Buku Tamu

Anda adalah pengunjung ke
View My Stats
  • Isi Buku Tamu
  • Lihat Buku Tamu


  • |

  • Kembali ke Halaman Depan
  • Sampel Artikel
  • PANDUAN PENULISAN NASKAH


  • Jumat, 20 Maret 2009

    MELAKUKAN ORIENTASI ULANG TENTANG PENDIDIKAN BAGI PESERTA DIDIK TUNAGRAHITA

    (Dari Pendekatan Formal ke Pendekatan Fungsional)


    Zaenal Alimin

    Jurusan PLB FIP
    Universitas Pendidikan Indonesia


    ABSTRAK

    Pendididikan bagi peserta didik tunagrahita saat ini dipandang masih belum berhasil. Ketidakberhasilan proses pembembelajaran bukan semata-mata karena keterbatasan yang dimiliki oleh anak tunagrahita, tetapi karena ketidakefektifan proses pembelajaran yang terjadi di seko¬lah. Proses pembelajaran terlalu formal dan lebih menekankan pada pem¬belajaran yang bersifat akdemik. Oleh karena itu diperlukan orien¬tasi ulang tantang pembelajaran dari yang bersifat formal ke yang bersifat fungsional. Pembelajaran yang bersifat fungsional menekankan pada hambatan belajar dan kebutuhan setiap peserta didik agar dapat mencapai perkembangan secara optimal, baik perkembangan vertikal maupun perkembangan horizontal, bukan didasarkan semata-mata pada kurikulum. Pembelajaran lebih berpusat pada anak, bukan pada kuri¬kulum.

    Kata kunci: Pendekatan formal, pendekatan fungsional, peserta didik tunagrahita, perkembangan vertikal, perkembangan horizontal.


    PENDAHULUAN

    Pendidikan bagi peserta didik tunagrahita seharusnya ditujukan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki anak secara optimal, agar mereka dapat hidup mandiri dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan di mana mereka berada.
    Hasil observasi lapangan (Alimin, 2006) menunjukkan bahwa indi¬vidu tunagrahita yang telah menyelesaikan pendidikan dari Sekolah Luar Biasa, pada umumnya belum menunjukkan perkembangan yang diharapkan. Sebagai contoh, seorang individu tunagrahita yang telah selesai mengikuti program pendidikan selama 12 tahun, ternyata masih belum bisa mandiri, masih belum memiliki keterampilan untuk mengurus diri dan masih meng¬alami ketergantungan kepada orang tuanya atau saudaranya cukup tinggi. Maka dari itu, ada kesan bahwa pendidikan yang telah diikuti sekian lama –sejak jenjang pendidikan dasar (SDLB-SLTPLB) hingga jenjang pendidikan menengah (SMLB) itu– sepertinya tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kehidupan individu tunagrahita.
    Keadaan seperti itu bukan semata-mata karena keterbatasan yang di¬alami peserta didik tunagrahita, akan tetapi juga karena terdapat kesen¬jang¬an antara program pendidikan di sekolah (SLB) dengan harapan orang tua dan harapan lingkungan. Masyarakat dan orang tua mengharapkan agar anak-anaknya yang mengalami tunagrahita memiliki keterampilan dalam kehidupan sehari-hari, sesuai dengan potensi yang dimiliki masing-masing individu siswa, sementara layanan pendidik di sekolah belum mengarah ke sana.
    Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa program pendidikan bagi peserta didik tunagrahita saat ini masih sangat menekankan kepada aspek pengajaran yang bersifat akademik (semata-mata menyampaikan bahan ajar), itupun dalam pelaksanaannya masih besifat klasikal dan belum mem¬perhitungkan perbedaan hambatan belajar dan kebutuhan yang dialami anak secara individual (Alimin, 2006). Padahal esensi pendidikan pada peserta didik tunagrahita bersifat individual (Suhaeri & Purwanta, 1996). Persoalan lain yang juga penting untuk diperhatikan yaitu program pembelajaran pada peserta didik tunagrahita di sekolah belum terkait dengan kehidupan nyata sehari-hari. Seolah-olah apa yang terjadi di sekolah tidak ada hubungannya dengan kehidupan anak. Padahal sekolah seharusnya mengembangkan pro¬gram-program yang terkait langsung dengan kehidupan anak di ling¬kung¬annya (Miriam, 2003).
    Kelemahan yang terjadi dalam pendidikan pada peserta didik tuna¬grahita selama ini diduga sangat erat kaitannya dengan belum tepatnya layanan pendidikan yang dilakukan, yaitu hanya menekankan pada penyam¬paian bahan ajar (semata-mata mengejar target kurikulum), belum memper¬hatikan dengan seksama perbedaan-perbedaan hambatan perkembangan dan hambatan belajar secara individual, serta belum mengaitkan program pen¬didikan di sekolah dengan kehidupan nyata yang dialami oleh individu tuna¬grahita.
    Oleh karena itu diperlukan usaha-usaha untuk melakukan orientasi ulang terhadap pendidikan bagi peserta didik tunagrahita. Untuk itu, tulisan ini mengupas secara singkat tentang masalah-masalah yang dialami oleh peserta didik tunagrahita, analisis tentang pendidikan bagi mereka yang saat ini berlangsung, dan membahas beberapa usulan yang perlu dilakukan se¬bagai upaya perbaikan (dipandang sebagai orientasi ulang tentang pen¬didikan bagi peserta didik tunagrahita).

