Buku Tamu

Anda adalah pengunjung ke
View My Stats
  • Isi Buku Tamu
  • Lihat Buku Tamu


  • |

  • Kembali ke Halaman Depan
  • Sampel Artikel
  • PANDUAN PENULISAN NASKAH


  • Jumat, 27 Januari 2012

    Penanganan Perilaku Agresif pada Anak

    Atang Setiawan
    Universitas Pendidikan Indonesia


    ABSTRAK


    Perilaku agresif secara tipikal adalah setiap perilaku yang bertujuan untuk menyakiti atau merugikan orang lain baik secara fisik maupun psikis. Dampak perbuatan tersebut tidak saja merugikan sikorban, melainkan juga si pelaku sendiri. Untuk melakukan identifikasi anak yang dikatagorikan berperilaku agresif ada beberapa kriteria yang perlu diperhatikan, yaitu: kualitas dan kuantitas perilaku, disengaja, tidak ada rasa tanggung jawab, karakteristik pengamat, dan karakteristik sipelaku. Faktor penyebab berperilaku agresif pada anak disebabkan terhambatanya perkembangan emosi, sosial, dan biologis. Perilaku agresif bukan suatu kondisi melainkan suatu “penyakit”, maka sangat memungkinkan untuk di “sembuhkan”, diatasi. Dalam upaya membantu mengatasi perilaku tersebut, ada beberapa metoda dan teknik yang dapat dilakukan oleh guru atau orang tua, yaitu: Pemahaman dan penerimaan terhadap pribadi anak, menciptakan PAKEM, mengembangkan katarsis, menghapuskan pemberian imbalan, strategi memperagakan, menciptakan lingkungan nonagresif, mengembangkan sikap empati, dan memberikan hukuman.
    Kata kunci: Penanganan, agresif, penyebab.

    PENDAHULUAN


    Rasanya tidak ada seorangpun anak adam di muka bumi ini yang tidak pernah berperilaku agresif, seperti memukul, menendang, merusak benda dan barang di sekitarnya, tetapi belum tentu dapat dikatagorikan anak agresif, apabila tidak memenuhi kriteria tertentu. Perilaku agresif merupakan bentuk perilaku yang bersifat anti-sosial, bertentangan dengan norma-norma sosial dan norma hukum yang berlaku di lingkungannya, perilaku yang tidak dikehendaki oleh orang lain baik individu maupun masyarakat secara luas. Perilaku tersebut sangat merugikan perkembangan dirinya maupun keamanan dan kenyamanan orang lain.
    Penyebab perilaku agresif sangat kompleks, tidak tunggal, tetapi secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua penyebab, yaitu internal dan eksternal. Kedua faktor tersebut menyebabkan terhambatnya perkembangan aspek emosi atau dan sosial yang bersangkutan. Terhambatnya perkembangan emosi dan perilaku sosial di antaranya diwujudkan dalam bentuk perilaku agresif.
    Perilaku agresif dilakukan anak/remaja, baik di rumah, sekolah, bahkan di lingkungan masyarakat luas. Perilaku agresif pada batas-batas yang wajar pada anak/remaja masih dapat ditolerir atau diabaikan, namun apabila sudah menjurus dapat merugikan dirinya dan orang lain, maka perlu ditangani secara sunguh-sungguh, karena dapat berakibat lebih patal.
    Dampak perilaku agresif tidak hanya mempengaruhi fungsi anak dalam perkembangan emosi dan perilaku, tetapi hal tersebut juga mempengaruhi prestasi akademis, interaksi sosial mereka dengan teman sebaya dan guru. Kaufmann (1985), menjelaskan hasil risetnya, bahwa anak yang agresif umumnya memiliki prestasi akademik yang rendah untuk usia mereka, mayoritas anak agresif memiliki kesulitan akademis. Memiliki kekurangan dalam keterampilan sosial yang mempengaruhi kemampuan untuk kerjasama dengan guru, fungsi di dalam kelas, dan bergaul dengan siswa lain.
    Pada tulisan singkat ini, penulis mengajak pada para pembaca, khususnya bapak/ibu guru atau calon guru untuk memahami konsep perilaku agresif dan cara mengatasinya. Karena di sekolah atau keluarga tidak sedikit anak atau remaja yang berperilaku agresif yang dapat merugikan baik terhadap dirinya maupun lingkungannya.


