan penglihatan untuk me¬mahaminya dengan sempurna, misalnya obyek-obyek yang sangat kecil atau sangat besar, bahaya untuk diraba, jauh dari jangkauan tangan seperti semut, gajah, api, matahari dan sebagainya. Untuk memahami matahari, seorang tunanetra terpaksa melalui deskripsi verbal dari orang lain. Untuk memahami laut dapat melalui men¬dengarkan suara ombak dan meraba airnya, tetapi bagaimana warna dan bentuk gelombangnya tidak dapat dipahami secara sempurna tanpa peng¬lihatan. <br />Keterbatasan dalam variasi dan luasnya pengalaman ini sangat terkait dengan proses pembentukan konsep-konsep atau mempersepsi obyek-obyek di lingkungan¬nya. Hambatan atau keterbatasan dalam pembentukan konsep tersebut sangat mempengaruhi perkembangan kognisi seseorang. <br />Agar anak tunanetra berkembang secara optimal – khususnya perkem¬bangan kognisinya – setiap lembaga pendidikan atau sekolah bagi anak tunanetra, dalam kurikulumnya perlu memberikan perhatian yang cukup pada materi pengembangan konsep ini. Sebagaimana dinyatakan oleh para praktisi pendidikan bahwa materi pengembangan konsep merupakan salah satu materi yang wajib diajarkan pada anak tunanetra (Dodson-Burk dan Hill, 1989; Hill dan Blasch, 1980). Biasanya materi pengembangan konsep ini tercakup dalam keterampilan Orientasi dan Mobilitas (OM), dimana keterampilan OM mencakup (1) keterampilan sensori (sensory skills), (2) pengembangan konsep (concept development), (3) pengembangan motorik (motor development), (4) keterampilan orientasi (orientation skills), dan (5) kete¬rampilan mobilitas (mobility skills). Tujuan utama pengajaran OM pada tunanetra adalah agar mereka dapat melakukan perjalanan secara aman, mandiri, efektif, dan percaya diri.<br />Pengajaran konsep pada anak-anak termasuk anak tunanetra harus di¬berikan dengan metode yang sistematik agar anak dapat membentuk konsep-konsep tersebut secara benar. Dalam pengajaran konsep pada anak tunanetra perlu memper¬tim¬bangkan hal-hal sebagai berikut: konsep-konsep apa saja yang paling mendasar untuk diajarkan, bagaimana melakukan asesmen pe¬ma¬haman konsep dan bagaimana mengintegrasikan pengajaran konsep dalam berbagai mata pelajaran yang lain. <br />Tulisan ini bermaksud untuk membahas suatu pendekatan yang siste¬matik untuk mengajarkan konsep-konsep khusus yang penting bagai anak tunanetra. Pendekatan ini didasarkan pada pertimbangan cara berfikir yang logis yang meng¬arahkan agar proses pengajaran konsep dapat dilakukan dengan berhasil. <br />PEMBAHASAN<br /><br />Pengertian Konsep<br /><br />Konsep adalah simbol atau istilah yang menggambarkan suatu obyek, ke¬jadian, atau keadaan tertentu. Memahami suatu konsep tidak cukup hanya mengenal istilahnya saja. Seseorang dikatakan memahami suatu konsep jika ia dapat mengenal istilah (simbol)nya serta dapat mendeskripsikan apa yang digambarkan oleh istilah (simbol) tersebut. Misalnya seseorang mengenal istilah ‘kursi’. Jika ia memahami konsep kursi, maka dia juga dapat men¬jelaskan dan memberikan gambaran tentang kursi yang dimaksud. Misalnya, ”kursi adalah tempat untuk duduk, biasanya me¬miliki empat kaki, ada yang memiliki sandaran dan ada yang tidak. Bahan untuk membuat kursi ada ber¬macam-macam, misalnya kayu, besi, plastik dan lain-lain. Kursi sering dipasangkan dengan meja yang biasanya ada di dalam rumah, diletakkan di ruang tamu atau ruang makan.” Mengetahui atau mengenal suatu istilah namun tidak memahami apa yang digambarkan atau diwakili oleh istilah yang bersangkutan disebut verbalisme. <br />Untuk membentuk suatu konsep diperlukan informasi sensoris (sen¬sory information) dari indera untuk diolah dan disimpan dalam otak. Dalam hal ini konsep dapat disamakan dengan kognitif (cognitive) dalam teori per¬kembangan kognitif Peaget.