    PEMBAHASAN
    A. Hambatan yang Dialami Peserta Didik Tunagrahita
    Secara umum individu tunagrahita mengalami dua hambatan utama yaitu hambatan dalam perkembangan kognitif dan hambatan dalam perilaku adaptif. Kedua hal itu menimbulkan hambatan dalam belajar, hambatan dalam menyesuiakan diri dengan lingkungan dan hambatan dalam menolong diri.
    1. Konsep
    Individu yang mengalami tunagrahita sering keliru dipahami oleh masyarakat, bahkan kadang-kadang para profesional dalam bidang pen¬didikan sekalipun salah dalam memahami tunagrahita. Perilaku individu yang mengalami tunagrahita kadang-kadang aneh, tidak lazim dan sering tidak cocok dengan situasi lingkungan, sering menjadi bahan tertawaan dan olok-olok bagi orang-orang yang berada di dekatnya. Keanehan tingkah laku itu dianggap oleh orang awam sebagai orang sakit jiwa.
    Tunagrahita sesungguhnya bukan sakit jiwa. Perilaku aneh dan kadang-kadang tidak lazim itu karena anak mengalami kesulitan dalam menilai situasi akibat hambatan dalam perkembangan kognitif. Dengan kata lain terdapat kesenjangan yang lebar antara kemampuan berpikir (mental age) dengan perkembangan usia (chronological age). Sebagai contoh anak yang berusia 15 tahun menunjukkan tingkah laku seperti anak berusia 8 tahun, sehingga tingkah laku yang ditampilkan tidak sejalan dengan perkem¬bangan usianya. Tunagrahita berkaitan langsung dengan perkembangan kog¬nitif yang rendah dan merupakan kondisi, sementara sakit jiwa berkaitan dengan disintegrasi kepribadian dan setiap orang memiliki peluang untuk mengalaminya. Ketunagrahitaan merupakan kondisi yang kompleks, menun¬jukkan kemampuan intelektual yang rendah dan memiliki hambatan dalam perilaku adaptif. Seseorang tidak dapat dikategorikan sebagai tunagrahita apabila tidak memenuhi dua kriteria tersebut.
    Istilah perilaku adaptif diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam memikul tanggung jawab sosial menurut ukuran norma sosial tertentu, sejalan dengan perkembangan usia (chronological age). Hambatan dalam perilaku adaptif pada individu tunagrahita dapat dilihat dari dua area, yaitu 1) keterampilan menolong diri (personal living skills) dan 2) keterampilan dalam hubungan interpersonal dan keterampilan dalam menggunakan fasi¬litas yang diperlukan setiap hari (social living skills). Individu tunagrahita mengalami hambatan dalam kedua hal tersebut (Ingalls, 1987).
    Berdasarkan perkembangan kognitif atau kemampuan kecerdasan, se¬seorang dikategorikan tunagrahita apabila kemampuan kecerdasannya me¬nyimpang 2 sampai 3 simpangan baku (standard deviation) dari ukuran rata-rata. Jika menggunakan ukuran kecerdasan dari Stanford Binet (rata-rata IQ 100 dengan simpangan baku 16), maka individu yang memiliki IQ 68-54 ke bawah dikategorikan sebagai tunagrahita (Smith, 2003). Patokan simpangan baku di atas selanjutnya digunakan untuk membuat pengelompokan berat ringannya ketunagrahitaan yang dialami oleh seseorang. Individu yang ting¬kat kecerdasannya menyimpang 2 hingga 3 simpangan baku dari rata-rata di¬kelom¬pok¬kan sebagai tunagrahita ringan. Individu yang tingkat kecerdas¬annya menyimpang 3-4 simpangan baku dari rata-rata dikelompokkan se¬bagai tunagrahita sedang. Individu yang tingkat kecerdasannya me¬nyimpang 4-5 simpangan baku dikelompokkan sebagai tunagrahita berat, dan sim¬pang¬an baku 6 keatas dikategorikan sebagai individu yang meng¬alami ketuna¬grahitaan sangat berat.

    2. Hambatan-hambatan yang Dialami Individu Tunagrahita
    Perkembangan fungsi kognitif/kecerdasan yang terhambat disertai oleh kemampuan perilaku adaptif yang rendah, berakibat langsung kepada kehidupan mereka sehari-hari, antara lain meliputi:
    a. Hambatan dalam Belajar
    Aktivitas belajar berkaitan langsung dengan perkembangan kognitif dan kecerdasan. Di dalam kegiatan belajar sekurang-kurangnya dibutuhkan kemampuan dalam mengingat, memahami, dan kemampuan untuk mencari hubungan sebab akibat. Oleh sebab itu anak-anak pada umumnya dapat menemukan kaidah dalam belajar. Setiap anak akan mengembangkan sendiri kaidah dalam mengingat, memahami dalam mencari hubungan sebab akibat tentang apa yang sedang mereka pelajari. Sekali kaidah itu dapat ditemukan, anak dapat belajar secara efektif. Setiap anak biasanya mempunyai kaidah belajar yang berbeda satu sama lainnya.
    Peserta didik tunagrahita pada umumnya tidak memiliki kaidah dalam belajar. Mereka mengalami kesulitan dalam memproses informasi secara abstrak, sedangkan belajar bagi mereka harus terkait dengan objek yang bersifat kongkret. Kondisi seperti itu berhubungan dengan kesulitan dalam mengingat, terutama ingatan jangka pendek.
    Peserta didik tunagrahita dalam belajar hampir selalu dilakukan dengan coba-coba. Mereka tidak dapat menemukan kaidah dalam belajar, sukar melihat objek yang sedang dipelajari secara keseluruhan. Mereka cenderung melihat objek secara terpisah-pisah. Oleh karena itu peserta didik tunagrahita mengalami kesulitan dalam mencari hubungan sebab akibat. Hasil penelitian Alimin (1993) menunjukkan bahwa individu tunagrahita mengalami apa yang disebut dengan cognitive deficite yang tercermin pada salah satu atau lebih proses kognitif, seperti persepsi, daya ingat, mengem¬bangkan ide, evaluasi, dan penalaran.
    Hasil penelitian tersebut berseberangan dengan pendirian para pang¬anut psikologi perkembangan seperti Zigler (1968) yang menjelaskan bahwa jika anak tunagrahita dibandingkan dengan anak yang bukan tunagrahita pada CA yang sama, sudah pasti anak tunagrahita secara kognitif akan ketinggalan, akan tetapi apabila anak tunagrahita dibandingkan dengan anak yang bukan tunagrahita pada MA yang sama secara teoritis mempunyai perkembangan yang sama. Pendirian para penganut teori perkembangan ternyata tidak selalu cocok untuk menjelaskan fenomena ketunagrahitaan. Sebab meskipun anak tunagrahita dibandingkan dengan anak yang bukan tunagrahita pada MA yang sama, ternyata secara kognitif perkembangannya tertinggal oleh anak yang bukan tunagrahita, meskipun pada MA yang sama.

