Buku Tamu

Anda adalah pengunjung ke
View My Stats
  • Isi Buku Tamu
  • Lihat Buku Tamu


  • |

  • Kembali ke Halaman Depan
  • Sampel Artikel
  • PANDUAN PENULISAN NASKAH


  • Kamis, 29 April 2010

    Indeks Inklusi dalam Pembelajaran di Kelas yang Terdapat ABK di Sekolah Dasar

    Indeks Inklusi dalam Pembelajaran
    di Kelas yang Terdapat ABK di Sekolah Dasar

    Juang Sunanto
    Universitas Pendidikan Indonesia


    ABSTRAK

    Tujuan utama penelitian ini untuk mengetahui (1) bagaimanakah keberadaan anak berkebutuhan khusus (ABK) di Sekolah Dasar yang menyelenggarakan pendidikan inklusif di Kota Bandung, (2) berapa besar indeks inklusi (index for inclusion) yang dicapai di Sekolah Dasar yang menyelenggarakan pendidikan inklusif di Kota Bandung, dan (3) berapa besar indeks inklusi di Sekolah Dasar penyelenggara pendidikan inklusif berdasarkan jumlah ABK, jumlah siswa keseluruhan di kelas, jumlah guru, dan pengalaman guru mengikuti pelatihan tentang penanganan ABK. Indeks inklusi diperoleh dengan melakukan pengamatan pada proses pembelajaran di kelas dengan menggunakan 18 indikator yang dikembangkan oleh Centre for Studies on Inclusive Education. Penelitian dilakukan terhadap 10 kelas dari 4 Sekolah Dasar di Kota Bandung yang menyelenggarakan pendidikan inklusif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) jumlah ABK di Sekolah Dasar inklusif bervariasi dari 1 sampai 4 anak. Sedangkan jumlah siswa antara 20 dan 46. Pada umumnya kelas yang memiliki siswa ABK gurunya lebih dari satu. (2) rata-rata indeks inklusi sebesar 38,58 dengan indeks ideal 54. (3) indeks inklusi yang tinggi dicapai di kelas yang memiliki guru lebih dari satu, gurunya sering mengikuti pelatihan penanganan ABK, siswa ABK lebih banyak, dan jumlah siswa keseluruhan lebih sedikit.
    Kata Kunci: Indeks inklusi, Sekolah Dasar, proses pembelajaran


    PENDAHULUAN


    Pendidikan inklusif telah disepakati oleh banyak negara untuk diimplementasi¬kan dalam rangka memerangi perlakuan diskriminatif di bidang pendidikan. Pendidikan inklusif didasari oleh dokumen-dokumen internasional, yaitu Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948, Konvensi PBB tentang Hak Anak tahun 1989, Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua, Jomtien tahun 1990, Peraturan Standar tentang Persamaan Kesempatan bagi para Penyandang Cacat tahun 1993, Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus tahun 1994.
    Strategi, metode, atau cara mengimplementasikan pendidikan inklusif di masing-masing negara sangat bervariasi (UNESCO, 200; Stubbs, 2002). Keberagaman implementasi ini disebabkan karena tiap-tiap negara memiliki budaya dan tradisi yang berbeda. Perbedaan implementasi ini juga terjadi di tingkat provinsi, kota, bahkan sekolah. Sebenarnya perbedaan cara implementasi ini tidak menjadi masalah asalkan prinsip dan motivasinya sama.
    Pemerintah Indonesia telah berupaya mengimplementasikan pendidikan inklusif melalui berbagai program dan kegiatan yang dilaksanakan oleh Departemen Pendidikan Nasional dan Dinas-dinas pendidikan di provinsi, Kota/Kabupaten. Dalam praktiknya, implementasi pendidik¬an inklusif menemui berbagai kendala dan tantangan. Kendala tersebut di antaranya yang sering dilaporkan adalah kesalahan pemahaman tentang konsep pendidikan inklusif, peraturan atau kebijakan yang tidak konsisten, sistem pendidikan yang tidak luwes dan sebagainya.
    Sejak pemerintah memperkenalkan dan mengimplementasikan pendidikan inklusif di sekolah-sekolah, wacana tentang pendidikan inklusi telah menarik perhatian banyak kalangan, khususnya para penyelenggara pendidikan. Semakin meningkatnya perhatian terhadap pendidikan inklusif tidak secara otomatis implementasinya berjalan secara lancar. Akan tetapi, berbagai pandangan dan sikap yang justru dapat menghambat implementasi pendidikan inklusi makin beragam. Oleh karena itu, pertanyaan tentang sejauh mana implementasi pendidikan inklusif di Indonesia telah terjadi patut mendapat perhatian.
    Keterlaksanaan pendidikan inklusif khususnya di sekolah sampai sekarang belum banyak dilaporkan. Di samping itu, implementasi pendidikan inklusif dipengaruhi juga oleh banyak faktor, misalnya kebijakan pemerintah, sumber dukungan yang ada, sikap, pengetahuan, dan pemahaman para praktisi pendidikan terhadap pendidikan inklusif. Penelitian ini bermaksud menggambarkan nilai-nilai inklusi yang telah ada di Sekolah Dasar yang memiliki siswa berkebutuhan khusus di Kota Bandung. Nilai-nilai inklusi yang dimaksud adalah praktik-praktik yang dilakukan guru selama mengajar di kelas. Nilai-nilai inklusi tersebut diamati menggunakan indeks inklusi (index for inclusion) yang dikeluarkan oleh Centre for Studies on Inclusive Education (CSIE).
    Upaya memperkenalkan dan mencobakan pendidikan inklusif di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1980-an. Meskipun demikian, belum banyak hasil penelitian yang melaporkan tentang kualitas atau pencapaian pelaksanaan pendidikan inklusif. Sukses pelaksanaan pendidikan inklusif dipengaruhi oleh banyak faktor di antaranya faktor budaya, politik, sumber daya manusia (Kwon, 2005). Menurut Ainscow (2002) keterlaksanaan pendidikan inklusif dapat dievaluasi menggunakan suatu indeks yang disebut index for inclusion. Secara konseptual indeks inklusi ini dibangun dari tiga dimensi, yaitu (1) dimensi Budaya (creating inclusive cultures), (2) dimensi Kebijakan (producing inclusive policies), dan (3) dimensi Praktik (evolving inclusive practices). Setiap dimensi dibagi dalam dua seksi, yaitu: Dimensi budaya terdiri atas seksi membangun komunitas (building community) dan seksi membangun nilai-nilai inklusif (establishing inclusive values). Dimensi kebijakan terdiri atas seksi pengembangan tempat untuk semua (developing setting for all) dan seksi melaksanakan dukungan untuk keberagam¬an (organizing support for diversity). Sedangkan dimensi praktik terdiri atas seksi belajar dan bermain bersama (orchestrating play and learning) dan seksi mobilisasi sumber-sumber (mobilizing resources). Penelitian ini bermaksud (1) Mengetahui keberadaan anak berkebutuhan khusus (ABK) di Sekolah Dasar yang menyelenggarakan pendidikan inklusif di Kota Bandung?, (2) Mengetahui indeks inklusi (index for inclusion) di kelas pada Sekolah Dasar yang menyelenggarakan pendidikan inklusif di Kota Bandung?, dan (3) Mengetahui indeks inklusi di kelas pada Sekolah Dasar di Kota Bandung yang menyelenggarakan pendidikan inklusif berdasarkan jumlah ABK, jumlah siswa, jumlah guru, dan pengalaman guru mengikuti pelatihan penanganan ABK?


    METODE


    Subjek
    Subjek penelitian ini adalah kelas di Sekolah Dasar yang memiliki siswa berkebutuhan khusus yang ada di Kota Bandung. Berdasarkan data di Dinas Pendidikan Kota Bandung ada sebanyak 15 kelas yang tersebar di 8 Sekolah Dasar. Oleh karena itu, yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah Sekolah Dasar yang menyelenggarakan pendidikan inklusif. Dalam penelitian ini dipilih 10 kelas sebagai subjek penelitian yang diambil secara acak dari 4 Sekolah Dasar.
    Prosedur
    Data keberadaan anak berkebutuhan khusus (ABK), jumlah siswa keseluruhan, jumlah guru, dan pengalaman guru mengikuti pelatihan tentang penanganan ABK diperoleh melalui wawancara dengan guru kelas. Sedangkan indeks inklusi diperoleh dengan observasi terhadap proses pembelajaran di kelas dengan menggunakan daftar observasi yang terdiri dari 18 indikator. Setiap indikator yang dengan jelas teridentifikasi diberikan skor 3, yang ragu-ragu 2, dan yang tidak teridentifikasi 1, maka skor maksimal indeks inklusi yang dicapai adalah 54.
    Data utama dalam penelitian ini adalah (1) indeks inklusi, (2) jumlah ABK dalam kelas, (3) jumlah siswa keseluruhan, (4) jumlah guru yang mengajar, dan (5) pengalaman guru mengikuti pelatihan penangan ABK yang semuanya merupakan data kuantitatif, maka untuk menganalisis data tersebut digunakan analisis statistik deskriptif.


