Buku Tamu

Anda adalah pengunjung ke
View My Stats
  • Isi Buku Tamu
  • Lihat Buku Tamu


  • |

  • Kembali ke Halaman Depan
  • Sampel Artikel
  • PANDUAN PENULISAN NASKAH


  • Jumat, 27 Januari 2012

    Pembelajaran Membaca dan Menulis Braille Permulaan pada Anak Tunanetra

    Sari Rudiyati
    Universitas Negeri Yogyakarta

    ABSTRAK

    Penelitian kualitatif ini bertujuan untuk mendeskripsikan pembelajaran membaca dan menulis Braille permulaan bagi anak-anak tunanetra di Sekolah Luar Biasa Tunanetra, terutama ditinjau dari persepsi guru, strategi, metodik khusus, dan peralatan yang digunakan. Subjek penelitian Kepala Sekolah, guru dan siswa. Teknik pengumpulan data melalui pengamatan berperan-serta, wawancara mendalam, dan studi dokumentasi, sedang untuk analisis data digunakan model alir dan interaktif. Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat perbedaan persepsi guru terkait dengan kompetensi guru, kemampuan yang harus dimiliki siswa serta pentingnya membaca dan menulis Braille permulaan bagi anak tunanetra. Strategi strategi khusus yang dilakukan guru adalah usaha kompensasi keterbatasan visual dengan melatih dria-dria non-visual terutama dria taktual. Metodik khusus yang digunakan guru yaitu melakukan modifikasi cara dan alat membaca dan menulis Braille. Peralatan yang digunakan yaitu bahan limbah dan peralatan seperti potongan-potongan kain; kertas amplas yang berbeda teksturnya, gunting, kertas tebal dan tipis, biji-bijian; papan huruf/bacaan atau Reken Plank,Reglet dan penanya atau stylus.
    Kata kunci: membaca,menulis, Braille permulaan, tunanetra.


    PENDAHULUAN

    Anak tunanetra adalah anak yang karena sesuatu hal mengalami kondisi penglihatan yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Kondisi itu disebabkan oleh kerusakan mata-mata, syaraf optik dan atau bagian otak yang mengolah stimulus visual (Sasraningrat, 1984).
    Ketunanetraan akan membawa akibat timbulnya beberapa keterbatasan bagi penyandangnya, antara lain adalah keterbatasan memperoleh informasi. Seperti dinyatakan oleh para ahli bahwa kurang lebih 85% pengamatan manusia dilaksanakan oleh mata (Sasraningrat, 1984). Oleh karena itu untuk memperoleh informasi seorang penyandang tunanetra terutama yang mengalami tingkat buta, akan menggunakan dria-dria non-visual yang masih berfungsi seperti dria pendengaran, dria perabaan/taktual, dria pembau, dan lain sebagainya.
    Membaca dan menulis Braille merupakan salah satu sarana bagi para penyandang tunanetra buta untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi dengan orang lain yang menggunakan dria taktual. Dengan demikian kepekaan dria taktual merupakan tuntutan dalam memiliki kecakapan membaca dan menulis Braille. Padahal kepekaan dria taktual bukan merupakan hal yang otomatis bagi para penyandang tunanetra, tetapi perlu adanya latihan dan atau pembelajaran bagi yang bersangkutan.
    Membaca dan menulis Braille permulaan sebagai dasar kecakapan membaca dan menulis Braille bagi penyandang tunanetra, perlu diajarkan di sekolah-sekolah khusus anak tunanetra atau yang disebut Sekolah Luar Biasa Tunanetra. Guru anak tunanetra memegang peranan penting dalam pembelajaran membaca dan menulis Braille permulaan, sebab melalui pembelajaran membaca dan menulis Braille ini anak-anak tunanetra dipersiapkan untuk memiliki kecakapan mengakses informasi dan berkomunikasi. Namun demikian apakah para guru telah melakukan pembelajaran membaca dan menulis Braille permulaan dengan tepat, sehingga anak tunanetra memperoleh pembelajaran yang berarti atau sebaliknya para guru mengabaikan asas-asas mengajar membaca dan menulis Braille permulaan, sehingga anak tunanetra tidak cakap membaca dan menulis Braille.
    Sementara itu kondisi obyektif di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak anak tunanetra yang telah menduduki sekolah lanjutan, belum terampil membaca dan menulis Braille. Oleh karena itu perlu diteliti bagaimana guru memberikan pembelajaran membaca dan menulis braille permulaaan pada sekolah khusus atau Sekolah Luar Biasa Tunanetra. Dengan demikian akan dapat dideskripsikan tentang pembelajaran membaca dan menulis Braille permulaan bagi anak tunanetra di Sekolah Luar Biasa Tunanetra.
    Berdasarkan permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan untuk memahami dan mendeskripsikan pembelajaran membaca dan menulis Braille permulaan bagi anak-anak tunanetra di Sekolah Luar Biasa Tunanetra, terutama berdasar atas persepsi guru, strategi dan metodik khusus yang dilakukan, dan peralatan yang digunakan.