    b. Hambatan dalam Penyesuaian Diri
    Individu tunagrahita mengalami hambatan dalam memahami dan meng¬artikan norma lingkungan. Oleh karena itu mereka sering melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan norma lingkungan dimana mereka berada. Tingkah laku individu tunagrahita kadang-kadang dianggap aneh oleh orang lain karena mungkin tindakannya tidak lazim atau apa yang mereka lakukan tidak sesuai dengan usianya.
    Keganjilan tingkah laku yang tidak sesuai dengan ukuran normatif berkaitan dengan kesulitan dalam memahami dan mengartikan norma, sedangkan keganjilan tingkah laku berkaitan dengan ketidaksesuaian atau kesenjangan antara perilaku yang ditampilkan dengan perkembangan umur. Sebagai contoh anak tunagrahita yang berusia 10 tahun berperilaku seperti anak usia 6 tahun. Hal ini disebabkan adanya selisih yang signifikan antara CA dengan MA. Semakin anak tunagrahita menjadi dewasa, selisih ini akan semakin lebar. Hal inilah yang mungkin menimbulkan persepsi yang salah dari masyarakat mengenai tunagrahita.

    c. Hambatan dalam Perkembangan Bahasa
    Kemampuan bahasa pada anak-anak diperoleh melalui proses yang menakjubkan dengan beberapa cara. Pertama, anak belajar bahasa dari apa yang mereka dengar setiap hari. Hampir semua anak dapat menguasai dasar aturan bahasa (gramatikal) kurang lebih pada usia 4 tahun. Kedua, anak-anak belajar bahasa tidak sekedar meniru ucapan yang mereka dengar. Anak-anak belajar juga konsep gramatikal yang abstrak dalam menghubungkan kata-kata menjadi kalimat. Anak-anak di manapun dan belajar bahasa apapun ternyata melalui tahapan dan proses yang sama. Dapat dipastikan bahwa perolehan bahasa dan bicara merupakan sifat biologis manusia (Ingalls, 1987).
    Terdapat dua hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan gangguan proses bahasa. Pertama, gangguan atau kesulitan bicara, dimana individu mengalami kesulitan dalam mengartikulasikan bunyi bahasa dengan benar. Kenyataan menunjukkan bahwa anak tunagrahita banyak yang mengalami kesulitan bicara dibandingkan anak pada umumnya. Kelihatan dengan jelas bahwa terdapat hubungan positif antara hambatan perkembangan kognitif dengan gangguan bicara. Kedua, hal yang lebih serius adalah gangguan bahasa dimana seorang anak mengalami kesulitan dalam memahami konsep kosa-kata, kesulitan memahami aturan sintaksis dan gramatikal dari bahasa yang digunakan.
    Peserta didik tunagrahita yang mengalami gangguan bahasa lebih banyak dibandingkan dengan yang mengalami gangguan bicara. Hasil penelitian Ingalls (1987) tentang kemampuan berbahasa anak tunagrahita menunjukkan bahwa: 1) anak tunagrahita pada dasarnya memperoleh ke¬terampilan bahasa sama seperti anak pada umumnya, 2) kecepatan anak tunagrahita dalam memperoleh keterampilan berbahasa jauh lebih rendah dibandingkan dengan anak pada umumnya, 3) kebanyakan anak tunagrahita tidak dapat mencapai keterampilan berbahasa yang sempurna, 4) per¬kem¬bangan bahasa anak tunagrahita sangat ketinggalan dibandingkan dengan anak pada umumnya, sekalipun pada MA yang sama, 5) anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam memahami gramatikal, 6) anak tunagrahita meng¬alami kesulitan dalam menggunakan dan memahami kalimat majemuk.

    d. Masalah Kepribadian
    Anak-anak tunagrahita memiliki ciri kepribadian yang khas, berbeda dari anak-anak pada umumnya. Perbedaan ciri kepribadian seseorang di¬bentuk oleh faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Terdapat sejumlah alasan yang menjelaskan mengapa individu tunagrahita mempunyai hambat¬an dalam perkembangan kepribadian. Alasan-alasan tersebut meliputi: 1) isolasi dan penolakan, 2) labeling dan stigma, 3) stres keluarga, 4) frustrasi dan kegagalan, serta 5) kesadaran rendah.

    1) Isolasi dan penolakan
    Perilaku seorang individu tunagrahita yang dipandang ganjil dan aneh oleh orang lain, cenderung akan dikucilkan dari pergaulan kelompok teman sebaya. Anak tunagrahita cenderung tidak mempunyai teman, mereka men¬jadi tersingkir dari pergaulan sosial. Penolakan dari teman sebaya bukan semata-mata disebabkan oleh label tunagrahita, tetapi lebih disebabkan oleh perilaku aneh dan ganjil yang mereka tampilkan.
    Penolakan teman sebaya terhadap anak tunagrahita karena anak tuna¬grahita mengalami kesulitan dalam belajar keterampilan sosial yang di¬perlukan dalam pergaulan sosial. Semakin kehadiran anak tunagrahita di¬tolak oleh teman sebaya, anak tunagrahita semakin mengembangkan cara yang salah dalam berhubungan dengan teman. Penolakan dan isolasi seperti ini menyebabkan munculnya penyimpangan kepribadian dan penyimpangan dalam penyesuaian diri.

    2) Labeling dan stigma
    Pemberian label tunagrahita yang bersifat permanen dapat dipandang sebagai bentuk diskriminasi dan merupakan vonis yang harus disandang seumur hidup. Label seperti ini telah membentuk persepsi masyarakat bahwa tunagrahita adalah kelompok manusia yang dikategorikan sebagai manusia yang tidak normal (stigma).
    Stigma seperti itu menimbulkan pemisahan yang tajam anatara manusia yang di-stigma-kan sebagai tunagahita dengan manusia lainnya. Sebagai akibat dari labeling dan stigma seperti itu, sebagian orang tua melarang anak-anaknya untuk bergaul dan bermain dengan anak tunagrahita.