<br />Menurut Peaget kemampuan kognitif akan berkembang jika anak berinteraksi dengan lingkungannya. Konsep tentang ruang (spatial) misal¬nya, akan berkembang tergantung utamanya pada indera penglihatan. Me¬nurut Peaget, pengembangan kognitif memiliki beberapa tahap secara hierarki, yaitu mulai tahap sensori motor (sensorimotor), praoperasional (preoperational), operasi konkrit (concrete opera¬tion), dan operasi formal (formal operation). Karena tidak memiliki indera peng¬lihatan (visual), tunanetra mengalami kesulitan untuk mencapai tahap konkrit dalam mema¬hami konsep tertentu, bahkan ada beberapa konsep yang tidak mungkin di¬pahaminya seperti warna, bulan, bintang, matahari, dan lain-lain.<br />Konsep tentang jarak atau ruang yang secara ideal dapat dipahami melalui indera penglihatan, tunanetra harus memahaminya melalui haptic atau kinesthetic. Konsep tentang ruang atau jarak ini sangat berguna untuk mengetahui atau menge¬nali hubungan antar obyek. Misalnya, benda B terletak lebih jauh di samping kanan benda A, sementara benda C terletak lebih dekat dengan A dibandingkan dengan B. Untuk mengenal konsep seperti ini tunanetra tidak menggunakan indera penglihatan dan memerlukan teknik khusus.<br />Dalam kehidupan sehari-hari, terlalu banyak konsep yang perlu dipahami oleh manusia tak terkecuali tunanetra. Meskipun tunanetra tidak dapat memahami semua konsep yang dapat dipahami oleh orang awas, sekurang-kurangnya mereka perlu mengenal beberapa istilah yang digunakan untuk menggambarkan konsep tersebut, misalnya nama-nama warna, matahari, bulan, bintang dan lain-lain. Pengenalan istilah ini diperlukan untuk memenuhi sebagai alat komunikasi dengan orang awas.<br /><br />Konsep-konsep Penting bagi Anak Tunanetra<br />Hill dan Blasch (1980) mengklasifikasi jenis-jenis konsep yang diperlukan bagi anak tunanetra menjadi tiga kategori besar, yaitu (1) konsep tubuh (body concepts), (2) konsep ruang (spatial concepts), dan (3) konsep lingkungan (envi¬ronmental concepts). Informasi yang diperlukan oleh tunanetra untuk mengenal konsep tubuh mencakup kemampuan untuk mengidentifikasi atau mengenali nama bagian-bagian tubuh serta mengetahui lokasi, gerakan, hubungannya dengan bagian tubuh yang lain, dan fungsi bagian-bagian tubuh tersebut. Pengenalan tubuh yang baik merupakan modal dasar untuk mengembangkan konsep ruang dan sebagai dasar untuk proses orientasi dirinya terhadap lingkungan yang diperlukan untuk mencapai mobilitas yang baik.<br />Konsep ruang (spatial concepts) mencakup posisi (positional) atau hubungan (relational), bentuk, dan ukuran. Sebagai contoh konsep tentang posisi/hubungan meliputi depan, belakang, atas, bawah, kiri, kanan, antara, atau paralel. Yang termasuk konsep bentuk meliputi bulat, lingkaran, persegi panjang, segi tiga, dan lain-lain. Sedangkan yang termasuk konsep ukuran meliputi jarak, jumlah, berat, volume, atau panjang. Konsep ukuran dapat berupa satuan seperti: kg, cm, m2, dll. Di samping itu, yang termasuk konsep ukuran adalah ukuran relatif seperti kecil, besar, berat, ringan, sempit, jauh, dan sebagainya.