    METODE
    Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif kualitatif, sebab pendekatan ini tepat untuk mengadakan pemahaman mendalam dan mencari makna pembelajaran membaca dan menulis Braille permulaan bagi anak tunanetra. Peneliti berusaha memahami arti peristiwa pembelajaran dan kaitan-kaitannya terhadap pembelajaran membaca dan menulis Braille permulaan anak tunanetra. Pemahaman tentang pembelajaran membaca dan menulis Braille permulaan bagi anak tunanetra menuntut penelitian yang bersifat alami, sebagaimana adanya, tanpa manipulasi dan atau intervensi peneliti. Selain itu Bogdan dan Taylor (l995) telah mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu bersangkutan secara holistik (utuh); oleh karena itu dengan pendekatan kualitatif akan dapat diperoleh pemahaman dan penafsiran secara mendalam mengenai makna dari kenyataan dan fakta yang relevan dengan pembelajaran membaca dan menulis Braille permulaan bagi anak tunanetra.
    Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus, dengan mengkaji terhadap multi kasus yang berupa kata-kata dan tindakan para aktor penelitian, sumber tertulis, foto dan peristiwa-peristiwa pembelajaran membaca dan menulis Braille permulaan yang terjadi.
    Dijadikan latar/setting penelitian adalah sekolah khusus bagi anak-anak tunanetra atau yang disebut dengan Sekolah Luar Biasa Tunanetra Yayasan Kesejahteraan Tunanetra Islam (Yaketunis), jalan Parangtritis No.46, Yogyakarta; di mana anak-anak tunanetra memperoleh pembelajaran membaca dan menulis Braille permulaan. Penelitian dilaksanakan dalam jangka waktu empat bulan, yaitu mulai bulan Juli sampai dengan Oktober 2004.
    Adapun sumber data dalam penelitian ini adalah para informan yang terdiri dari Kepala Sekolah, guru dari siswa tunanetra di SLB/A Yaketunis Yogyakarta. Sedangkan subjek penelitian dipilih secara purposif, dengan menentukan ciri-ciri anak-anak tunanetra yang mengalami kesulitan dalam pembelajaran membaca dan menulis Braille permulaan di tingkat dasar kelas D1.
    Teknik pengumpulan data dilakukan melalui teknik pengamatan berperanserta, wawancara mendalam dan analisis dokumen. Sedangkan kegiatan analisis data dilakukan dalam dua tahap, yaitu selama dan setelah pengumpulan data. Terhadap data yang diperoleh dilakukan analisis dengan teknik model alur dan interaktif yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman (1992) yang terdiri dari tiga komponen dan mempunyai alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan dan berinteraksi satu dengan yang lain, yaitu : reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan/verifikasi.
    Guna mencapai keabsahan data, dilakukan dengan:
    a. Memperpanjang pengamatan dan keiikutsertaan peneliti dalam kegiatan pembelajaran membaca dan menulis Braille permulaan bagi anak tunanetra.
    b. Tekun mengamati fenomena secara terus-menerus untuk menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan pembelajaran membaca dan menulis Braille permulaan.
    c. Melaksanakan trianggulasi terhadap kebenaran data dan penafsirannya, baik dengan pengecekan, pengecekan ulang, maupun pengecekan silang “cross check”.
    d. Analisis kasus negatif, dengan cara mengumpulkan kasus yang tidak sesuai dengan data yang telah dikumpulkan, dan digunakan sebagai pembanding.
    e. Mengadakan diskusi analitik dengan rekan-rekan sejawat, baik tentang hasil sementara maupun hasil akhir dari penelitian ini.
    f. Membuat deskripsi pekat atau “thick description” tentang makna pembelajaran membaca dan menulis Braille permulaan bagi anak tunanetra.
    g. Mengadakan penelusuran “audit” dengan cara melacak kesimpulan sampai pada data mentah, termasuk catatan lapangan.