    3) Stres keluarga
    Para ilmuwan psikologi, sosiologi, dan pakar pendidikan sepakat bahwa keluarga merupakan faktor yang sangat penting dan menentukan dalam perkembangan anak. Seorang anak yang dibesarkan dalam keluarga yang penuh kasih sayang dan kelahirannya diterima oleh kedua orang tua¬nya, cenderung akan menjadi orang dewasa yang dapat menyesuaikan diri dengan baik. Sementara, sorang anak yang dibesarkan yang kehadirannya ditolak atau terlalu dilindungi oleh kedua orang tuanya, cenderung akan menjadi orang dewasa yang sulit menyesuaikan diri.
    Kehadiran seorang anak tunagrahita dalam keluarga cenderung me¬nim¬bulkan stres dan ketegangan pada keluarga yang bersangkutan. Ketika orang tua mengetahui bahwa anaknya tunagrahita, orang tua pada umumnya mengalami perasaan bersalah atau menunjukkan mekanisme pertahanan diri, atau mungkin merasa kecewa yang mendalam. Akibat stres dan ketegangan seperti itu mungkin orang tua menolak kehadiran anak atau mungkin memberikan perlindungan yang sangat berlebihan. Sikap-sikap seperti tu dapat mengakibatkan masalah perilaku dan emosi pada anak yang ber¬sangkutan.

    4) Frustasi dan kegagalan
    Sebagai akibat dari adanya hambatan dalam perilaku adaptif, anak tunagrahita tidak dapat memenuhi tugas-tugas yang dituntut oleh masyarakat atau oleh teman sebayanya. Akibat dari keadaan seperti itu, anak tunagrahita cenderung mengalami banyak kegagalan dan frustrasi. Kegagalan dan frus¬trasi yang sangat sering dialami oleh anak tunagrahita berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian.

    5) Kesadaran rendah
    Proses kognitif dan proses kepribadian merupakan dua hal yang berdiri sendiri tetapi saling mempengaruhi. Proses kognitif terlibat erat dalam perubahan pola kepribadian dan bahkan dalam reaksi emosi. Sangat masuk akal apabila berpegang pada asumsi bahwa orang yang kemampuan kognitifnya tidak memadai seperti halnya tunagrahita, kepribadiannya tidak matang dan tidak rasional.
    Sebagai contoh, aspek penting dalam perkembangan kepribadian ada¬lah kontrol terhadap impuls dan pengendalian dari tindakan impulsif. Kontrol impuls berkaitan erat dengan pekembangan kognitif. Anak pada umumnya akan dapat mengontrol impuls dan menunda kepuasan sejalan dengan bertambahnya umur. Akan tetapi anak tunagrahita mengalami ke¬kurangan dalam perkembangan kognitif, maka anak tunagrahita pada umum¬nya mengalami kesulitan dalam mengontrol impuls dan sukar mengontrol keinginan dalam memenuhi kepuasan sesaat. Ciri kepribadian anak tunagrahita ditandai oleh dua hal, yaitu (a) pengendalian lokus eksternal (external locus of control), dan (b) kelemahan fungsi ego.

    (a) Pengendalian lokus eksternal (external locus of control)
    Istilah locus of control dapat dijelaskan sebagai persepsi individu ter¬hadap kejadian yang terjadi pada dirinya sendiri. Individu yang memiliki internal locus of control dapat merasakan bahwa apa yang terjadi pada diri¬nya sebagian besar ditentukan oleh tindakannya sendiri. Sementara individu yang memiliki external locus of control merasakan bahwa apa yang terjadi pada dirinya ditentukan oleh tindakan orang lain. Anak tunagrahita pada umumnya memiliki external locus of control.
    External locus of control dari anak tunagrahita cenderung mengarah kepada perasaan tidak berdaya. Sebagai contoh, anak tunagrahita yang ke¬hilangan barang, tidak ada usaha untuk mencarinya. Anak tunagrahita pada umumnya tidak memiliki daya untuk melakukan usaha atas kemauan sendiri, ia akan melakukannya apabila ada dorongan yang datang dari orang lain.

    (b) Kelemahan fungsi ego
    Para peneliti seperti Robinson (1965), Stenlich (1972), dan Deutsch (1972; dalam Ingalls 1987) telah melakukan analisis terhadap kepribadian tunagrahita dengan menggunakan teori psikoanalisis Sigmund Freud. Menurut Freud, struktur kepribadian dibagi kedalam tiga bagian yaitu: Id sebagai tempat beradanya impuls-impuls, insting, dan drive yang dibawa sejak lahir, merupakan aspek biologis. Ego, yang berfungsi sebagai eksekutif yang bertugas untuk menguji realitas membawa impuls-impuls dari Id dan membuat keseimbangan antara impuls-impuls yang datang dari Id dengan tuntutan realitas. Ego merupakan aspek psikologis dari kepribadian. Semen¬tara Super Ego mempunyai kepedulian terhadap aspek moralitas dan merupakan aspek sosiologis dari kepribadian atau sinomim dengan istilah kesadaran.
    Anak tunagrahita mengalami kelemahan dalam fungsi ego. Ego ber¬fungsi untuk mengenali dan mempelajari realitas, memahami akibat dari sebuah tindakan, memenuhi dorongan insting dan drive sehingga ketegangan dapat dilepaskan dengan cara-cara yang dapat diterima secara sosial. Anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam proses seperti itu. Artinya anak tunagrahita kebanyakan tidak mampu untuk mengontrol impuls-impuls dan oleh karena itu emosinya mudah meledak.
    Kelemahan fungsi ego menyebabkan anak tunagrahita sulit untuk menyalurkan ketegangan insting dalam bentuk perilaku yang dapat diterima. Penyaluran ketegangan dalam mengontrol kecemasan lebih banyak bersifat primitif. Semakin primitif mekanisme pertahanan diri semakin tidak efektif dalam mereduksi kecemasan. Semakin canggih mekanisme pertahanan diri (yang secara sosial dapat diterima) semakin efektif dalam mereduksi ke¬tegangan. Oleh sebab itu perilaku anak tungrahita biasanya ditandai oleh reaksi irrasional dan kecemasan yang berlebihan.