<br />Sebelum memulai mengajar atau mengembangkan konsep pada anak tuna¬netra, diperlukan untuk mengidentifikasi beberapa konsep yang di¬anggap penting untuk dipahami anak tunanetra agar dapat berpartisipasi dalam aktivitas kehidupan sehari-hari, baik di sekolah maupun di rumah. Berikut ini adalah beberapa konsep untuk proyek pengajaran pengembangan konsep dan orientasi mobilitas oleh guru di Universitas San Francisco. Tentu saja ini bukanlah daftar konsep yang terlengkap perlu dipahami oleh anak tunanetra. Konsep-konsep lain masih perlu ditambahkan sesuai dengan kebutuhan masing-masing anak. <br />Menurut Hall (1982) ada sepuluh kategori konsep yang dianggap penting bagi anak tunanetra, yaitu (1) kesadaran tubuh (body awareness), (2) kesadaran lingkungan (enviromental awareness), (3) kesadaran karakteristik obyek (awareness of object characteristics), (4) kesadaran waktu (time awareness), (5) kesadaran ruang (spatial awareness), (6) aksi (actions), (7) kualitas (quality), (8) kesadaran simbol (symbol awareness), (9) kesadaran emosi dan sosial (emotional and social awareness), dan (10) proses berfikir (reasoning). <br />Kesadaran tubuh adalah konsep-konsep yang digunakan terkait dengan ang¬gota tubuh, yang di antaranya: atas, bawah; belakang, depan; tengah; seluruh tubuh; nama bagian tubuh yang penting; tubuh bagian atas, tubuh bagian bawah; dan hubungan antarbagian tubuh; kesadaran kinestetik meliputi: belok, gerak, diam; kesadaran proprioceptive meliputi: meng¬genggam, lipat tangan, berdiri tegak; sensasi meliputi: pembauan, peng¬lihatan, perabaan, pendengaran, pengecap; ekspresi wajah meliputi: senyum, mengerutkan dahi, dan lain-lain. <br />Kesadaran lingkungan yaitu kesadaran atas obyek yang ada di lingkungan dan hubungan khusus antar obyek, misalnya: perempatan, jalan, trotoar, lampu lalu lintas, took, rumah, kafe, bus, kereta api, meja, kursi, kotak surat, tangga, mendung, jalan setapak, jalan layang, pesawat terbang, dan lain-lain.<br />Kesadaran karakteristik obyek adalah kesadaran akan karakteristik umum suatu obyek yang meliputi: ukuran, bentuk, warna, suara, tekstur, dan perbandingan. Untuk ukuran misalnya: kecil, sedang, besar, lebar, sempit, panjang, pendek, dalam, dangkal, gemuk, kurus, dan lain-lain. Untuk bentuk misalnya: lingkaran, segi tiga, persegi, bujur sangkar, dan sebagainya. Untuk warna misalnya: gelap, terang, keruh, dan nama-nama warna. Untuk suara misalnya: tinggi, rendah, keras, pelan. Untuk tekstur misalnya: kasar, halus, kaku, lentur, keras, lunak. Perbandingan misalnya, lebih besar, lebih kecil, sama, dan berbeda.<br />Kesadaran waktu, yaitu konsep yang berhubungan dengan waktu, misalnya: mulai, berakhir, sebelum, sesudah, pertama, berikutnya, hari ini, besok, kemarin, yang akan datang, dan sebagainya.<br />Kesadaran ruang, yaitu konsep yang berhubungan dengan posisi, misalnya: paralel, siku-siku, pinggir, tengah, di dalam, lurus, di antara, jauh, dekat, dan lain-lain.<br />Aksi yaitu konsep yang berkaitan dengan gerakan, misalnya: menulis, membaca, melompat, memakan, meminum, merangkak, mendorong, me¬mukul, menarik, melempar, menendang, dan sebagainya.<br />Kualitas, yaitu konsep yang berhubungan dengan angka atau kombi¬nasi angka, misalnya: setengah, sepertiga, beberapa, sedikit, dan banyak. Yang berhu¬bungan dengan operasi hitung, misalnya: meter, detik, menit, jam, tambah, kurang, bagi, kali, dan sebagainya.<br />Kesadaran simbol, yaitu konsep tentang simbol-simbol yang penting misalnya: arah mata angin, kata ganti orang seperti saya, dia, mereka, kamu, kami, dan lain-lain.<br />Kesadaran emosi dan sosial, yaitu konsep-konsep yang berhubungan dengan penyesuaian psikososial, misalnya: bahasa tubuh, konsep diri, suasana hati (sedih, senang, kecewa, atau marah), tinggi rendah suara waktu bicara (intonasi), cara bertanya, dan lain-lain.<br />Reasoning yaitu proses berfikir yang menggunakan konsep, misalnya: orien¬tasi, estimasi, memutuskan, membuat pertimbangan (baik, buruk, salah, benar, dan lain-lain).<br /><br />Asesmen Pemahaman Konsep<br /><br />Sebuah konsep dapat dikenali atau dipelajari melalui tiga aspek penting, yaitu tujuan, karakteristek, dan fungsi. Misalnya konsep tentang pintu dapat dikenali sebagai berikut. Untuk aspek tujuan: pintu bertujuan untuk memisahkan dua ruang dalam suatu bangunan, atau memisahkan antara dalam ruang dan luar ruang. Untuk aspek karakteristik: pintu dapat dibuat dari kayu, metal, kaca, atau triplek. Sedangkan untuk aspek fungsi: pintu dapat berfungsi membuka dan menutup dengan menggunakan engsel.<br />Di samping penggunaan prinsip tersebut, pemahaman suatu konsep sangat terkait dengan pengembangan bahasa. Seorang anak dikatakan telah memahami suatu konsep jika mereka dapat mengikuti perintah-perintah dengan menggunakan kata-kata yang menggambarkan konsep tertentu dan dapat menggunakannya dalam percakapan. Misalnya seorang anak diberikan suatu mainan (bola), diletakkan di samping tubuhnya, kemudian kita tanya ”ini apa?”. Misalnya dia menjawab ‘bola’ kemudian ditanya lagi ”bola ada di mana?” dia menjawab ‘di samping’. Kondisi ini menggambarkan bahwa anak telah memahami konsep bola dan sedikit tentang konsep posisi (di samping).<br />Karena pemahaman konsep juga berkaitan dengan bahasa, maka dalam meng¬ases pemahaman terhadap suatu konsep harus mencakup respon verbal maupun perilaku (performance). Bagi anak yang mengalami gang¬guan bahasa harus diases dengan menggunakan berbagai komunikasi alternatif yang sesuai dengan keteram¬pilan anak. Untuk melakukan hal ter¬sebut memerlukan keterampilan khusus dan agak sulit. Meskipun demikian, mengases pemahaman konsep memiliki prinsip yang sama. Tingkat pema¬haman konsep sangat bervariasi sesuai dengan kemampuan anak dan tingkat kerumitan konsep itu sendiri. Oleh karena itu, usia anak, fungsi peng¬lihatan, dan jenis konsep yang diases harus menjadi bahan pertimbangan untuk me¬nentu¬kan tingkat pemahaman konsep seorang anak. <br />Berdasar prinsip di atas, di bawah ini diberikan model asesmen pema¬haman konsep pada anak tunanetra yang berkenaan dengan (1) pemahaman konsep benda konkrit, (2) pemahaman konsep tentang bagian tubuh, (3) pemahaman konsep tentang karakteristik obyek, (3) pemahaman konsep tentang