    PEMBAHASAN


    Perilaku Agresif
    Apakah agresif itu identik dengan kekerasan? Banyak orang yang mengartikan bahwa agresif dan kekerasan sama. Memang benar ada kesamaan diantara keduanya, yaitu bersifat komfrontatif, tetapi berbeda dalam bentuk dan motivasinya. Breakwell (1998), menjelaskan agresi secara tipikal didefinisikan setiap bentuk pilaku untuk menyakiti atau merugikan seseorang yang bertentangan dengan kemauan orang itu. Agresif melibatkan setiap bentuk penyiksaan, termasuk penyiksaan psikologis atau emosional. Misalnya mempermalukan, menakut-nakuti atau mengancam. Sedangkan kekerasan didefinisikan sebagai tindakan di mana ada usaha sengaja untuk mencederai secara fisik, terbatas pada penyiksaan secara fisik, dan apabila tidak disengaja tidak dikatagorikan kekerasan.
    Selanjutnya secara gamblang para ahli psikologi, seperti Sigmund Freud (Shaffer, 1994) menjelaskan, agresif merupakan suatu perilaku naluriah atau instingtif, sebagai thanatos (naluri kematian), yaitu merupakan faktor yang bertanggungjawab terbentuknya energi yang agresif di dalam kehidupan manusia. Ia memiliki pandangan tentang agresif sebagai suatu sikap bermusuhan, suatu energi agresif yang akan membangun dan bersikap kritis serta dapat berkembang menjadi suatu perilaku yang kejam, bersifat merusak.
    Ahli Ethologist Konrad Lorenz (Shaffer, 1994), menguraikan agresif sebagai suatu naluri perkelahian yang dicetuskan oleh isyarat tertentu di dalam lingkungan. Meski ada perbedaan pandangan yang penting antara psychoanalytic dan ethological tentang agresi, keduanya menganggap perilaku agresif sebagai sikap tidak suka bersosialisasi (anti-sosial) yang diakibatkan oleh satu kecenderungan bawaan bertindak untuk melakukan kekerasan.
    Sedangkan pada umumnya ahli teori belajar sikap menolak pandangan yang menjelasan naluri yang bersifat merusak dan berbuat sesuatu dengan menggunakan kekerasan, pandangan mereka berpikir bahwa agresi manusia dan perilaku tidak suka bersosialisasi (anti-sosial) sebagai suatu kategori tertentu dari perilaku. Seperti pandangan Bandura (Shaffer, 1994) dan para ahli teori lainnya meyakinkan bahwa agresi sebenarnya hanya merupakan suatu anggapan sosial tentang berbagai tingkah laku, tidak terlepas dari pemahaman dalam mengartikan suatu bentuk perilaku yang dilakukan kepada kita. Kiranya, penafsiran kita tentang sikap tidak agresif atau agresif bergantung pada pribadi, dan situasi sosial, seperti kepercayaan kita sendiri tentang agresi itu sendiri, konteks di mana tanggapan itu terjadi, intensitas tanggapan, identitas dan reaksi orang terlibat terbatas.
    Applefield (Shaffer, 1994), mendefi¬nisikan agresif sebagai tindakan yang disengaja yang mengakibatkan atau mempunyai kemungkinan mengakibatkan penderitaan fisik atau psikis pada orang lain atau kerusakan barang dan benda. Selanjutnya Bandura, menjelaskan lebih lanjut bahwa agresi adalah perilaku yang berakibat pada penderitaan orang lain dan kerusakan barang atau benda. Penderitaan tersebut dapat bersifat psikis maupun fisik.
    Dari pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa perilaku agresif adalah tindakan yang dilakukan secara sengaja yang mengakibat penderitaan fisik atau psikis pada orang lain atau kerusakan barang dan benda.
    Untuk lebih jelasnya, apakah perilaku anak itu dapat dikatagorikan agresif atau tidak, Bandura (Kim Fong Poon-McBrayer and Ming-gon John Lian, 2002) mengemukakan kriteria-kriteria yang perlu menjadi pertimbangan dalam menentukan agresif-tidaknya suatu perilaku anak, yaitu:
    a. Kualitas perilaku agresif, derajat atau ukuran, tingkatan perilaku agresif terhadap korban baik berupa serangan fisik atau psikis, membuat malu, merusak barang orang lain.
    b. Intensitas perilaku, sering-tidaknya melakukan tindakan-tindakan yang merugikan atau membahayakan korban.
    c. Ada kesengajaan, dalam melakukan tindakan agresif, ada niat yang tersurat, sengaja melakukan perilaku agresif. Karakteristik pengamat, yaitu orang yang memperhatikan perilaku agresif yang dilakukan oleh seseorang. Hal ini akan beragam karena akan ditentukan oleh jenis kelamin, kondisi sosial-ekonomi, etnis, pengalaman perilaku agresif dsb.
    d. Pelaku menghindar ketika orang lain menderita sebagai akibat perbuatan¬nya, tidak ada prasaan bersalah atau berdosa.
    e. Karakteristik sipelaku itu sendiri, misalnya faktor usia, jenis kelamin, pengalaman dalam berperilaku agresif, dsb.
    Singkatnya, seorang anak dikatago¬rikan agresif atau tidak akan ditentukan oleh sipengamat itu sendiri yang cenderung subyektif, bobot dan kualitas perilaku agresif, kuantitas atau frekuensi perilaku agresif, ada kesengajaan (niat) untuk memenuhi kebutuhan, harus terlihat ada rasa tanggung jawab (menghindar) apabila diminta pertanggung jawaban, dan karakteristik sipelaku itu sendiri seperti faktor usia dan jenis kelamin.
    1. Faktor Penyebab
    Setiap perilaku baik itu bersifat agresif maupun non-agresif pasti ada faktor pendorong atau penyebabnya. Penyebab tersebut bersifat kompleks, tidak tunggal, melainkan kumulatif dari berbagai faktor. Seperti diuangkapkan Sigmun Freud (Davin R. Shaffer,1994) mempercayai bahwa kita semua lahir ke dunia disertai dengan naluri kematian (thanatos). Dimana di dalamnya termasuk segala perilaku kekerasan dan pengrusakan. Menurut pandangannya energi tersebut diperoleh dari makanan secara terus menerus dan berubah menjadi energi yang agresif dan sikap agresif ini yang harus dikeluarkan teratur pada jangka waktu tertentu untuk mencegah sikap mereka meningkat pada tingkatan yang berbahaya. Satu hal yang menarik Freud adalahbahwa dengan bersikap agresi dimana adakalanya berasal di dalam batin, menghasilkan beberapa bentuk dari diri penghukuman diri sendiri, perusakan, atau bahkan bunuh diri.
    Teori naluri yang kedua tentang agresi berasal dari Ethologist Konrad Lorenz (Shaffer,1994 ) yang membantah bahwa manusia dan binatang mempunyai naluri dasar berkelahi (agresif) yang digunakan untuk melawan terhadap sesamanya. Lorenz berpandangan juga bahwa agresi sebagai suatu sistim hidrolik dimana dapat menghasilkan energi sendiri. Tetapi ia percaya bahwa tindakan agresif secara berkelanjutan akan berkembang sampai pada pelepasan stimulus yang sesuai. Semua jenis naluri termasuk agresi, mempunyai dasar tujuan: untuk memastikan dapat bertahan hidup secara perseorangan dan atau kelompok.
    Menurut Bandura (Shaffer,1994) teori pembelajaran sosial berasumsi bahwa agresi sebagai suatu jenis yang spesifik dari tingkah laku sosial yang diperoleh dari pengalaman apa yang dilihat, didengar langsung (merupakan hasil belajar). Agresi digambarkan sebagai setiap perilaku diarahkan terhadap tindakan untuk melukai/ merusak/ merugikan orang lain.
    Kauffman (1985) memaparkan penyebab perilaku agresif dari berbagai sudut pandang teori secara holistik, yaitu faktor bilogis, psikodinamika, frustrasi-agresif, dan teori belajar sosial.