    HASIL DAN PEMBAHASAN


    Persepsi Guru
    Dalam pembelajaran membaca dan menulis Braille permulaan bagi anak tunanetra, guru mempunyai persepsi yang tidak berbeda dengan guru lain. Persepsi guru merupakan dasar dari pelaksanaan pembelajaran termasuk pembelajaran membaca dan menulis Braille permulaan bagi anak-anak tunanetra. Seperti dinyatakan oleh Ibu Hartini (samaran), guru Bahasa Indonesia kelas D.I SLB/A yang sekaligus juga mengajar membaca dan menulis Braille permulaan, sebagai berikut:
    “Semua anak tidak terkecuali termasuk anak tunanetra pasti mempunyai potensi; walaupun anak tunanetra mempunyai keterbatasan, potensi mereka perlu dikembangkan semaksimal mungkin. Oleh karena itu sebagai guru anak tunanetra, harus mempunyai modal dasar kesabaran, ketelatenan dan kreativitas, dan sekaligus mau menjadi pengganti mata siswa tunanetra”.
    Jadi, semua anak, termasuk anak tunanetra mempunyai potensi yang dapat dikembangkan, walaupun dalam pembelajaran membaca dan menulis, anak-anak tunanetra kadang-kadang harus memakan waktu yang agak lama dibandingkan dengan anak-anak pada umumnya. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan yang dialami oleh mereka. Oleh karena itu seorang guru anak tunanetra juga dituntut kesabaran, ketelatenan dan kreativitas mereka, serta bersedia menjadi pengganti mata dari siswa tunanetra.
    Membaca dan menulis Braille merupakan salah satu sarana bagi para penyandang tunanetra buta untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi dengan menggunakan dria taktual; oleh karena itu kepekaan dria taktual merupakan tuntutan dalam memiliki kecakapan membaca dan menulis Braille. Padahal kepekaan dria taktual bukan merupakan hal yang otomatis bagi para penyandang tunanetra, tetapi perlu adanya latihan dan atau pembelajaran bagi yang bersangkutan. Seperti antara lain dikatakan oleh Ibu Atika (samaran) seorang guru anak tunanetra di SLB/A Yaketunis, sebagai berikut:
    “Anak tunanetra terutama yang buta, harus dapat membaca dan menulis Braille; karena membaca dan menulis Braille merupakan salah satu sarana bagi para penyandang tunanetra untuk memperoleh informasi dan berkomuni¬kasi dengan orang lain”.
    Lebih lanjut Ibu Atun (samaran) dan beberapa guru yang lain menyatakan bahwa:
    “Sebelum diajar membaca dan menulis Braille, anak tunanetra perlu dilatih kepekaan dria taktualnya, karena kepekaan dria taktual bukan merupakan hal yang otomatis dikuasai oleh anak-anak tunanetra, tetapi harus dilatih”.
    Berdasarkan persepsi para guru anak tunanetra seperti tersebut di atas, maka membaca dan menulis Braille permulaan sebagai dasar kecakapan membaca dan menulis Braille bagi penyandang tunanetra perlu diajarkan di sekolah-sekolah khusus anak tunanetra atau yang disebut Sekolah Luar Biasa Tunanetra. Guru anak tunanetra memegang peranan penting dalam pembelajaran membaca dan menulis Braille permulaan, sebab melalui pembelajaran membaca dan menulis Braille ini anak-anak tunanetra dipersiapkan untuk memiliki kecakapan mengakses informasi dan berkomunikasi. Oleh karena itu para guru dituntut untuk melakukan pembelajaran membaca dan menulis Braille permulaan secara tepat, sehingga anak tunanetra memperoleh pembelajaran yang berarti dalam memiliki kecakapan membaca dan menulis Braille.
    Strategi yang Dilakukan