    B. Refleksi tentang Pendidikan bagi Peserta Didik Tunagrahita yang Berlangsung Saat ini

    Setelah diuraikan secara singkat tentang hambatan-hambatan yang di¬alami oleh individu tunagrahita seperti digambarkan diatas, timbul per¬tanya¬an apakah layanan pendidikan bagi peserta didik tunagrahita yang dilakukan saat ini fungsional sehingga dapat mengembangkan potensi mereka secara optimal? Untuk menjawab pertanyaan itu diperlukan semacam analisis dan refleksi terhadap layanan pendidikan bagi peserta didik tunagrahita yang sedang berlangsung saat ini.
    Hasil penelitian Alimin (2006) memberikan gambaran tentang layanan pendidikan peserta didik tunagrahita di Sekolah Luar Biasa yang terjadi saat ini. Kesimpulan penelitian itu menunjukkan bahwa layanan pendidikan lebih bersifat formal, ini dapat dilihat dalam tiga hal, yaitu: 1) kurikulum yang digunakan, 2) pendekatan pembelajaran, dan 3) penilaian hasil belajar; dapat diuraikan sebagai berikut.

    1. Kurikulum yang Digunakan
    Temuan penelitian Alimin (2006) menunjukkan bahwa kurikulum yang digunakan cenderung bermuatan akademik yang besifat formal. Isi kurikulum belum banyak menyentuh kebutuhan dan hambatan belajar peserta didik tunagrahita, sehingga kecil kemungkinannya kurikulum seperti ini dapat mengembangkan potensi peserta didik secara optimal. Tampaknya terdapat semacam kebijakan yang dilakukan untuk membuat garis linier antara apa yang ada dan terjadi di sekolah biasa, harus ada dan terjadi pula di sekolah luar biasa untuk peserta didik tunagrahita. Oleh karena itu dalam struktur dan isi kurikulumnya mengandung unsur-unsur yang tidak fungsi¬onal untuk memenuhi kebutuhan belajar peserta didik tunagrahita.
    Sejauh ini para guru cenderung menggunakan kurikulum sebagai patokan utama dalam melakukan proses pembelajaran. Dengan kata lain pembelajaran berorientasi pada kurikulum (curriculum oriented), belum mempertimbangkan hambatan belajar, hambatan perkembangan, dan ke¬butuhan peserta didik secara individual. Para guru memiliki kecenderungan melakukan pembelajaran semata-mata menyampaikan bahan pelajaran yang tercantum dalam kurikum dan berusahan hanya untuk menyelesaikan target berdasarkan kurikulum tersebut. Guru kurang mempedulikan hal-hal yang terjadi pada diri siswa, seperti misalnya apakah telah terjadi proses belajar pada diri siswa, apakah siswa telah mengalami perubahan ke arah perkem¬bangan yang positif. Data seperti itu hanya akan dapat diperoleh melalui proses yang disebut asesmen. Pada saat ini asesmen kurang mendapat per¬hatian para guru, padahal sangat penting dalam pendidikan peserta didik tunagrahita.
    Pembelajaran yang perpusat pada kurikulum biasanya memberi peluang kepada guru untuk melakukan proses pembelajaran secara klsikal dan membuat norma/ukuran yang klasikal pula. Padahal sesungguhnya esensi pendidikan bagi peserta didik tunagrahita bersfat individual.

    2. Pendekatan Pembelajaran
    Temuan penelitian Alimin (2006) menunjukkan bahwa pendekatan pembelajaran yang dilakukan oleh kebanyakan guru lebih bersifat formal, berpusat pada kurikulum, dan berpusat pada guru; belum memperhatikan perbedaan perkembangan dan hambatan belajar peserta didik tunagrahita secara individual. Pada umumnya guru menyampaikan bahan pelajaran langsung pada tahap abstrak. Sementara peserta didik tunagrahita memiliki kesulitan dalam memahami konsep yang bersifat abstrak, mereka me¬merlukan aktivitas belajar yang dimulai dari tahap kongkret. Untuk meng¬kongkretkan konsep yang bersifat abstrak diperlukan media atau alat peraga, akan tetapi kebanyakan para guru di Sekolah Luar Biasa untuk peserta didik tunagrahita belum memanfaatkan media dan alat peraga dalam pem¬belajaran.
    Pendekatan pembelajaran yang berpusat pada kurikulum menyebab¬kan adanya kesenjangan bahan pelajaran dengan hambatan belajar dan kebutuhan belajar peserta didik tunagrahita. Terdapat banyak prasyarat yang seharusnya menjadi dasar dalam pembelajaran, tidak dapat dipenuhi.
    Secara fisik, susunan kelas (classroom arrangement) lebih bersifat statis. Kelas hampir tidak pernah berubah susunannya, sehingga anak men¬jadi sangat terikat pada posisi tempat duduknya. Keterikatan seperti itu sesungguhnya tidak menguntungkan bagi perkembangan peserta didik tuna¬grahita.
    Dalam proses pembelajaran, kebanyakan para guru cenderung lebih banyak memberikan perintah dan larangan, sangat jarang para guru mem¬berikan semacam penghargaan ketika peserta didik dapat melakukan sesuatu yang positif sekecil apapun. Ada kesan yang kuat bahwa para guru belum memunculkan empati ketika sedang berinteraksi dengan peserta didik.
    Dampak dari pendekatan pembelajaran seperti itu menyebabkan ter¬jadinya kesenjangan antara perkembangan aktual yang dicapai anak dengan perkembangan optimum yang seharusnya dapat dicapai. Kesenjangan ini bukan semata-mata karena faktor kecerdasan tunagahita yang kurang, tetapi juga karena faktor lingkungan dan pendekatan pembelajaran yang belum efektif.
    Ketepatan penggunaan pendekatan pembelajaran dan kesesuian ling¬kungan belajar dengan perkembangan peseta didik sangat penting dalam mengoptimalkan perkembangan. Hal ini sejalan dengan asumsi bahwa per¬kembangan yang dicapai oleh peserta didik dipandang sebagai hasil belajar yang diperoleh melalui interaksi dengan lingkungan. Lingkungan dengan segala perangkatnya dipandang sebagai wahana untuk mengembangkan potensi peserta didik (Vygotsky, 1988, Capuzzi, 1995, Kartadinata, 1996). Perkembangan yang dapat dicapai oleh peserta didik sebagai perolehan hasil belajar akan sangat tergantung kepada kualitas interaksi anak dengan ling¬kungannya.
    Pembelajaran yang dilakukan oleh para guru saat ini belum me¬manfaatkan lingkungan belajar secara optimal. Hal ini dapat dilihat ketika pembelajaran berlangsung, belum terjadi interaksi yang intensif antara guru dengan anak, ataupun anak dengan anak. Atmosfir kelas cenderung kering, belum ada upaya untuk menghubungkan pengalaman anak dengan bahan pelajaran yang akan diajarkan.

    3. Penilaian Hasil Belajar
    Berdasarkan hasil wawancara dengan para guru dalam memaknai pengertian hasil belajar, para guru cenderung mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hasil belajar adalah penguasaan bahan pelajaran oleh peserta didik melalui sebuah ujian atau tes yang dinyatakan dalam bentuk angka (kuantitatif).
    Oleh karena itu apa yang dilakukan oleh para guru dalam menilai hasil belajar peserta didik tunagrahita baru menyangkut aspek penguasaan bahan pelajaran secara kognitif. Penilaian seperti ini belum dapat meng¬ungkapkan seluruh perkembangan yang terjadi pada diri peserta didik sebagai hasil belajar. Penilaian seperti ini tidak memberikan informasi yang memadai tentang apa yang telah terjadi pada diri peserta didik secara utuh.
    Dalam konteks pendidikan tunagrahita, hasil belajar harus dilihat secara utuh, yaitu perubahan yang terjadi pada semua aspek perkembangan, dan perkembangan dipandang sebagai perolehan/hasil belajar (Vygotsky, 1988). Oleh karena itu penilaian seharusnya dilakukan untuk mengetahui perubahan pada semua aspek perkembangan peserta didik tunagrahita. Perubahan yang terjadi pada peserta didik sekecil apapun harus dapat di¬identifikasi dan dicatat sebagai data yang dapat dilaporkan sebagai laporan kemajuan siswa dalam belajar.
    Sehubungan dengan itu diperlukan perubahan dalam memaknai kon¬sep hasil belajar oleh para guru di Sekolah Luara Biasa, dan diperlukan diversifikasi cara melakukan penilaian hasil belajar, sehingga dapat meng¬gambarkan kondisi objektif setiap peserta didik secara lengkap.

    C. Pendekatan Fungsional dalam Pendidikan Tunagrahita Sebagai Orientasi yang Dituju

    1. Makna Pendekatan Fungsional
    Perkembangan yang terjadi pada diri seorang anak merupakan hasil belajar. Dengan kata lain perkembangan merupakan akibat dari proses belajar (Vygotsky, 1978). Oleh karena itu hasil belajar harus dipandang sebagai satu kesatuan holistik, menyangkut semua aspek perkembangan individu. Sangat keliru apabila ada anggapan yang mengatakan bahwa hasil belajar hanya berkenaan dengan bidang akademik semata-mata. Berpijak pada asumsi bahwa perkembangan adalah hasil belajar, maka proses belajar harus membantu anak agar dapat berkembang secara optimal.
    Selanjutnya Vygotsky (1988) menjelaskan secara lebih khusus tentang pendidikan anak tunagrahita. Ia menjelaskan bahwa pendidikan anak tuna¬grahita harus mempertimbangakan situasi sosial dimana anak itu berada dan pembelajaran dilakukan untuk mendekatkan jarak antara kompetensi orang dewasa dengan perkembangan anak yang dicapai pada saat itu (zone of proximal development), sehingga anak dapat mencapai perkembangan yang lebih tinggi. Untuk mengembangkan kemampuan anak tunagrahita di¬per¬lukan waktu-upaya yang lebih banyak dan waktu lebih lama diban¬dingkan dengan anak pada umumnya. Oleh karena itu upaya pendidikan dan pem¬belajaran masih belum cukup untuk memberdayakan tunagrahita, masih diperlukan upaya lain yang lebih mengarah kepada upaya pemberian bantuan dalam pengembangan diri yang memberikan kesempatan dan kemudahan kepada siswa untuk belajar agar dapat berkembang sebagai manusia.
    Untuk mencapai perkembangan itu, sekurang-kurangnya guru harus memiliki empat kemampuan, yaitu: (1) Asesmen perkembangan anak, (2) Adaptasi kurikulum (bahan ajar) dengan perkembangan anak, (3) Memilih lingkungan belajar, dan (4) Tahapan pembelajaran. Urutan nomor dari setiap aspek, menunjukkan pula urutan prosedur kerja dari pendekatan ini.

    2 . Kemampuan yang Seharusnya Dimiliki Oleh Guru
    2.1 Asesmen Perkembangan Anak
    Asesmen diperlukan untuk mengetahui perkembangan anak tuna¬grahita yang dicapai saat ini. Perkembangan anak dalam pendekatan ini didefinisikan sebagai proses perubahan yang bersifat progresif dan holistik. Perkembangan anak tunagrahita tidak hanya dilihat sebagai proses yang mengikuti tahapan anak tangga, yang menjelaskan bahwa setiap anak tangga harus dilewati satu demi satu, tetapi juga perkembangan harus dilihat sebagai proses sirkuler yang melingkar ke samping. Oleh karena itu proses per¬kem¬bangan harus dilihat sebagai proses perubahan yang mengikuti arah spiral, yaitu interaksi antara perkembangan yang mengikuti arah anak tangga (perkembangan vertikal) dengan perkembangan yang mengikuti arah lingkaran (perkembangan horizontal).
    Sebagai konsekuensi dari pendirian bahwa perkembagan itu bersifat spiral, maka asesmen perkembangan anak tunagrahita dilakukan dalam dua bentuk yaitu asesmen perkembangan vertikal dan asesmen perkembangan horizontal.

    a) Asesmen Perkembangan Vertikal
    Asesmen perkembangan vertikal digunakan untuk melihat tahapan perkembangan yang dicapai oleh setiap anak tunagrahita. Dalam model ini, perkembangan vertikal difokuskan kepada perkembangan kognitif yang berpijak pada pandangan Piagetian Constuctivism, yang meliputi empat tahap perkembangan yaitu: Sensorimotor, kongkret-operasional, formal operasional, dan dialektik (Capuzzi,1995). Perkembangan vertikal adalah perpindahan dari level yang lebih rendah ke level yang lebih tinggi. Individu yang berada pada level sensorimotor memerlukan bantuan untuk mencapai perkembangan yang lebih tinggi yaitu perkembangan pra-operasional.
    Setiap tahapan perkembangan kognitif memiliki karakteristik yang khas dan memerlukan lingkungan belajar yang khas pula. Perkembangan sensorimotor memerlukan lingkungan yang terstruktur, dan direktif. Individu yang berada pada tahap perkembangan ini memerlukan pengalaman belajar yang kongkret. Perkembangan pra-oprasional memerlukan lingkungan bel¬ajar yang bersifat semi terstruktur. Perkembangan formal operasional memerlukan lingkungan belajar yang konsultatif, dan perkembangan dialek¬tik memerlukan lingkungan belajar yang bersifat kolaboratif.
    Teknik asesmen yang digunakan untuk mengetahui perkembangan vertikal anak adalah wawancara terbuka dan bebas (komunikasi verbal). Ungkapan atau ekspresi verbal dari setiap anak yang diajak bicara, atau diwawancara menunjukkan tahap perkembangan kognitif yang dicapai saat ini. Apabila guru sudah dapat mengetahui secara vertikal tahapan per¬kembangan anak, maka guru sudah dapat menentukan lingkungan belajar yang harus disediakan.

    b) Asesmen Perkembangan Horizontal
    Perkembangan horizontal adalah sebuah eksplorasi, penguasaan dan elaborasi tentang sikap, emosi, dan perilaku yang berkenaan dengan suatu tahap perkembangan vertikal tertentu. Ini adalah proses yang digunakan untuk menjamin konstruksi dengan landasan yang kokoh. Untuk mengetahui perkembangan horizontal yang telah dicapai oleh anak tunagrahita, dilakukan dengan menggunakan teknik observasi dan wawancara kepada setiap anak.
    Secara horizontal, perkembangan anak tunagrahita yang di-asesmen mencakup tiga aspek yaitu aspek perkembangan keterampilan bahasa (mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis), aspek perkembangan keteranpilan berhitung, dan perkembangan perilaku adaptif. Data hasil asesmen perkembangan horizontal dijadikan dasar dalam menentukan bahan ajar untuk disesuaikan dengan kebutuhan anak tunagrahita. Di sinilah awal terjadi proses penyesuaian antara materi kurikulum dengan perkembangan anak, sehingga pembelajaran menjadi berpusat kepada anak dan kurikulum menjadi fleksibel.

    2.2 Adaptasi Kurikulum dengan Perkembangan Anak
    Data hasil asesmen perkembangan kognitif vertikal menjadi dasar dalam menentukan lingkungan belajar dan interaksi pembelajar yang se¬harus¬nya dilakukan oleh guru. Sementara itu, data hasil asesmen per¬kembangan kognitif horizontal memberikan informasi tentang kapasitas dan hambatan belajar yang dialami oleh anak tunagrahita dalam belajar bahasa, berhitung, dan perilaku adaptif. Data hasil asesmen horizontal digunakan sebagai dasar untuk menyusun program pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan anak tunagrahita. Oleh karena itu dilakukan penyesuaian antara isi kurikulum dengan kebutuhan belajar anak tunagrahita.
    Penyesuaian antara isi kurikulum dengan kebutuhan anak tuna¬grahita, ditempuh melalui dua langkah. Pertama, -melalui asesmen- harus diketahui lebih dahulu kemampuan yang sudah dimiliki dan hambatan belajar yang dialami oleh anak tunagrahita dalam pelajaran tertentu, misal¬nya dalam pelajaran berhitung. Kedua, menemukan pada tahap mana dan materi apa dalam kurikulum –misalnya dalam pelajaran berhitung– yang sesuai dengan kemampuan dan hambatan anak tunagrahita. Jika secara eksplisit di dalam kurikulum tidak ditemukan topik atau pokok bahasan yang diperlukan, maka harus dilakukan analisis ururan prerekuisit dari setiap pokok bahasan. Sangat mungkin terjadi ada prerekuisit yang tidak secara eksplisit tercantum dalam kurikulum, menjadi tujuan pembelajaran.
    Hasil analisis isi kurikulum (content analysis), memberikan infor¬masi yang jelas tentang urutan prerekuisit dari setiap topik atau pokok bahasan, sehingga menjadi sangat mudah untuk melakukan penyesuaian antara kurikulum dengan kemampuan setiap anak tunagrahita.

    2.3 Memilih Lingkungan Belajar
    Dalam perspektif pendekatan fungsional, lingkungan belajar yang diciptakan harus sejalan dengan perkembangan kognitif vertikal individu yang akan belajar. Perkembangan kognitif terdiri atas empat tahap yaitu: tahap sensorimotor, kongkret operasional, formal operasional, dan dialektik. Setiap tahap perkembangan memerlukan lingkungan belajar yang sesuai dengan karakteristik dari tahapan perkembangan tersebut. Tahapan per¬kembangan seorang anak tunagrahita diketahui melalui proses asesmen (Capuzzi, 1995).
    Tahap perkembangan sensorimotor bersesuaian dengan lingkungan belajar yang terstruktur, tahap perkembangan pra-operasional bersesuaian dengan lingkungan belajar yang bersifat semi terstrukur, tahap per¬kem¬bangan formal operasional bersesuaian dengan lingkungan belajar konsul¬tatif, dan perkembangan kognitif dialektik bersesuaian dengan lingkungan belajar yang bersifat kolaboratif.

    2.4 Tahapan Pembelajaran
    Pendekatan fungsional dalam pembelajaran anak tunagrahita, me¬miliki tiga tahapan. Pertama tahap orientasi, kedua tahap mediasi, dan ketiga tahap ko-konstruksi. Ketiga tahap pembelajaran itu merupakan kesatuan yang utuh dan terintegrasi, sehingga perindahan dari satu tahap ke tahap lainnya tidak terdapat jeda dalam pelaksanaannya. Pelaksanaan pem¬bel¬ajaran dalam model ini memerlukan dua orang guru, yaitu guru utama (main teacher) yang bertugas mengelola kelas secara keseluruhan, dan guru pendamping (co-teacher) yang bertugas memberikan perhatian dan pe¬layanan kepada setiap anak.

    (a) Tahap orientasi: Pembelajaran pada tahap ini merupakan proses menghubungkan antara pengalaman anak dengan bahan ajar dan lingkungan belajar. Pada tahap ini guru menciptakan situasi yang dapat membangkitkan perhatian dan motivasi semua anak agar terlibat aktif dalam aktivitas yang diciptakan oleh guru, tanpa merasa bahwa mereka sedang belajar. Tahap orientasi dimaksudkan untuk mengawali kegiatan belajar dengan aktivitas yang gembira dan menyenangkan.
    Pada tahap ini terdapat dua kegiatan utama yang harus dilakukan oleh guru, yaitu pertama penataan posisi duduk anak. Susunan tempat duduk tidak dibuat dalam bentuk barisan, akan tetapi disusun dalam bentuk yang lebih fleksibel (memungkinkan diubah-ubah), bisa dalam bentuk setengah lingkaran, kelompok, atau saling berhadap-hadapan. Kegiatan ini dilakukan bersama-sama antara guru dengan semua anak. Posisi guru utama (main teacher) berada di tempat yang dapat dilihat oleh semua anak, sementara itu guru pendamping (co-teacher) berkeliling menghampiri setiap anak untuk memberikan bantuan yang diperlukan oleh setiap anak. Kedua, guru mengajak anak-anak untuk berceritera tentang sesuatu yang pernah dialami oleh anak-anak, kemudian menghubungkannya dengan bahan ajar yang akan disampaikan. Hal ini dilakukan, untuk menghubungkan antra bahan ajar dengan pengalaman anak.
    Dengan kata lain pembelajaran selalu dimulai dari apa yang telah diketahui dan dialami oleh anak, sehingga pembelajaran menjadi lebih menarik, lebih menyenangkan dan lebih bermakna bagi anak, karena tidak ada diskontinyuitas antara pengalaman masa lalu dengan pengetahuan baru.

    (b) Tahap Mediasi: Pada tahap ini diciptakan situasi agar terjadi interaksi antara anak dengan perangsang yang disediakan. Guru tidak memulai pembelajaran dengan penjelasan konsep, tetapi dimulai dari aktivitas. Terdapat tiga urutan proses yang harus dilalui pada tahap ini yaitu: belajar pada tahap kongkret, semi kongkret, dan belajar pada tahap abstrak.

     Pembelajaran level kongret: Proses pembelajaran yang meng¬hubungkan anak dengan banyak perangsang (media) yang bersifat kongret. Anak diberi kesempatan seluas-luasnya untuk memanipulasi objek kongkret yang ber¬hubungan dengan konsep yang diajarkan. Dengan kata lain konsep yang bersifat abstrak diakses melalui proses yang dapat diamati secara visual, auditif, kinestetik, dan taktual. Sehingga konsep yang diajarkan bisa dipahami oleh anak secara lengkap dan mantap.
    ¬
     Pembelajaran level semi kongkret: Proses pembelajaran yang terjadi di sini sama seperti pada tahap kongret. Perbedaannya terletak pada perangsang (media) yang digunakan. Pada tahap ini media atau perangsang yang digunakan adalah media dua dimensi (gambar). Hal ini dimaksudkan untuk menjembatani antara pemahaman yang bersifat kongkret dengan pemahaman yang bersifat abstrak.

     Pembelajaran level abstrak: Pada tahap ini pembelajaran tidak lagi menggunakan perangsang (media), tetapi lebih banyak menggunakan bahasa secara verbal. Pada tahap ini diharapkan anak mengalami proses meng¬konstruksi dan merekonstruksi pengetahuan baru dihubungkan dengan pengetahuan yang sudah dimiliki anak sebelumnya.

    (3) Tahap Ko-konstruksi: Pembelajaran pada tahap ini merupakan kegiatan pemantapan, agar anak mengalami proses adaptasi kognitif, yaitu terjadi perkembangan pada diri anak sebagai hasil belajar. Terdapat dua proses yang terjadi pada tahap ini, yaitu proses yang mengarah kepada aktivitas evaluasi dan proses yang mengarah kepada aktivitas asesmen. Keduanya terjadi dan menyatu dalam proses pembelajaran.
    Evaluasi tidak dimaknai secara sempit sebagai ujian, tapi harus dilihat sebagai upaya untuk melihat perkembangan yang terjadi pada diri anak sebagai hasil belajar. Sementara itu, asesmen dimaknai sebagai upaya untuk melihat hambatan belajar yang dialami oleh anak pada saat mengikuti proses pembelajaran.

    DAFTAR PUSTAKA

    Alimin, Z. (1993). Study on Cognitive Process of Incomplete Figure Recognitiion in Children with Mentally Retarded. Master Thesis University of Tsukuba: Tsukuba.
    Alimin, Z. (2006). Model Pembelajaran Anak Tunagrahita Melalui Pendekatan Konseling: Penelitian Tindakan Kolaboratif dalam Upaya Mengembangkan Anak Tunagrahita Mencapai Perkembangan Opti¬mum. Disertasi Sekolah Pascasarjana UPI. Bandung: tidak diterbitkan.
    Bairne-Smith, M. (2002). Mental Retardation. Columbus: Merrill Prentice Hall.
    Capuzzi, D. (1995). Counseling and Psychotherapy: Theories and Intervenstion. Columbus: Prentice Hall.
    Ingals, P.R. (1987). Mental Retardation The Changing Outlook. New York: John Wiley & Son.
    Kartadinata, S. (1996). Kerangka Kerja Bimbingan dan Konseling dalam Pendidikan: Pendekatan Ekologis Sebagai Alternatif. Pidato Pengu¬kuhan Guru Besar pada Jurusan BP FIP IKIP Bandung. Bandung: tidak diterbitkan.
    Skjorten, D.M. (2003). Education-Special Needs Education: An Introduction. Oslo: Unifub
    Suhaeri, HN. & Purwanta, E. (1996). Bimbingan Konseling Anak Luar Biasa. Jakarta: Ditjen Dikti Depdiknas.
    Vygotsky, L. (1988). Mind in Society. The Development of Higher Psychological Process. Cambridge: Harvad University Press.