    HASIL DAN PEMBAHASAN


    Dalam kelas inklusi, ada kecenderungan bahwa jumlah ABK antara 1 dan 4 dengan guru lebih dari 1 yang terdiri dari guru kelas dengan guru khusus atau guru pembantu. Jenis ABK dengan learning disability (LD) lebih banyak ditemukan di samping anak autis dan tunagrahita (Tabel 2). Fenomena ini sesuai dengan temuan penelitian terdahulu bahwa anak-anak dengan LD dan auitis sering tidak tampak secara kasat mata (Golis, 1995), sehingga mereka tidak dikenali sejak masuk sekolah tetapi sering teridentifikasi setelah mengikuti proses pembelajaran. Peristiwa semacam ini sering kali membuat sekolah mau menerima ABK secara terpaksa pada awalnya tetapi kemudian menerima dengan motivasi yang lebih positif.

    Tabel 2

    Table with 5 columns and 10 rows.

    Kelas
    Jumlah ABK
    Jenis ABK
    Jumlah Siswa
    Jumlah Guru

    Kelas 1
    2
    1 Tunadaksa, 1 LD
    34
    1

    Kelas 2
    2
    1 LD, 1 ASD
    33
    2

    Kelas 3
    2
    1 ADHD, 1 LD
    46
    3

    Kelas 4
    2
    1 Tunagrahita, 1 LD
    34
    2

    Kelas 5
    1
    1 LD
    35
    1

    Kelas 6
    1
    1 ADHD
    20
    1

    Kelas 7
    4
    1 Tunagrahita, 1 Autis, 1 LD, 1 Gifted
    22
    6

    Kelas 8
    3
    Autis, LD, ADHD
    20
    3

    Kelas 9
    2
    2 Autis
    20
    4

    Kelas 10
    2
    1 Tunagrahita, 1 ADHD
    25
    4
    End of table.

    Dari indeks inklusi maksimal 54, ditemukan indeks tertinggi 51,6 dan terendah 28 dengan rata-rata 38,.58. Hal ini menunjukkan bahwa inklusivitas yang dicapai oleh Sekolah Dasar yang menyelenggarakan pendidikan inklusif belum optimal. Menurut data ini, indeks inklusi tertinggi terjadi pada sekolah dengan jumlah murid 22 orang, ABK 4 dengan guru 6 orang. Hal ini tampaknya jumlah guru yang cukup memadai menjadi faktor utama untuk mencapai indeks inklusi yang tinggi.

    Indeks inklusi pada kelas dengan jumlah ABK lebih banyak adalah lebih tinggi daripada indeks inklusi pada kelas dengan jumlah ABK lebih sedikit. Sedangkan kelas dengan jumlah siswa keseluruhan lebih sedikit indeks inklusi lebih tinggi. Indeks inklusi tertinggi dicapai oleh kelas dengan jumlah guru lebih banyak serta pada kelas yang dengan guru yang lebih banyak mengikuti pelatihan. Hal ini mengindikasikan bahwa faktor jumlah ABK, siswa keseluruhan, jumlah guru, dan keikutsertaan pelatihan berdampak pada pencapaian indeks inklusi dalam pembelajaran di kelas.



    Dalam instrumen untuk menggali indeks inklusi memiliki 18 indikator. Masing-masing indikator tersebut adalah: indikator 1 perencanaan, indikator 2 saling berkomunikasi, indikator 3 partisipasi, indikator 4 pemahaman perbedaan, indikator 5 aktivitas yang melecehkan anak, indikator 6 keterlibatan anak, indikator 7 kerja sama, indikator 8 penilaian, indikator 9 saling menghormati, indikator 10 aktivitas kegiatan berpasangan, indikator 11 bantuan pengajaran, indikator 12 mengambil bagian, indikator 13 pengaturan kelas, indikator 14 sumber pelajaran, indikator 15 perbedaan sebagai sumber, indikator 16 pemanfaatan sumber ahli, indikator 17 pengembangan sumber, dan indikator 18 pemanfaatan sumber.
    Grafik 3 menunjukkan bahwa indikator 3, 6, dan 9, yaitu tentang partisipasi anak, keterlibatan anak dalam kegiatan, dan saling menghormati mendapat skor tertinggi. Sementara itu indikator yang mendapat skor terendah adalah indikator 10 dan 16, yaitu indikator yang terkait dengan kegiatan berpasangan dan penggunaan sumber daya ahli.
    Sesuai dengan pertanyaan penelitian yang diajukan, hasil penelitian menunjukkan bahwa pada 10 kelas yang menyelenggarakan pendidikan inklusi, jumlah ABK bervariasi dari 1 sampai 4, di mana kelas dengan 2 ABK paling banyak ditemukan. Sedangkan jumlah siswa keseluruhan paling sedikit 20 dan paling banyak 46. Pada umumnya kelas yang memiliki ABK gurunya lebih dari satu, yaitu satu guru utama dibantu oleh asisten atau guru khusus, namun beberapa kelas gurunya hanya satu. Jika dalam kelas ada ABK, keadaan yang paling ideal jika ada guru kelas dan guru khusus. Guru khusus ini sebaiknya guru yang memiliki latar belakang pendidikan luar biasa (PLB) yang bertindak sebagai guru konsultan bagi guru kelas. Banyak negara di Eropa dan Amerika mewajibkan setiap sekolah yang memiliki siswa ABK menyediakan guru khusus. Akhir-akhir ini di Indonesia ada kecenderungan sekolah yang memiliki siswa ABK mulai menyediakan guru khusus yang umumnya terjadi di sekolah swasta. Ketersediaan guru khusus ini ada yang disediakan oleh sekolah sendiri ada pula yang disediakan oleh orangtua.
    Pada penelitian ini ditemukan rata-rata indeks inklusi sebesar 38,58 dengan indeks ideal 54. Hal ini menunjukkan bahwa indeks inklusi tertinggi baru mencapai 71,4%. Banyaknya guru yang mengajar turut mempengaruhi pencapaian indeks inklusi, di mana jumlah guru yang lebih banyak mencapai indeks inklusi yang lebih tinggi. Di samping itu, pencapaian indeks inklusi tinggi juga terjadi pada guru yang te lebih banyak mengikuti pelatihan tentang penanganan ABK.
    Sementara itu, indeks inklusi lebih tinggi dicapai oleh kelas yang memiliki ABK lebih banyak. Sebaliknya pada kelas yang jumlah siswa keseluruhannya lebih sedikit indeks inklusi lebih tinggi dari pada kelas yang jumlah siswa keseluruhannya lebih sedikit.
    Kelas yang memiliki jumlah guru lebih banyak indeks inklusinya lebih tinggi dibandingkan dengan kelas yang memiliki jumlah guru sedikit. Fenomena ini dapat dijelaskan bahwa dengan jumlah guru lebih dari satu menyebabkan perhatian khusus pada ABK lebih baik sehingga memungkinkan ABK dapat berpartisipasi dalam kegiatan belajar dan berpartisipasi secara optimal di kelas.
    Kelas yang memiliki guru dengan pengalaman mengikuti pelatihan tentang penanganan ABK yang lebih banyak indeks inklusinya lebih tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa kegiatan pelatihan memberikan dampak pada guru untuk menerapkan prinsip-prinsip pendidikan inklusif dalam proses pembelajaran di kelas. Efektivitas pelatihan untuk mengubah perilaku seseorang dapat dijelaskan dengan perubahan sikap seseorang di mana sikap memiliki tiga aspek yaitu, aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Dengan diberikan informasi yang benar pengetahuan seseorang menjadi benar, dengan pengetahuan yang benar mempengaruhi seseorang untuk berbuat benar pula. Dengan argumen ini, dapat diduga guru yang mengikuti pelatihan menyebabkan mereka menerapkan prinsip-prinsip pendidikan inklusif yang benar.
    Indikator yang membentuk indeks inklusi dalam penelitian ini terdiri dari 18 indikator. Indikator yang mendapat skor tertinggi atau sering terjadi di dalam kelas adalah indikator yang terkait dengan partisipasi, keterlibatan anak dalam belajar, dan saling menghormati.


    DAFTAR PUSTAKA

    Booth, T. and Ainscow, M. (2002). Index for Inclusion. Developing Learning and Participation in School, London: CSIE.
    Golis, S. A. at al (1995) Inclusion in Elementary Schools: A Survey and policy Analysis. A peer-reviewed scholarly electronic Journal, education policy Analysis archives. 3,15.
    Kwon, H. (2005). Inclusion in South Korea: The current situation and future directions. International Journal of Disability, Development and Education, 52, 1, 59-68.
    Stubbs, S. (2002). Inclusive Education Where There are Few Resources. Oslo: The Atlas Alliance.
    UNESCO (2002). Open File on Inclusive Education. Support Materials for Managers and Administrators.