    a. Teori Biologis diasumsikan bahwa perilaku agresif merupakan perilaku instink, respon kelainan hormon dan susunan kimiawi dalam tubuh, akibat getaran-getaran elektrik yang terjadi pada susunan syaraf pusat. Faktor biologis bukan satu-satunya yang mempengaruhi perilaku agresif.
    b. Teori Psikodinamika, agresif merupakan dorongan negatif dari agresi (id), karena lemahnya fungsi kesadaran individu yaitu ego dan superego. Teori frustrasi-Agresif, menjelaskan bahwa frustrasi selalu mengakibatkan perilaku agresif, dan perilaku agresif selalu bersumber dari kondisi frustrasi.
    c. Teori Belajar Sosial, bahwa perilaku agresif bersumber dari hasil belajar atau hasil peniruan (imitasi) dan hasil penguatan.
    Dari berbagai pandangan tersebut, bahwa penyebab seorang anak berperilaku agresif disebabkan oleh karena hasil imitasi dan penguatan dari lingkungan, ada kelainan hormon dan kelainan susunan kimiawi dalam tubuh, lemahnya ego dan superego dalam mengendalikan id, dan karena frustrasi yangtak terpecahkan sehingga mengalami gangguan emosi.
    2. Mengendalikan Perilaku Agresif pada Anak
    Perilaku agresif pada anak dapat diatasi, dikurangi bahkan untuk dihilangkan. Untuk membantu mereka agar terlepas dari perilaku agresif diperlukan teknik dan pendekatan yang komprehensif dan koordinatif. Adapun yang dapat kita lakukan, baik di sekolah maupun di rumah, di antaranya melalui berbagai metoda dan teknik sebagai berikut:
    Memahami dan menerima pribadi anak
    Pemahaman terhadap anak merupa¬kan hal mutlak, terlebih pemahaman terhadap anak agresif yang memerlukan bantuan. Setelah dipahami pribadi anak, kita berupaya untuk menerima apa adanya dan sebagaimana mestinya. Pemahaman dan penerimaan akan menumbuhkan sikap simpati dan mungkin empati pada kita/guru. Simpati dan empati akan menubuhkan kepercayaan, hal ini merupakan modal untuk mengarahkan perilaku-perilaku anak ke arah nonagresif.
    Ciptakan PAKEM.
    PAKEM (pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan), akan tercipta apabila program pembelajaran yang pleksibel, disesuaikan dengan kemampuan setiap anak, pengelolaan kelas yang memberikan rasa aman, kenyamanan dan menyenangkan. Dengan terciptanya PAKEM akan mengurangi kondisi-kondisi yang mendorong kegagalan sebagai benih frustrasi. Dengan terhidar dari sifat frustrasi berarti mengurangi perilaku agresif.
    Melakukan catharsis
    Melakukan catharsis yaitu menyalurkan perilaku agresif ke aktivitas yang positif dan terhormat, seperti anak yang suka menendang atau memukul teman-teman, merusak benda atau barang di sekitarnya, kita arahkan dan kembangkan motivasi untuk kegiatan bermain drama, sepak bola, bola volly, main hokey dsb. Anak yang suka memaki-maki, marah yang tidak terkendali, menghina, mencemooh orang lain, kita arahkan ke aktivitas yang positif, seperti membaca puisi, bermain peran atau drama, bernyanyi, berceritera dsb. Dengan kegiatan tersebut anak akan merasa puas dan energi agresif akan tersalurkan, terbebas dari membahayakan dirinya maupun orang lain, diterima oleh masyarakat dan mungkin menjadi kebanggaan bagi dirinya. Menurut Freud, energi agresif dapat dikeluarkan dan diterima pada kehidupan sosial seperti melalui pekerjaan atau permainan yang bertenaga, lebih sedikit aktivitas yang tidak diinginkan seperti menghina orang lain, perkelahian, atau pengrusakan.
    a. Menghapuskan pemberian imbalan.
    Menghapuskan pemberian imbalan atau istilah lain penguatan negatif, yaitu menghilangkan rangsangan yang tidak menyenangkan (hukuman) setelah ditampilkan perilaku yang diharapkan akan memperkuat munculnya frekuensi perilaku yang diharapkan tersebut. Penghilangan yaitu menahan ganjaran yang diharapkan seperti yang diberikan sebelumnya akan menurunkan frekuensi munculnya perilaku yang semula mendapat penguatan. Penundaan berarti meniadakan ganjaran karena belum ditampilkan perilaku tertentu yang diharapkan, maka akan menurunkan frekuensi munculnya perilaku yang tidak diinginkan.
    b. Strategi memperagakan/pelatihan
    Upaya yang dilakukan melalui peraga¬an atau penampilan dalam pemecahan suatu masalah yang tidak menggunakan perilaku agrasif. Tanggapan yang tidak cocok/bertentangan dengan agresi boleh juga ditanamkan dengan memperagakan atau strategi pelatihan. Ketika anak melihat suatu contoh dan memilih solusi yang tidak agresif terhadap suatu konflik atau dengan tegas dilatih dalam pemakaian metoda-metoda yang tidak agresif tentang pemecahan masalah, mereka menjadi lebih mungkin untuk menetapkan solusi yang serupa kepada permasalahan mereka sendiri. Pelatihan metoda yang efektif dalam mengatasi konflik secara berkesinambungan merupakan hal yang utama dan bermanfaat bagi anak yang agresif.
    Menciptakan lingkungan nonagresif
    Jika kita bermaksud untuk mengurangi timbulnya perilaku agresif pada anak, maka kita harus membebaskan lingkungan sekitar dari perilaku-perilaku agresif, menghilangkan rangsangan-rangsangan yang dapat menumbuhkan perilaku agresif. Misalnya dengan menghilangkan tontonan, bacaan, yang memperlihatkan kekerasan, keberutalan, kesadisan dsb, terutama film-film adegan-adengan yang ada pada TV, komik, dan bacaan lainnya.
    Mengembangkan sikap empati
    Anak-anak prasekolah dan individu sangat agresif lain bisa tidak berempati dengan korban-korban mereka. Mereka mungkin tidak merasa menderita walaupun merugikan orang lain (berperilaku agresif). Kita dapat membantu mengembangkan sikap empati mereka melalui contoh kegiatan, seperti: a) menunjukan konsekuensi-konsekuensi yang berbahaya dari tindakan-tindakan anak yang agresif, b) menempatkan anak di tempat kejadian korban dan membayangkan bagaimana rasanya menjadi korban.
    Hukuman
    Apabila pendekatan-pendekatan di atas tidak efektif, maka dapat dilakukan dengan memberi hukuman yang bersifat mendidik dan manusiawi. Adapun pedoman yang harus dijadikan acuan apabila memberi hukuman yaitu:
    a) Gunakan hukuman hanya setelah metode koreksi positif telah gagal dan ketika membiarkan perilaku tersebut berlanjut akan menyebabkan konsekuensi-konsekuensi negatif yang lebih serius daripada tingkat hukuman yang dilakukan.
    b) Hukuman harus digunakan hanya oleh orang-orang yang memiliki kedekatan dan penuh kasih sayang terhadap anak ketika tingkah lakunya dapat diterima dan yang menawarkan banyak dukungan positif untuk perilaku non-agresif.
    c) Menghukum seperti apa adanya, tanpa kejengkelan, ancaman, atau melanggar moral.
    d) Hukuman harus bersifat adil, konsisten dan segera.
    e) Hukuman harus intens secara akal dan proporsional.
    f) Bila memungkinkan, hukuman harus melibatkan biaya respons (kehilangan hak-hak istimewa atau hadiah atau menarik diri dari perhatian) daripada perlakuan permusuhan.
    g) Bila memungkinkan, hukumannya harus terkait langsung dengan perilaku agresif, memungkinkan anak untuk membuat restitusi, dan/atau mempraktekkan perilaku alternatif yang lebih adaptif.
    h) Jangan langsung memberikan penguatan positif segera setelah hukuman, anak mungkin belajar berperilaku agresif kemudian menanggung hukuman untuk mendapatkan dukungan.
    i) Menghentikan hukuman jika tidak segera efektif.


    KESIMPULAN


    Perilaku agresif merupakan salah satu bentuk perilaku anak yang mengalami hambatan emosi dan sosial. Perilaku agresif berbeda dengan perilaku kekerasan. Perilaku agresif bertentangan dengan norma-norma hukum yang berlaku dan harapan masyarakat sehingga dikatagorikan perilaku anti-sosial.
    Dampak perilaku agresif sangat merugikan anak itu sendiri maupun lingkungan, sehingga perlu dibantu untuk mengatasinya. Upaya tersebut dapat dilakukan secara koordinatif antara orang tua dan guru di sekolah.
    Untuk menetapkan apakah anak dikatagorikan berperilaku agresif atau tidak, kita dapat melihat dan mengacu pada kriteria: bobot dan kualitas dari perilaku agresif, kuantitas atau frekuensi perilaku agresif, ada-tidaknya kesengajaan dari subyek, adanya penghindaran atau tidak ada rasa tanggung jawab, penilaian dari pengamat yang cenderung subyektif (relatif), dan karakteristik pelaku itu sendiri, seperti faktor usia dan jenis kelamin.
    Penyebab seorang anak berperilaku agresif bersifat kompleks, di antaranya perwujudan dari: hasil imitasi dan penguatan dari lingkungan, ada kelainan hormon dan kelainan susunan kimiawi dalam tubuh, lemahnya ego dan superego dalam mengendalikan id, dan frustrasi yang tidak terpecahkan sehingga mengalami gangguan emosi.
    Upaya membantu mengatasi perilaku agresif pada anak dapat digunakan berbagai teknik atau cara, seperti: Pemahaman dan penerimaan terhadap pribadi anak, menciptakan PAKEM, mengembangkan katarsis, menghapuskan pemberian imbalan, strategi memperagakan/pelatihan, menciptakan lingkungan nonagresif, mengembangkan sikap empati, dan penghukuman. Teknik penghukuman sebaiknya dihindarkan, namun apabila terpaksa, hendaknya bersifat mendidik dan manusiawi, disadari, tidak emosional, dan penuh rasa tanggung jawab.


    DAFTAR PUSTAKA


    Breakwell. Glynis.M. 1998. Coping Aggressive Behaviour. Mengatasi Perilaku Agresif. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
    Kauffman, J.M. (1985). Characteristics of Childrens Behavior Disorder, Colombus: Charles C. Merillil.
    Kim Fong Poon-McBrayer and Ming-gon John Lian. (2002). Special Needs Education. Children With Exceptionalities. The Chinese University Press. Hongkong.
    Shaffer, R . Davin. 1994. Social and Personality Development. University Of Georgia Edisi 3 . New York: Brooks/Cole Publising Company.Pacific Grove, California.

    Label: