Buku Tamu

Anda adalah pengunjung ke
View My Stats
  • Isi Buku Tamu
  • Lihat Buku Tamu


  • |

  • Kembali ke Halaman Depan
  • Sampel Artikel
  • PANDUAN PENULISAN NASKAH


  • Jumat, 20 Maret 2009

    PENGEMBANGAN KONSEP PADA ANAK TUNANETRA

    Juang Sunanto

    Jurusan Pendidikan Luar Biasa
    Universitas Pendidikan Indonesia



    ABSTRAK
    Artikel ini membahas tentang pengajaran pengembangan konsep pada anak tunanetra. Secara khusus dalam artikel ini dibahas pengertian konsep, konsep-konsep penting yang perlu dipahami oleh tunanetra, prosedur asesmen pemahaman konsep, dan bagaimana sebaiknya konsep diajarkan. Tulisan ini diharapkan dapat menjadi informasi pengajaran konsep pada anak tunanetra oleh guru dan orangtua.

    Kata kunci: pengembangan konsep, asesmen, anak tunanetra.


    PENDAHULUAN
    Anak dengan hambatan penglihatan (tunanetra) seringkali mengalami kekurangan konsep-konsep dasar dan gagal untuk menyatukan komponen-kom¬ponen penting informasi dari lingkungan untuk membentuk beberapa konsep. Kesulitan membentuk konsep ini salah satu penyebabnya adalah hilangnya persepsi penglihatan. Dibandingkan dengan persepsi yang lain, persepsi penglihatan lebih banyak diterima oleh manusia. Para psikolog dan pendidik percaya bahwa 90-95% persepsi seseorang datang dari informasi visual (Hatlen dan Curry, 1987; dalam Tailor dan Sternberg, 1989).
    Menurut Lowenfeld (1973) ketunanetraan dapat mengakibatkan tiga macam keterbatasan, yaitu (1) keterbatasan dalam luasnya dan variasi pengalaman, (2) keterbatasan dalam kemampuan untuk berpindah tempat, dan (3) keterbatasan untuk mengontrol dan berinteraksi dengan lingkungan. Dalam kehidupan sehari-hari ada banyak informasi atau konsep yang harus dipahami sehingga pengalaman seseorang menjadi kaya. Beberapa informasi atau obyek memerlukan penglihatan untuk me¬mahaminya dengan sempurna, misalnya obyek-obyek yang sangat kecil atau sangat besar, bahaya untuk diraba, jauh dari jangkauan tangan seperti semut, gajah, api, matahari dan sebagainya. Untuk memahami matahari, seorang tunanetra terpaksa melalui deskripsi verbal dari orang lain. Untuk memahami laut dapat melalui men¬dengarkan suara ombak dan meraba airnya, tetapi bagaimana warna dan bentuk gelombangnya tidak dapat dipahami secara sempurna tanpa peng¬lihatan.
    Keterbatasan dalam variasi dan luasnya pengalaman ini sangat terkait dengan proses pembentukan konsep-konsep atau mempersepsi obyek-obyek di lingkungan¬nya. Hambatan atau keterbatasan dalam pembentukan konsep tersebut sangat mempengaruhi perkembangan kognisi seseorang.
    Agar anak tunanetra berkembang secara optimal – khususnya perkem¬bangan kognisinya – setiap lembaga pendidikan atau sekolah bagi anak tunanetra, dalam kurikulumnya perlu memberikan perhatian yang cukup pada materi pengembangan konsep ini. Sebagaimana dinyatakan oleh para praktisi pendidikan bahwa materi pengembangan konsep merupakan salah satu materi yang wajib diajarkan pada anak tunanetra (Dodson-Burk dan Hill, 1989; Hill dan Blasch, 1980). Biasanya materi pengembangan konsep ini tercakup dalam keterampilan Orientasi dan Mobilitas (OM), dimana keterampilan OM mencakup (1) keterampilan sensori (sensory skills), (2) pengembangan konsep (concept development), (3) pengembangan motorik (motor development), (4) keterampilan orientasi (orientation skills), dan (5) kete¬rampilan mobilitas (mobility skills). Tujuan utama pengajaran OM pada tunanetra adalah agar mereka dapat melakukan perjalanan secara aman, mandiri, efektif, dan percaya diri.
    Pengajaran konsep pada anak-anak termasuk anak tunanetra harus di¬berikan dengan metode yang sistematik agar anak dapat membentuk konsep-konsep tersebut secara benar. Dalam pengajaran konsep pada anak tunanetra perlu memper¬tim¬bangkan hal-hal sebagai berikut: konsep-konsep apa saja yang paling mendasar untuk diajarkan, bagaimana melakukan asesmen pe¬ma¬haman konsep dan bagaimana mengintegrasikan pengajaran konsep dalam berbagai mata pelajaran yang lain.
    Tulisan ini bermaksud untuk membahas suatu pendekatan yang siste¬matik untuk mengajarkan konsep-konsep khusus yang penting bagai anak tunanetra. Pendekatan ini didasarkan pada pertimbangan cara berfikir yang logis yang meng¬arahkan agar proses pengajaran konsep dapat dilakukan dengan berhasil.
    PEMBAHASAN

    Pengertian Konsep

    Konsep adalah simbol atau istilah yang menggambarkan suatu obyek, ke¬jadian, atau keadaan tertentu. Memahami suatu konsep tidak cukup hanya mengenal istilahnya saja. Seseorang dikatakan memahami suatu konsep jika ia dapat mengenal istilah (simbol)nya serta dapat mendeskripsikan apa yang digambarkan oleh istilah (simbol) tersebut. Misalnya seseorang mengenal istilah ‘kursi’. Jika ia memahami konsep kursi, maka dia juga dapat men¬jelaskan dan memberikan gambaran tentang kursi yang dimaksud. Misalnya, ”kursi adalah tempat untuk duduk, biasanya me¬miliki empat kaki, ada yang memiliki sandaran dan ada yang tidak. Bahan untuk membuat kursi ada ber¬macam-macam, misalnya kayu, besi, plastik dan lain-lain. Kursi sering dipasangkan dengan meja yang biasanya ada di dalam rumah, diletakkan di ruang tamu atau ruang makan.” Mengetahui atau mengenal suatu istilah namun tidak memahami apa yang digambarkan atau diwakili oleh istilah yang bersangkutan disebut verbalisme.
    Untuk membentuk suatu konsep diperlukan informasi sensoris (sen¬sory information) dari indera untuk diolah dan disimpan dalam otak. Dalam hal ini konsep dapat disamakan dengan kognitif (cognitive) dalam teori per¬kembangan kognitif Peaget.
    Menurut Peaget kemampuan kognitif akan berkembang jika anak berinteraksi dengan lingkungannya. Konsep tentang ruang (spatial) misal¬nya, akan berkembang tergantung utamanya pada indera penglihatan. Me¬nurut Peaget, pengembangan kognitif memiliki beberapa tahap secara hierarki, yaitu mulai tahap sensori motor (sensorimotor), praoperasional (preoperational), operasi konkrit (concrete opera¬tion), dan operasi formal (formal operation). Karena tidak memiliki indera peng¬lihatan (visual), tunanetra mengalami kesulitan untuk mencapai tahap konkrit dalam mema¬hami konsep tertentu, bahkan ada beberapa konsep yang tidak mungkin di¬pahaminya seperti warna, bulan, bintang, matahari, dan lain-lain.
    Konsep tentang jarak atau ruang yang secara ideal dapat dipahami melalui indera penglihatan, tunanetra harus memahaminya melalui haptic atau kinesthetic. Konsep tentang ruang atau jarak ini sangat berguna untuk mengetahui atau menge¬nali hubungan antar obyek. Misalnya, benda B terletak lebih jauh di samping kanan benda A, sementara benda C terletak lebih dekat dengan A dibandingkan dengan B. Untuk mengenal konsep seperti ini tunanetra tidak menggunakan indera penglihatan dan memerlukan teknik khusus.
    Dalam kehidupan sehari-hari, terlalu banyak konsep yang perlu dipahami oleh manusia tak terkecuali tunanetra. Meskipun tunanetra tidak dapat memahami semua konsep yang dapat dipahami oleh orang awas, sekurang-kurangnya mereka perlu mengenal beberapa istilah yang digunakan untuk menggambarkan konsep tersebut, misalnya nama-nama warna, matahari, bulan, bintang dan lain-lain. Pengenalan istilah ini diperlukan untuk memenuhi sebagai alat komunikasi dengan orang awas.

    Konsep-konsep Penting bagi Anak Tunanetra
    Hill dan Blasch (1980) mengklasifikasi jenis-jenis konsep yang diperlukan bagi anak tunanetra menjadi tiga kategori besar, yaitu (1) konsep tubuh (body concepts), (2) konsep ruang (spatial concepts), dan (3) konsep lingkungan (envi¬ronmental concepts). Informasi yang diperlukan oleh tunanetra untuk mengenal konsep tubuh mencakup kemampuan untuk mengidentifikasi atau mengenali nama bagian-bagian tubuh serta mengetahui lokasi, gerakan, hubungannya dengan bagian tubuh yang lain, dan fungsi bagian-bagian tubuh tersebut. Pengenalan tubuh yang baik merupakan modal dasar untuk mengembangkan konsep ruang dan sebagai dasar untuk proses orientasi dirinya terhadap lingkungan yang diperlukan untuk mencapai mobilitas yang baik.
    Konsep ruang (spatial concepts) mencakup posisi (positional) atau hubungan (relational), bentuk, dan ukuran. Sebagai contoh konsep tentang posisi/hubungan meliputi depan, belakang, atas, bawah, kiri, kanan, antara, atau paralel. Yang termasuk konsep bentuk meliputi bulat, lingkaran, persegi panjang, segi tiga, dan lain-lain. Sedangkan yang termasuk konsep ukuran meliputi jarak, jumlah, berat, volume, atau panjang. Konsep ukuran dapat berupa satuan seperti: kg, cm, m2, dll. Di samping itu, yang termasuk konsep ukuran adalah ukuran relatif seperti kecil, besar, berat, ringan, sempit, jauh, dan sebagainya.
    Sebelum memulai mengajar atau mengembangkan konsep pada anak tuna¬netra, diperlukan untuk mengidentifikasi beberapa konsep yang di¬anggap penting untuk dipahami anak tunanetra agar dapat berpartisipasi dalam aktivitas kehidupan sehari-hari, baik di sekolah maupun di rumah. Berikut ini adalah beberapa konsep untuk proyek pengajaran pengembangan konsep dan orientasi mobilitas oleh guru di Universitas San Francisco. Tentu saja ini bukanlah daftar konsep yang terlengkap perlu dipahami oleh anak tunanetra. Konsep-konsep lain masih perlu ditambahkan sesuai dengan kebutuhan masing-masing anak.
    Menurut Hall (1982) ada sepuluh kategori konsep yang dianggap penting bagi anak tunanetra, yaitu (1) kesadaran tubuh (body awareness), (2) kesadaran lingkungan (enviromental awareness), (3) kesadaran karakteristik obyek (awareness of object characteristics), (4) kesadaran waktu (time awareness), (5) kesadaran ruang (spatial awareness), (6) aksi (actions), (7) kualitas (quality), (8) kesadaran simbol (symbol awareness), (9) kesadaran emosi dan sosial (emotional and social awareness), dan (10) proses berfikir (reasoning).
    Kesadaran tubuh adalah konsep-konsep yang digunakan terkait dengan ang¬gota tubuh, yang di antaranya: atas, bawah; belakang, depan; tengah; seluruh tubuh; nama bagian tubuh yang penting; tubuh bagian atas, tubuh bagian bawah; dan hubungan antarbagian tubuh; kesadaran kinestetik meliputi: belok, gerak, diam; kesadaran proprioceptive meliputi: meng¬genggam, lipat tangan, berdiri tegak; sensasi meliputi: pembauan, peng¬lihatan, perabaan, pendengaran, pengecap; ekspresi wajah meliputi: senyum, mengerutkan dahi, dan lain-lain.
    Kesadaran lingkungan yaitu kesadaran atas obyek yang ada di lingkungan dan hubungan khusus antar obyek, misalnya: perempatan, jalan, trotoar, lampu lalu lintas, took, rumah, kafe, bus, kereta api, meja, kursi, kotak surat, tangga, mendung, jalan setapak, jalan layang, pesawat terbang, dan lain-lain.
    Kesadaran karakteristik obyek adalah kesadaran akan karakteristik umum suatu obyek yang meliputi: ukuran, bentuk, warna, suara, tekstur, dan perbandingan. Untuk ukuran misalnya: kecil, sedang, besar, lebar, sempit, panjang, pendek, dalam, dangkal, gemuk, kurus, dan lain-lain. Untuk bentuk misalnya: lingkaran, segi tiga, persegi, bujur sangkar, dan sebagainya. Untuk warna misalnya: gelap, terang, keruh, dan nama-nama warna. Untuk suara misalnya: tinggi, rendah, keras, pelan. Untuk tekstur misalnya: kasar, halus, kaku, lentur, keras, lunak. Perbandingan misalnya, lebih besar, lebih kecil, sama, dan berbeda.
    Kesadaran waktu, yaitu konsep yang berhubungan dengan waktu, misalnya: mulai, berakhir, sebelum, sesudah, pertama, berikutnya, hari ini, besok, kemarin, yang akan datang, dan sebagainya.
    Kesadaran ruang, yaitu konsep yang berhubungan dengan posisi, misalnya: paralel, siku-siku, pinggir, tengah, di dalam, lurus, di antara, jauh, dekat, dan lain-lain.
    Aksi yaitu konsep yang berkaitan dengan gerakan, misalnya: menulis, membaca, melompat, memakan, meminum, merangkak, mendorong, me¬mukul, menarik, melempar, menendang, dan sebagainya.
    Kualitas, yaitu konsep yang berhubungan dengan angka atau kombi¬nasi angka, misalnya: setengah, sepertiga, beberapa, sedikit, dan banyak. Yang berhu¬bungan dengan operasi hitung, misalnya: meter, detik, menit, jam, tambah, kurang, bagi, kali, dan sebagainya.
    Kesadaran simbol, yaitu konsep tentang simbol-simbol yang penting misalnya: arah mata angin, kata ganti orang seperti saya, dia, mereka, kamu, kami, dan lain-lain.
    Kesadaran emosi dan sosial, yaitu konsep-konsep yang berhubungan dengan penyesuaian psikososial, misalnya: bahasa tubuh, konsep diri, suasana hati (sedih, senang, kecewa, atau marah), tinggi rendah suara waktu bicara (intonasi), cara bertanya, dan lain-lain.
    Reasoning yaitu proses berfikir yang menggunakan konsep, misalnya: orien¬tasi, estimasi, memutuskan, membuat pertimbangan (baik, buruk, salah, benar, dan lain-lain).

    Asesmen Pemahaman Konsep

    Sebuah konsep dapat dikenali atau dipelajari melalui tiga aspek penting, yaitu tujuan, karakteristek, dan fungsi. Misalnya konsep tentang pintu dapat dikenali sebagai berikut. Untuk aspek tujuan: pintu bertujuan untuk memisahkan dua ruang dalam suatu bangunan, atau memisahkan antara dalam ruang dan luar ruang. Untuk aspek karakteristik: pintu dapat dibuat dari kayu, metal, kaca, atau triplek. Sedangkan untuk aspek fungsi: pintu dapat berfungsi membuka dan menutup dengan menggunakan engsel.
    Di samping penggunaan prinsip tersebut, pemahaman suatu konsep sangat terkait dengan pengembangan bahasa. Seorang anak dikatakan telah memahami suatu konsep jika mereka dapat mengikuti perintah-perintah dengan menggunakan kata-kata yang menggambarkan konsep tertentu dan dapat menggunakannya dalam percakapan. Misalnya seorang anak diberikan suatu mainan (bola), diletakkan di samping tubuhnya, kemudian kita tanya ”ini apa?”. Misalnya dia menjawab ‘bola’ kemudian ditanya lagi ”bola ada di mana?” dia menjawab ‘di samping’. Kondisi ini menggambarkan bahwa anak telah memahami konsep bola dan sedikit tentang konsep posisi (di samping).
    Karena pemahaman konsep juga berkaitan dengan bahasa, maka dalam meng¬ases pemahaman terhadap suatu konsep harus mencakup respon verbal maupun perilaku (performance). Bagi anak yang mengalami gang¬guan bahasa harus diases dengan menggunakan berbagai komunikasi alternatif yang sesuai dengan keteram¬pilan anak. Untuk melakukan hal ter¬sebut memerlukan keterampilan khusus dan agak sulit. Meskipun demikian, mengases pemahaman konsep memiliki prinsip yang sama. Tingkat pema¬haman konsep sangat bervariasi sesuai dengan kemampuan anak dan tingkat kerumitan konsep itu sendiri. Oleh karena itu, usia anak, fungsi peng¬lihatan, dan jenis konsep yang diases harus menjadi bahan pertimbangan untuk me¬nentu¬kan tingkat pemahaman konsep seorang anak.
    Berdasar prinsip di atas, di bawah ini diberikan model asesmen pema¬haman konsep pada anak tunanetra yang berkenaan dengan (1) pemahaman konsep benda konkrit, (2) pemahaman konsep tentang bagian tubuh, (3) pemahaman konsep tentang karakteristik obyek, (3) pemahaman konsep tentang aksi, (4) pemahaman konsep tentang posisi, dan (6) pemahaman konsep abstrak.
    Untuk mengases pemahaman konsep tentang benda konkrit meng¬gunakan tugas identifikasi, deskripsi fungsi, dan deskripsi hubungan antara suatu obyek dengan obyek yang lain. Untuk identifikasi, seorang anak (yang diases) diminta me¬nunjukkan obyek yang disebut oleh guru (yang mengases) dan sebaliknya anak diminta menyebutkan nama obyek yang ditunjuk oleh guru. Setelah itu anak diminta untuk mendeskripsikan fungsi-fungsi obyek yang disebut dan ditunjuk oleh guru. Pada tahap akhir anak diminta mendeskripsikan mengenai hubungan suatu obyek dengan obyek lain yang disebut dan ditunjuk oleh guru. Obyek yang disebut dan ditunjuk guru diawali dari ‘yang sudah familier’ hingga ‘yang kurang familier’. Adapun format yang digunakan untuk asesmen pemahaman konsep benda konkrit seperti di bawah ini.

    Tabel 1
    Format Asesmen Pemahaman Konsep Benda Konkrit

    Obyek yang
    Familier Obyek yang
    kurang Familier
    1. Identifikasi:
    • Tunjukkan obyek yang disebut oleh guru.
    • Sebut (nama) obyek yang ditunjukkan oleh guru.
    2. Deskripsikan fungsi obyek yang disebut atau ditunjukkan oleh guru.
    3. Deskripsikan hubungan antara obyek yang disebut atau ditunjukkan oleh guru dengan
    obyek yang lain.

    Untuk mengases pemahaman konsep tentang bagian tubuh pada prinsipnya sama dengan prosedur asesmen pemahaman konsep benda konkrit. Bedanya, obyek yang ditunjuk dan disebutkan oleh guru adalah anggota tubuh misalnya tangan, telinga, hidung, baik anggota tubuh sendiri maupun orang lain. Adapun format yang digunakan seperti di bawah ini.

    Tabel 2
    Format Asesmen Pemahaman Konsep Bagian Tubuh

    Diri sendiri Orang lain
    1. Identifikasi:
    Tunjukkan bagian tubuh yang disebut oleh guru.
    2. Sebutkan fungsi bagian tubuh yang disebut/ditunjukkan oleh guru.
    3. Jelaskan hubungan bagian tubuh yang disebut / ditunjukkan oleh guru dengan bagian tubuh yang lain.

    Asesmen pemahaman konsep terhadap karakteristik obyek agak ber¬beda dengan prosedur sebelumnya. Pertama kali anak diminta untuk menye¬but nama obyek yang karakteristiknya disebut oleh guru. Kemudian anak diminta untuk menyebutkan karakteristik suatu obyek yang disebutkan atau ditunjuk oleh guru. Di samping itu anak juga diminta untuk menunjukkan perbedaan suatu obyek dengan obyek yang lain. Adapun format yang di¬gunakan seperti berikut.

    Tabel 3
    Format Asesmen Pemahaman Konsep karakteristik Obyek

    Contoh Perbedaan yang lebih teliti
    1. Identifikasi:
    Tunjukkan karakteristik suatu obyek yang disebut atau ditunjukkan oleh guru
    2. Sebutkan nama obyek yang karakter¬istiknya disebut oleh guru.

    Untuk asesmen pemahaman konsep tentang suatu aksi dilakukan dengan prosedur sebagai berikut. Pada tahap identifikasi, mula-mula guru melakukan aksi (gerakan) tertentu dan anak diminta untuk menirukan. Selanjutnya anak diminta melakukan gerakan (aksi) yang disebut oleh guru. Setelah itu, sebaliknya guru melakukan suatu gerakan dan anak diminta menyebutkan nama gerakan tersebut. Sedangkan pada taraf deskripsi anak diminta untuk menjelaskan fungsi suatu gerakan (aksi). Gerakan yang digunakan adalah gerakan yang dilakukan oleh anak sendiri dan orang lain. Format yang digunakan prosedur tersebut seperti di bawah ini.
    Tabel 4
    Format Asesmen Pemahaman Konsep Suatu Aksi

    Diri sendiri Orang lain
    1. Identifikasi:
    Tirukan gerakan yang dilakukan oleh guru.
    Lakukan gerakan yang disebut oleh guru.
    Sebutkan nama gerakan yang dilakukan.
    2. Jelaskan fungsi suatu aksi yang dilakukan
    oleh guru.

    Untuk asesmen pemahaman konsep tentang posisi dilakukan dengan prosedur sebagai berikut. Anak diminta untuk melakukan posisi yang disebut oleh guru dengan menggunakan anggota tubuh sendiri, anggota tubuh orang lain, atau suatu benda dengan anggota tubuh sendiri, dan anggota tubuh orang lain atau obyek saja. Format yang digunakan seperti di bawah ini. Setelah itu anak juga diminta untuk menyebut nama gerakan yang dilakukan oleh guru.
    Tabel 5
    Format Asesmen Pemahaman Konsep Posisi

    Hanya bagian tubuh sendiri Orang lain atau obyek dan bagian tubuh sendiri Orang lain atau obyek saja
    1. Identifikasi:
    Gerakan ke posisi yang disebut oleh guru.
    2. Sebutkan posisi yang ditunjukkan oleh guru

    Untuk melakukan asesmen pemahaman konsep tentang konsep yang abstrak dilakukan prosedur sebagai berikut. Anak diminta untuk menjelaskan fungsi dari suatu konsep, menyebutkan kategorinya, dan menjelaskan per¬samaan atau analogi dengan konsep lain yang sudah diketahui. Format yang digunakan seperti di bawah ini

    Tabel 6
    Format Asesmen Pemahaman Konsep Abstrak

    1. Jelaskan fungsi
    2. Sebutkan jenis kategorinya
    3. Jelaskan persamaan atau analogi terhadap
    konsep lain yang sudah diketahui

    Pengajaran Konsep

    Selama proses belajar mengajar atau komunikasi pada orang lain khususnya dengan anak tunanetra, seringkali kita menggunakan konsep-konsep yang tidak mudah atau bahkan sulit dipahami oleh anak. Misalnya, ketika kita berkomunikasi dengan anak tunanetra kita menggunakan istilah (konsep) ‘ini’, ‘itu’, ‘di sana’ yang semuanya tidak dapat dipahami oleh anak tunanetra. Di samping itu, kita juga sering beranggapan bahwah istilah yang kita gunakan sangat mudah, tetapi kenyataannya tidak bagi anak-anak. Jika hal semacam ini berlangsung cukup lama dan banyak konsep yang tidak dipahami, maka dapat menghambat perkembangan konsep anak-anak.
    Untuk memperkenalkan suatu konsep pada anak-anak agar dipahami secara benar perlu dilakukan dengan pendekatan yang sistematis. Pendekatan yang siste¬matis dalam menyampaikan konsep ada dua langkah. Pertama, memberikan atau mengembangkan definisi tentang konsep yang dimaksud. Pembuatan definisi ini dimaksudkan untuk memberikan karakteristik suatu konsep secara umum dengan cara sesederhana mungkin. Oleh karena itu, definisi ini tidak harus selalu diambil dari kamus. Definisi yang sederhana akan membantu memudahkan untuk me¬mahaminya. Kedua, melakukan pro¬ses analisis secara konseptual agar konsep ter¬sebut dapat dipahami dengan langkah-langkah yang strategis secara hirarkis.
    Sebagai contoh, kita akan memperkenalkan konsep ‘depan’. Diharap¬kan anak dapat menunjukkan secara verbal, atau perabaan bagian depan suatu obyek yang tidak memiliki bagian depan dan belakang secara jelas (misalnya meja). Untuk itu, pertama-tama konsep ‘depan’ tersebut kita pecah sekurang-kurangnya satu tingkat di bawah level pemahaman anak. Dalam contoh ini konsep ‘depan’ dipecah menjadi prosedur sebagai berikut.
    Pertama, anak diminta menunjukkan bagian depan tubuhnya atau meng¬¬identifikasi obyek-obyek yang tidak memiliki bagain depan dan belakang secara jelas (definitive). Kedua, anak diminta mengidentifikasi obyek-obyek yang tersentuh tubuh dengan mengatakan bahwa obyek-obyek tersebut berada di depan tubuhnya. Ketiga, anak diminta mengidentifikasi benda-benda yang berada di depannya. Keempat, anak diminta meng¬iden¬tifikasi bagian depan suatu obyek yang berada di depannya. Dengan pro¬sedur ini, diharapkan anak mendapatkan pengertian istilah ‘depan’ dengan berbagai makna. Prosedur tersebut secara skematis dapat di¬gam¬barkan sebagai berikut.

















    Gambar 1
    Skema Hirarki Pengenalan Konsep “depan”

    KESIMPULAN
    Karena tunanetra mengalami kesulitan menerima informasi sensori dari penglihatan, banyak konsep tentang obyek-obyek tidak dapat dipahami secara sempurna, khususnya obyek-obyek yang jauh dari jangkauan tangan, terlalu kecil, atau terlalu besar. Oleh karena itu, agar tunanetra tidak meng¬alami hambatan pemahaman konsep yang lebih serius, diperlukan peng¬ajaran konsep yang sistematis dan terencana. Jika pengajaran pema¬haman konsep kepada mereka tidak diberikan secara benar dapat berakibat miskin¬nya konsep.
    Prosedur pengajaran konsep pada anak tunanetra belum banyak men¬dapat perhatian secara serius oleh para guru dan orangtua. Kurangnya per¬hatian ini disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya belum banyak artikel yang membahas secara khusus tentang pengajaran pemahaman konsep pada anak tunanetra. Diharapkan tulisan ini menjadi salah satu petunjuk bagi orangtua dan guru dalam menanamkan konsep pada anak tunanetra.


    DAFTAR PUSTAKA
    Dodson-Burk, B. dan Hill, E.W. (1989). An orientation and mobility for families and young children. New York: American Foundation for the Blind.
    Hill, E.W. dan Blasch, B.B. (1980). “Concept development”. Dalam Welsh, R.L., dan Blasch, B.B. (eds.), Foundation of orientation and mobility (hlm. 265-290). New York: American Foundation for the Blind.
    Tailor, R.L. dan Sternberg, L. (1989). Exceptional Children. Integrating Research and Teaching. New York: Springer-Verlag.
    Lowenfeld, B. (ed.). (1973). The visually handicapped child in school. New York: The John Day Company.
    Scholl, G.T. (ed). (1986). Foundations of education for blind and visually handicapped children and youth: Theory and practice. New York: American Foundation for the Blind.
    McLinden, D.J. (1981). ”Instructional for Orientation and Mobility”. Journal Visual Impairment & Blindness, 75, 7, 300-303
    Mangold, S.S. (1982). (ed.). A teachers guide to the special educational needs of blind and visually handicapped. New York: American Foundation for the Blind.