    Strategi pembelajaran membaca dan menulis Braille permulaan merupakan rekayasa dan rencana yang cermat mengenai proses interaksi antara siswa tunanetra dan lingkungannya, dan atau proses penciptaan sistem lingkungan yang merupakan seperangkat peristiwa yang dirancang untuk mendorong, menggiatkan, mendukung dan memungkinkan terjadinya anak tunanetra belajar membaca dan menulis Braille permulaan; sehingga terjadi perubahan perilaku anak tunanetra yaitu memiliki kecakapan dalam membaca dan menulis Braille. Untuk mewujudkan hal-hal tersebut di atas, menurut beberapa sumber data maka seorang guru perlu memiliki keterampilan dalam memilih dan menggunakan metode pengajaran yang sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan lingkungan siswa tunanetra. Selain itu seorang guru kadang-kadang juga perlu menggunakan beberapa metode secara bervariasi dengan memperhatikan ketepatan penggunaan beberapa metode tersebut terhadap kondisi, kebutuhan dan lingkungan dari siswa tunanetra bersangkutan.
    Hasil pengamatan peneliti pembelajaran membaca dan menulis Braille permulaan juga menggunakan berbagai metode secara bervariasi. Metode ceramah dan tanyajawab dilaksanakan secara serentak dengan metode peragaan atau demonstrasi. Misalnya pada waktu guru menjelaskan tentang posisi dan konfigurasi titik-titik Braille sambil memperagaan letak tititik-titik Braille tersebut pada papan huruf/bacaan yang juga disebut dengan “Reken Plank”. Apabila anak tunanetra belum memiliki pemahaman tentang apa yang dijelaskan guru, maka guru memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya kepada guru; dan selanjutnya guru menjawab pertanyaan siswa bersangkutan. Setelah siswa tunanetra paham, maka guru kemudian memberikan tugas tertentu agar siswa tunanetra aktif melakukan kegiatan belajar membaca dan menulis Braille. Misalnya guru mendekte secara pelan-pelan, siswa tunanetra menulis apa yang didektekan guru, kemudian guru meminta siswa tunanetra secara bergiliran untuk membaca apa yang telah ditulis oleh siswa tunanetra bersangkutan. Jika ada kesalahan guru menjelaskan dimana letak kesalahannya dan sekaligus mengoreksinya, kemudian siswa tunanetra diminta untuk memperbaiki; tetapi jika siswa tunanetra telah melaksanakan tugas dengan benar, guru kemudian memberikan “reward” dengan cara antara lain menepuk bahu siswa bersangkutan sambil berkata “betul!”, “pintar!”,atau “bagus!”.
    Selain hal tersebut di atas guru juga menggunakan metode latihan, yaitu cara mengajar untuk mengkondisikan atau menanamkan suatu kebiasaan membaca dan menulis Braille kepada siswa tunanetra untuk memperoleh keterampilan atau kecakapan dalam membaca dan menulis Braille. Misalnya guru memberikan penjelasan bagaimana memasang kertas pada reglet, bagaimana menusukkan pena atau “stylus” pada relget yang sudah ada kertasnya; kemudian anak berlatih sendiri dengan diawasi oleh guru bersangkutan. Jika siswa tunanetra belum bisa diulang-ulang terus sampai bisa; dan jika sudah bisa kemudian guru mulai meminta siswa tunanetra menulis kata atau kalimat sederhana. Siswa tunanetra diminta untuk membaca hasil tulisannya dengan cara membalik posisi kertas, guru mengawasi cara siswa tunanetra membaca tulisan Braille tersebut sambil menjelaskan cara membaca yang baik, yaitu antara lain dengan meraba secara ringan dari kiri ke kanan.
    Dalam pembelajaran membaca dan menulis Braille permulaan perlu menggunakan pendekatan mengajar secara fungsional-indivudual. Seperti antara lain dinyatakan oleh ibu Hartini (samaran) bahwa:
    “Guru perlu memiliki keterampilan dalam menentukan pendekatan mengajar fungsional-individual bagi siswa tuna¬netra dengan mempertimbangkan keterbatasan, ketidakmampuan dan atau kendala tertentu dalam proses belajar mereka”
    Strategi khusus yang telah dilaksanakan oleh guru dalam pembelajaran mambaca dan menulis Braille adalah usaha kompensasi keterbatasan kemampuan visual dengan melatih dria-dria non-visual terutama dria taktual. Latihan dria non-visual terutama dria taktual dilakukan oleh guru dengan melatih siswa tunanetra untuk mempunyai kepekaan dria taktual. Hal ini membekali siswa tunanetra dalam memiliki keterampilan membaca dan menulis Braille. Setelah dria taktual dilatih maka siswa tunanetra akan mempunyai kepekaan taktual, sehingga memperlancar dalam membaca dan menulis Braille, karena dengan mudah mereka akan dapat membedakan konfigurasi titik-titik Braille.
    Metodik Khusus yang Dilakukan
    Berdasarkan pengamatan peneliti dan hasil wawancara terhadap guru Bahasa Indonesia, membaca dan menulis Braille permulaan menggunakan metodik khusus dengan melakukan modifikasi terhadap cara dan alat membaca dan menulis Braille. Pada waktu mengajarkan titik-titik Braille tidak langsung pada alat tulis Braille yaitu reglet dan penanya atau “stylus” tetapi menggunakan papan huruf/bacaan atau disebut juga dengan “Reken Plank” terlebih dahulu. Dengan “Reken Plank” tersebut anak tunanetra dikenalkan posisi enam titik Braille baik dalam posisi horizontal maupun vertikal. Misalnya dalam posisi horizontal titik-titik 1-4; 2-5; 3-6; dan dalam posisi vertikal adalah titik-titik 1-2-3; dan 4-5-6.
    Papan huruf/baca atau “Reken Plank” selain digunakan untuk memperkenalkan titik-titik Braille juga dapat digunakan untuk melatih kepekaan dria taktual siswa tunanetra. Setelah siswa tunanetra memahami konfigurasi titik-titik Braille, maka guru dapat segera mentransfer pemahaman siswa tunanetra tentang titik-titik Braille ke dalam reglet yang titik-titiknya lebih kecil dibandingkan dengan paku-paku yang ditancapkan pada pada huruf/baca. Jika siswa tunanetra masih bingung maka penggunaan papan huruf/baca masih diperlukan, sampai siswa tunanetra betul-betul dapat membaca dan menulis Braille dengan Reglet dan penanya. Setelah siswa tunanetra dapat membaca dan menulis Braille dengan Reglet, maka guru akan memperkenalkan dengan penggunaan mesin ketik Braille yang hasil langsung dapat dibaca, tidak perlu dibalik seperti pada waktu menggunakan Reglet.
    Peralatan yang Digunakan
    Alat atau segala sesuatu yang dipakai untuk mengerjakan dan atau dipakai untuk mencapai tujuan pengajaran membaca dan menulis Braille permulaan yang ideal adalah benda sesungguhnya yaitu Reglet dan penanya atau “stylus”. Mengingat anak-anak tunanetra mempunyai keterbatasan di dalam mengamati secara visual, maka alat pengajaran membaca dan menulis Braille bagi anak tunanetra yang berupa Reglet dan “stylus” untuk pertama kali diganti dengan model papan bacaan yang disebut “Reken Plank”
    Sebelum siswa tunanetra diperkenalkan dengan papan huruf/baca atau “Reken Plank” guru telah melatih terlebih dahulu kepekaan dria taktual mereka dengan menggunakan bahan-bahan limbah dan peralatan yang dapat digunakan untuk melatih kepekaan dria taktual siswa tunanetra. Potongan-potongan kain sutera, katun, wool, lurik; kertas amplas yang berbeda teksturnya; gunting, kertas tebal dan tipis; biji-bijian, dan barang-barang limbah lain yang dapat dimanfaatkan untuk melatih kepekaan dria taktual siswa tunanetra. Hal ini menunjukkan kreavitias guru dalam menciptakan alat pembelajaran dan atau sumber belajar.
    Setelah anak mempunyai kepekaan dria taktualnya, maka guru mulai memperkenalkan dan melatih siswa tunanetra dengan “Reken Plank”, reglet dan penanya serta mesin ketik Braille. Dengan demikian sebelum siswa tunanetra bersangkutan mempunyai kepekaan dria taktual maka akan sulit untuk mengikuti latihan membaca dan menulis Braille dengan “Reken Plank”, Reglet dan penanya, serta mesin ketik Braille.