aksi, (4) pemahaman konsep tentang posisi, dan (6) pemahaman konsep abstrak. <br />Untuk mengases pemahaman konsep tentang benda konkrit meng¬gunakan tugas identifikasi, deskripsi fungsi, dan deskripsi hubungan antara suatu obyek dengan obyek yang lain. Untuk identifikasi, seorang anak (yang diases) diminta me¬nunjukkan obyek yang disebut oleh guru (yang mengases) dan sebaliknya anak diminta menyebutkan nama obyek yang ditunjuk oleh guru. Setelah itu anak diminta untuk mendeskripsikan fungsi-fungsi obyek yang disebut dan ditunjuk oleh guru. Pada tahap akhir anak diminta mendeskripsikan mengenai hubungan suatu obyek dengan obyek lain yang disebut dan ditunjuk oleh guru. Obyek yang disebut dan ditunjuk guru diawali dari ‘yang sudah familier’ hingga ‘yang kurang familier’. Adapun format yang digunakan untuk asesmen pemahaman konsep benda konkrit seperti di bawah ini. <br /><br />Tabel 1<br />Format Asesmen Pemahaman Konsep Benda Konkrit<br /><br /> Obyek yang <br />Familier Obyek yang <br />kurang Familier<br />1. Identifikasi:<br />• Tunjukkan obyek yang disebut oleh guru.<br />• Sebut (nama) obyek yang ditunjukkan oleh guru. <br />2. Deskripsikan fungsi obyek yang disebut atau ditunjukkan oleh guru. <br />3. Deskripsikan hubungan antara obyek yang disebut atau ditunjukkan oleh guru dengan <br /> obyek yang lain. <br /><br />Untuk mengases pemahaman konsep tentang bagian tubuh pada prinsipnya sama dengan prosedur asesmen pemahaman konsep benda konkrit. Bedanya, obyek yang ditunjuk dan disebutkan oleh guru adalah anggota tubuh misalnya tangan, telinga, hidung, baik anggota tubuh sendiri maupun orang lain. Adapun format yang digunakan seperti di bawah ini. <br /><br />Tabel 2<br />Format Asesmen Pemahaman Konsep Bagian Tubuh<br /><br /> Diri sendiri Orang lain<br />1. Identifikasi:<br /> Tunjukkan bagian tubuh yang disebut oleh guru. <br />2. Sebutkan fungsi bagian tubuh yang disebut/ditunjukkan oleh guru. <br />3. Jelaskan hubungan bagian tubuh yang disebut / ditunjukkan oleh guru dengan bagian tubuh yang lain. <br /><br />Asesmen pemahaman konsep terhadap karakteristik obyek agak ber¬beda dengan prosedur sebelumnya. Pertama kali anak diminta untuk menye¬but nama obyek yang karakteristiknya disebut oleh guru. Kemudian anak diminta untuk menyebutkan karakteristik suatu obyek yang disebutkan atau ditunjuk oleh guru. Di samping itu anak juga diminta untuk menunjukkan perbedaan suatu obyek dengan obyek yang lain. Adapun format yang di¬gunakan seperti berikut.<br /><br />Tabel 3<br />Format Asesmen Pemahaman Konsep karakteristik Obyek<br /><br /> Contoh Perbedaan yang lebih teliti <br />1. Identifikasi:<br /> Tunjukkan karakteristik suatu obyek yang disebut atau ditunjukkan oleh guru <br /> 2. Sebutkan nama obyek yang karakter¬istiknya disebut oleh guru. <br /><br />Untuk asesmen pemahaman konsep tentang suatu aksi dilakukan dengan prosedur sebagai berikut. Pada tahap identifikasi, mula-mula guru melakukan aksi (gerakan) tertentu dan anak diminta untuk menirukan. Selanjutnya anak diminta melakukan gerakan (aksi) yang disebut oleh guru. Setelah itu, sebaliknya guru melakukan suatu gerakan dan anak diminta menyebutkan nama gerakan tersebut. Sedangkan pada taraf deskripsi anak diminta untuk menjelaskan fungsi suatu gerakan (aksi). Gerakan yang digunakan adalah gerakan yang dilakukan oleh anak sendiri dan orang lain. Format yang digunakan prosedur tersebut seperti di bawah ini. <br />Tabel 4<br />Format Asesmen Pemahaman Konsep Suatu Aksi<br /><br /> Diri sendiri Orang lain<br />1. Identifikasi:<br /> Tirukan gerakan yang dilakukan oleh guru.<br /> Lakukan gerakan yang disebut oleh guru.<br /> Sebutkan nama gerakan yang dilakukan. <br />2. Jelaskan fungsi suatu aksi yang dilakukan <br /> oleh guru. <br /><br />Untuk asesmen pemahaman konsep tentang posisi dilakukan dengan prosedur sebagai berikut. Anak diminta untuk melakukan posisi yang disebut oleh guru dengan menggunakan anggota tubuh sendiri, anggota tubuh orang lain, atau suatu benda dengan anggota tubuh sendiri, dan anggota tubuh orang lain atau obyek saja. Format yang digunakan seperti di bawah ini. Setelah itu anak juga diminta untuk menyebut nama gerakan yang dilakukan oleh guru.<br />Tabel 5<br />Format Asesmen Pemahaman Konsep Posisi<br /><br /> Hanya bagian tubuh sendiri Orang lain atau obyek dan bagian tubuh sendiri Orang lain atau obyek saja<br />1. Identifikasi:<br /> Gerakan ke posisi yang disebut oleh guru. <br />2. Sebutkan posisi yang ditunjukkan oleh guru <br /><br />Untuk melakukan asesmen pemahaman konsep tentang konsep yang abstrak dilakukan prosedur sebagai berikut. Anak diminta untuk menjelaskan fungsi dari suatu konsep, menyebutkan kategorinya, dan menjelaskan per¬samaan atau analogi dengan konsep lain yang sudah diketahui. Format yang digunakan seperti di bawah ini<br /><br />Tabel 6<br />Format Asesmen Pemahaman Konsep Abstrak<br /><br />1. Jelaskan fungsi <br />2. Sebutkan jenis kategorinya<br />3. Jelaskan persamaan atau analogi terhadap<br /> konsep lain yang sudah diketahui<br /><br />Pengajaran Konsep<br /><br />Selama proses belajar mengajar atau komunikasi pada orang lain khususnya dengan anak tunanetra, seringkali kita menggunakan konsep-konsep yang tidak mudah atau bahkan sulit dipahami oleh anak. Misalnya, ketika kita berkomunikasi dengan anak tunanetra kita menggunakan istilah (konsep) ‘ini’, ‘itu’, ‘di sana’ yang semuanya tidak dapat dipahami oleh anak tunanetra. Di samping itu, kita juga sering beranggapan bahwah istilah yang kita gunakan sangat mudah, tetapi kenyataannya tidak bagi anak-anak. Jika hal semacam ini berlangsung cukup lama dan banyak konsep yang tidak dipahami, maka dapat menghambat perkembangan konsep anak-anak.<br />Untuk memperkenalkan suatu konsep pada anak-anak agar dipahami secara benar perlu dilakukan dengan pendekatan yang sistematis. Pendekatan yang siste¬matis dalam menyampaikan konsep ada dua langkah. Pertama, memberikan atau mengembangkan definisi tentang konsep yang dimaksud. Pembuatan definisi ini dimaksudkan untuk memberikan karakteristik suatu konsep secara umum dengan cara sesederhana mungkin. Oleh karena itu, definisi ini tidak harus selalu diambil dari kamus. Definisi yang sederhana akan membantu memudahkan untuk me¬mahaminya. Kedua, melakukan pro¬ses analisis secara konseptual agar konsep ter¬sebut dapat dipahami dengan langkah-langkah yang strategis secara hirarkis.<br /> Sebagai contoh, kita akan memperkenalkan konsep ‘depan’. Diharap¬kan anak dapat menunjukkan secara verbal, atau perabaan bagian depan suatu obyek yang tidak memiliki bagian depan dan belakang secara jelas (misalnya meja). Untuk itu, pertama-tama konsep ‘depan’ tersebut kita pecah sekurang-kurangnya satu tingkat di bawah level pemahaman anak. Dalam contoh ini konsep ‘depan’ dipecah menjadi prosedur sebagai berikut. <br />Pertama, anak diminta menunjukkan bagian depan tubuhnya atau meng¬¬identifikasi obyek-obyek yang tidak memiliki bagain depan dan belakang secara jelas (definitive). Kedua, anak diminta mengidentifikasi obyek-obyek yang tersentuh tubuh dengan mengatakan bahwa obyek-obyek tersebut berada di depan tubuhnya. Ketiga, anak diminta mengidentifikasi benda-benda yang berada di depannya. Keempat, anak diminta meng¬iden¬tifikasi bagian depan suatu obyek yang berada di depannya. Dengan pro¬sedur ini, diharapkan anak mendapatkan pengertian istilah ‘depan’ dengan berbagai makna. Prosedur tersebut secara skematis dapat di¬gam¬barkan sebagai berikut. <br /> <br /><br /><br /><br /><br /> <br /><br /><br /> <br /> <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Gambar 1 <br />Skema Hirarki Pengenalan Konsep “depan”<br /><br />KESIMPULAN<br />Karena tunanetra mengalami kesulitan menerima informasi sensori dari penglihatan, banyak konsep tentang obyek-obyek tidak dapat dipahami secara sempurna, khususnya obyek-obyek yang jauh dari jangkauan tangan, terlalu kecil, atau terlalu besar. Oleh karena itu, agar tunanetra tidak meng¬alami hambatan pemahaman konsep yang lebih serius, diperlukan peng¬ajaran konsep yang sistematis dan terencana. Jika pengajaran pema¬haman konsep kepada mereka tidak diberikan secara benar dapat berakibat miskin¬nya konsep.<br />Prosedur pengajaran konsep pada anak tunanetra belum banyak men¬dapat perhatian secara serius oleh para guru dan orangtua. Kurangnya per¬hatian ini disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya belum banyak artikel yang membahas secara khusus tentang pengajaran pemahaman konsep pada anak tunanetra. Diharapkan tulisan ini menjadi salah satu petunjuk bagi orangtua dan guru dalam menanamkan konsep pada anak tunanetra.<br /><br /> <br />DAFTAR PUSTAKA<br />Dodson-Burk, B. dan Hill, E.W. (1989). An orientation and mobility for families and young children. New York: American Foundation for the Blind.<br />Hill, E.W. dan Blasch, B.B. (1980). “Concept development”. Dalam Welsh, R.L., dan Blasch, B.B. (eds.), Foundation of orientation and mobility (hlm. 265-290). New York: American Foundation for the Blind.<br />Tailor, R.L. dan Sternberg, L. (1989). Exceptional Children. Integrating Research and Teaching. New York: Springer-Verlag.<br />Lowenfeld, B. (ed.). (1973). The visually handicapped child in school. New York: The John Day Company.<br />Scholl, G.T. (ed). (1986). Foundations of education for blind and visually handicapped children and youth: Theory and practice. New York: American Foundation for the Blind.<br />McLinden, D.J. (1981). ”Instructional for Orientation and Mobility”. Journal Visual Impairment & Blindness, 75, 7, 300-303<br />Mangold, S.S. (1982). (ed.). A teachers guide to the special educational needs of blind and visually handicapped. New York: American Foundation for the Blind.JASSI_AnakKuhttp://www.blogger.com/profile/12273050106097217296noreply@blogger.com