    KESIMPULAN


    Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai pembelajaran membaca dan menulis Braille permulaan Anak tunanetra di Sekolah Luar Biasa Tunanetra Yaketunis Yogyakarta, dapat disimpulkan bahwa:
    1. Para guru mempunyai persepsi yang sama bahwa:a) semua anak tunanetra pasti mempunyai potensi dan perlu dikembangkan semaksimal mungkin. b) anak tunanetra terutama yang buta, harus dapat membaca dan menulis Braille sebagai sarana untuk memperoleh informasi dan komunikasi dengan orang lain, c) sebelum diajar membaca dan menulis Braille, anak tunanetra perlu dilatih kepekaan dria taktualnya, karena bukan merupakan hal yang otomatis dikuasai oleh anak-anak tunanetra, dan d) membaca dan menulis Braille permulaan merupakan dasar kecakapan bagi penyandang tunanetra, sehingga perlu diajarkan di sekolah-sekolah khusus anak tunanetra atau SLB/A.
    2. Strategi yang dilakukan guru adalah: a) memilih dan menggunakan berbagai metode pengajaran sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan lingkungan siswa tunanetra, b) menggunakan berbagai metode secara bervariasi. c) Mengoreksi kesalahan anak dan memberikan “reward” terhadap siswa yang berhasil mencapai kemajuan, serta d) menggunakan pendekatan mengajar fungsional-individual dengan mempertimbangkan keterbatasan, ketidak-mampuan dan atau kendala belajar yang dihadapi, serta usaha kompensasi keterbatasan visual dengan melatih dria-dria non-visual terutama dria taktual dan dilakukan sebelum mengajarkan membaca dan menulis Braille.
    3. Metodik khusus yang digunakan guru yaitu dengan memodifikasi cara dan alat membaca dan menulis Braille, dengan mengajarkan titik-titik Braille tidak langsung pada alat tulis Braille, maupun mesin ketik Braille melalui“Reken Plank” terlebih dahulu.
    4. Peralatan yang digunakan untuk melatih kepekaan dria taktual anak tunanetra yaitu dengan menggunakan alat dan atau bahan limbah, seperti potongan kain, kertas amplas,gunting, kertas tebal dan tipis, serta biji-bijian. Sedangkan untuk pengenalan konfigurasi titik-titik Braille dan sekaligus untuk melatih kepekaan dria taktual yaitu dengan papan huruf/bacaan atau “Reken Plank, dan setelah memahami konfigurasinya, baru mengunakan reglet dan penanya atau “stylus” serta mesin ketik Braille.



    DAFTAR PUSTAKA


    Abdurrahman, Mulyono.(1994).Strategi Pembelajaran dalam PLB. Jakarta: Proyek Pembinaan dan Pembinaan dan Peningkatan Mutu Tenaga Kependidikan, Ditjen Dikti, Depdikbud.
    Bogdan, R. C. dan Biklen, SK. (1982 ). Qualitative Research for Education (An Introduction to Theory an d Methods). Boston, USA.: Allyn and Bacon Inc.
    Bower, Gordon H. dan Ernest R. Hilgard.(1981). Theories of Learning. Englewood Cliffs, New Jersey, USA: Prentice Hall, Inc.
    Carrol, Revered Thomas J. (l96l). Blindness. USA: Brown and Company (Canada) Limited.
    Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln. (1994). Handbook of Qualitative Research. Thousand Oaks, California 91320, USA: Sage Publications,Inc.
    Depdikbud. (1999).Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta; Balai Pustaka.
    Hallahan dan Kauffman. (1978). Exceptional Children. (Intruduction to Special Education). New York: Pretice Hall.
    Lincoln, YS. Guba EG. (1995). Naturalistic Inquiry. New Delhi: Sage Publication.
    Lexy J. Moleong.(1988). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakaryan Offset.
    Lowenfeld, Berthold. (1979). Anak Tunanetra di Sekolah (Enstrak). Terj. Frans. Harsana Sasraningrat. Jakarta: BP3K Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
    Lusli, Mimi Mariani. (1992). Pedoman dan Struktur Dalam Huruf Braille. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
    Lydon T. William and Loretta Mc. Graw.(1978).Pengembangan Konsep Untuk Anak Buta. Terj. BP3K Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bandung : Helen Keller International Incorporated.
    Miles B., Matthew dan A. Michel Huberman. (1984). Qualitative Data Analysis. Beverley Hills, California, USA: Sage Publication, Inc.
    ______.(1992). Analisis Data Kualitatif. Terj. Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
    Morse, Janice M. (1991). Critical Issues In Qualitative Research Methods.California, USA: Sage Publications, Inc.


    Sasraningrat. F. Harsana. (1981). Metodik Khusus Anak Tunanetra. Yogyakarta: Federasi Kesejahteraan Tunanetra Indonesia.
    ______dan Sumarno. (l984). Ortodidaktik Anak Tunanetra. Jakarta: DepartemenPendidikan dan Kebudayaan RI.
    Scholl. Geraldine. (l988). Foundation of Education for the Visually Impaired Children and Youth. New York, N.Y.: American Foundation for the Blind Incorporated.
    Silverman, David. (1993). Interpreting Qualitative Data. California, USA: Sage Publications, Inc.
    Sumarno, Dwijo dan Purwanta HK. (1986). Pedoman Menulis Braille I. Yogyakarta: Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa.
    Spradley, James P.(1980). Participant Observation. New York, USA: Holt, Rinehart and Winston.
    ______.(1997). Metode Etnografi. Terj. Misbah Zulfa Elizabeth. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.
    Wardani,I.G.A.K.(l994). Pengembangan Perencanaan Pengajaran Dalam Pendidikan Luar Biasa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.

    Label: